Jika Ini Hari Terakhir Nenek
Hari pertama masuk sekolah menjadi hal yang dinanti para siswa. Kelak
canda dan tawa menghiasi sudut sekolah. Siti adalah gadis berusia 12 tahun yang
hanya bisa menahan keinginannya untuk melanjutkan sekolahnya. Dia tidak bisa
melanjutkan sekolahnya ke bangku SLTP lantaran keluarganya yang tidak mampu
lagi untuk membiayainya. Siti pun mulai belajar untuk memerima kenyataan,
dirinya paham bahwa kondisinya ini berbeda dengan teman-temanya yang lain. Sementara
sang ibu bersusah payah mengadu nasib di ibu kota, Siti kini tinggal bersama
neneknya di sebuah kampung, sementara sang ayah sudah lama meninggal dunia,
kini Siti hanya tinggal berdua bersama neneknya. Keduanya jarang sekali
menerima uang kiriman dari ibunnya di kota. Setiap hari Siti selalu membantu sang nenek menjualkan
nasi uduk di kampungnya, beruntung sang nenek memiliki keterampilan bisa
membuat nasi uduk. Semenjak putus dari sekolah Siti sering sekali menghabiskan
waktu di dapur untuk membantu sang nenek membuat nasi uduk. Walaupun sudah
tidak sekolah tapi Siti tak pernah ketingggalan mengikuti pengajian di suatu Surau
yang jaraknya lumayan jauh dari rumahnya.
Jauh dari orang tua membuat Siti
merasa rindu, tapi apa mau dikata kenyataannya Siti harus berpisah. Dia sangat
ingin bertemu dengan ibunya yang tinggal di kota. Sesekali Siti pun mencoba
untuk menyisihkan uang supaya bisa menyusul ibunya di kota karena sudah sekian
lama tidak berjumpa dengan sang bunda tercinta.
Beberapa bulan kemudian Siti pun
mulai memecahkan celengan ayamnya itu, dan memberitahukan pada nenek bahwa dia ingin
mengajak nenek menyusul ibunya di kota karena rindunya yang sudah tak terbendung
lagi pada sang ibu.
“Nenek aku rindu ibu, aku ingin bertemu ibu, kini aku
sudah punya uang cukup untuk kita bisa menyusul ibu di kota Nek.” Ujar Siti. Akan
tetapi entah mengapa ketika nenek diajak Siti untuk menyusul ibunya di kota,
dengan tegas nenek malah menolaknya tanpa memberikan alasan kepada Siti, wajah
Siti pun langsung mengkerut, dan kecewa.
“Kenapa nenek tidak mau bertemu dengan ibu, emang apa
salah ibu?”
“Maafkan nenek Nak, nenek belum bisa mengatakan hal ini
padamu.”
“Memang apa yang nenek sembunyikan dariku?” (sambil
memaksa nenek supaya bicara dan memberi tahukan yang sebenarnya terjadi). Tapi
nenek tetap bersikeras tidak memberi tahukan alasannya kepada Siti.
Keesokan
harinya seperti biasa setiap menjelang maghrib Siti selalu pergi ke Surau untuk
ikut pengajian dan sepulang Siti dari Surau dia masih penasaran akan rahasia
sang nenek kepadanya. Di perjalanan dia masih terus memikirkan akan alasan
nenek yang belum terungkap itu. Di perjalanannya yang lumayan jauh itu Siti pun
merasakan haus yang sangat luar biasa, kebetulan di perjalanan dia melihat
sebuah warung, Siti pun meraba saku celananya berharap masih ada sisa uang di
dalam sakunya, yang kemudian didapatlah uang koin lima ratus perak di dalam
sakunya. Dia pun masih bersyaukur karena walaupun hanya dengan uang koin lima
ratus perak dia masih bisa membeli air mineral kemasan gelas yang harganya lima
ratus perak. Setibanya di warung, kemudian teman Siti yang bernama Jaka datang,
dan menghampirinya. “Hay Siti belanja nih, lagi banyak duit kayaknya,,, hehe,
aku haus banget nih, beliin aku air minum ya satu, terimakasih ya Siti yang
baik hati”(Siti belum sempat menjawab) sementara temannya berkata terimakasih
sambil berjalan dan pergi lagi begitu saja.
“Mau beli apa De?” Tanya ibu pedagang di warung itu.
“Maaf Bu, saya mau bayar minuman yang tadi teman saya
beli saja Bu”. (sambil menampakan wajah melasnya).
Siti
pun melanjutka perjalanannya sambil menampakan wajah sedihnya itu, kemudian ada
seorang wanita setengah baya yang datang menghampiri Siti. “Minumlah air ini
Nak.” Kaget siti dengan kedatangan ibu yang tiba-tiba memberinya minum itu
“Terimakasih Bu.” Kemudian Siti pun mengambilnya dan meminumnya.
“Jika boleh saya tahu apa yang sedang ku pikirkan di
sini Nak, ini sudah menjelang malam, kenapa kamu ada di sini, rumahmu dimana?”
“Rumah saya di kampung sebelah Bu, dekat sungai
panjang.”
“lohh,, rumah yang di dekat sungai panjang itu kan
bukannya rumah Sumi ya?”
“Iya ibu benar, ko ibu kenal Sumi ibu saya?”
“Jadi kamu ini anaknya Sumi ya, sumi itu teman saya
sewaktu kita masih kerja di kota, dulu saya dan almarhum ibumu tinggal satu
kostan” (belum selesai bicara kemudian Siti langsung memotong pembicaraan).
“Maksud ibu apa? Kenapa ibu bilang kalau ibu saya itu
almarhum?”
“Memangnya kamu tidak tahu kalau ibumu telah tiada?”
“Jangan sembarangan ya kalau ngomong, ibu saya itu
masih hidup, besok saya akan menjemput ibu saya dan membuktikannya bahwa apa
yang ibu katakan barusan itu tidak benar.” Ujar Siti dengan kesal, sambil
pergi.
Setibanya di rumah Siti langsung
menemui neneknya dan menanyakan akan kebenarna bahwa ibunya itu masih hidup.
“Nenek, aku mau naya sesuatu, tapi nenek harus jawab
dengan jujur.”
“Apa yang mau kamu tanyakan pada nenek Nak?”
“Apa benar ibu sudah meniggal Nek?”
“Siapa yang berkata seperti itu padamu Nak?”
“Jawab sajalah Nek, benar atau tidak?”
Nenek pun terdiam sejenak, sehingga dia pun
mengeluarkan air mata.
“Maafkan nenek Nak, karena sebelumnya nenek tidak
memberitahukan hal ini kepadamu, nenek tidak kuat untuk menceritakan hal ini
padamu Nak, sebenarnya ibu kamu sudah lama meninggal dunia Nak.”
“Maksud nenek apa?” Memotong pembicaraan neneknya
“Sebenarnya sewaktu ibumu bekerja di kota, ibumu
mengalalami siksaan dari majikannya sehingga ibumu jatuh sakit dan meninggl
dunia. Itulah sebabnya kamu tidak bisa melanjutkan sekolah Nak, di samping
keadaan kita yang serba kekurangan ini dan nenek pun sudah tidak sanggup untuk
membiayai kamu sekolah lagi, ada untuk makan saja sudah sangat bersyukur Nak.”
“Tapi mengapa
nenek tidak berterus terang padaku?”
“Maafkan nenek Nak, nenek hanya tidak ingin melihatmu
bersedih.”
“Tapi tidak seharusnya nenek merahasiaka ini padaku,
nenek jahat……” (Siti sambil merasa kecewa dan lari ke luar).
Kemudain Siti pun langsung pergi meninggalkan neneknya
karena rasa kecewanya itu.
“Maafkan nenek Nak, dengarkan dulu penjelasan nenek.”
(kata nenek sambil menangis dan mengejar siti). Siti tetap lari dan pergi
meningglkan nenek. Nenek pun seketika itu langsung merasakan sakit didadanya,
akan tetapi Siti tidak mengetahui bahwa neneknya itu telah jatuh sakit. Nenek yang sedang sakit itu pun terjatuh dan tergeletak
tak berdaya. Sementara Siti yang tak mengetahui keadaan nenek terus berlari
sekencang-kencangnya, tanpa mempedulikan apapun. Hingga akhirnaya Siti pun
berhenti di bawah pohon yang besar dan berteriak “Tuhan kenepa Kau ambil
ibukuuuuuu.” Siti pun terus menangis dan dia pun pingsan karena tak kuat
menerima kenyataan.
Keesokan harinya, Siti mulai tersadar
dan dia pun pulang ke rumahnya, di perjalanan Siti melihat banyak orang yang
keluar masuk dari arah jalan menuju rumahnya, Siti pun bingung dan langsung
segera menuju kerumahnya, setibanya di depan rumah ternyata benar bahwa orang-orang
yang lewat di jalanan itu baru saja dari rumahnya, Siti mulai bertanya-tanya
dalam hatinya apa yang terjadi.
Ketika Siti masuk kedalam rumah Siti
melihat seseorang yang sedang berbaring, seluruh tubuhnya ditutupi sebuah kain,
dan dia pun semakin bertanya-tanya “siapakah yang sedang berbaring ini?”
(badannya bergetar dan tegang).
“Kuatkanlah hatimu Nak, ini adalah nenekmu.” (ujar ibu
Wati tetangganya).
“Ini ga benar kan Bu? Ibu becanda kan?”
“Sabarlah Nak, kamu harus bisa menerima kenyataan
ini.”
Siti pun mulai mendekati jasad neneknya dan membuka
bagian atas kain tersebut, Siti pun langsung menangis dan sangat terlihat wajah
penyesalan pada dirinya.
“Ya Tuhan mengapa Engkau memberikan cobaan seberat ini
secara bertubi-tubi, mengapa orang-orang yang aku saying Engkau ambil satu
persatu? Maafkan Siti Nek, Siti menyesal telah meninggalkan nenek, Maafkan siti
Nek semua ini salah Siti.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar