Menulis Cerpen
“Cletaak… ngeek… ‘duaar!’”
Bunyi pintu blakang rumahku yang dibuka dengan kasar terempas ke tembok di
sampingnya.
“Asslaamualaaiiikuum…
Aku pulaaang!” Suara melengking yang khas dari salah satu anggota keluarga di
rumah ini, yaitu Aku.
“wa’alaikum
salam! Loh Fadhil? Kok tumben pulang hari Rabu, lagi libur tah dhil?”
Sambut nenekku yang sambil tersenyum dengan khasnya. Meskipun keriput tak akan
terlepas dari umurnya, tapi senyumnya yang manis itu selalu terjaga untuk
menyambut cucunya yang datang di hadapannya.
“Eh?
Mbah. Hehehe, iya Mbah. Besok kan aku libur, lagi banyak tugas juga mbah jadi mau
pulang ke rumah biar bisa ngerjain tugas modem Fadhil dipinjam sama ibu kemarin
lusa. Jadi mau nggak mau ya pulang Mbah..” Jawabku sambil masuk ke kamar
menaruh tas dan bersiap mengerjakan tugas dengan membuka laptop yang kubawa
dari kostan.
“ooh,
ya sudah istirahat dulu sana, biar nggak kecapaian baru pulang dari
Ciputat.”
“Iya
mbah, gampang, nanti aja mau ngejar tugas dulu nih buat malam ini”
Kutarik kursi dan duduk di depan
meja berwarna cokelat tua ini. Di atasnya terdapat laptop berwarna merah dan
dua buah buku bahan tugasku. Sebelum membuat tugas tersebut, kubuka catatan
tugas yang kumiliki syarat-syarat apa saja yang harus diperhatikan untuk
membuat cerpen, dan setelah mengamati dan mempelajarinya, aku pun mulai mencoba
menulisnya.
“Aku mungkin akan mencoba membuat
cerpen dengan tema kedaerahan, tapi… Daerah mana yang harus aku angkat untuk sebuah
cerpen ini? Aku tidak terlalu mengerti tentang daerah, mungkin yang aku kenal betul
tentang Jakarta ialah tentang macetnya atau bahkan banjirnya yang bisa
dibanggakan, atau mungkin yang lebih klasik lagi ialah daerah Yogyakarta yang
suasananya seperti kota kenangan dengan budayanya yang kental dan tradisional. Ah,
tetapi sudah terlalu mainstream kayaknya kalau mengangkat hal itu,”
pikirku sambil melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul 8.15 malam. Dan
aku sempat berpikir untuk mencontek karya orang lain, tapi tidak mungkin
kulakukan karna itu termasuk jiwa seorang plagiator. Lagi pula originalitas
atas cerpen yang akan kubuat akan menentukan nilai juga, jadi aku akan terus
mencoba mencari imajinasi untuk menuliskan cerpen ini.
Detak jam yang terus berbunyi
membuatku tidak dapat berfikir lagi, sudah berlalu setengah jam dari mulai aku
membuka leptop ini. Akan tetapi belum ada satupun kata yang mampu kutuliskan
untuk memulai tugas ini. Ruang kamarku yang sempit ini membuatku jenuh untuk
berfikir, akhirnya aku cukupkan dan memilih untuk ke kamar mandi untuk mencari
inspirasi apa yang dapat aku tuliskan pada tugas kali ini. Ruangan di mana
imanjinasi muncul dan berkembang tak terduga.
Kuambil handuk dan pakaianku dan
berjalan menuju kamar mandiku. Tembok berwarna pink dan dengan lantainya
berwarna merah marun. Beserta gayung yang berwarna sama dengan tembok yang
serasi membuat mata ini terasa nyaman melihat kepaduan warna yang ada di dalam
kamar mandi itu. Tempat di mana aku biasa merenung dan mencari inspirasi di
dalamnya. Yaa meskipun terlihat agak aneh, tapi hal ini nyata bagiku.
Terlarut aku dalam imajinasiku
tentang tugas yang harus kubuat, tiba tiba aku terpikirkan untuk membuat cerpen
dengan tema kemanusiaan dan akan menuliskan beberapa sifat manusia yang akan
dituangkan di dalamnya.
Aku teringat tentang ibuku yang aku
anggap sebagai orang tua sekaligus sebagai guru dalam hidupku. Ia adalah
seseorang yang sangat istimewa dalam hidupku, tak akan ada yang bisa
menggantikan sosoknya dalam hidupku. Ia yang mencontohkan kepadaku sebagai
pribadi yang sabar dan tegar dalam menghadapi segala masalah masalah. Seseorang
yang bijaksana dalam mengambil keputusan dengan memandang berbagai sisi yang
tidak terpikirkan.
Suatu hari, aku menemaninya
berbelanja ke pasar Kelender, yaa tempat yang tidak asing bagiku, sebuah
pasar yang kotornya itu beeeeh… super-duper berantakan. Sekali kecipratan
becekannya, lebih baik langsung dicuci deh pokoknya. Karena baunya itu
akan menusuk hidung dan seakan merusak sistem kerja pernapasan.
Ketika itu aku berjalan dengan membawa
barang belanjaan milik ibuku. Biasa lah, namanya juga ibu-ibu, pasti
belanjaanya banyak banget dan sampai lupa waktu. dan setelah usai berbelanja,
Aku dan Ibuku kembali ke mobil dan menyalakan mesinnya. Akan tetapi aku terdiam
melihat sesuatu yang mengusik hatiku. Seorang tukang sapu yang sudah tua, duduk
bersandar di pagar pinggir jalan sedang berkeringat terlihat sangat lelah setelah
bekerja.
“Dhil,
kasihan tukang sapu itu, kayaknya capak sekali dia membersihkan jalanan
ini.” Sahut Ibuku yang ternyata juga memerhatikan bapak tua tersebut.
“Iya
Bu, ya tapi gimana ya? Orang mau disapu seperti apapun juga yang namanya
pasar pasti kotornya nggak abis-abis Bu. Wong yang buang sampah toh
juga gak ada yang peduli sama lingkungan sini kan?”
“iya,
tapi kasihan ya dhil. Banyak sekali orang di pasar ini tapi gak ada yang mau peduli
sama kebersihan pasar ini sendiri karena berpikir ‘nanti juga pasti ada yang
bersihin!’ jadi mereka pada seenaknya saja buang sampah sembarangan.”
“Ho’oh!
Jadi berasa juga ya bu mengena di hati mirisnya hidup di jalanan yang keras
begini. Kadang manusia suka berpikir apapun yang praktis tanpa memikirkan
dampaknya. Jadi kayak buang sampah sembarangan juga yang penting praktis gak
ribet nyari tempat sampah dulu.”
“Iya,
serba salah juga sih Dhil. Antara fasilitasnya umum yang kurang lengkap
dan nggak memadai, juga kesadaran manusianya yang kurang akan kebersihan
lingkungan. Penghasilan tukang sapu itu perbulan juga belum tentu cukup untuk
menafkahi keluarganya kan dhil.”
“Jakarta
keras bu, yang kaya makin kaya, yang miskin semakin miskin.”
“Yasudah,
ini Dhil. ‘sambil memberiku uang ceban ke tangan ku’ kamu pura jalan gih sana terus kasih
ini ke bapak itu. Ya nggak seberapa buat kita tapi lumayan buat dia yang
bekerja keras dibandingkan pengemis yang cuman minta-minta doang.”
“Yah,
si Ibu… Nggak enak aah Fadhil ngasihnya, ibu aja deh yaa?”
“Udah,
kamu aja. Ibu nggak tega ngasihnya. Bismillah aja buat sodaqoh
bilang aja ‘buat beli minum pak!’ Gitu dhil.”
“O,iya! Kenapa nggak tulis
tentang itu aja ya? Itu kayaknya tentang kemanusiaan deh, lumayan
juga kalau dituangkan dalam tugas cerpenku.” Tersadar aku dalam imajinasiku di
dalam kamar mandi. Akupun mulai berpikir dan mengembangkan ide tersebut dengan
tambahan cerita didalamnya. “Pasti ceritanya akan menjadi bagus dan memiliki
nilai moral di dalamnya.” Batinku di dalam hati.
Tak lama kemudian aku berpikir
untuk melanjutkan tugasku tentang menulis cerpen yang masih belum
terselesaikan. Namun, tiba-tiba teringat sesuatu, “Mengapa aku tidak menuliskan
cerita tentang cinta atau kasih sayang? Pasti hasilnya bakalan bagus. Kata teman-temanku
di kampus sih cerita tentang cinta yang aku jalani itu begitu seru
layaknya sinetron FTV. Selalu ada-ada aja tingkah laku yang kuperbuat sampai-sampai
pacarku sendiri menganggapku sebagai moodboster-nya. Kadang dalam satu
hari aku bisa membuatnya, marah, kesal, menangis, bahkan sampai bahagia yang
bikin orang lain iri dengan apa yang aku lakukan. Selalu buat warna warni
seperti pelangi yang indah di langit biru. Ciiaaah… Bukannya ingin sombong,
tapi aku memang dijuluki sebagai master masalah cinta-cintaan sejak
waktu SMP.” Imajinasiku pun mulai berlebihan memuji diriku sendiri, sampai-sampai
aku lupa untuk melanjutkan tugas cerpen yang harus aku kerjakan.
“Tok Tok Tok! Fadhil? Ngapain aja kamu di dalam kamar
mandi? Kok lama sekali?” Teriak Bapakku mengejutkanku yang masih
terbengong di dalam kamar mandi menjadi panik. Jantungku berdetak kaget serasa
mau copot karena terkejut karena teriakan itu. Bapak ku ialah orang yang
terlihat menyeramkan, dengan kumis tebal, suara serak, bermuka sangar dan badan
tegapnya membuat teman-temanku yang pernah datang ke rumahku menjadi trauma
untuk datang kembali. Wajar saja, Ia adalah seorang Polisi. Didikan militer disiplinnya,
dan ketegasannya di dalam rumah pun telah diajarkannya sejak aku kecil. Meskipun
begitu, dia adalah orang hebat dan baik serta menyayangi anak-anaknya di balik
rupanya dan ketegasannya itu.
“Iya pak, fadhilnya lagi mikir.” Jawabku dengan polosnya.
“Mikir kok di kamar mandi? Mikir ya di kamar gitu
lho di depan meja, bukan di kamar mandi. Cepetan udahan! Nanti masuk angina
kamunya!” Tegas suara bapakku dari depan pintu kamar mandi.
“iyaaa.” Suaraku memelas.
Akhirnya akupun segera
menyelesaikan aktivitasku di kamar mandi itu. Entah sudah berapa lama aku
berada di dalamnya, tapi percobaanku untuk mencari inspirasi di kamar mandi ini
memang berhasi. Tempat terfavoritku dimana aku bisa berkhayal dan berimajinasi mencari
inspirasi tanpa batas selain di atas kasur. Dan setelah aku selesai mandi serta
makan, aku pun mulai melanjutkan tugas menulis cerpenku yang telah lama
kutunda.
Jam sekarang telah menunjukkan pukul
sepuluh malam, aku pun mulai menuliskan apa yang telah aku dapat dari ruang
imajinasiku. Masalah tiba-tiba muncul kembali dalam benakku, “Jadi? Apa tema yang
akan aku gunakan? Apakah kedaerahan, kemanusiaan, atau kasih sayang? Ataukah aku akan memadukan dari
tema-tema yang ada?” Batinku terus bertanya-tanya membuat aku bimbang untuk
melanjutkannya.
Entah bagaimana hasil yang aku
tulis, aku tak bisa menilainya sendiri. Yang pasti tulisan cerpen yang akan aku
buat adalah karyaku sendiri, tanpa menjiplak dari karya orang lain. Sehingga aku
jelas harus bangga dengan apa yang aku tuliskan. “So, its no problem. Just try
it and you can do it!” Gayaku berkata sok Bahasa Inggris pada diri sendiri
mencoba membangkitkan rasa percaya diri dengan usaha yang telah aku lakukan.
curahan hati yang tertuang dalam cerita pendek. 1 thumb for u.
BalasHapusYang kiri aja ye, thumb yang kanan buat gue. :p
tapi yang penting kan menarik dan unik yas, hahaha tugasnya "Menulis Cerpen" dan judulnya pun "Menulis Cerpen" hahaha :p
Hapus