Bahagia Mereka Surgaku Derita Mereka Piluku
Bengkulu, jam
sebelas. Panas terik mulai terasa menyengat kulitku. Kulangkahkan kakiku di
atas lumpur pasca banjir tanpa keluh kesah. Alat perekam dan buku catatanlah
yang kugunakan untuk mewawancarai narasumber dan mendapatkan sebuah berita.
Saat terus kumelangkah, kulihat di bawah pohon rindang tampak seorang gadis
kecil yang kiranya berumur sepuluh tahun berlumuran lumpur tak sadarkan
diri. Tanpa berpikir panjang segera kudekati gadis kecil itu lalu kugendong ia
ke tenda darurat.
Aku bersyukur
gadis kecil ini selamat dari bencana. Kubawakan segayung air untuk
membasuh wajahnya. Perlahan kubersihkan dengan waslap sekadar menyeka wajahnya
dari debu dan lumpur agar ia merasa lebih nyaman. Terdapat goresan-goresan
kecil pada pipi dan keningnya, mungkin terkena benda-benda tajam saat ia
terbawa arus. Selang berapa lama kemudian gadis kecil itu sadar, ia menengok
sekelilingnya dan tiba-tiba menangis. Sungguh kasihan, gadis sekecil ini harus
menerima kenyataan bahwa ia terpisah dari ayah-ibunya akibat bencana.
“Dek, apa yang
bisa kakak bantu?” Tanyaku perlahan.
Gadis kecil itu
tak menjawab pertanyaanku. Ditengoknya sekilas wajahku. Kumulai berpikir
sejenak. Jika anak ini hanya menangis dan tak menjawab pertanyaanku bagaimana
aku bisa membantunya.
“Anak manis, kamu
jangan takut. Kakak hanya ingin membantumu.” Sambil kuulurkan tangan kepadanya.
Dengan penuh
kesabaran aku membujuknya, sambil kusodorkan sebatang cokelat agar ia merasa
tenang. Tanpa melihat wajahku ia menggelengkan kepala seraya ditepaknya
tanganku. Tak lama kemudian ia pun menggenggam tanganku.
“A.. A.. Ayah..
I.. Ibu.. Ani.. Ana nak ketemu, di mano dio?” Ucapnya sambil terbata-bata
menangis.
Tak sanggup
kukatakan pada gadis kecil ini atas kenyataan pahit yang harus diterimanya.
Kesedihan hatinya dapat kurasakan begitu dalam. Tak ingin kumelihat malaikat
kecil ini terus berada dalam kesedihan.
“Kamu tenang yah,
Kak Adi di sini akan menemanimu.” Kusodorkan kembali sebatang cokelat kepadanya
agar ia merasa lebih tenang. Tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya, ia
hanya menganggukkan kepala.
Setelah tahu ia
sebatang kara, ingin sekali rasanya merawat gadis kecil ini dan memberinya
kehidupan yang lebih baik. Kemudian kubawa gadis kecil itu pergi dari tenda
pengungsian menuju terminal. Pada mulanya, ia merasa senang ikut bersamaku.
Sepanjang perjalanan ia menghabiskan sebungkus biskuit, dua bungkus roti dan
beberapa kaleng minuman yang kubawa khusus untuk bekal selama beberapa hari di
daerah bencana.
Hari sudah sore.
Sebelum kami sampai di Pelabuhan Bangkahueni, kami singgah ke rumah makan
terlebih dahulu.
“Ana, kita makan
dulu ya. Sudah berhari-hari perutmu belum terisi nasi.”
Dari pertanyaan
itu, Ana hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Kami pun makan dengan lahap
di Rumah Makan 3 Saudara.
Setelah perut
kami terisi nasi, kami lekas menuju ke Pelabuhan Bangkahueni. Tepat pukul 17.00
kami sampai di pelabuhan. Sebuah keberuntungan bagi kami. Disaat lelah, kami
tak perlu mengantre kapal Ferry hingga berjam-jam. Kami pun siap
melakukan perjalanan dan tak sabar ingin cepat sampai di Pelabuhan Merak.
Sepanjang
perjalanan menyeberangi lautan, aku bertanya tentang kehidupan keluarga gadis
kecil itu. Namun, tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya melainkan hanya
tetesan air yang keluar dari matanya. Kubiarkan ia menangis agar merasa lebih
baik dengan mengeluarkan semua kejanggalan yang ada di hatinya.
Jam menunjukkan
pukul 22.00. Masalah baru muncul setelah tiba di Pulau Jawa. Ana mulai rewel
dan merengek minta pulang.
“Balek...
Balek... Ayah... Ibu... Ani... Nak balek....” Rengek Ana dengan bahasa
Bengkulunya.
“Iya, kita akan
pulang. Tapi kita harus tunggu travelnya dulu!”
Setengah mati aku
membujuknya. Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku sebuah keraguan. Apakah aku
sanggup mengasuh seorang anak dengan jadwal kerja yang sangat padat? Akan
tetapi, niatku dapat mengalahkan segala keraguan. Ingin kukatakan pada gadis
kecil itu bahwa hidup harus terus berjalan. Dunia tidak akan ikut berhenti
berputar ketika semua yang ada di sekitarnya kacau-balau. Aku pun tak begitu
yakin mengapa kupilih ia untuk tinggal bersamaku, membawanya pergi jauh dari
daerah asalnya, serta kuajarkan ia tentang harapan-harapan masa depan.
Jarum jamku
menunjuk pada angka sebelas. Sambil menunggu travel jurusan Merak-Jakarta, kami
mancari rumah makan terdekat. Kami singgah dan beristirahat sejenak di Rumah
Makan Simpang Raya yang tak jauh dari tempat pemberhentian travel
tersebut. Di rumah makan ini banyak para pengunjung yang naik turun kapal Ferry
untuk makan dan beristirahat.
Selang berapa
lama kemudian travel jurusan Merak-Jakarta yang kita tunggu akhirnya tiba. Aku
dan Ana pun segera masuk ke dalam mobil. Semula mobil tersebut
kosong namun kini telah penuh sesak dengan penumpang. Bermacam-macam penumpang
dari berbagai daerah. Travel ini pun mulai bergegas menuju Jakarta.
Setelah empat jam
perjalanan, akhirnya kami tiba di terminal pemberhentian Pasar Minggu. Segera
kucari taksi untuk lekas membawa kami pulang ke rumah. Dari Pasar Minggu ke Jagakarsa
satu jam lamanya dan tak terasa akhirnya kami tiba di rumah.
Teeet... Teeet...
Teeet...
“Pak Joko... Buka
gerbangnya, Pak. Adi pulang nih!”
Teeet... Teeet...
Teeet...
“Ana, sabar yah!”
Pintaku padanya yang sudah terlihat sangat lelah.
Teeet... Teeet...
“Maaf, Den, tadi
saya ke belakang sebentar.” Sambil dibukanya pintu gerbang tersebut.
“Iya, Pak, enggak
apa-apa kok.”
“Mari saya bantu
bawakan barangnya, Den!”
“Terima kasih, biar
Adi bawa sendiri saja, Pak.”
“Baiklah. Maaf gadis
kecil ini siapa, Den?”
“Ini Ana, nanti
saja Adi jelaskan. Capek nih, mau istirahat dulu Pak.”
“Baik, Den.”
Setelah
bercakap-cakap dengan Pak Joko, aku dan Ana segera masuk ke dalam rumah untuk
beristirahat. Kuantar Ana menuju kamar tamu yang sudah dirapikan oleh Simbok
agar ia bisa menempatinya dan beristirahat. Kemudian kurebahkan tubuhku di
sofa ruang tamu. Cukup melelahkan perjalanan hari ini, gumamku. Tak lama
kemudian terdengar suara azan berkumandang. Kubersihkan diri dan lekas salat
subuh. Setelah salat subuh, kurapikan semua barang-barangku, kemudian
aku menuju kamarku untuk beristirahat.
Tok... Tok...
Tok...
“Den, Den Adi!”
Panggil Simbok sambil mengetuk pintu kamarku.
“Den, bangun
Den!”
Mendengar suara
panik Simbok, kubangun dan kulihat jam beker muncul angka 07.15. Kubuka
pintu kamar secara perlahan. “Ada apa Mbok? Adi capek, masih ingin istirahat!”
Jawabku sambil terkantuk-kantuk.
“Maafkan Simbok,
Den. Anu.. Mbak Ana nangis terus.”
Setelah mendengar
ucapan Simbok, dengan segera aku menuju kamar Ana. Kuhampiri ia yang sedang
menangis. Kutanyakan perlahan apa yang membuatnya menangis. Namun, sebenarnya
aku tahu apa yang sedang ia tangisi. Kucoba membujuknya dengan mengajak ia
berkeliling kota Jakarta. Lagi-lagi ia tak menjawab, hanya menggelengkan
kepalanya dan menangis.
“Ana, melupakan
orang yang kita sayangi itu memang sangat sulit. Tapi berada dalam kesedihan
berlarut-larut itu juga tidak baik.” Nasihatku padanya.
“Mbak Ana, sudah ndak usah nangis lagi. Di
sini ada Mas Adi, ada Simbok juga Pak Joko yang akan sayang sama Mbak Ana.”
Bujuk Simbok dengan logat Jawanya yang kental.
“Uda Adi, aku nak
balek ke rumah. Aku nak nyari ayah, ibu samo Ani jugo.” Pintanya sambil
memelukku.
Malaikat kecil di
hadapanku ini mengajariku satu hal bahwa orang tidak boleh menyerah dengan apapun
yang dihadapinya. Mendengar pintanya itu, hatiku merasa tersentuh. Aku pun
menuruti permintaannya. Senyuman itu senantiasa terbayang di pikiranku.
Tak kusangka, dekapan pelukan hangat malaikat kecil ini akan menjadi surga
bagiku.
Keesokan harinya
kami lekas menuju kampung halaman Ana yang berada di Bengkulu. Kami pun
menggunakan transportasi yang sama seperti kemarin. Sepanjang perjalanan
kulihat raut wajahnya begitu berbinar-binar. Senyum manisnya selalu terbayang
dalam pikiranku. Hanya kebahagiaan dan kehidupan lebih baiklah yang ingin
kuberikan padanya.
Setiba di kampung
halamannya, tergambar dengan jelas pada wajahnya bagaimana suasana hatinya yang
campur aduk pada saat itu. Tak sabar ia ingin melihat sebuah rumah yang baginya
itu adalah istananya, namun dilihatnya sebuah istana yang tak berbentuk lagi.
“Ana, kamu harus
sabar yah!”
Tak lama
berbarengan dengan itu, datanglah seorang pria dari arah Utara mendekati kita.
Ternyata bapak itu adalah tetangga rumah Ana, Pak Anto. Ia memberitahukan bahwa
kemarin ayah dan ibunya Ana sudah ditemukan, namun keduanya tak terselamatkan.
Mendengar berita itu Ana menangis dan terjatuh lemah. Ia tak kuasa menahan
tangis atas kabar buruk yang didapatnya itu.
“Ana, kau harus
kuat, yang tabah yo, Nak!” Ujar Pak Anto sambil menenangkan Ana.
“Ani.. Ani.. Ani
di mano, Pak?” Tanya Ana kepada Pak Anto dengan panik.
“Kembaran kau
belom ketauan. Bapak jugo idak tau cakmano keadaan dio sekarang. Mugo-mugo be
dio selamat dari bencano itu, Nak.” Jawab Pak Anto.
Ana semakin tak
berdaya akan kabar yang didengarnya itu. Ia berteriak kuat-kuat menyebut ayah,
ibu dan Ani, kembarannya. Tak sanggup kumelihat gadis sekecil ini harus
menerima kenyataan amat pahit.
“Ana, benar apa
yang dikatakan Pak Anto, kamu harus kuat. Kita bisa tinggal untuk beberapa hari
lagi di sini dan berusaha untuk mencari Ani. Kita berdoa saja semoga ia cepat
ditemukan dan selamat.” Kataku sambil membuatnya bangkit dan semangat.
Kini bukan lagi
senyuman manis malaikat kecil itu yang selalu membayangi pikiranku, melainkan
hanyalah kepedihan dideritanya yang selalu terbayang. Ingin kuhabiskan
hari-hari hanya untuk membuatnya tersenyum bahagia. Ingin sekali kuwujudkan
mimpi-mimpinya. Doaku pada Yang Maha Kuasa agar Ani ditemukan dengan selamat.
Saat Ana
mendengar berita kematian kedua orang tuanya dan belum ditemukan kembarannya
itu, ia langsung pingsan. Saat kejadian itu, dengan segera kubawa ia ke tenda
pengungsian. Kusadarkan ia dengan mengoleskan minyak angin pada telapak tangan,
kaki dan hidungnya. Beberapa lama kemudian ia sadar tanpa ada perubahan
apa-apa. Ia kembali menangis, berteriak-teriak memanggil ayah-ibu dan
kembarannya, serta memukuli wajahnya dengan tangannya.
“Ana, hentikan!”
Perintahku yang melarangnya mumukuli wajahnya itu. Kugapai tanggannya agar ia
berhenti memukuli wajahnya. “Kakak tau apa yang kamu rasakan, tapi kamu gak
boleh seperti ini!” Kucoba untuk menenangkannya. Azan magrib pun berkumandang.
Kuajak ia salat magrib berjemaah di masjid terdekat.
Sepulang dari
masjid, kami segera kembali ke tenda pengungsian. Setelah Ana terlihat tenang
kubiarkan ia beristirahat, sementara aku membuatkan makan malam untuknya.
Sengaja aku tak mengantre untuk mengambil makanan dari tempat pengambilan
konsumsi, agar konsumsi tersebut cukup untuk warga yang terkena bencana.
Teramat sedih untuk melihat daerah ini. Beberapa rumah yang semula berdiri
megah kini runtuh parah, salah satunya yaitu rumah Ana.
Setelah Ana
tertidur lelap, kumeninggalkannya sejenak di tenda pengungsian untuk mencari
kembarannya. Kugerakkan kaki dan terus melangkah untuk mencari kembarannya itu.
Saat kumemalingkan pandangan ke arah kiri, tampak sekerumunan orang di sudut
seberang jalan. Kuberpikir sejenak. Apa yang terjadi di sana, seakan penuh
tanya bagiku. Tanpa berpikir panjang lagi, kuhampiri kerumunan itu.
Kulihat seorang gadis kecil terbaring tak sadarkan diri dengan tubuhnya yang
lusuh penuh lumpur. Kupertegas kembali hingga terlihat dengan jelas wajah gadis
kecil itu. Ya, wajahnya tak asing bagiku. Kutersadar bahwa itu adalah Ani.
“Permisi...
Permisi... Saya kenal dengan anak ini.” Ujarku pada kerumunan itu sambil
melihat keadaan Ani yang terbaring tak sadarkan diri. Kuperiksa dengan sigap
apakah ia masih hidup atau tidak. “Terima kasih ya Allah, Kau telah
memberikan kesempatan hidup padanya.” Kubawa ia ke tenda darurat agar segera
diberi pertolongan.
Sesampainya di
tenda, dokter pun lekas memeriksa keadaan Ani. Ia memang selamat dari bencana
itu, namun salah satu kakinya tak dapat lagi berfungsi. Dokter menyarankan
untuk segera membawanya ke rumah sakit agar kaki kanannya diamputasi, ini
semata-mata untuk menyelamatkan jiwanya. Mendengar saran dokter, aku pun
menurutinya demi menyelamatkan hidupnya. Ini satu-satunya cara agar Ani tetap
selamat dan bisa berkumpul lagi dengan Ana. Teringat nama Ana, segera kutengok
ia di tenda pengungsian.
“Ana, kamu sudah
bangun.” Sambil kubantu ia duduk.
Ditengoknya jam
tanganku yang menunjukkan pukul 20.15 itu. “Loh, uda dari mano? Kenapo pakaian
uda kotor macam ni?” Tanyanya sambil memperhatikanku.
“Ana, kamu jangan
sedih lagi yah. Kakak sudah menemukan Ani, kembaranmu.”
“Di mano Ani,
Da?” Tanyanya penuh semangat.
“Ani selamat,
sekarang dia ada di tenda darurat.” Jawabku sambil memegang pundak Ana yang
ingin beranjak pergi.
Ana lekas
bergegas menuju tenda darurat untuk melihat keadaan Ani. Mengetahui akan
keadaan kembarannya itu, Ana meneteskan air matanya. Pada malam itu pun aku dan
Ana langsung membawa Ani ke Jakarta dengan pesawat terbang. Setelah satu jam
lamanya perjalanan kami di pesawat, tibalah kami di Bandara Soekarno-Hatta.
Segera kumencari taksi dan bergegas menuju Rumah Sakit Fatmawati. Tiga jam
lamanya perjalanan, sampailah kami di rumah sakit. Kami langsung membawa Ani
menuju ruang UGD karena lukanya yang serius itu. Dokter pun langsung memeriksa
luka Ani, dan memang kakinya harus diamputasi. Beberapa jam lamanya kami
menunggu, akhirnya dokter pun keluar dan memberikan kabar gembira pada kami
bahwa operasi kaki Ani berjalan dengan lancar. Kami sangat senang mendengarnya.
Setelah empat
hari Ani dirawat di rumah sakit, akhirnya dokter mengizinkan kami untuk
membawanya pulang ke rumah. Aku mulai bergegas untuk menyiapkan barang-barang
dan juga membayar biaya administrasinya. Taksi pun sudah menunggu kami untuk
memasukinya dan mengantar kami pulang ke rumah. Setengah jam lamanya kami di
perjalanan dan sampailah kami semua di rumah.
Kedatangan Ani membuat
suasana rumah menjadi lebih ramai. Saat kuceritakan semua kenyataan pedih ini,
senyum keikhlasanlah yang terlihat pada wajahnya. Apapun yang telah terjadi,
Ana dan Ani tetap mensyukurinya. Kebahagiaan yang sederhana itu adalah saat
melihat senyuman manis yang menghiasi wajah mereka. Tak lagi satu, namun kini
dua malaikat kecil di hadapanku menciptakan surga bagiku. Tercapailah niatku
dengan mengalahkan segala keraguan selama ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar