Cerpen
(Mereka) yang Terkikis
Pagi ini, 3 Desember 2013 tepat dua hari setelah kepergian adik kesayanganku, Alsya. Aku merapihkan kamarnya. Berantakan, ada buku dimana-mana. Memang adik cantikku yang satu ini jarang merapihkan, lebih sering aku. Namun ketika aku sedang merapihkan, aku menemukan buku Diary adik di tas yang biasa ia kenakan ke sekolah. Kubuka, lalu kubaca. Aku hanya membacanya dengan teknik PhotoReading, aku tertarik pada bagian ulang tahun ke-17 Alsya. Betapa sedihnya aku ketika membaca tulisan tangannya.
**
yap.. hari ini tanggal 30 Oktober 2013, tepat di ulang tahunku yang ke-17. Biasanya ulang tahun ke-17 adalah masa keemasannya seorang remaja, seperti aku. Tapi buatku, masa-masa itu telah lewat. Aku seperti hidup sendiri.
Aku anak kedua dari dua bersaudara. Kakakku yang sekarang seperti rival bagiku, Nasya. Awalnya tidak, kita semua saling sayang. Layaknya sinetron, aku adalah anak bontot yang paling dimanja, dulu. Lain dulu lain sekarang. Itu semua berubah 1800 setelah aku salah langkah. Yak, aku aku mengaku pacaran. Memang ayah dan bunda melarang keras kata-kata pacaran. Aku tergoda sesaat, hanya ingin menjajal apa rasanya punya pacar.
Di umurku yang ke-16, si ketoa OSIS, Azzam menyatakan cinta padaku. Dia temanku sejak SD yang aku kagumi sejak SMP. Kita selalu bersaing juara paralel sekolah, dia baik, dia manis, ganteng sih engga, tapi dia kece. Dia selalu jadi trending topic di sekolah. Dia belum pernah punya pacar, dia bilang, aku cinta pertamanya. Dia…dia…dia. Tak butuh waktu lama, aku langsung jawab ‘ya’ aku mau. Entah setan mana yang bersuara.
Pulang sekolah, gemetar aku melihat ayah-bunda. Aku takut mengecewakan mereka, karena anaknya yang telah memiliki pacar. Tiap pagi, mereka selalu bilang “Sekolah yang benar ya nak.. jangan pikirkan yang lain, sukses ya nak” Mengatakan sembari tersenyum. Kata-kata itu memang biasa mereka ucapkan, tapi dalam kondisi seperti ini, kata-kata itu seperti nyata telah mereka ketahui, aku jadi paranoid.
Malam hari keenam setelah jawaban ‘ya’ itu aku berdua dengan ayah di ruang keluarga. Aku Tanya “Ayah, kalo orang minta maaf setelah berbuat salah, apa kesalahannya akan berkurang?” Tanyaku berdebar. Rasanya aku ingin punya ilmu menghilang saat menanyakan itu. “Tidak juga, tapi jika kamu telah melakukan hal yang buruk, simpan untuk dirimu sendiri” Jawab ayah dengan nada lembut dan bijak. Segan aku menyakitinya. Andai waktu dapat ku ulang untuk tidak mengatakan ‘ya’.
Keesokan harinya, setelah do’a subuhku, ketika ayah sedang menonton televisi beserta bunda disampingnya yang sedang menemani tontonan ceramah pagi-nya “ustaz selendang” di Trans TV. Aku ingat betul, ketika itu jarum pendek terhimpit antara si 5 dan si 6. Aku pikir, inilah kesempatan ku untuk bicara empat mata dengan orangtuaku. Kalimat pertama aku buka dengan “Ayah, bunda aku mau bicara serius”. “Ya… apa ‘nak” Jawaban dengan selembut-lembutnya suara bunda. Suasana bising televisi dan kendaraan bermotor seketika hening di telinga ku. Tangan yang tadinya hangat waktu berdo’a mulai dingin. “Ayah-bunda, kalo aku berbuat salah, apa ayah dan bunda mau maafin aku?” Tanya ku takut. “Salah apa kamu nak?” Ayah penasaran. “Ayah, waktu itu ayah bilang kalau kita punya hal yang buruk simpan untuk diri kita sendiri. Betulkan, yah?” Aku meyakinkan ayah. “Iya, lalu?” Ayah mulai bingung dengan arah pembicaraan ku. “Apakah kalau cinta itu hal yang buruk? (hening, ayah mematikan tv) “Sebenarnya aku telah memiliki hubungan, yah..bun. Aku udah coba buat lepasin dia, tapi sulit banget Yah. Kita ga ngapa-ngapain ko Yah. Kita Cuma ingin sama-sama memberi support. Kita ga pernah pegangan tangan, jalan berdua, bahkan tatap matanya aja aku jarang. Aku minta maaf yah-bun, tapi buat kalian aku bisa putus ko sama dia” semua keluar begitu saja dari mulut ku, tapi Ayah dan Bunda juga meninggalkan ku begitu saja. Aku sadar bahwa mereka berdua marah. Bahkan saat aku berangkat sekolah, mereka tidak keluar untuk memberikan do’a mereka untuk ku.
Pagi di sekolah ternyata ada seleksi kejuaraan Olimpiade Sains Nasional (OSN) mood ku sedang tidak enak, jadi aku tidak ingin ikut seleksi. Tapi entah kenapa nama ku dan namanya ada dalam daftar peserta lomba. Saat pulang, aku ingin minta do’a restu pada Ayah Bunda bahwa aku akan mengikuti kejuaraan seminggu lagi di Bali. Tapi melihat ku saja tidak ingin, ditambah kak Nasya yang tak ingin menjadi tempat curhat ku (lagi). Baru tersadar aku bahwa kesalahanku besar, tapi mengapa mereka tidak memberikan aku waktu untuk menjelaskan, membenarkan atau bahkan sekedar memberitahu bahwa aku salah. Di rumah aku seperti hidup sendiri, ditambah dengan mereka yang mulai membanding-bandingkan ku dengan kak Nasya. Akhirnya aku pergi ke rumah tanta Sarah, adik Bunda dan bercerita banyak tentang ku. Bahkan aku tidak pulang pun mereka sama sekali tidak menelepon ku.
“Tante, aku pulang dulu ya…aku mau siap-siap ke sekolah” aku ijin pulang setelah shalat Subuh. Ayahku lihat telah berangkat kerja dengan Camry-nya, bunda sedang bersiap untuk arisan, kak Nasya?? Entah pagi ini seperti tidak melihatku, mungkin aku tembus pandang di matanya, sedih.
Di sekolah pun aku tidak fokus, saat guru matematikaku menjelaskan tentang kalkulus, aku melah menulis buku ku dengan tulisan “Ayah-Bunda, kak Nasya, andai waktu dapat ku ulang, aku tidak ingin seperti ini. Aku rindu saat-saat kita bersama, aku rindu saat ayah menjajak ku menonton bola tim kesayangannya, MU di tempat nobar depan perumahanku. Aku rindu saat Bunda megajakku belanja. Memang dulu aku merengek ingin pulang ketika di Mall, namun sekarang jadi aku yang merengek minta bunda mengajakku. Aku rindu sama kak Nasya yang tiap malam mengajari aku matematika, biologi, kimia. Sekarang aku mau ikut kejuaraan kak, kakak tidak ingin mengajariku lagi?. Aku sayang kalian, lebih dari yang kalian tahu”. Guru yang melihat ku langsung menyuruhku pergi ke UKS. Bukan fisikku yang sakit, andai dia tahu. Selesai jam, aku membawa serta kertasku tadi.
Tibalah hari dimana aku harus berangkat ke Bali, memang mereka menyambutku. Tapi hanya memberikan amplop berisi uang. Tebal sih, tapi bukan itu yang aku butuhkan. Ketebalan cinta mereka yang terkisislah yang aku inginkan. Ayah-Bunda-kak Nasya, aku berangkat lima hari. Kalian do’akan aku ya, semoga sukses. Menangis aku, tidak ada yang mengantar ku ke sekolah, padahal aku akan pergi jauh. Di sekolah kami telah bersiap dan diberikan motivasi oleh kepala sekolah, hati ku mulai tenang, semangat kembali.
Sesampainya di Bali, setelah rapi semua aku belajar keras, aku tidak ingin mengecewakan orangtuaku (lagi). Kejuaraan berlangsung empat hari, aku tidak boleh lengah aku harus melepaskan masalahku, sulit memang. Aku membawa foto keluargaku agar ketika aku mengerjakan soal, aku ingat bahwa aku harus membanggakan. Hasil OSN akan diumumkan sebulan kemudian dan kami pun pulang.
Aku pulang langsung ke rumah dari bandara dengan taksi bersama Azzam. Sebelum naik Taksi aku bilang pada Azzam “Nanti jangan turun yaa, malu diliat tetangga”. “Iya, aku ngerti kok” Jawab Azzam. Betapa pengertiannya cinta pertamaku. Sayang kami sudah putus.
**
Tulisan tangan Alsya berakhir sampai kalimat itu. Mungkin buku itu terakhir ia tulis di taksi. Karena setelah itu, mereka kecelakaan di perjalanan pulang ke rumah kami di Tangerang Selatan. Waktu itu, Alsya dan Azzam sama-sama luka parah. Mereka berdua langsung dibawa ke Rumah Sakit Eka Hospital dan tidak sadarkan diri selama 7 hari. Azzam telah lebih dulu menghembuskan nafas tepat saat Alsya sadar dari koma. Alsya sadar dan langsung menggenggam erat tangan bunda. “Maafin aku” Kata-kata pertama Alsya. Bunda tertunduk, ayah hanya bisa mengelus-elus kepala Alsya dan aku hanya menangis di pojok kamar Alsya.
Setelah itu Alsya tidak sadarkan diri, ia kembali koma. Tepat saat pengumuman OSN ia sadar. Bangganya aku memiliki adik seperti dia, dia juara kedua bersama timnya termasuk Azzam, aku memberitahu Alsya tentang ini. Ia bahagia, sangat. Namun senyum itu hilang setelah ia menanyakan “Kak, apa Azzam ga pernah nengokin aku? tapi jangan bilang ayah ya aku nanyain dia”. Aku pikir, kalau aku jujur, akan menambah buruk keadaan psikologi Alsya jadi aku bilang “Sering koo..tiap hari dia kesini. Kamunya tidur terus sih, kapan bisa liat dia coba?” Aku menahan tangisku di depan Alsya. Tapi Alsya tidak begitu saja percaya dia mengerenyitkan dahinya dan bertanya “Kok dia gak datang ya kak? Padahal aku kan udah sadar. Oh iya, ayah sama bunda udah ga marah sama aku?” “Engga ko.. Kan kalian udah ga pacaran” Lega aku, mengatakannya. “Ka, aku mau bilang..kalo aku sayang banget sama keluarga kecil kita. Aku gamau kita kepisah kayak kemaren lagi. Aku sedih ka” seketika itu detak jantung Alsya turun. Aku langsung memencet Alarm Bell tapi terlambat. Dokter tidak bisa menolong, jika Tuhan berkehendak lain. Aku tidak tahu apa yang sedang aku rasa. Rasanya tidak ada kata yang tepat menggambarkannya. Ayah dan bunda segeraku beritahu, mereka langsung bergegas ke rumah sakit. Ternyata Alsya sadar hanya untuk pamit.
Di lembar akhir buku diary-nya, ia menempel foto kami dan menuliskan “Love You as Always”. Aku menyesal di sisa umurnya mendapatkan perlakuan busukku, yang ia anggap sebagai pengikisan rasa sayangku padanya. Andai waktu dapat ku putar, aku ingin mengajarkanmu adik manisku, aku ingin kita seperti jari telunjuk dan jari tengah (lagi). Aku telah menyia-nyiakan waktu kebersamaan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar