Rabu, 23 April 2014

Cerpen: Untuk Sang Malaikatku



Untuk Sang Malaikatku
Oleh: Eva Hardini Fauziah (1112046100009)



“Bagaimana apakah kamu sudah mempersiapkan semuanya?”
“Sudah Yah. Aku yakin kali ini aku pasti berhasil,” jawabku percaya diri.
“Aku sangat bangga sekali padamu Nara. Kau telah berusaha sekuat tenaga dan pikiranmu untuk melakukan ini. Tapi jangan lupa, kau juga harus memperhatikan dirimu sendiri. Lihat, kau sudah besar sekarang. Sudah waktunya kau memiliki seorang pendamping,” ucap laki-laki berumur 48 tahun yang hendak menyeruput secangkir kopi hangat ditangannya.
“Iya ayah, aku janji setelah semua ini selesai, aku pasti akan melakukannya,” jawabku sambil tersenyum. “Sepertinya aku harus pergi, aku harus bersiap-siap untuk sidang besok.”
“Kenapa kau buru-buru sekali? Padahal aku masih sangat merindukanmu Nara. Ya sudah, pulanglah, persiapkan semuanya dengan matang. Besok aku pasti hadir dipersidangan,” balas ayah.
“Baiklah, aku pergi dulu Yah,” ucapku sambil mencium tangannya.
Kulangkahkan kaki keluar dari sebuah rumah bergaya minimalis dengan taman kecil yang indah di depannya. Kututup pagar rumah dengan perlahan dan kuarahkan pandanganku ke sebelah kiri bangunan rumah ini. Sekitar 7 meter dari sini, tampak sebuah rumah sederhana yang terlihat kosong. Walaupun  tidak berpenghuni namun rumah itu masih tertata rapi. Seketika dadaku terasa sesak, menyulitkanku untuk bernafas. Bulir-bulir air mata mulai memenuhi setiap sudut mataku. Aku mulai menangis, namun aku menahannya. Kenangan itu kembali terlintas dikepalaku.
 *****
“Ayah, Nara sayang ayah,” ucapku manja.
“Ayah juga menyayangimu Nara. Nara harus sekolah yang rajin supaya menjadi anak yang pintar ya,” jawab ayah yang berbaring di sampingku.
Itulah pesan yang sering ayah ucapkan padaku. Ayahku berbeda dengan yang lain, walaupun dia keterbelakangan mental namun ia ayah yang sangat hebat bagiku. Hanya ayah satu-satunya yang aku miliki di dunia ini dan aku tidak ingin kehilangannya. Ibuku sudah lama meninggal. Sampai-sampai aku tidak tahu bagaimana paras cantiknya dia. Hanya dari selembar foto jadul aku bisa melihatnya. Ya, ibuku meninggal ketika melahirkan aku.
Kami tinggal berdua disebuah rumah kecil yang berukuran 6x6 m2. Hanya ada satu kamar tidur, kamar mandi dan ruang tamu yang sempit. Kami tidur di kasur yang sudah tidak empuk lagi. Walaupun kami hidup sederhana, tapi kami tetap merasa bahagia.
“Ayah, besok adalah hari ulang tahunku. Aku ingin pergi jalan-jalan. Apakah ayah mau menemaniku pergi?” Pintaku sambil memeluknya.
Ayah balas memelukku dan berkata, ”anak ayah sekarang sudah semakin besar. Nara semakin cantik dan pintar. Kalau besok Nara ingin pergi jalan-jalan, ayah akan temani. Nara bisa makan makanan yang enak sepuasnya.”
“Baiklah, aku akan makan makanan yang enak dan mahal,” jawabku sambil tertawa.
Keesokan harinya kami pun pergi ke kota. Jarang sekali kami pergi ke sana karena jaraknya lumayan jauh dari rumah. Aku dibelikan makanan enak seperti yang ayah katakan padaku semalam. Setelah selesai makan kami kembali berjalan-jalan menyusuri taman kota. Menghabiskan waktu berdua dengan ayah begitu menyenangkan. Rasa lelah pun menghinggapi kami berdua. Akhirnya kami duduk disebuah bangku putih panjang di sisi taman.
“Nara haus Yah, Nara mau beli minuman dulu. Ayah tunggu di sini ya, jangan pergi kemana-mana,” ucapku pada ayah.
“Ya sudah, pergilah. Ayah akan menunggumu disini,” jawab ayah sambil tersenyum.
Aku pergi  membeli minuman. Tak henti-hentinya aku menengok ke belakang, mengarahkan pandanganku pada ayah. Dari kejauhan ayah melambaikan tangan padaku dan aku membalasnya.
Ketika aku kembali, aku kaget. Bangku itu kosong. Rasa panik dan khawatir langsung menghampiriku. Aku berlari kesana-kemari mencari ayah. Namun aku tak menemukannya. Aku mulai putus asa dan menangis. Dari kejauhan kulihat ada sebuah kerumunan, tanpa berpikir lagi aku langsung berlari menuju kerumunan itu. Sampai di situ, aku melihat ayah dan dua pria berbadan besar yang menggunakan seragam memegang tangan ayah dengan sangat kuat. Disampingnya ada gadis kecil yang terbaring di jalanan dengan baju yang sedikit terbuka dan luka yang mengalirkan darah segar dari kepalanya. Ayahku berteriak dan mencoba melepaskan diri, namun tenaga kedua pria itu lebih kuat dari ayah. Aku menangis sekencang-kencangnya, teriak memanggil ayah yang dibawa paksa menuju mobil patroli. Ayah melihatku, dan ia teriak kepadaku, “pulanglah Nara, ayah akan segera kembali.”
Aku menangis dan terus berteriak memanggil ayah, sampai mobil patroli menghilang di pertigaan jalan.
Aku menunggu di rumah. Memandang keluar dari sebuah jendela dengan kayu yang sudah mulai keropos. Sesekali aku keluar, berharap ayah akan pulang ketika aku membukakan pintu. Sudah 3 hari ayah tidak pulang dan selama itu pula aku tidak beranjak sedikit pun dari rumah. Bahkan aku tidak pergi ke sekolah.
Keesokan harinya, ada seorang laki-laki muda yang bertamu ke rumahku. Wajah pria berkacamata itu tidak asing lagi bagiku. Dia adalah Om Rian, tetangga yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Om Rian cukup dekat denganku dan Ayah. Dia tetangga yang baik dan sering berbagi makanan dengan kami.
“Nara, ada apa denganmu? Kenapa wajahmu tampak sedih? Dari kemarin saya perhatikan, kamu terus mondar-mandir di depan rumah, seperti sedang menunggu seseorang. Dimana ayahmu?” Tanya Om Rian panjang lebar.
Aku memegang tangan om Rian, “Om, maukah Om menemani Nara pergi ke suatu tempat? Om punya KTP kan? Tanyaku.
Om Rian tampak bingung dengan pertanyaanku. Lalu aku menjelaskan padanya bahwa 3 hari yang lalu ayah dibawa paksa oleh dua orang pria berseragam ke mobil patrol dan sampai sekarang ayah belum pulang. Om Rian kaget mendengar ceritaku dan dia berjanji akan menemaniku untuk bertemu ayah.
Pagi itu aku dan Om Rian menuju  tempat dimana ayahku berada. Aku bahagia karena aku akan bertemu dengan ayah. Aku dan Om Rian duduk di ruang tunggu. Tidak berapa lama ayahku muncul dari balik pintu. Ingin rasanya aku berlari memeluk ayah, namun ada sebuah tembok kaca yang menghalangi sehingga kami berdua hanya bisa berbicara lewat lubang-lubang kecil ditembok kaca itu.
“Nara,” teriak ayah histeris.
“Ayah, apakah ayah baik-baik saja?” Tanyaku khawatir.
“Ayah baik-baik saja Nara. Kenapa anak ayah kelihatan kurus? Apakah kau tidak makan teratur?” tanya ayah kembali.
Mataku berkaca-kaca dan mulai menangis. Masih sempat-sempatnya dia mengkhawatirkanku, padahal sebenarnya ayah pasti sangat tertekan tinggal di sini. Terlihat dari wajahnya yang memar-memar seperti sudah dipukuli.
Di belakang Om Rian bertanya kepada salah seorang petugas tentang kasus ayah. Om Rian terkejut saat mendengar jawaban dari petugas itu. Ayahku dituduh terlibat kasus penculikan, pembunuhan dan perkosaaan anak dibawah umur. Ditambah lagi gadis kecil yang meninggal itu adalah anak dari seorang Jenderal Polisi. “Sepertinya hukuman mati adalah hukuman yang pantas buat ayahku,” jawab petugas tadi. “Sungguh malang nasibmu Nara,” bisik Om Rian dalam hati.
“Nara percaya ayah, ayah bukan orang jahat. Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada hakim agar ayah dibebaskan dari semua tuduhan,” kataku meyakinkan ayah.
“Baiklah ayah akan menceritakan semuanya,  yang sebenarnya terjadi. Nara tunggu ayah, ayah pasti akan pulang secepatnya,” jawab ayah.
Kesempatan kami untuk berbincang-bincang pun habis. Aku tidak ingin berpisah dengan ayah, rasanya aku ingin ditahan saja agar aku bisa hidup bersama ayah. Aku kembali menangis, namun Om Rian cepat menghiburku.  
Ayahku orang yang baik dan aku yakin itu. Tuduhan-tuduhan itu salah jika dialamatkan padanya. Begitupun dengan teman-teman satu sel ayah. Mereka tidak percaya jika ayah melakukan semua kejahatan itu. Bagaimana mungkin seorang yang keterbelakangan mental bisa melakukan kejahatan seperti itu. Kelakukan ayah di dalam sel tahanan pun tidak menunjukan bahwa dia orang jahat. Mereka mengira bahwa ayahku adalah korban, karena itu mereka sepakat membantu ayah supaya ayah bebas dari semua tuduhan. Mereka mengajari ayah bagaimana ia harus menjawab setiap pertanyaan yang akan diberikan oleh hakim dipersidangan.
Setelah semua persiapan itu dilakukan, tepat 1 jam sebelum sidang. Seorang laki-laki berbadan tegap menghampiri ayah. Dia membawa ayah pada suatu ruangan. Disana dia memukuli ayah tanpa ampun hingga babak belur dan memaksa ayah supaya mengakui semua kejahatan yang tidak pernah dilakukannya.  Awalnya ayah menolak, namun laki-laki itu mengancam akan melukaiku jika ayah menolaknya. Ancaman itu membuat ayah takut, dan akhirnya menuruti semua keinginannya.
Saat sidang berlangsung, ayah tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya menerima semua tuduhan-tuduhan yang ditujukan padanya. Semua orang yang hadir dipersidangan itupun kaget mendengarnya. Itu semua karena ancaman sang jenderal. Hakim mengetuk palu dan menjatuhi hukuman mati pada ayah atas kesalahan yang tidak pernah dilakukannya. Ruang sidang seketika menjadi ramai, karena merasa ada keganjilan dalam jalannya sidang tadi. Orang-orang banyak yang protes, merasa tidak setuju dengan putusan hakim tersebut. Aku hanya bisa menangis dan memeluk Om Rian yang menemaniku datang ke persidangan.                                                                     
*****
Hari itu, saat aku pergi untuk membeli minuman, diam-diam ayah pergi mencari balon sebagai hadiah ulang tahunku. Ketika ayah melewati lorong yang sepi, ayah melihat seorang gadis kecil jatuh dan tergeletak dijalanan. Ayah segera menghampirinya, hendak meolong gadis kecil yang malang itu. Ayah membuka kancing baju gadis kecil itu dan melonggarkan ikatan pinggangnya. Dia menekan-nekan dada gadis kecil itu dan memberikan pertolongan pertama napas buatan. Tak lama kemudian, muncul baby siter gadis kecil itu yang sejak tadi mencarinya. Dia menjerit melihat apa yang dilihat dan terjadi dihadapannya. Orang-orang mulai berdatangan dan mereka salah paham terhadap ayahku.
*****
Setelah sidang putusan itu, setiap hari sepulang sekolah aku rajin mengunjungi ayah di tahanan. Aku tidak mau sedikit pun melewatkan kesempatan untuk bertemu dengan ayah, karena aku tahu waktunya tinggal sebentar lagi.
15 Maret 1997, seperti biasa aku pergi mengunjungi ayah. Setelah beberapa menit menunggu akhirnya ayah keluar dikawal oleh seorang petugas. Waktu kami berbincang-bincang hanya 15 menit. Namun hari itu kami tidak hanya berbincang-bincang tapi kami diizinkan untuk bertemu langsung. Tanpa komando aku langsung memeluk ayah.
“Bagaimana kabar ayah?” Tanyaku.
“Ayah baik-baik saja Nara. Bagaimana denganmu? apakah kamu makan dengan teratur?”
“Nara sehat ayah. Om rian selalu mengirimkan makanan ke rumah,” jawabku.
“Nara anak ayah yang cantik, ingat pesan ayah, Nara harus selalu jaga kesehatan, rajin sekolah supaya menjadi anak yang pintar. Oke? Ayah bangga jiika kelak Nara menjadi orang yang sukses,” ucap ayah dengan mata berkaca-kaca.
Tanpa kusadari air mata jatuh membasahi pipiku. Kata-kata yang ayah ucapakan, seperti sebuah kata perpisahan.
“Aku janji ayah, Nara akan rajin sekolah supaya menjadi orang sukses. Nara ingin mempunyai banyak uang supaya Nara dan ayah bisa pergi jalan-jalan bersama,”
“Nara jangan menangis. Ayo, nanti kita pergi liburan bersama. Hanya Ayah dan Nara. Ayah sayang sekali sama Nara,” jawab ayah dengan sesekali mengusap air mata yang hendak jatuh.
15 menit berlalu, masuk dua orang petugas hendak membawa ayah kembali. Namun hari itu, ayah tidak dibawa kembali ke sel tahanan tetapi ayah akan menghadapi hukumannya, ayah akan dieksekusi mati. Sungguh saat itu aku tidak ingin sekali berpisah dengan ayah. Aku ingin terus ada disampingnya. Aku menangis begitu keras, menggedor  tembok kaca yang memisahkan aku dan ayah. Aku terus memanggil-manggil ayah. Ayah juga begitu, tidak mau dibawa masuk oleh petugas. Hatiku benar-benar sakit sekali, ketika ayah dibawa pergi. Ingin aku mencegah petugas itu, namun apa yang bisa dilakukan anak berusia 6 tahun sepertiku. Ayah terus berteriak memanggil namaku. Suara itupun perlahan-lahan mulai menghilang. Tiba-tiba badanku terasa lemas, kepalaku pusing, nafasku sesak, pandanganku kabur dan kemudian semuanya menjadi gelap.  Aku pingsan dan terjatuh.
*****
“Ini adalah hari yang sangat aku tunggu-tunggu dalam hidupku. Aku harus melakukannya dengan baik, ini semua untuk ayahku,” bisikku dalam hati.
Orang-orang mulai berdatangan untuk mengikuti persidangan. Tampak teman-teman satu sel ayah dan Om Rian beserta istrinya sudah hadir. Sepeninggal ayah, aku diangkat menjadi anak oleh Om Rian karena ia dan istrinya sangat menginginkan seorang putri. Aku dibesarkan dan disekolahkan oleh Om Rian hingga aku lulus kuliah jurusan hukum di salah satu Universitas terkemuka di Jakarta. Sekarang ia adalah ayahku.
Tak berapa lama, sidang pun dimulai. Hakim membuka persidangan, kemudian mempersilakan jaksa untuk menyampaikan tuntutannya. Setelah jaksa selesai menyampaikan tuntutannya, hakim memberikan kesempatan kepadaku untuk menyampaikan pembelaan.
Kutarik nafas yang dalam dan berdiri dengan tenang. “Yang Mulia, dalam kasus penculikan, pembunuhan dan perkosaan yang  terjadi 17 tahun silam dan ditujukan kepada terdakwa Tuan Heri Prasetyo, polisi hanya mengambil keterangan dari saksi dan menyangkal semua penolakan terdakwa. Sementara saksi yang berada di lokasi kejadian tidak mengetahui dengan jelas kronologis di TKP. Pernyataan yang disampaikan terdakwa itu dibawah tekanan. Ada seorang saksi yang mengetahuinya. Korban meninggal bukan karena pembunuhan yang dituduhkan kepada terdakwa melainkan ia meninggal karena cedera oksipital namun itu juga diabaikan. Yang Mulia, penyelidikan yang dilakukan terhadap terdakwa sudah menyimpang dengan menghilangkan prinsip dugaan tak bersalah. Mereka memanfaatkan kecacatan mental seseorang dan rasa cinta kasih kepada putrinya sehingga dia terpaksa mengakui semua perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Mereka melakukan itu demi keuntungan mereka. Untuk menghapus tuduhan palsu atas terdakwa Tuan Heri Prasetyo, bukan, untuk sang malaikatku aku ada disini.” Air mataku mulai menetes. “Sebagai pernyataan terakhirku, aku mohon Yang Mulia maafkan semua kesalahan ayahku.” Tangisku pecah dan semua orang yang berada di dalam ruangan ikut terharu dan meneteskan air mata.
Setelah hakim beruding mempertimbangkan pembelaan yang aku sampaikan, tibalah saat yang paling menentukan. Hakim mulai berbicara, “setelah tadi mendengar pernyataan dari pembela, berdasarkan kesaksian tidak ada bukti yang cukup atas tuduhan penculikan, pembunuhan dan perkosaan yang dilakukan terdakwa terhadap Misyeila Nindia. Pengadilan mengembalikan dan membatalkan hukuman mati atas terdakwa Tuan Heri Prasetyo dan melakukan penyelidikan ulang. Terdakwa dinyatakan tidak bersalah.” Tok…tok…tok.
Air mata mengalir deras membasahi pipiku. Air mata bahagia karena aku telah berhasil membersihkan nama ayahku kembali. Om Rian dan istrinya langsung menghampiriku dan memelukku. Kami semua menangis dalam kebahagiaan. “Ayah, Nara persembahkan ini untukmu. Semoga kau hidup damai di alam sana. Nara mencintai ayah, selamanya.”












                                                                                                                                   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar