Untuk
Sang Malaikatku
Oleh: Eva Hardini
Fauziah (1112046100009)
“Bagaimana apakah kamu sudah mempersiapkan
semuanya?”
“Sudah Yah. Aku yakin kali ini aku pasti berhasil,”
jawabku percaya diri.
“Aku sangat bangga sekali padamu Nara. Kau
telah berusaha sekuat tenaga dan pikiranmu untuk melakukan ini. Tapi jangan
lupa, kau juga harus memperhatikan dirimu sendiri. Lihat, kau sudah besar
sekarang. Sudah waktunya kau memiliki seorang pendamping,” ucap laki-laki
berumur 48 tahun yang hendak menyeruput secangkir kopi hangat ditangannya.
“Iya ayah, aku janji setelah semua ini selesai,
aku pasti akan melakukannya,” jawabku sambil tersenyum. “Sepertinya aku harus
pergi, aku harus bersiap-siap untuk sidang besok.”
“Kenapa kau buru-buru sekali? Padahal aku
masih sangat merindukanmu Nara. Ya sudah, pulanglah, persiapkan semuanya dengan
matang. Besok aku pasti hadir dipersidangan,” balas ayah.
“Baiklah, aku pergi dulu Yah,” ucapku sambil
mencium tangannya.
Kulangkahkan kaki keluar dari sebuah rumah
bergaya minimalis dengan taman kecil yang indah di depannya. Kututup pagar
rumah dengan perlahan dan kuarahkan pandanganku ke sebelah kiri bangunan rumah
ini. Sekitar 7 meter dari sini, tampak sebuah rumah sederhana yang terlihat
kosong. Walaupun tidak berpenghuni namun
rumah itu masih tertata rapi. Seketika dadaku terasa sesak, menyulitkanku untuk
bernafas. Bulir-bulir air mata mulai memenuhi setiap sudut mataku. Aku mulai
menangis, namun aku menahannya. Kenangan itu kembali terlintas dikepalaku.
*****
“Ayah, Nara sayang ayah,” ucapku manja.
“Ayah juga menyayangimu Nara. Nara harus sekolah
yang rajin supaya menjadi anak yang pintar ya,” jawab ayah yang berbaring di
sampingku.
Itulah pesan yang sering ayah ucapkan padaku.
Ayahku berbeda dengan yang lain, walaupun dia keterbelakangan mental namun ia
ayah yang sangat hebat bagiku. Hanya ayah satu-satunya yang aku miliki di dunia
ini dan aku tidak ingin kehilangannya. Ibuku sudah lama meninggal.
Sampai-sampai aku tidak tahu bagaimana paras cantiknya dia. Hanya dari selembar
foto jadul aku bisa melihatnya. Ya, ibuku meninggal ketika melahirkan aku.
Kami tinggal berdua disebuah rumah kecil yang
berukuran 6x6 m2. Hanya ada satu kamar tidur, kamar mandi dan ruang
tamu yang sempit. Kami tidur di kasur yang sudah tidak empuk lagi. Walaupun
kami hidup sederhana, tapi kami tetap merasa bahagia.
“Ayah, besok adalah hari ulang tahunku. Aku
ingin pergi jalan-jalan. Apakah ayah mau menemaniku pergi?” Pintaku sambil
memeluknya.
Ayah balas memelukku dan berkata, ”anak ayah
sekarang sudah semakin besar. Nara semakin cantik dan pintar. Kalau besok Nara
ingin pergi jalan-jalan, ayah akan temani. Nara bisa makan makanan yang enak
sepuasnya.”
“Baiklah, aku akan makan makanan yang enak dan
mahal,” jawabku sambil tertawa.
Keesokan harinya kami pun pergi ke kota. Jarang
sekali kami pergi ke sana karena jaraknya lumayan jauh dari rumah. Aku
dibelikan makanan enak seperti yang ayah katakan padaku semalam. Setelah
selesai makan kami kembali berjalan-jalan menyusuri taman kota. Menghabiskan
waktu berdua dengan ayah begitu menyenangkan. Rasa lelah pun menghinggapi kami
berdua. Akhirnya kami duduk disebuah bangku putih panjang di sisi taman.
“Nara haus Yah, Nara mau beli minuman dulu.
Ayah tunggu di sini ya, jangan pergi kemana-mana,” ucapku pada ayah.
“Ya sudah, pergilah. Ayah akan menunggumu
disini,” jawab ayah sambil tersenyum.
Aku pergi membeli minuman. Tak henti-hentinya aku menengok
ke belakang, mengarahkan pandanganku pada ayah. Dari kejauhan ayah melambaikan
tangan padaku dan aku membalasnya.
Ketika aku kembali, aku kaget. Bangku itu
kosong. Rasa panik dan khawatir langsung menghampiriku. Aku berlari
kesana-kemari mencari ayah. Namun aku tak menemukannya. Aku mulai putus asa dan
menangis. Dari kejauhan kulihat ada sebuah kerumunan, tanpa berpikir lagi aku
langsung berlari menuju kerumunan itu. Sampai di situ, aku melihat ayah dan dua
pria berbadan besar yang menggunakan seragam memegang tangan ayah dengan sangat
kuat. Disampingnya ada gadis kecil yang terbaring di jalanan dengan baju yang
sedikit terbuka dan luka yang mengalirkan darah segar dari kepalanya. Ayahku
berteriak dan mencoba melepaskan diri, namun tenaga kedua pria itu lebih kuat
dari ayah. Aku menangis sekencang-kencangnya, teriak memanggil ayah yang dibawa
paksa menuju mobil patroli. Ayah melihatku, dan ia teriak kepadaku, “pulanglah
Nara, ayah akan segera kembali.”
Aku menangis dan terus berteriak memanggil
ayah, sampai mobil patroli menghilang di pertigaan jalan.
Aku menunggu di rumah. Memandang keluar dari
sebuah jendela dengan kayu yang sudah mulai keropos. Sesekali aku keluar, berharap
ayah akan pulang ketika aku membukakan pintu. Sudah 3 hari ayah tidak pulang
dan selama itu pula aku tidak beranjak sedikit pun dari rumah. Bahkan aku tidak
pergi ke sekolah.
Keesokan harinya, ada seorang laki-laki muda
yang bertamu ke rumahku. Wajah pria berkacamata itu tidak asing lagi bagiku.
Dia adalah Om Rian, tetangga yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Om Rian
cukup dekat denganku dan Ayah. Dia tetangga yang baik dan sering berbagi
makanan dengan kami.
“Nara, ada apa denganmu? Kenapa wajahmu tampak
sedih? Dari kemarin saya perhatikan, kamu terus mondar-mandir di depan rumah,
seperti sedang menunggu seseorang. Dimana ayahmu?” Tanya Om Rian panjang lebar.
Aku memegang tangan om Rian, “Om, maukah Om
menemani Nara pergi ke suatu tempat? Om punya KTP kan? Tanyaku.
Om Rian tampak bingung dengan pertanyaanku.
Lalu aku menjelaskan padanya bahwa 3 hari yang lalu ayah dibawa paksa oleh dua
orang pria berseragam ke mobil patrol dan sampai sekarang ayah belum pulang. Om
Rian kaget mendengar ceritaku dan dia berjanji akan menemaniku untuk bertemu
ayah.
Pagi itu aku dan Om Rian menuju tempat dimana ayahku berada. Aku bahagia
karena aku akan bertemu dengan ayah. Aku dan Om Rian duduk di ruang tunggu.
Tidak berapa lama ayahku muncul dari balik pintu. Ingin rasanya aku berlari
memeluk ayah, namun ada sebuah tembok kaca yang menghalangi sehingga kami
berdua hanya bisa berbicara lewat lubang-lubang kecil ditembok kaca itu.
“Nara,” teriak ayah histeris.
“Ayah, apakah ayah baik-baik saja?” Tanyaku
khawatir.
“Ayah baik-baik saja Nara. Kenapa anak ayah
kelihatan kurus? Apakah kau tidak makan teratur?” tanya ayah kembali.
Mataku berkaca-kaca dan mulai menangis. Masih
sempat-sempatnya dia mengkhawatirkanku, padahal sebenarnya ayah pasti sangat
tertekan tinggal di sini. Terlihat dari wajahnya yang memar-memar seperti sudah
dipukuli.
Di belakang Om Rian bertanya kepada salah seorang
petugas tentang kasus ayah. Om Rian terkejut saat mendengar jawaban dari
petugas itu. Ayahku dituduh terlibat kasus penculikan, pembunuhan dan
perkosaaan anak dibawah umur. Ditambah lagi gadis kecil yang meninggal itu
adalah anak dari seorang Jenderal Polisi. “Sepertinya hukuman mati adalah
hukuman yang pantas buat ayahku,” jawab petugas tadi. “Sungguh malang nasibmu
Nara,” bisik Om Rian dalam hati.
“Nara percaya ayah, ayah bukan orang jahat.
Ceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada hakim agar ayah dibebaskan dari
semua tuduhan,” kataku meyakinkan ayah.
“Baiklah ayah akan menceritakan semuanya, yang sebenarnya terjadi. Nara tunggu ayah, ayah
pasti akan pulang secepatnya,” jawab ayah.
Kesempatan kami untuk berbincang-bincang pun
habis. Aku tidak ingin berpisah dengan ayah, rasanya aku ingin ditahan saja
agar aku bisa hidup bersama ayah. Aku kembali menangis, namun Om Rian cepat
menghiburku.
Ayahku orang yang baik dan aku yakin itu. Tuduhan-tuduhan
itu salah jika dialamatkan padanya. Begitupun dengan teman-teman satu sel ayah.
Mereka tidak percaya jika ayah melakukan semua kejahatan itu. Bagaimana mungkin
seorang yang keterbelakangan mental bisa melakukan kejahatan seperti itu. Kelakukan
ayah di dalam sel tahanan pun tidak menunjukan bahwa dia orang jahat. Mereka
mengira bahwa ayahku adalah korban, karena itu mereka sepakat membantu ayah
supaya ayah bebas dari semua tuduhan. Mereka mengajari ayah bagaimana ia harus
menjawab setiap pertanyaan yang akan diberikan oleh hakim dipersidangan.
Setelah semua persiapan itu dilakukan, tepat 1
jam sebelum sidang. Seorang laki-laki berbadan tegap menghampiri ayah. Dia
membawa ayah pada suatu ruangan. Disana dia memukuli ayah tanpa ampun hingga
babak belur dan memaksa ayah supaya mengakui semua kejahatan yang tidak pernah
dilakukannya. Awalnya ayah menolak,
namun laki-laki itu mengancam akan melukaiku jika ayah menolaknya. Ancaman itu
membuat ayah takut, dan akhirnya menuruti semua keinginannya.
Saat sidang berlangsung, ayah tidak bisa
berbuat apa-apa. Dia hanya menerima semua tuduhan-tuduhan yang ditujukan padanya.
Semua orang yang hadir dipersidangan itupun kaget mendengarnya. Itu semua
karena ancaman sang jenderal. Hakim mengetuk palu dan menjatuhi hukuman mati
pada ayah atas kesalahan yang tidak pernah dilakukannya. Ruang sidang seketika
menjadi ramai, karena merasa ada keganjilan dalam jalannya sidang tadi.
Orang-orang banyak yang protes, merasa tidak setuju dengan putusan hakim
tersebut. Aku hanya bisa menangis dan memeluk Om Rian yang menemaniku datang ke
persidangan.
*****
Hari itu, saat aku pergi untuk membeli
minuman, diam-diam ayah pergi mencari balon sebagai hadiah ulang tahunku.
Ketika ayah melewati lorong yang sepi, ayah melihat seorang gadis kecil jatuh
dan tergeletak dijalanan. Ayah segera menghampirinya, hendak meolong gadis
kecil yang malang itu. Ayah membuka kancing baju gadis kecil itu dan
melonggarkan ikatan pinggangnya. Dia menekan-nekan dada gadis kecil itu dan
memberikan pertolongan pertama napas buatan. Tak lama kemudian, muncul baby
siter gadis kecil itu yang sejak tadi mencarinya. Dia menjerit melihat apa yang
dilihat dan terjadi dihadapannya. Orang-orang mulai berdatangan dan mereka
salah paham terhadap ayahku.
*****
Setelah sidang putusan itu, setiap hari
sepulang sekolah aku rajin mengunjungi ayah di tahanan. Aku tidak mau sedikit
pun melewatkan kesempatan untuk bertemu dengan ayah, karena aku tahu waktunya
tinggal sebentar lagi.
15 Maret 1997, seperti biasa aku pergi
mengunjungi ayah. Setelah beberapa menit menunggu akhirnya ayah keluar dikawal
oleh seorang petugas. Waktu kami berbincang-bincang hanya 15 menit. Namun hari
itu kami tidak hanya berbincang-bincang tapi kami diizinkan untuk bertemu
langsung. Tanpa komando aku langsung memeluk ayah.
“Bagaimana kabar ayah?” Tanyaku.
“Ayah baik-baik saja Nara. Bagaimana denganmu?
apakah kamu makan dengan teratur?”
“Nara sehat ayah. Om rian selalu mengirimkan
makanan ke rumah,” jawabku.
“Nara anak ayah yang cantik, ingat pesan ayah,
Nara harus selalu jaga kesehatan, rajin sekolah supaya menjadi anak yang
pintar. Oke? Ayah bangga jiika kelak Nara menjadi orang yang sukses,” ucap ayah
dengan mata berkaca-kaca.
Tanpa kusadari air mata jatuh membasahi
pipiku. Kata-kata yang ayah ucapakan, seperti sebuah kata perpisahan.
“Aku janji ayah, Nara akan rajin sekolah
supaya menjadi orang sukses. Nara ingin mempunyai banyak uang supaya Nara dan
ayah bisa pergi jalan-jalan bersama,”
“Nara jangan menangis. Ayo, nanti kita pergi
liburan bersama. Hanya Ayah dan Nara. Ayah sayang sekali sama Nara,” jawab ayah
dengan sesekali mengusap air mata yang hendak jatuh.
15 menit berlalu, masuk dua orang petugas
hendak membawa ayah kembali. Namun hari itu, ayah tidak dibawa kembali ke sel
tahanan tetapi ayah akan menghadapi hukumannya, ayah akan dieksekusi mati.
Sungguh saat itu aku tidak ingin sekali berpisah dengan ayah. Aku ingin terus
ada disampingnya. Aku menangis begitu keras, menggedor tembok kaca yang memisahkan aku dan ayah. Aku
terus memanggil-manggil ayah. Ayah juga begitu, tidak mau dibawa masuk oleh
petugas. Hatiku benar-benar sakit sekali, ketika ayah dibawa pergi. Ingin aku
mencegah petugas itu, namun apa yang bisa dilakukan anak berusia 6 tahun
sepertiku. Ayah terus berteriak memanggil namaku. Suara itupun perlahan-lahan
mulai menghilang. Tiba-tiba badanku terasa lemas, kepalaku pusing, nafasku
sesak, pandanganku kabur dan kemudian semuanya menjadi gelap. Aku pingsan dan terjatuh.
*****
“Ini adalah hari yang sangat aku tunggu-tunggu
dalam hidupku. Aku harus melakukannya dengan baik, ini semua untuk ayahku,” bisikku
dalam hati.
Orang-orang mulai berdatangan untuk mengikuti
persidangan. Tampak teman-teman satu sel ayah dan Om Rian beserta istrinya
sudah hadir. Sepeninggal ayah, aku diangkat menjadi anak oleh Om Rian karena ia
dan istrinya sangat menginginkan seorang putri. Aku dibesarkan dan disekolahkan
oleh Om Rian hingga aku lulus kuliah jurusan hukum di salah satu Universitas
terkemuka di Jakarta. Sekarang ia adalah ayahku.
Tak berapa lama, sidang pun dimulai. Hakim
membuka persidangan, kemudian mempersilakan jaksa untuk menyampaikan
tuntutannya. Setelah jaksa selesai menyampaikan tuntutannya, hakim memberikan
kesempatan kepadaku untuk menyampaikan pembelaan.
Kutarik nafas yang dalam dan berdiri dengan
tenang. “Yang Mulia, dalam kasus penculikan, pembunuhan dan perkosaan yang terjadi 17 tahun silam dan ditujukan kepada
terdakwa Tuan Heri Prasetyo, polisi hanya mengambil keterangan dari saksi dan
menyangkal semua penolakan terdakwa. Sementara saksi yang berada di lokasi
kejadian tidak mengetahui dengan jelas kronologis di TKP. Pernyataan yang
disampaikan terdakwa itu dibawah tekanan. Ada seorang saksi yang mengetahuinya.
Korban meninggal bukan karena pembunuhan yang dituduhkan kepada terdakwa
melainkan ia meninggal karena cedera oksipital namun itu juga diabaikan. Yang
Mulia, penyelidikan yang dilakukan terhadap terdakwa sudah menyimpang dengan
menghilangkan prinsip dugaan tak bersalah. Mereka memanfaatkan kecacatan mental
seseorang dan rasa cinta kasih kepada putrinya sehingga dia terpaksa mengakui
semua perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Mereka melakukan itu demi
keuntungan mereka. Untuk menghapus tuduhan palsu atas terdakwa Tuan Heri
Prasetyo, bukan, untuk sang malaikatku aku ada disini.” Air mataku mulai
menetes. “Sebagai pernyataan terakhirku, aku mohon Yang Mulia maafkan semua
kesalahan ayahku.” Tangisku pecah dan semua orang yang berada di dalam ruangan
ikut terharu dan meneteskan air mata.
Setelah hakim beruding mempertimbangkan
pembelaan yang aku sampaikan, tibalah saat yang paling menentukan. Hakim mulai
berbicara, “setelah tadi mendengar pernyataan dari pembela, berdasarkan
kesaksian tidak ada bukti yang cukup atas tuduhan penculikan, pembunuhan dan
perkosaan yang dilakukan terdakwa terhadap Misyeila Nindia. Pengadilan
mengembalikan dan membatalkan hukuman mati atas terdakwa Tuan Heri Prasetyo dan
melakukan penyelidikan ulang. Terdakwa dinyatakan tidak bersalah.” Tok…tok…tok.
Air mata mengalir deras membasahi pipiku. Air
mata bahagia karena aku telah berhasil membersihkan nama ayahku kembali. Om
Rian dan istrinya langsung menghampiriku dan memelukku. Kami semua menangis
dalam kebahagiaan. “Ayah, Nara persembahkan ini untukmu. Semoga kau hidup damai
di alam sana. Nara mencintai ayah, selamanya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar