Ruang kelas lima sekolah dasar
negeri itu tampak mencekam hari ini. Ibu guru berjalan pelan di antara barisan
bangku-bangku dengan suara sepatunya yang mendominasi. Para murid menundukkan
kepala, tak ada suara-suara yang keluar dari mulut mereka. Pensil dan ballpoint
tidak tampak bergerak di atas kertas, hanya bermain di sela-sela jari tak
berbunyi. Mereka menunggu sebuah pertanyaan. Ibu guru yang cantik itu bersikap
galak hari ini. Minggu-minggu ini para guru bersikap semakin ganas. Kabar yang
tak jelas berhembus; hal ini dipicu oleh demo kenaikan gaji yang dilakukan
persatuan guru di Jakarta yang tak kunjung dikabulkan oleh wakil rakyat.
“Siapa yang belum mengerjakan?”
Suara Ibu guru memecah keheningan. Ia bertanya tentang sebuah pekerjaan rumah
membuat karangan yang diberikannya satu minggu yang lalu. Sebuah karangan
sederhana, satu lembar kertas kuarto. Di tepi bagian atas lembar-lembar kosong
berwarna putih itu tertulis.
TULISKAN BUKTI CINTA PADA IBUMU!
Dari perintah itulah para murid
harus membuat karangan satu lembar penuh. Bocah-bocah itu tidak mengangkat
tangan, tanda seakan ketiga puluh murid selesai mengerjakannya. Ibu guru masih
menyapukan pandangan dari ujung ke ujung kelas berulang kali. Saat itulah
seorang murid yang duduk di sayap sebelah kanan bangku paling belakang
mengangkat tangan dengan ragu-ragu, tetap dengan kepala menunduk. Sebatang
pensil tampak bergetar di ujung tangan yang tidak tegak. Telapak tangan yang
berkulit kasar dan ada satu bekas luka yang hanya tampak sebagai sebuah noda
hitam kecil di pergelangan tangan. Sebuah luka akibat sabit yang tidak dengan
sengaja menggores kulit.
“Tole! Kamu lagi, kenapa tidak
mengerjakan?” Wajah Tole menegang tanpa memberikan jawaban. Bocah yang tidak
naik dua kali itu tertunduk lesu seperti seorang terdakwa yang sudah dinyatakan
dihukum oleh sebuah tindakan yang tak mungkin disangkal. Tole memang residivis
kelas. Ia tidak naik dua kali. Nilainya hancur lebur berwarna merah hitam.
Separo merah, separo hitam. Meskipun ia pun tak tahu sejak kapan nilai lima
kebawah harus ditulis dengan tinta berwarna merah, bahkan semerah darah. Tole
pernah bertanya pada tukang kebun sekolah, “Kalau orang bilang sih merah itu
lambang cinta Tole,” Jawab Pak tukang kebun sekenanya. Tole hanya mengangguk
tanda kebingungan yang makin menumpuk. Teman-teman disekolahnya menyebut ia
anak bodoh. Diapun makin bingung kenapa harus merah.
“Saya tidak bisa mengarang Ibu!” Jawab Tole
pelan.
“Kalau kamu tidak mengumpulkan minggu depan, nilai kamu akan merah lagi!” Ibu guru mengancam.
“Kalau kamu tidak mengumpulkan minggu depan, nilai kamu akan merah lagi!” Ibu guru mengancam.
Pelajaran berakhir beberapa jam
kemudian. Dalam sekejab halaman sekolah telah penuh oleh murid-murid yang
bertebaran menuju pulang. Debu-debu mengepul kala anak-anak berbaju merah putih
berlarian tak beraturan menuju gerbang. Panas kemarau memaksa tanah-tanah tipis
yang kering di lapisan atas menjadi butiran butiran lembut terbang tanpa arah
membentuk turbulensi disekitar tubuh-tubuh kecil mereka. Wajah-wajah yang telah
layu tetap saja masih bisa tertawa, berteriak saling mengejek dan
berkejar-kejaran. Tole berlari cepat diantara kerumunan keramaian itu tak
peduli dengan seragamnya yang compang-camping, baju yang keluar dari celana
pendeknya. Ia terus berlari tanpa peduli teriakan gadis-gadis kecil yang dengan
tidak sengaja disenggolnya. Berlari terus menuju rumah.
“Makan dulu Le!” Ibunya menyeru.
“Sudah Bu! Sekarang aku mau berangkat dulu!”
“Sudah Bu! Sekarang aku mau berangkat dulu!”
Tole tidak lagi berpakain
merah-putih, melainkan memakai celana pendek usang warna coklat tak berikat
pinggang dan kaos oblong warna krem. Kaos yang telah dipenuhi oleh getah-getah
yang telah mengering hingga terkesan seperti noda-noda yang menempel pada kain
yang tak bisa dihilangkan. Bahkan dibagian lain, noda seperti bekas darah yang
menetes pada kain putih yang mengering menjadi coklat. Secara keseluruhan
noda-noda membentuk sebuah lukisan berpola abstrak. Pakaian khusus yang setiap
hari ia pergunakan untuk mencari rumput di pematang-pematang sawah. Disakunya
tersimpan satu pensil dan selembar kertas kuarto dari ibu guru. Ia berpikir
barangkali ia akan mendapatkan inspirasi untuk menulis dibawah rindangnya pohon
sehabis memotong rumput.
Siang itu ia susuri jalanan aspal
yang mulai berlubang menuju sawah di ujung kampung. Kaki-kaki kecilnya
melangkah tergesa-gesa hingga terkesan setengah berlari menghindari panas yang
dengan cepat merambat keujung otak memerintahkan syaraf merasakan sakit. Di
ujung kampung seorang pemuda menyapa.
“Mau kemana panas-panas gini Le?” Sakri
bertanya bersama kepulan asap rokok dari mulutnya.
“Biasa Lek..!. mencari rumput” jawab Tole sambil tetap berjalan. Tangan kanannya memegang sabit yang telah terasah. Tangan kirinya memegang karung bekas beras berwarna putih sebagai tempat rumputnya nanti.
“Biasa Lek..!. mencari rumput” jawab Tole sambil tetap berjalan. Tangan kanannya memegang sabit yang telah terasah. Tangan kirinya memegang karung bekas beras berwarna putih sebagai tempat rumputnya nanti.
Sakri sebenarnya sudah tahu bahwa
Tole dan juga anak-anak kecil di kampung itu memang rajin mencari rumput.
Hampir semua anak di kampung kecil itu, rajin membantu orang tua dengan
memelihara kambing atau sapi, kecuali Sakri. Meskipun tergolong miskin
dibanding kebanyakan orang, tapi Sakri memang pemalas sejak kecil. Sehingga ia
tetap menjadi pengangguran hingga umurnya hampir 17 tahun saat ini. Yang
dilakukannya hanyalah mabuk bir murahan dan nongkrong-nongkrong di pos kecil
yang terletak di tepian jalan antara kampung dan areal persawahan. Malamnya ia
bersama gengnya akan melakukan pemerasan kecil-kecilan atau tindakan pencurian
ayam-ayam di kampung tetangga.
“Mencari rumput untuk ibumu ya!?”
Sakri mengejek. Tole berlalu begitu saja tidak menjawab
Rupanya hari ini Tole tidak
beruntung. Ia salah memilih sawah. Itu adalah biasa sebab pencari rumput tidak
punya peta atau arah. Mereka hanya bermain degan firasat tentang arah mana yang
akan mereka tuju. Jika tepat, mereka akan mendapatkan rumput dengan kualitas
bagus secara cepat, jika tidak maka sebaliknya ia akan berjalan-jalan dari satu
tempat ke tempat yang lain. Begitulah Tole hari ini, maka sampai jam tiga sore
pun karungnya belum penuh dengan rumput padahal jadwal film kartun kesukaannya
yang diputar setiap hari kamis-hari ini- telah dimulai. Tuntutan karung penuh
tidak bisa ditawar, maka iapun harus rela melewatkan serial itu minggu ini.
“Kok lama Le mencari rumputnya?” Ibunya
menyapa. Tole memasuki rumah dengan wajah lusuh dan capai. Keringat masih
membasahi sebagaian besar tubuh dan juga kepalanya.
“Iya Ibu, akhir-akhir ini cari rumput agak susah, soalnya banyak orang yang pelihara kambing.” Tole menjawab dengan lesu.
“Iya Ibu, akhir-akhir ini cari rumput agak susah, soalnya banyak orang yang pelihara kambing.” Tole menjawab dengan lesu.
Ibunya tersenyum dibelainya
rambut anaknya yang basah oleh keringat. Dilepaskannya kaos yang juga basah
oleh keringat yang bercampur dengan bau rumput-rumput liar. Dengan kaos itu,
perlahan ia mengusap rambut Tole yang ujung-ujungnya memerah karena
ultraviolet. Belaian itu merasuk ke jiwa Tole setiap hari, menjadikan ia tak
pernah melawan perintah dari ibunya. Belaian itu adalah kasih sayang yang
mencandukannnya. Sesuatu yang tak tampak tetapi membuat hatinya selalu ingin
lebih. Lebih setiap hari, setiap waktu, dan juga setiap ruang. Seperti cinta
yang berasa kuat tapi tak pernah bisa ditulis, digambar ataupun diwarnai.
Hari ini adalah hari Sabtu, siang
ini matahari tampak malu menampakkan diri. Siang menjadi pekat dengan hawa yang
pengab. Tole menyusuri jalanan kampung dengan jalanan aspal yang masih
menghangat menuju sawah dengan tetap memainkan firasatnya. Awan-awan mengiringi
kegundahan dan pengab hatinya. Tadi pagi ia kembali dapat ancaman nilai merah,
kali ini dipelajaran menggambar. Sebab selama ini ia tak bisa menggambar dengan
warna yang tepat menurut gurunya. Ia akan mewarnai daun dengan warna biru,
pohon dengan warna merah dan ranting dengan warna hitam, bahkan langit
digambarnya berwarna pink. Sehingga teman-temannya selalu menggapnya anak yang
aneh. Gurunya menganggapnya tidak normal. Tetapi tentu ia tidak merasa. Hari
ini hatinya penuh dengan gundah dan seribu pertanyaan, termasuk soal warna
merah. Kenapa harus merah?.
“Hoi..! mau kemana Tole?” Sakri yang setiap
hari di pos itu menyapa dengan suara lantang.
“Biasa Lek..!” Jawab Tole singkat
“Mencari rumput untuk ibumu ya! Kambing itu belum dijual juga!” Tole tidak bersuara tapi tatap matanya yang biasanya menuju pusat bumi searah gravitasi kini berarah tepat di antara bola mata Sukri.
“Tole..Tole.. sekali-kali ibumu itu disuruh kesawah sendiri. Suruhlah makan rumput langsung di sana!”
“Biasa Lek..!” Jawab Tole singkat
“Mencari rumput untuk ibumu ya! Kambing itu belum dijual juga!” Tole tidak bersuara tapi tatap matanya yang biasanya menuju pusat bumi searah gravitasi kini berarah tepat di antara bola mata Sukri.
“Tole..Tole.. sekali-kali ibumu itu disuruh kesawah sendiri. Suruhlah makan rumput langsung di sana!”
Mendengar itu Tole tanpa kata
melangkah ke arah Sakri yang berdiri beberapa meter dengan pelan. Sekuat tenaga
ia arahkan sabit yang mengkilap tajam ke perut Sakri secara datar. Sakri kaget,
terdiam, terhipnotis, tak bergerak. Sepersekian detik sabit berarah vertikal
dari kepala menuju dada. Sakri tersadar mencoba mengelak dengan tangannya tapi
tetap saja tangannya adalah daging yang lemah dan tetap kalah dengan tajamnya
sabit yang baru diasah. Belum sempat Sakri merasakan sakit ataupun berteriak,
sabit sudah mendarat bertubi tubi untuk kesekian kali dari berbagai arah yang
tak terduga. Sakri jatuh, sedang Tole makin membabi buta. Muka, leher, dada,
telah megalirkan darah merah segar yang sebagain telah muncrat memercik ke kaos
dan celana Tole. Dalam posisi itu Tole belum juga berhenti entah sudah berapa
tebasan hingga akhirnya Tole merasa lemah dan berkeringat. Sakri sudah tak
bernyawa lagi.
Selang kemudian iapun berlari
sekuat tubuhnya dengan sabit berlumuran darah ditangan kanan. Ia berlari cepat
secepat menebaskan sabit pada rumput-rumput liar. Tubuhnya streamline memecah
udara tak bergerak berbau sawah, seperti peluru keluar dari lubang senapan. Ia
bersama firasat pencari rumputnya terus berlari, turun naik pematang sawah,
meloncat diantara batu-batu menyebrang sungai, dan masuk diantara pohon-pohon
rindang. Hingga tubuhnya melemah entah dimana ia kini. Hutan kian sunyi,
tubuhnya tergolek dibawah pohon berdaun lebat. Tangannya kosong bernoda darah
yang telah kering dengan sabit yang tak ia sadari entah terjatuh dimana. Ia
rogoh kantung celananya, pensil yang selalu ia bawapun telah hilang entah
kemana. Yang tersisa adakah kertas kuarto dengan lipatan empat. Dibukanya
kertas itu, “TULISKAN BUKTI CINTA PADA IBUMU!” masih tetap tertulis disana.
Hanya saja kini di bawah tulisan itu ada noda darah tak berpola berwarna merah
memenuhi hampir semua halaman. Ia ingin menuliskan bukti cinta saat ini, tetapi
ia tersadar pensilnya telah menghilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar