Ketika Agama dan
Kasta Diperselisihkan (Cerpen dengan
Tema Kasih Sayang)
Pertentangan dari
keluarga pun turut mewarnai perjalanan cintaku dengan Ketut Irawan yang telah
kami jalin tiga tahun lamanya, khususnya keluargaku. Perasaanku bergolak mana
kala dihadapkan dengan kedua hal ini, seakan terjadi perdebatan hebat di dalam
hatiku. Entah bagaimana aku bisa melewati saat-saat sulit ini, di mana aku
harus memilih untuk mengorbankan satu dari kedua hal yang begitu kucintai. Memilih
kedua-duanya pun rasanya sangat tak mungkin bagiku.
Orang tuaku
memberiku nama Ida Ayu Reynisa. Aku terlahir dari keluarga yang terpandang dan berasal
dari kasta Brahmana yang merupakan kasta tertinggi di Bali. Aku memeluk agama
seperti kebanyakan masyarakat di Bali, yaitu Hindu. Keluargaku dikenal sebagai orang yang
taat dalam beragama, sangat melestarikan tradisi dari nenek moyang serta
menjunjung tinggi adat-istiadat di Bali. Tahun ini aku menginjak usia 28 tahun.
Bagiku, usia tersebut sudah cukup matang bagi seorang wanita untuk berkeluarga.
Sejak kecil hingga
mencapai usia seperti saat ini orang tuaku tak pernah mengizinkanku untuk
bergaul dengan orang yang berbeda kasta denganku terlebih kasta Sudra yang
merupakan kasta terbawah di Bali, sehingga aku tidak terlalu banyak mengenal
sosok lelaki selain mereka yang berasal dari kasta Brahmana karena aku tinggal
di lingkungan yang didominasi oleh orang-orang yang berasal dari kasta
tersebut, walaupun aku memiliki beberapa teman dari kasta lainnya. Hal ini
cukup menyulitkanku dalam mencari pasangan hidup yang berasal dari kasta
Brahmana seperti yang diinginkan kedua orang tuaku karena pada dasarnya aku
kurang menyukai perilaku dan gaya hidup dari kebanyakan lelaki yang berasal
dari kasta tersebut.
Sungguh merupakan
hal yang tak pernah kuduga bila akhirnya aku dipertemukan kembali oleh Tuhan dengan
sosok Ketut Irawan. Ketut Irawan adalah sosok lelaki yang selama tiga tahun ini
mengisi hari-hariku. Usianya terpaut empat tahun di atasku. Dia merupakan sosok
yang ramah, penyabar, dan bertanggung jawab. Orang tuanya berasal dari dua suku
yang berbeda, yaitu suku Bali dan Jawa. Dia beserta keluarganya beragama Islam
dan cukup dikenal di daerahnya sebagai orang yang taat dalam beragama.
Aku sudah cukup
lama mengenal Ketut Irawan karena kami menuntut ilmu di Perguruan Tinggi yang sama. Namun, benih-benih cinta
itu justru tumbuh ketika kami lulus dari Perguruan Tinggi dan dipertemukan
kembali di perusahaan yang sama ketika kami masuk dalam dunia kerja. Dari
sinilah aku bisa jauh lebih mengenal kepribadian Ketut, hingga pada akhirnya
aku memutuskan untuk menerima cinta Ketut dan menjalin cinta dengannya. Sejak
itulah kami berdua memutuskan untuk menjalin hubungan dengan serius karena di
samping perbedaan yang kami miliki banyak juga persamaan yang kami temukan,
terutama visi dan misi hidup yang selaras. Keyakinanku akan sosok Ketut sebagai
sosok yang tepat untuk menjadi pendamping hidupku sudah cukup menjadi alasan
utamaku untuk tetap mempertahankannya, terlepas dari kelebihan dan kekurangan yang
ia miliki. Sudah menjadi resiko bagiku
bila ke depannya nanti orang tuaku menentang hubunganku dengan Ketut.
Sampai di tahun
ketiga terjalinnya hubunganku dengan Ketut aku belum juga memperkenalkannya
pada orang tuaku karena kutahu orang tuaku takkan membolehkanku dekat dengan orang yang berasal dari kasta
Sudra. Selain itu, agama pun menjadi salah satu faktor pertimbangan lainnya. Lain
halnya dengan Ketut yang telah memperkenalkanku pada keluarganya, mereka pun menyambut
kehadiranku di tengah-tengah mereka dengan hangat. Hal ini sangat bertolak
belakang dengan perlakuan keluargaku yang dingin terhadap orang yang berasal
dari kasta Sudra.
Aku tak tahu harus
memulai pembicaraan dari mana. Namun, karena umurku yang sudah cukup matang aku
harus memberanikan diri untuk berbicara dengan kedua orang tuaku perihal
hubungan yang tengah kujalin bersama Ketut. Aku tak mungkin terus-menerus
bungkam mengenai kedekatanku dengan Ketut karena semakin aku bungkam orang
tuaku akan semakin mendesakku untuk mengiyakan perjodohan yang telah mereka
rencanakan, yaitu dengan lelaki yang berasal dari kasta Brahmana yang tidak
lain adalah putra dari kerabat mereka.
Kasta Brahmana
merupakan kasta tertingi di Bali. Itulah alasan utama yang menjadikan mereka hidup
dalam kemewahan, bahkan tak sedikit dari mereka yang berfoya-foya dengan harta
yang mereka miliki karena pada dasarnya kasta tersebut hanya diberikan kepada masyarakat
yang memiliki status sosial tinggi. Perilaku lainnya yang tidak kusukai adalah tabiat
mereka yang suka mabuk-mabukan dan main perempuan. Pergaulan mereka pun
terbatas pada lingkup yang sempit karena kebanyakan dari mereka lebih senang
berteman dengan orang yang berasal dari kasta yang sama, sehingga perbedaan kasta
di Bali terlihat sangat mencolok.
Ida Bagus Yanuar
adalah sosok lelaki yang menjadi pilihan orang tuaku. Dia merupakan putra dari
kerabat orang tuaku yang berasal dari kasta Brahmana. Usianya terpaut lima
tahun di atasku. Aku memang belum mengenal sosoknya lebih jauh, tetapi aku
sudah pernah bertemu dengannya ketika ia dan kedua orang tuanya datang ke
rumahku. Dari pertemuan yang singkat itu aku belum bisa membaca karakternya,
tetapi dari apa yang aku lihat sepertinya dia sosok yang baik dengan pembawaan
yang cukup ramah.
Menurut tradisi
Bali yang diwariskan dari nenek moyang, masyarakat Bali tidak boleh menikah
dengan kasta yang berbeda. Itulah alasan mengapa orang tuaku sangat ingin
melihatku bersanding dengan orang yang memiliki kasta yang sama dengan keluarga
kami. Bila aku tetap bertahan dengan Ketut dan memutuskan untuk bekeluarga
dengannya, itu artinya aku harus mengikuti kasta dari Ketut, yaitu Sudra karena
dalam tradisi Bali diperbolehkan menikah dengan kasta yang berbeda dengan
syarat kasta yang perempuan harus mengikuti yang laki-laki. Jika
kasta perempuan dari kasta yg tinggi, menikah dengan kasta yang lebih rendah,
maka kasta si perempuan akan turun mengikuti suaminya. Begitu juga sebaliknya
karena di Bali laki-lakilah yg menjadi ahli waris dari generasi sebelumnya.
“Bu, ada yang ingin aku
sampaikan”, seruku pada ibu yang sedang membaca majalah di ruang keluarga.
“Ada apa Yu? Apa ada hal serius yang
ingin kamu sampaikan? Katakan saja”.
“Iya bu, aku ingin berterus terang
pada ibu bahwa sebenarnya selama tiga tahun belakangan ini aku sudah menjalin
hubungan dengan seseorang. Aku baru menceritakannya pada ibu karena aku takut
ibu dan ayah tidak menyetujui hubunganku bila tahu siapa sebenarnya sosok
lelaki yang saat ini sedang dekat denganku. Aku juga tidak mencintai lelaki pilihan
ayah dan ibu. Jadi, aku mohon dengan sangat agar ibu dan ayah bisa menerima
lelaki pilihanku. Aku sudah cukup dewasa, jadi aku rasa aku mampu menentukan jalan hidupku sendiri bu”,
ibuku yang mendengarnya pun sontak kaget dengan pernyataanku karena ia tak
pernah menyangka bahwa ternyata selama tiga tahun belakangan ini diam-diam aku
telah menjalin hubungan dengan seseorang.
“Mengapa kamu baru menceritakannya
sekarang Yu? Memangnya seperti apa sosok lelaki yang saat ini sedang dekat
denganmu? Sampai kamu tidak berani menceritakannya pada ibu dan ayah”, tanya
ibuku dengan penuh rasa penasaran.
“Maafkan aku bu, aku memang baru
berani untuk menceritakannya sekarang. Namanya Ketut Irawan. Dia sosok yang
baik dan bertanggung jawab, tetapi dia berbeda keyakinan dengan keluarga kita
bu, dia beragama Islam”, perkataanku pun membuat ibuku tambah kaget, rasanya
perkataanku bagaikan sambaran petir yang membuat ibuku terkaget-kaget dan
kemudian terdiam.
Akhirnya setelah beberapa menit
terdiam, ibuku pun angkat bicara. “Bukankah kamu sudah mengetahui dengan jelas
tradisi kita?”
“Iya bu, aku tahu. Namun, ketika
aku dipertemukan kembali dengan sosok Ketut aku yakin dialah orang yang tepat
untuk menjadi pendamping hidupku, dia tidak seperti kebanyakan lelaki yang mengobral
banyak janji, hatinya sangat tulus dan segala perlakuan baiknya selama ini pun
sudah cukup meyakinkanku. Aku pun sudah mempertimbangkan resikonya bila aku
tetap memilih Ketut menjadi pendamping hidupku”, ucapku dengan tegas. Aku tak
tahu apa yang ada di benak ibuku setelah aku menyampaikan semua hal yang memang
kurasa perlu untuk disampaikan. Ibuku berlalu begitu saja dan meninggalkanku
yang masih berada di ruang keluarga.
Aku hanya berharap agar semua hal yang aku
sampaikan pada ibuku bisa dipertimbangkan dengan baik olehnya. Mengingat keluargaku
adalah orang yang sangat melestarikan tradisi di Bali, khususnya untuk
pernikahan yang memang harus dilaksanakan
dengan orang yang berasal dari kasta yang sama.
Keesokannya ibu dan ayahku
mengajakku untuk berbicara dengan serius. Aku amat sedih dibuatnya karena
ternyata ayah dan ibuku tetap akan menjodohkanku dengan Ida Bagus Yanuar karena
mereka takut aku akan hidup susah bila memilih Ketut Irawan sebagai
pendampingku.
Kali ini ayahku yang berbicara. “Ayah
dan ibu sepakat untuk tetap menjodohkanmu dengan Ida Bagus Yanuar karena
hidupmu akan terjamin bila kamu memilih dia sebagai pendamping hidupmu,
sedangkan bila kamu memilih Ketut Irawan itu artinya kamu akan hidup susah dan
tidak akan bisa hidup harmonis karena kalian terhalang oleh agama dan kasta
yang berbeda, sehingga nantinya kalian akan menemukan banyak perbedaan dan ketidak
cocokan”, pernyataan ayahku amat menyayat hatiku. Memang ini sudah menjadi
resiko bagiku bila menjalin hubungan dengan orang yang berbeda keyakinan dan
kasta dengan keluargaku. Aku hanya mencoba untuk menenangkan diriku agar aku bisa lebih sabar
dan ikhlas untuk menerima keputusan dari orang tuaku.
Akhirnya, dengan berat hati aku
memutuskan untuk menikah dengan Ida Bagus Yanuar. Aku terpaksa mengorbankan
perasaan dan masa depanku karena aku tak ingin menyakiti hati kedua orang
tuaku. Aku tak ingin mereka menganggapku sebagai anak yang tak patuh pada orang
tua dan juga tradisi Bali yang selama ini sangat kami junjung tinggi. Semuanya kulakukan
demi kebahagiaan mereka yang ingin melihatku bersanding dengan orang yang
berasal dari kasta yang sama dengan kami karena sebenarnya mereka pun ingin
melihatku hidup bahagia dengan masa depan yang menjanjikan. Aku tak bisa
berbuat apa-apa. Yang bisa kulakukan adalah menyerahkan semuanya pada Tuhan dan
menganggap bahwa ini semua merupakan bagian dari takdir hidupku yang harus
kujalani, walaupun aku yakin Ketut Irawan akan merasa kecewa dengan keputusan
yang aku ambil. Aku pun tak tahu bagaimana caranya untuk bisa menyampaikan hal
ini kepadanya. Rasanya tentu amat menyakitkan bila ia tahu ternyata aku tak
berusaha untuk mempertahankan hubunganku dengannya dan memilih untuk menerima
perjodohan dari orang tuaku.
Sebelum sampai pada hari pernikahanku,
aku mengajak Ketut untuk bertemu. Aku menceritakan semua hal yang memang perlu
kujelaskan padanya. Wajah Ketut terlihat kecewa mana kala mendengar apa yang
kusampaikan. Hatiku pun diliputi rasa sedih ketika harus memberi tahu bahwa aku
akan menikah dengan lelaki pilihan orang tuaku dan berniat untuk mengundangnya
ke acara pernikahanku. Ketut mengutarakan bahwa ia memang kecewa dengan
keputusanku. Namun, ia pun tak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya bisa mendoakan agar
kelak aku dapat hidup bahagia dengan Ida Bagus Yanuar, walaupun menurutnya amat
sulit menerima kenyataan pahit melihat orang yang ia cintai akan bersanding di
pelaminan dengan orang lain.
Pernikahan antara aku dengan Ida
Bagus Yanuar pun dilangsungkan. Prosesi pernikahan berlangsung khidmat. Dan
inilah babak baru dalam kehidupanku sebagai seorang istri dimulai. Waktu demi
waktu, hari demi hari, dan bulan demi bulan dapat kami lalui bersama-sama dengan
baik. Namun, ketika umur pernikahan kami belum genap satu tahun mulailah nampak
tabiat buruk Ida Bagus Yanuar yang suka pulang ke rumah dalam keadaan mabuk dan
tak jarang ia pun berlaku kasar padaku. Aku sudah beberapa kali mengingatkannya
dan memintanya untuk berubah. Namun, ia malah marah dan berlaku kasar padaku. Ternyata
anggapanku tentang tabiatnya yang baik itu semua salah. Aku kira seiring
berjalannya waktu ia mampu memperbaiki kesalahannya. Namun, ternyata perilaku
buruknya malah menjadi-jadi. Ia sering pulang malam dan main perempuan. Awalnya,
aku masih bisa tahan dengan kelakuannya. Namun, karena semakin hari tabiatnya
semakin menjadi-jadi aku pun tak kuat lagi untuk mengarungi bahtera rumah
tangga dengannya. Aku pun memutuskan untuk becerai dengannya. Aku butuh waktu
untuk bisa mempercayai sosok lelaki lagi karena tabiat mantan suamiku yang
hampir membuatku trauma pada sosok lelaki, telebih untuk berumah tangga lagi.
Ketika Ketut Irawan mengetahui
bahwa aku telah bercerai dengan Ida Bagus Yanuar, ia seakan menaruh harapan
lagi padaku. Ternyata, sejak aku menikah sampai bercerai ia belum mendapatkan
penggantiku dan masih mengharapkanku. Tak berselang lama dari perceraianku, ia
mengutarakan maksudnya kepada orang tuaku untuk meminangku. Namun, Ketut
menyerahkan seluruh keputusan padaku. Orang tuaku yang melihat kesetiaan dan
ketulusan Ketut pun luluh dan mereka pun merestui. Menurut mereka apalah arti
perbedaan bila ternyata mampu merekatkan dua hati yang saling mencintai. Aku
pun menerima pinangan Ketut karena
kekagumanku akan kesetiaan dan ketulusan cintanya selama ini padaku. Akhirnya,
kami melangsungkan pernikahan. Ketut pun mengenalkan agama Islam padaku, hingga
akhirnya aku tertarik untuk mempelajari agama
Islam dan kemudian memeluk agama Islam. Lengkap sudah kebahagiaanku saat
ini karena aku memiliki imam yang mampu menuntunku ke arah yang lebih baik.
Syukurku pada Yang Maha Kuasa yang telah mempertemukanku dengan Ketut Irawan. Dialah
cinta sejatiku yang dengannya kami bisa saling melengkapi.
Dari pengalaman hidup, aku
mendapatkan banyak pelajaran bahwa kebahagiaan tak dapat diukur dengan harta
benda. Namun, kekayaan hatilah yang paling penting karena dengannya kita akan
mudah memperoleh kebahagiaan. Apalah arti hidup dalam kemewahan bila tak mampu
menggapai kebahagiaan. Perbedaan pun tak selalu menjadi pemicu ketidak cocokan.
Kesetiaan dan ketulusanlah yang mampu mengatasi perbedaan yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar