Aru
Sore hari di sebuah desa di tanah Jawa hidup sebuah keluarga yang terdiri
oleh seorang ibu dan 3 orang anaknya, memakai pakaian yang terlihat lusuh. Sore
itu di sawah dekat rumah.
“Bu, dimana parit yang
akan ku gunakan untuk memotong padi-padi ini?” Tanya sang Aru kepada ibunya.
Seorang anak sulung dari 3 bersaudara di keluarga ini.
“Di dekat situ nak, barusan ibu telah bawa dari rumah, coba periksa lagi di dekatmu.” Jawab sang Ibu
kepada anaknya.
Pada saat itu musim panen baru saja dimulai, keluarga ini yang baru saja
genap 1 tahun ayah mereka meninggal. Maka dari itu mereka harus bekerja ekstra
keras untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Tak kadang Aru sang
sulung yang bekerja lebih keras dibandingkan oleh adik-adiknya karena adiknya
yang lain masih sangat kecil untuk bekerja.
“Apa harus dipotong
semua padi yang ada disini bu?” Tanya Aru kembali kepada Ibunya.
“Iya nak yang ada di
depan mu dan semua itu kamu potong dan jangan lupa kamu tumpuk diujung sana.”
Jawab Ibu Wosa sedikit berteriak kepada anaknya yang berada di seberang jauh di
depannya.
“Nanti setelah kamu selesai potong, bersihkan padi itu menjadi gabah
dialat ini.” Lanjut Ibu Wosa menyuruh anaknya kembali seraya menunjuk alat
pemisah gabah padi.
Sedangkan kedua adiknya Rubi dan Woro bermain dengan lumpur, mereka cukup
bahagia bermain dengan lumpur kotor yang ada, tak sedikitpun terlihat beban
dari kedua muka bocah yang terlihat
belum mempunyai dosa itu. Sepertinya tak ada seorangpun yang menghiraukan
tentang keadaan kedua anak ini yang berlumuran lumpur. Karena sang kakak dan
ibu mereka sibuk bekerja dengan parit
mereka memotong batang-batang padi yang ada di sawah.
Sebelum kepergian sang ayah keluarga ini cukup bahagia dan berkecukupan,
hidup bahagia dengan kondisi yang lengkap tanpa kekurangan. Sang ayah ialah
seorang petani yang cukup mampu dan dikenal sebagai orang yang ulet. Hingga
tidak heran keluarga ini hidup bahagia meskipun tak kaya tetapi keluarga ini cukup
bahagia.
Sebelum peristiwa naas datang menimpa keluarga ini, waktu itu tepat
setelah panen pada tahun lalu, hendak pulang dari sawah bersama sepeda ontel kesayangan Ayah, ketika ayah
sedang dalam perjalanan pulang ke rumah, di jalan beliau tertabrak mobil dan
tewas di tempat. Sebelum kepergiannya sang ayah telah memberi amanat dan
berwasiat kepada sang istri.
“Bu tak terasa waktu
telah cepat berlalu, waktu itu sepertinya
kita masih berpacaran.” Bilang sang Ayah kepada istrinya.
“Iya yah, waktu tak
terasa begitu cepat bergulir dan sekarang kita terlah memiliki 3 orang anak
yang lucu-lucu, dan mulai beeranjak dewasa.” Jawab sang Istri kepada suaminya
dengan tersenyum.
“Bila suatu hari Ayah
telah tiada, tolong rawat anak baik-baik dan sekolahkan mereka sampai dengan
sarjana.” Jawab ayah.
Kata-kata itu seketika terlintas dari mulut sang suami. Dan ternyata
inilah yang menjadi kalimat terakhir Ayah sebelum kepulangannya ke rahmatullah.
Ibu pun sempat tak begitu menghiraukan perkataan suaminya tersebut dan
melanjutkan memasak, saat itu obrolan terjadi di dapur rumah.
“Ngomong apa ayah ini, nglantur
saja.” Jawab sang Istri kepada suaminya.
Dari situlah mungkin pesan terakhir sang suami kepada istrinya sebelum
terjadi peristiwa kecelakaan yang merenggut tulang punggung keluarga ini.
Hari pun berlalu Aru dan ketiga adiknya berangkat sekolah pagi ini, berboncengan dengan adiknya woro yang paling
kecil, dan Rubi mengayuh sepedanya sendiri.
“Selamat pagi anak-anak!” Sahut Ibu Guru kepada para
muridnya.
“Pagi buuu..” Dengan serentak
semua murid di kelas 6 menjawab.
“Bagaimana dengan tugas
yang ibu kasih kemarin, sudah kalian kerjakan?” Tanya kembali ibu guru kepada
muridnya.
“Sudah bu.” Jawab para
murid itu dengan semangatnya.
“Ayo kumpulkan biar Ibu periksa.” Jawab Ibu Guru, seraya
memanggil absen para muridnya.
Sekolah SD 1 Wonogiri ini merupakan salah satu sekolah yang ada di desa
Wonogiri, sekolah yang lain letaknya sangat jauh dari desa ini jadi terpaksalah
anak-anak yang berada di desa wonogiri bersekolah disini. Termasuk keluarga
alm. Pak Rono, Ayah dari Aru.
Matahari mulai menyingsing dan saat itu jam menunjukan pukul 15.00,
saatnya Aru dan adiknya berangkat mengaji di langgar dekat rumah. Kegiatan mengaji dilakukan sampai dengan pukul
17.00.
Semenjak kepergian sang Ayah, Aru dan kedua adiknya tetap melakukan
aktivitas seperti biasanya akan tetapi saat ini dia harus bekerja membantu
Ibunya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tak jarang setelah pulang sekolah
dan setelah berganti pakaian, Aru pergi ke sawah tak jarang hanya sekedar untuk
memeriksa keadaan sawah. Kini setiap sabtu dan minggu Aru pergi ke pasar untuk
berjualan kue yang dibuatkan oleh Ibunya sebelum ia pergi ke pasar. Ia
menjajakan barang dagangannya di sudut pasar.
“Dek, berapa harganya kue ini?” Tanya seorang Ibu kepada Aru.
“Seribu rupiah bu.”
Jawab Aru.
“Ibu beli lima buah ya
nak, tolong diplastikin.” Pinta Ibu
kepada Aru.
“Baik bu.” Jawab Aru
sambil tersenyum.
Tak jarang ada pula Ibu-ibu yang hanya sekedar bertanya tanpa membelinya,
tapi tak sedikit pula yang membeli kuenya entah mungkin karena iba atau memang
benar sedang menginginkan kue yang dijajakan Aru dan terkadang ada pula pembeli
yang masih menawar kuenya. Aru tidak malu berjualan beragam jenis kue hasil
dari Ibunya tersebut. Karena dia berpikir bahwa kalau bukan dia siapa lagi yang
akan membantu Ibunya dalam memenuhi kebutuhan keluarga.
Di rumah Ibu membuat rajutan berbentuk sebuah tas jinjing kerajinan ini Ibu buat untuk menambah pemasukan keluarga ini.
Setelah rajutan tas tersebut telah selesai dibuat, kemudian Ibu sendiri yang
menjualkannya di pasar Segarjaya.
Keteguhan anak 12 tahun itu terus tumbuh hingga Aru tumbuh dewasa dan
melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia, dan
mampu menyekolahkan adik-adiknya serta mengangkat keuangan keluarga ini. Ini
membuktikan bahwa kerja keras yang dibalut dengan tekad kuat mampu menghasilkan
sebuah kesuksesan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar