Rabu, 23 April 2014

Ketika Agama dan Kasta Diperselisihkan



Ketika Agama dan Kasta Diperselisihkan  (Cerpen dengan Tema Kasih Sayang)

Pertentangan dari keluarga pun turut mewarnai perjalanan cintaku dengan Ketut Irawan yang telah kami jalin tiga tahun lamanya, khususnya keluargaku. Perasaanku bergolak mana kala dihadapkan dengan kedua hal ini, seakan terjadi perdebatan hebat di dalam hatiku. Entah bagaimana aku bisa melewati saat-saat sulit ini, di mana aku harus memilih untuk mengorbankan satu dari kedua hal yang begitu kucintai. Memilih kedua-duanya pun rasanya sangat tak mungkin bagiku.
Orang tuaku memberiku nama Ida Ayu Reynisa. Aku terlahir dari keluarga yang terpandang dan berasal dari kasta Brahmana yang merupakan kasta tertinggi di Bali. Aku memeluk agama seperti kebanyakan masyarakat di Bali, yaitu  Hindu. Keluargaku dikenal sebagai orang yang taat dalam beragama, sangat melestarikan tradisi dari nenek moyang serta menjunjung tinggi adat-istiadat di Bali. Tahun ini aku menginjak usia 28 tahun. Bagiku, usia tersebut sudah cukup matang bagi seorang wanita untuk berkeluarga.
Sejak kecil hingga mencapai usia seperti saat ini orang tuaku tak pernah mengizinkanku untuk bergaul dengan orang yang berbeda kasta denganku terlebih kasta Sudra yang merupakan kasta terbawah di Bali, sehingga aku tidak terlalu banyak mengenal sosok lelaki selain mereka yang berasal dari kasta Brahmana karena aku tinggal di lingkungan yang didominasi oleh orang-orang yang berasal dari kasta tersebut, walaupun aku memiliki beberapa teman dari kasta lainnya. Hal ini cukup menyulitkanku dalam mencari pasangan hidup yang berasal dari kasta Brahmana seperti yang diinginkan kedua orang tuaku karena pada dasarnya aku kurang menyukai perilaku dan gaya hidup dari kebanyakan lelaki yang berasal dari kasta   tersebut.
Sungguh merupakan hal yang tak pernah kuduga bila akhirnya aku dipertemukan kembali oleh Tuhan dengan sosok Ketut Irawan. Ketut Irawan adalah sosok lelaki yang selama tiga tahun ini mengisi hari-hariku. Usianya terpaut empat tahun di atasku. Dia merupakan sosok yang ramah, penyabar, dan bertanggung jawab. Orang tuanya berasal dari dua suku yang berbeda, yaitu suku Bali dan Jawa. Dia beserta keluarganya beragama Islam dan cukup dikenal di daerahnya sebagai orang yang taat dalam beragama.
Aku sudah cukup lama mengenal Ketut Irawan karena kami menuntut ilmu di Perguruan  Tinggi yang sama. Namun, benih-benih cinta itu justru tumbuh ketika kami lulus dari Perguruan Tinggi dan dipertemukan kembali di perusahaan yang sama ketika kami masuk dalam dunia kerja. Dari sinilah aku bisa jauh lebih mengenal kepribadian Ketut, hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk menerima cinta Ketut dan menjalin cinta dengannya. Sejak itulah kami berdua memutuskan untuk menjalin hubungan dengan serius karena di samping perbedaan yang kami miliki banyak juga persamaan yang kami temukan, terutama visi dan misi hidup yang selaras. Keyakinanku akan sosok Ketut sebagai sosok yang tepat untuk menjadi pendamping hidupku sudah cukup menjadi alasan utamaku untuk tetap mempertahankannya, terlepas dari kelebihan dan kekurangan yang ia miliki. Sudah  menjadi resiko bagiku bila ke depannya nanti orang tuaku menentang hubunganku dengan Ketut. 
Sampai di tahun ketiga terjalinnya hubunganku dengan Ketut aku belum juga memperkenalkannya pada orang tuaku karena kutahu orang tuaku takkan membolehkanku  dekat dengan orang yang berasal dari kasta Sudra. Selain itu, agama pun menjadi salah satu faktor pertimbangan lainnya. Lain halnya dengan Ketut yang telah memperkenalkanku pada keluarganya, mereka pun menyambut kehadiranku di tengah-tengah mereka dengan hangat. Hal ini sangat bertolak belakang dengan perlakuan keluargaku yang dingin terhadap orang yang berasal dari kasta Sudra.
Aku tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana. Namun, karena umurku yang sudah cukup matang aku harus memberanikan diri untuk berbicara dengan kedua orang tuaku perihal hubungan yang tengah kujalin bersama Ketut. Aku tak mungkin terus-menerus bungkam mengenai kedekatanku dengan Ketut karena semakin aku bungkam orang tuaku akan semakin mendesakku untuk mengiyakan perjodohan yang telah mereka rencanakan, yaitu dengan lelaki yang berasal dari kasta Brahmana yang tidak lain adalah putra dari kerabat mereka.
Kasta Brahmana merupakan kasta tertingi di Bali. Itulah alasan utama yang menjadikan mereka hidup dalam kemewahan, bahkan tak sedikit dari mereka yang berfoya-foya dengan harta yang mereka miliki karena pada dasarnya kasta tersebut hanya diberikan kepada masyarakat yang memiliki status sosial tinggi. Perilaku lainnya yang tidak kusukai adalah tabiat mereka yang suka mabuk-mabukan dan main perempuan. Pergaulan mereka pun terbatas pada lingkup yang sempit karena kebanyakan dari mereka lebih senang berteman dengan orang yang berasal dari kasta yang sama, sehingga perbedaan kasta di Bali terlihat sangat mencolok.
Ida Bagus Yanuar adalah sosok lelaki yang menjadi pilihan orang tuaku. Dia merupakan putra dari kerabat orang tuaku yang berasal dari kasta Brahmana. Usianya terpaut lima tahun di atasku. Aku memang belum mengenal sosoknya lebih jauh, tetapi aku sudah pernah bertemu dengannya ketika ia dan kedua orang tuanya datang ke rumahku. Dari pertemuan yang singkat itu aku belum bisa membaca karakternya, tetapi dari apa yang aku lihat sepertinya dia sosok yang baik dengan pembawaan yang cukup ramah.
Menurut tradisi Bali yang diwariskan dari nenek moyang, masyarakat Bali tidak boleh menikah dengan kasta yang berbeda. Itulah alasan mengapa orang tuaku sangat ingin melihatku bersanding dengan orang yang memiliki kasta yang sama dengan keluarga kami. Bila aku tetap bertahan dengan Ketut dan memutuskan untuk bekeluarga dengannya, itu artinya aku harus mengikuti kasta dari Ketut, yaitu Sudra karena dalam tradisi Bali diperbolehkan menikah dengan kasta yang berbeda dengan syarat kasta yang perempuan harus mengikuti yang laki-laki. Jika kasta perempuan dari kasta yg tinggi, menikah dengan kasta yang lebih rendah, maka kasta si perempuan akan turun mengikuti suaminya. Begitu juga sebaliknya karena di Bali laki-lakilah yg menjadi ahli waris dari generasi sebelumnya.
“Bu, ada yang ingin aku sampaikan”, seruku pada ibu yang sedang membaca majalah di ruang keluarga.
“Ada apa Yu? Apa ada hal serius yang ingin kamu sampaikan? Katakan saja”.
“Iya bu, aku ingin berterus terang pada ibu bahwa sebenarnya selama tiga tahun belakangan ini aku sudah menjalin hubungan dengan seseorang. Aku baru menceritakannya pada ibu karena aku takut ibu dan ayah tidak menyetujui hubunganku bila tahu siapa sebenarnya sosok lelaki yang saat ini sedang dekat denganku. Aku juga tidak mencintai lelaki pilihan ayah dan ibu. Jadi, aku mohon dengan sangat agar ibu dan ayah bisa menerima lelaki pilihanku. Aku sudah cukup dewasa, jadi aku rasa aku  mampu menentukan jalan hidupku sendiri bu”, ibuku yang mendengarnya pun sontak kaget dengan pernyataanku karena ia tak pernah menyangka bahwa ternyata selama tiga tahun belakangan ini diam-diam aku telah menjalin hubungan dengan seseorang.
“Mengapa kamu baru menceritakannya sekarang Yu? Memangnya seperti apa sosok lelaki yang saat ini sedang dekat denganmu? Sampai kamu tidak berani menceritakannya pada ibu dan ayah”, tanya ibuku dengan penuh rasa penasaran.
“Maafkan aku bu, aku memang baru berani untuk menceritakannya sekarang. Namanya Ketut Irawan. Dia sosok yang baik dan bertanggung jawab, tetapi dia berbeda keyakinan dengan keluarga kita bu, dia beragama Islam”, perkataanku pun membuat ibuku tambah kaget, rasanya perkataanku bagaikan sambaran petir yang membuat ibuku terkaget-kaget dan kemudian terdiam.
Akhirnya setelah beberapa menit terdiam, ibuku pun angkat bicara. “Bukankah kamu sudah mengetahui dengan jelas tradisi kita?”
“Iya bu, aku tahu. Namun, ketika aku dipertemukan kembali dengan sosok Ketut aku yakin dialah orang yang tepat untuk menjadi pendamping hidupku, dia tidak seperti kebanyakan lelaki yang mengobral banyak janji, hatinya sangat tulus dan segala perlakuan baiknya selama ini pun sudah cukup meyakinkanku. Aku pun sudah mempertimbangkan resikonya bila aku tetap memilih Ketut menjadi pendamping hidupku”, ucapku dengan tegas. Aku tak tahu apa yang ada di benak ibuku setelah aku menyampaikan semua hal yang memang kurasa perlu untuk disampaikan. Ibuku berlalu begitu saja dan meninggalkanku yang masih berada di ruang keluarga.
 Aku hanya berharap agar semua hal yang aku sampaikan pada ibuku bisa dipertimbangkan  dengan baik olehnya. Mengingat keluargaku adalah orang yang sangat melestarikan tradisi di Bali, khususnya untuk pernikahan yang memang harus dilaksanakan  dengan orang yang berasal dari kasta yang sama.
Keesokannya ibu dan ayahku mengajakku untuk berbicara dengan serius. Aku amat sedih dibuatnya karena ternyata ayah dan ibuku tetap akan menjodohkanku dengan Ida Bagus Yanuar karena mereka takut aku akan hidup susah bila memilih Ketut Irawan sebagai pendampingku.
Kali ini ayahku yang berbicara. “Ayah dan ibu sepakat untuk tetap menjodohkanmu dengan Ida Bagus Yanuar karena hidupmu akan terjamin bila kamu memilih dia sebagai pendamping hidupmu, sedangkan bila kamu memilih Ketut Irawan itu artinya kamu akan hidup susah dan tidak akan bisa hidup harmonis karena kalian terhalang oleh agama dan kasta yang berbeda, sehingga nantinya kalian akan  menemukan banyak perbedaan dan ketidak cocokan”, pernyataan ayahku amat menyayat hatiku. Memang ini sudah menjadi resiko bagiku bila menjalin hubungan dengan orang yang berbeda keyakinan dan kasta dengan keluargaku. Aku hanya mencoba untuk  menenangkan diriku agar aku bisa lebih sabar dan ikhlas untuk menerima keputusan dari orang tuaku.
Akhirnya, dengan berat hati aku memutuskan untuk menikah dengan Ida Bagus Yanuar. Aku terpaksa mengorbankan perasaan dan masa depanku karena aku tak ingin menyakiti hati kedua orang tuaku. Aku tak ingin mereka menganggapku sebagai anak yang tak patuh pada orang tua dan juga tradisi Bali yang selama ini sangat kami junjung tinggi. Semuanya kulakukan demi kebahagiaan mereka yang ingin melihatku bersanding dengan orang yang berasal dari kasta yang sama dengan kami karena sebenarnya mereka pun ingin melihatku hidup bahagia dengan masa depan yang menjanjikan. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Yang bisa kulakukan adalah menyerahkan semuanya pada Tuhan dan menganggap bahwa ini semua merupakan bagian dari takdir hidupku yang harus kujalani, walaupun aku yakin Ketut Irawan akan merasa kecewa dengan keputusan yang aku ambil. Aku pun tak tahu bagaimana caranya untuk bisa menyampaikan hal ini kepadanya. Rasanya tentu amat menyakitkan bila ia tahu ternyata aku tak berusaha untuk mempertahankan hubunganku dengannya dan memilih untuk menerima perjodohan dari orang tuaku.
Sebelum sampai pada hari pernikahanku, aku mengajak Ketut untuk bertemu. Aku menceritakan semua hal yang memang perlu kujelaskan padanya. Wajah Ketut terlihat kecewa mana kala mendengar apa yang kusampaikan. Hatiku pun diliputi rasa sedih ketika harus memberi tahu bahwa aku akan menikah dengan lelaki pilihan orang tuaku dan berniat untuk mengundangnya ke acara pernikahanku. Ketut mengutarakan bahwa ia memang kecewa dengan keputusanku. Namun, ia pun tak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya bisa mendoakan agar kelak aku dapat hidup bahagia dengan Ida Bagus Yanuar, walaupun menurutnya amat sulit menerima kenyataan pahit melihat orang yang ia cintai akan bersanding di pelaminan dengan orang lain.
Pernikahan antara aku dengan Ida Bagus Yanuar pun dilangsungkan. Prosesi pernikahan berlangsung khidmat. Dan inilah babak baru dalam kehidupanku sebagai seorang istri dimulai. Waktu demi waktu, hari demi hari, dan bulan demi bulan dapat kami lalui bersama-sama dengan baik. Namun, ketika umur pernikahan kami belum genap satu tahun mulailah nampak tabiat buruk Ida Bagus Yanuar yang suka pulang ke rumah dalam keadaan mabuk dan tak jarang ia pun berlaku kasar padaku. Aku sudah beberapa kali mengingatkannya dan memintanya untuk berubah. Namun, ia malah marah dan berlaku kasar padaku. Ternyata anggapanku tentang tabiatnya yang baik itu semua salah. Aku kira seiring berjalannya waktu ia mampu memperbaiki kesalahannya. Namun, ternyata perilaku buruknya malah menjadi-jadi. Ia sering pulang malam dan main perempuan. Awalnya, aku masih bisa tahan dengan kelakuannya. Namun, karena semakin hari tabiatnya semakin menjadi-jadi aku pun tak kuat lagi untuk mengarungi bahtera rumah tangga dengannya. Aku pun memutuskan untuk becerai dengannya. Aku butuh waktu untuk bisa mempercayai sosok lelaki lagi karena tabiat mantan suamiku yang hampir membuatku trauma pada sosok lelaki, telebih untuk berumah tangga lagi.
Ketika Ketut Irawan mengetahui bahwa aku telah bercerai dengan Ida Bagus Yanuar, ia seakan menaruh harapan lagi padaku. Ternyata, sejak aku menikah sampai bercerai ia belum mendapatkan penggantiku dan masih mengharapkanku. Tak berselang lama dari perceraianku, ia mengutarakan maksudnya kepada orang tuaku untuk meminangku. Namun, Ketut menyerahkan seluruh keputusan padaku. Orang tuaku yang melihat kesetiaan dan ketulusan Ketut pun luluh dan mereka pun merestui. Menurut mereka apalah arti perbedaan bila ternyata mampu merekatkan dua hati yang saling mencintai. Aku pun  menerima pinangan Ketut karena kekagumanku akan kesetiaan dan ketulusan cintanya selama ini padaku. Akhirnya, kami melangsungkan pernikahan. Ketut pun mengenalkan agama Islam padaku, hingga akhirnya aku tertarik untuk mempelajari agama  Islam dan kemudian memeluk agama Islam. Lengkap sudah kebahagiaanku saat ini karena aku memiliki imam yang mampu menuntunku ke arah yang lebih baik. Syukurku pada Yang Maha Kuasa yang telah mempertemukanku dengan Ketut Irawan. Dialah cinta sejatiku yang dengannya kami bisa saling melengkapi.
Dari pengalaman hidup, aku mendapatkan banyak pelajaran bahwa kebahagiaan tak dapat diukur dengan harta benda. Namun, kekayaan hatilah yang paling penting karena dengannya kita akan mudah memperoleh kebahagiaan. Apalah arti hidup dalam kemewahan bila tak mampu menggapai kebahagiaan. Perbedaan pun tak selalu menjadi pemicu ketidak cocokan. Kesetiaan dan ketulusanlah yang mampu mengatasi perbedaan yang ada.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar