Rabu, 23 April 2014

Cerita Pendek

Bahagia Mereka Surgaku Derita Mereka Piluku

Bengkulu, jam sebelas. Panas terik mulai terasa menyengat kulitku. Kulangkahkan kakiku di atas lumpur pasca banjir tanpa keluh kesah. Alat perekam dan buku catatanlah yang kugunakan untuk mewawancarai narasumber dan mendapatkan sebuah berita. Saat terus kumelangkah, kulihat di bawah pohon rindang tampak seorang gadis kecil yang kiranya berumur sepuluh tahun berlumuran lumpur tak sadarkan diri. Tanpa berpikir panjang segera kudekati gadis kecil itu lalu kugendong ia ke tenda darurat.
Aku bersyukur gadis kecil ini selamat dari bencana. Kubawakan segayung air untuk membasuh wajahnya. Perlahan kubersihkan dengan waslap sekadar menyeka wajahnya dari debu dan lumpur agar ia merasa lebih nyaman. Terdapat goresan-goresan kecil pada pipi dan keningnya, mungkin terkena benda-benda tajam saat ia terbawa arus. Selang berapa lama kemudian gadis kecil itu sadar, ia menengok sekelilingnya dan tiba-tiba menangis. Sungguh kasihan, gadis sekecil ini harus menerima kenyataan bahwa ia terpisah dari ayah-ibunya akibat bencana.
“Dek, apa yang bisa kakak bantu?” Tanyaku perlahan.
Gadis kecil itu tak menjawab pertanyaanku. Ditengoknya sekilas wajahku. Kumulai berpikir sejenak. Jika anak ini hanya menangis dan tak menjawab pertanyaanku bagaimana aku bisa membantunya.
“Anak manis, kamu jangan takut. Kakak hanya ingin membantumu.” Sambil kuulurkan tangan kepadanya.
Dengan penuh kesabaran aku membujuknya, sambil kusodorkan sebatang cokelat agar ia merasa tenang. Tanpa melihat wajahku ia menggelengkan kepala seraya ditepaknya tanganku. Tak lama kemudian ia pun menggenggam tanganku.
“A.. A.. Ayah.. I.. Ibu.. Ani.. Ana nak ketemu, di mano dio?” Ucapnya sambil terbata-bata menangis.
Tak sanggup kukatakan pada gadis kecil ini atas kenyataan pahit yang harus diterimanya. Kesedihan hatinya dapat kurasakan begitu dalam. Tak ingin kumelihat malaikat kecil ini terus berada dalam kesedihan.
“Kamu tenang yah, Kak Adi di sini akan menemanimu.” Kusodorkan kembali sebatang cokelat kepadanya agar ia merasa lebih tenang. Tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya, ia hanya menganggukkan kepala.
Setelah tahu ia sebatang kara, ingin sekali rasanya merawat gadis kecil ini dan memberinya kehidupan yang lebih baik. Kemudian kubawa gadis kecil itu pergi dari tenda pengungsian menuju terminal. Pada mulanya, ia merasa senang ikut bersamaku. Sepanjang perjalanan ia menghabiskan sebungkus biskuit, dua bungkus roti dan beberapa kaleng minuman yang kubawa khusus untuk bekal selama beberapa hari di daerah bencana.
Hari sudah sore. Sebelum kami sampai di Pelabuhan Bangkahueni, kami singgah ke rumah makan terlebih dahulu.
“Ana, kita makan dulu ya. Sudah berhari-hari perutmu belum terisi nasi.”
Dari pertanyaan itu, Ana hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Kami pun makan dengan lahap di Rumah Makan 3 Saudara.
Setelah perut kami terisi nasi, kami lekas menuju ke Pelabuhan Bangkahueni. Tepat pukul 17.00 kami sampai di pelabuhan. Sebuah keberuntungan bagi kami. Disaat lelah, kami tak perlu mengantre kapal Ferry hingga berjam-jam. Kami pun siap melakukan perjalanan dan tak sabar ingin cepat sampai di Pelabuhan Merak.
Sepanjang perjalanan menyeberangi lautan, aku bertanya tentang kehidupan keluarga gadis kecil itu. Namun, tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya melainkan hanya tetesan air yang keluar dari matanya. Kubiarkan ia menangis agar merasa lebih baik dengan mengeluarkan semua kejanggalan yang ada di hatinya.
Jam menunjukkan pukul 22.00. Masalah baru muncul setelah tiba di Pulau Jawa. Ana mulai rewel dan merengek minta pulang.
“Balek... Balek... Ayah... Ibu... Ani... Nak balek....” Rengek Ana dengan bahasa Bengkulunya.
“Iya, kita akan pulang. Tapi kita harus tunggu travelnya dulu!”
Setengah mati aku membujuknya. Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku sebuah keraguan. Apakah aku sanggup mengasuh seorang anak dengan jadwal kerja yang sangat padat? Akan tetapi, niatku dapat mengalahkan segala keraguan. Ingin kukatakan pada gadis kecil itu bahwa hidup harus terus berjalan. Dunia tidak akan ikut berhenti berputar ketika semua yang ada di sekitarnya kacau-balau. Aku pun tak begitu yakin mengapa kupilih ia untuk tinggal bersamaku, membawanya pergi jauh dari daerah asalnya, serta kuajarkan ia tentang harapan-harapan masa depan.
Jarum jamku menunjuk pada angka sebelas. Sambil menunggu travel jurusan Merak-Jakarta, kami mancari rumah makan terdekat. Kami singgah dan beristirahat sejenak di Rumah Makan Simpang Raya yang tak jauh dari tempat pemberhentian travel tersebut. Di rumah makan ini banyak para pengunjung yang naik turun kapal Ferry untuk makan dan beristirahat.
Selang berapa lama kemudian travel jurusan Merak-Jakarta yang kita tunggu akhirnya tiba. Aku dan Ana pun segera masuk ke dalam mobil. Semula mobil tersebut kosong namun kini telah penuh sesak dengan penumpang. Bermacam-macam penumpang dari berbagai daerah. Travel ini pun mulai bergegas menuju Jakarta.
Setelah empat jam perjalanan, akhirnya kami tiba di terminal pemberhentian Pasar Minggu. Segera kucari taksi untuk lekas membawa kami pulang ke rumah. Dari Pasar Minggu ke Jagakarsa satu jam lamanya dan tak terasa akhirnya kami tiba di rumah.
Teeet... Teeet... Teeet...
“Pak Joko... Buka gerbangnya, Pak. Adi pulang nih!”
Teeet... Teeet... Teeet...
“Ana, sabar yah!” Pintaku padanya yang sudah terlihat sangat lelah.
Teeet... Teeet...
“Maaf, Den, tadi saya ke belakang sebentar.” Sambil dibukanya pintu gerbang tersebut.
“Iya, Pak, enggak apa-apa kok.”
“Mari saya bantu bawakan barangnya, Den!”
“Terima kasih, biar Adi bawa sendiri saja, Pak.”
“Baiklah. Maaf gadis kecil ini siapa, Den?”
“Ini Ana, nanti saja Adi jelaskan. Capek nih, mau istirahat dulu Pak.”
“Baik, Den.”
Setelah bercakap-cakap dengan Pak Joko, aku dan Ana segera masuk ke dalam rumah untuk beristirahat. Kuantar Ana menuju kamar tamu yang sudah dirapikan oleh Simbok agar ia bisa menempatinya dan beristirahat. Kemudian kurebahkan tubuhku di sofa ruang tamu. Cukup melelahkan perjalanan hari ini, gumamku. Tak lama kemudian terdengar suara azan berkumandang. Kubersihkan diri dan lekas salat subuh. Setelah salat subuh, kurapikan semua barang-barangku, kemudian aku menuju kamarku untuk beristirahat.
Tok... Tok... Tok...
“Den, Den Adi!” Panggil Simbok sambil mengetuk pintu kamarku.
“Den, bangun Den!”
Mendengar suara panik Simbok, kubangun dan kulihat jam beker muncul angka 07.15. Kubuka pintu kamar secara perlahan. “Ada apa Mbok? Adi capek, masih ingin istirahat!” Jawabku sambil terkantuk-kantuk.
“Maafkan Simbok, Den. Anu.. Mbak Ana nangis terus.”
Setelah mendengar ucapan Simbok, dengan segera aku menuju kamar Ana. Kuhampiri ia yang sedang menangis. Kutanyakan perlahan apa yang membuatnya menangis. Namun, sebenarnya aku tahu apa yang sedang ia tangisi. Kucoba membujuknya dengan mengajak ia berkeliling kota Jakarta. Lagi-lagi ia tak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya dan menangis.
“Ana, melupakan orang yang kita sayangi itu memang sangat sulit. Tapi berada dalam kesedihan berlarut-larut itu juga tidak baik.” Nasihatku padanya.
 “Mbak Ana, sudah ndak usah nangis lagi. Di sini ada Mas Adi, ada Simbok juga Pak Joko yang akan sayang sama Mbak Ana.” Bujuk Simbok dengan logat Jawanya yang kental.
“Uda Adi, aku nak balek ke rumah. Aku nak nyari ayah, ibu samo Ani jugo.” Pintanya sambil memelukku.
Malaikat kecil di hadapanku ini mengajariku satu hal bahwa orang tidak boleh menyerah dengan apapun yang dihadapinya. Mendengar pintanya itu, hatiku merasa tersentuh. Aku pun menuruti permintaannya. Senyuman itu senantiasa terbayang di pikiranku. Tak kusangka, dekapan pelukan hangat malaikat kecil ini akan menjadi surga bagiku.
Keesokan harinya kami lekas menuju kampung halaman Ana yang berada di Bengkulu. Kami pun menggunakan transportasi yang sama seperti kemarin. Sepanjang perjalanan kulihat raut wajahnya begitu berbinar-binar. Senyum manisnya selalu terbayang dalam pikiranku. Hanya kebahagiaan dan kehidupan lebih baiklah yang ingin kuberikan padanya.
Setiba di kampung halamannya, tergambar dengan jelas pada wajahnya bagaimana suasana hatinya yang campur aduk pada saat itu. Tak sabar ia ingin melihat sebuah rumah yang baginya itu adalah istananya, namun dilihatnya sebuah istana yang tak berbentuk lagi.
“Ana, kamu harus sabar yah!”
Tak lama berbarengan dengan itu, datanglah seorang pria dari arah Utara mendekati kita. Ternyata bapak itu adalah tetangga rumah Ana, Pak Anto. Ia memberitahukan bahwa kemarin ayah dan ibunya Ana sudah ditemukan, namun keduanya tak terselamatkan. Mendengar berita itu Ana menangis dan terjatuh lemah. Ia tak kuasa menahan tangis atas kabar buruk yang didapatnya itu.
“Ana, kau harus kuat, yang tabah yo, Nak!” Ujar Pak Anto sambil menenangkan Ana.
“Ani.. Ani.. Ani di mano, Pak?” Tanya Ana kepada Pak Anto dengan panik.
“Kembaran kau belom ketauan. Bapak jugo idak tau cakmano keadaan dio sekarang. Mugo-mugo be dio selamat dari bencano itu, Nak.” Jawab Pak Anto.
Ana semakin tak berdaya akan kabar yang didengarnya itu. Ia berteriak kuat-kuat menyebut ayah, ibu dan Ani, kembarannya. Tak sanggup kumelihat gadis sekecil ini harus menerima kenyataan amat pahit.
“Ana, benar apa yang dikatakan Pak Anto, kamu harus kuat. Kita bisa tinggal untuk beberapa hari lagi di sini dan berusaha untuk mencari Ani. Kita berdoa saja semoga ia cepat ditemukan dan selamat.” Kataku sambil membuatnya bangkit dan semangat.
Kini bukan lagi senyuman manis malaikat kecil itu yang selalu membayangi pikiranku, melainkan hanyalah kepedihan dideritanya yang selalu terbayang. Ingin kuhabiskan hari-hari hanya untuk membuatnya tersenyum bahagia. Ingin sekali kuwujudkan mimpi-mimpinya. Doaku pada Yang Maha Kuasa agar Ani ditemukan dengan selamat.
Saat Ana mendengar berita kematian kedua orang tuanya dan belum ditemukan kembarannya itu, ia langsung pingsan. Saat kejadian itu, dengan segera kubawa ia ke tenda pengungsian. Kusadarkan ia dengan mengoleskan minyak angin pada telapak tangan, kaki dan hidungnya. Beberapa lama kemudian ia sadar tanpa ada perubahan apa-apa. Ia kembali menangis, berteriak-teriak memanggil ayah-ibu dan kembarannya, serta memukuli wajahnya dengan tangannya.
“Ana, hentikan!” Perintahku yang melarangnya mumukuli wajahnya itu. Kugapai tanggannya agar ia berhenti memukuli wajahnya. “Kakak tau apa yang kamu rasakan, tapi kamu gak boleh seperti ini!” Kucoba untuk menenangkannya. Azan magrib pun berkumandang. Kuajak ia salat magrib berjemaah di masjid terdekat.
Sepulang dari masjid, kami segera kembali ke tenda pengungsian. Setelah Ana terlihat tenang kubiarkan ia beristirahat, sementara aku membuatkan makan malam untuknya. Sengaja aku tak mengantre untuk mengambil makanan dari tempat pengambilan konsumsi, agar konsumsi tersebut cukup untuk warga yang terkena bencana. Teramat sedih untuk melihat daerah ini. Beberapa rumah yang semula berdiri megah kini runtuh parah, salah satunya yaitu rumah Ana.
Setelah Ana tertidur lelap, kumeninggalkannya sejenak di tenda pengungsian untuk mencari kembarannya. Kugerakkan kaki dan terus melangkah untuk mencari kembarannya itu. Saat kumemalingkan pandangan ke arah kiri, tampak sekerumunan orang di sudut seberang jalan. Kuberpikir sejenak. Apa yang terjadi di sana, seakan penuh tanya bagiku. Tanpa berpikir panjang lagi, kuhampiri kerumunan itu. Kulihat seorang gadis kecil terbaring tak sadarkan diri dengan tubuhnya yang lusuh penuh lumpur. Kupertegas kembali hingga terlihat dengan jelas wajah gadis kecil itu. Ya, wajahnya tak asing bagiku. Kutersadar bahwa itu adalah Ani.
“Permisi... Permisi... Saya kenal dengan anak ini.” Ujarku pada kerumunan itu sambil melihat keadaan Ani yang terbaring tak sadarkan diri. Kuperiksa dengan sigap apakah ia masih hidup atau tidak. Terima kasih ya Allah, Kau telah memberikan kesempatan hidup padanya.” Kubawa ia ke tenda darurat agar segera diberi pertolongan.
Sesampainya di tenda, dokter pun lekas memeriksa keadaan Ani. Ia memang selamat dari bencana itu, namun salah satu kakinya tak dapat lagi berfungsi. Dokter menyarankan untuk segera membawanya ke rumah sakit agar kaki kanannya diamputasi, ini semata-mata untuk menyelamatkan jiwanya. Mendengar saran dokter, aku pun menurutinya demi menyelamatkan hidupnya. Ini satu-satunya cara agar Ani tetap selamat dan bisa berkumpul lagi dengan Ana. Teringat nama Ana, segera kutengok ia di tenda pengungsian.
“Ana, kamu sudah bangun.” Sambil kubantu ia duduk.
Ditengoknya jam tanganku yang menunjukkan pukul 20.15 itu. “Loh, uda dari mano? Kenapo pakaian uda kotor macam ni?” Tanyanya sambil memperhatikanku.
“Ana, kamu jangan sedih lagi yah. Kakak sudah menemukan Ani, kembaranmu.”
“Di mano Ani, Da?” Tanyanya penuh semangat.
“Ani selamat, sekarang dia ada di tenda darurat.” Jawabku sambil memegang pundak Ana yang ingin beranjak pergi.
Ana lekas bergegas menuju tenda darurat untuk melihat keadaan Ani. Mengetahui akan keadaan kembarannya itu, Ana meneteskan air matanya. Pada malam itu pun aku dan Ana langsung membawa Ani ke Jakarta dengan pesawat terbang. Setelah satu jam lamanya perjalanan kami di pesawat, tibalah kami di Bandara Soekarno-Hatta. Segera kumencari taksi dan bergegas menuju Rumah Sakit Fatmawati. Tiga jam lamanya perjalanan, sampailah kami di rumah sakit. Kami langsung membawa Ani menuju ruang UGD karena lukanya yang serius itu. Dokter pun langsung memeriksa luka Ani, dan memang kakinya harus diamputasi. Beberapa jam lamanya kami menunggu, akhirnya dokter pun keluar dan memberikan kabar gembira pada kami bahwa operasi kaki Ani berjalan dengan lancar. Kami sangat senang mendengarnya.
Setelah empat hari Ani dirawat di rumah sakit, akhirnya dokter mengizinkan kami untuk membawanya pulang ke rumah. Aku mulai bergegas untuk menyiapkan barang-barang dan juga membayar biaya administrasinya. Taksi pun sudah menunggu kami untuk memasukinya dan mengantar kami pulang ke rumah. Setengah jam lamanya kami di perjalanan dan sampailah kami semua di rumah.
Kedatangan Ani membuat suasana rumah menjadi lebih ramai. Saat kuceritakan semua kenyataan pedih ini, senyum keikhlasanlah yang terlihat pada wajahnya. Apapun yang telah terjadi, Ana dan Ani tetap mensyukurinya. Kebahagiaan yang sederhana itu adalah saat melihat senyuman manis yang menghiasi wajah mereka. Tak lagi satu, namun kini dua malaikat kecil di hadapanku menciptakan surga bagiku. Tercapailah niatku dengan mengalahkan segala keraguan selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar