Kamis, 24 April 2014

Cerita Pendek: "Seorang Ibu dengan Sebongkah Hati Penuh Luka"

Dengan tangan tuanya, ia menutup rapat koper suaminya.

Hari ini suaminya hendak ke luar kota. Cukup lama. Maka, sebagai istri yang baik, ia menyiapkan segala sesuatu dengan baik, termasuk membelikan sebuah jaket baru yang penuh dengan kantong agar suaminya itu tidak repot menyimpan banyak dokumen yang sering ia bawa kemana-mana.

Selain jaket, perempuan tua itu juga membelikan hand phone baru buat suaminya. Bukan untuk gagah-gagahan. Tapi, lihatlah HP milik suami yang usianya sepuluh tahun di atasnya itu, jauh sekali dari kesan baik dan layak. Perempuan itu ingin suaminya bisa dihargai orang dari tampilannya meski ia tahu suaminya memang tidak pernah peduli soal tampilan. Tapi, sekali-kali boleh dong melihat suami berpenampilan lebih baik. Supaya mata enak juga memandang.

Angin semilir mengiring keberangkatan sang suami. Taksi yang telah menunggu di depan, segera menutup pintu bagasi dan pintu penumpang selepas barang dan orang yang menumpang taksinya sudah masuk ke dalam. Perempuan tua itu melambaikan tangan disambut suami tercintanya dari dalam taksi. Hari itu adalah hari dimulainya hari-hari sepi tanpa suami meski cuma sesaat, tak lama.

Belum berapa langkah kakinya masuk ke dalam, mendadak ia rasakan sesuatu dari dalam hatinya. Segera ia buka sedikit kemeja yang ia kenakan, pembalut tubuhnya.

Perempuan itu sedikit terkaget. Nampak jelas dari pelupuk matanya, jahitan lama dari luka di hatinya ada sedikit peradangan. Padahal sudah sekian lama, hati ini tidak meradang seperti sekarang. Bukankah jahitannya sudah cukup kencang?

Perempuan itu menarik nafas sejenak. Ia segera menutup kembali kemejanya sembari mengharap sangat agar tak ada kejadian yang bisa membuat hati yang pernah terluka itu kembali menganga.

Di dalam taksi menuju bandara, laki-laki tua berusia lebih dari enam dasawarsa itu tersenyum senang. Alam yang mengiring kepergiannya tadi sepertinya juga mengikuti ritme kesukaan yang begitu menyelimuti dirinya. Perjalanan kali ini pasti akan sangat menyenangkan. Apalagi jika mengingat bakal ada wajah merekah indah akan menyambutnya di kota kali ini. Wajah yang selalu memancarkan kesegaran, bak apel merah ranum yang kecemplung di air lalu sengaja diangkat, menyisakan sisa-sisa air segar di pinggirannya.

Hemmm…Segar sekali. Apalagi jika disantap di hari panas begini. Wuah…, bahkan angin nan menyejukkan pengantar kepergiannya ini, niscaya akan tidak ia pedulikan. Lebih sedap menyantap sang apel merah pujaan hatinya.

Belum lama pikirannya berkelana, mendadak suara HP barunya berbunyi. Itu suara SMS masuk. Dengan suka cita. Laki-laki itu segera membuka HP-nya. Tangan tua yang masih kekar dan kuat itu begitu semangatnya hingga membuat gerak membuka SMSnya serasa lambat. Untung tidak sampai jatuh.
Tak lama, matanya terbelalak senang. SMS itu berasal dari sang buah apel yang baru saja ia pikirkan. Panjang umur sekali. Keceriaan wajah tuanya kian terlihat nyata sesaat ia mencoba cepat membalas SMS mesra itu. Syaraf motorik yang membantu membalas SMS itu kian menurun kecepatannya berbarengan dengan usianya yang kian meninggi. Apalagi ini adalah HP baru. Rada lama dia harus belajar beradaptasi. Tapi, ia tak peduli. Bukankah hidup harus dijalani dan dinikmati.

Di rumah kecil itu, perempuan yang sudah berpuluh tahun mendampingi lelaki yang sedang semangat mambalas SMS itu, mengusir rasa sepi yang mendadak mengerubungi dirinya dengan membersihkan rumah penuh kenangan itu. Jika dinding rumah tersebut bisa bicara maka akan ada banyak cerita yang terlontar. Tentang arti kesetiaan, tentang saling pengertian, tentang rasa kemanusiaan yang selalu didengungkan serta terus diperjuangkan oleh suami tercintanya dan tentang rasa percaya. Dinding-dinding rumah itu juga pasti yang akan cerita saat-saat indah keduanya saat masih muda hingga setua ini. Perempuan itu merasa berbahagia sekaligua bangga, laki-laki tercintanya sungguh adalah pejuang kehidupan, baik bagi mereka maupun bagi kehidupan mereka berdua.

Kalau ternyata justru di usia senja sang suami lebih banyak mendapat kesempatan mengaktualisasikan dirinya, itu bukan karena kesalahan. Tetapi, karena kondisi keadaan tanah bumi yang dahulu sangat membatasi gerak-geriknya hingga sempat dianggap pembangkang. Maka, begitu zaman telah berganti, memberi lebih kebebasan berekspresi, suami tercintanya itu tidak mau kehilangan kesempatan lagi, selayaknya ketika ia masih muda. Usia senja, bagi si suami bukan alasan untuk terus berjuang bagi banyak orang. Berjuang tentang nilai-nilai kemanusiaan yang bahkan telah sempat sangat niat ia pelajari di bangku kuliah tingkat tinggi.

Mendadak perempuan itu memegang kembali hatinya. Kali ini hati merah itu seperti lebih kencang berdetak. Perempuan itu jadi sangat cemas, takut ada apa-apa. Sementara di rumah kecil itu tidak ada orang lain juga. Anak-anak mereka kan sudah punya keluarga sendiri dan tidak sekota.

Dia juga tak ingin menyusahkan orang lain. Suaminya telah mengajari dia untuk mandiri, tidak tergantung kepada orang lain. Maka ia pun berusaha sendiri untuk menyembuhkan rasa hati yang entah kenapa jadi terasa sakit itu.

Dari ikatan jahitan atas luka terdahulu, ia sempat melihat semacam rembesan merah mulai keluar. Ah, mungkinkah luka itu harus kembali terbuka sementara sudah ia jaga sekuatnya supaya tidak sakit lagi. Tapi, kali ini kenapa?

Dia ingat lima tahun lalu, luka yang semula mulai mengecil sekonyong-konyong saja membesar begitu mendapat kepastian ada seorang orok mungil keluar dari seorang perempuan muda. Orok yang kemudian nama belakangnya diberi nama seperti nama suaminya tersebut menjadikan ia berbulan-bulan meratapi hati yang membengkak itu. Beragam obat yang sempat ia sengaja berikan bagi kesembuhan, tak juga mampu meredakan. Bahkan niat mengakhiri hidup terlintas di benaknya. Untunglah, anak-anaknya menguatkan ia. Dari mereka juga, perempuan lebih dari setengah abad itu mulai menerima kenyataan dan membuka pintu maaf seluas-luasnya. Ajaib.

Hati yang membengkak itu, tak lama setelah dijahit dengan rasa cinta yang kembali ia rasakan dari sang suami yang juga mengucapkan kata maaf atas peristiwa yang terjadi, luka-luka yang muncul mulai mengering. Rasa nyeri yang menggerogoti hari-harinya tak dirasakan lagi. Dirinya pun seperti sudah bisa berdamai dengan segala situasi.

Perempuan itu pun bisa bernafas lega. Benar-benar lega. Tapi, kenapa sekarang rasa sakit itu kembali muncul pelan-pelan?

Cekit-cekit-cekit… Pelan dan sedikit, tapi sungguh terasa sakit. Jangan-jangan apakah ini berarti…
Ah! Perempuan itu segera menghalau pikiran buruknya. Bukankah suaminya kini sedang menghadiri sebuah seminar tentang kemanusiaan? Bagaimana mungkin dia masih sempat berbuat aneh-aneh?
Perempuan itu tertatih menuju kamar tidurnya. Hendak berbaring sejenak. Siapa tahu bisa membantu mengurangi sakitnya.

Pesawat yang mengantarkan lelaki tua, tapi masih punya semangat luar biasa itu membawa tubuhnya menuju kota dimana gelar kesarjaanna S3-nya sangat dibutuhkan. Rencananya ia memang diminta untuk membawakan semacam seminar dan kuliah umum tentang kemanusiaan yang telah menjadi spesialisasinya. Sudah kesekian kali ia menjadi pembicara di banyak tempat, banyak negara untuk hal tersebut. Latar belakang pendidikan, pengalaman serta pergaulannya menambah nilai plus kehadiran dirinya. Terlebih bagi anak muda yang melihat ia bukan saja sebagai sosok orang tua yang patut diteladani, tetapi juga sebagai pejuang kemanusiaan yang tak kenal lelah berjuang. Tutur katanya yang sopan, tindak tanduknya nan santun, benar bisa membius orang bahkan yang baru dikenal seklipun. Kesederhanaan pun memancar dalam tubuh rentanya. Pokoknya siapa pun yang mengenalnya akan sangat menghormati dan bisa-bisa mendadak jadi fans fanatiknya. Bak artis muda yang tiba-tiba naik daun tanpa harus susah-susah melalui seleksi atau audisi.

Perjalanan panjang lewat jalur udara itu pun selesai sudah.Di Bandara berkapasitas pesawat internasional itu membuat langkah kakinya kian bersemangat menuju pintu gerbang, dimana telah terjanji ada seseorang menunggu dengan senyum merekah di bibir merahnya. Perjalanan melelahkan diyakini akan segera sirna begitu ia boleh menemui sang pemilik senyum merah merekah itu.

Dan, begitu mata melihat perempuan muda yang tengah memberi lambaian tangannya dengan penuh semangat, laki-laki tua itu kian ingin kakinya bisa terbang agar cepat dapat berhadap-hadapan dan melepas kerinduang terdalamnya.

Tak ia pedulikan lagi mata-mata lain yang memandang aneh begitu tubuh pasang anak manusia itu bertemu. Plus kecupan mesra di dahinya yang selalu terbayang dalam diri lelaki bergelar Doktor itu. Pikir laki-laki itu, paling orang mengira semua itu adalah cara pelepasan rindu antara bapak dan anak. Jadi makin tak peduli lah dia.

Esok pagi terjelang sudah. Matahari tak perlu malu tersembul bersama keringat banyak orang menggapai cita.

Pada kegelisahan dan kesakitan tiada berujung pangkal pasti ini, pintu rumah perempuan tua yang biasa dipanggil “Ibu” oleh anak-anaknya tersebut, diketuk keras oleh seorang tetangga. Sang tetangga memohon dengan sangat agar perempuan itu mau membantunya memegangi tangga. Hanya memegangi tangga saja. Kucing kesayangan si tetangga naik ke atas atap dan tidak bisa tutun. Sedari tadi kucing itu mengeong seperti minta turun. Padahal di rumah tetangga itu sedang tak ada siapa-siapa. Usianya sama dengan perempuan itu. Berjenis kelamin sama pula.

Demi rasa kemanusiaan yang selalu ditanamkan suaminya, perempuan itu berusaha menahan sakit dan membantu perempuan tetangganya itu. Tugasnya hanya memegangi tangga. Tidak terlalu berat. Tapi, entah kenapa hati yang selalu ia pegang dengan tangannya kian nyeri terasa. Nyaris tak kuat ia menahan. Apalagi kucing yang hendak diturunkan dari atap, tidak mudah ditangkap. Terpaksalah perempuan tua yang berusaha bertahan itu meringis-ringis menahan sakit.

Ah. Cepatlah semua ini berakhir. Benaknya.

Sementara itu, mulut tua yang masih selalu dikagumi banyak orang itu pun sudah sekian lama di hadapan corong. Kalimat-kalimat yang telah tersusun rapi keluar lancar dari bibir tuanya itu. Segepok materi yang telah ia siapkan ada persis di depannya.

Sesaat lelaki itu menatap segepok materi yang tersusun rapi tersebut. Tiga hari lalu, istrinya telah membantu me-lay out sehingga materi itu terlihat menarik dan nyaman dibaca. Lalu, ia pula meng-print nya. Suaminya hanya tahu beres saja. Peristiwa beberapa hari lalu begitu saja terkias di matanya, mengingatkan otaknya pada sang istri yang entah sedang apa sekarang. Sejak mendarat di pulau Dewata ini, dia memang belum sempat (tepatnya sengaja) mengirim kabar kepada yang tengah bergelut menahan sesuatu di rumah kecilnya. Ah, kok ada rasa tidak enak ya?

Pelan tangannya merogoh saku celana yang telah disetrika rapi sang istri demi acaranya ini. Ia ingin sekadar mengirim SMS kepadanya mumpung ada jeda jawab pertanyaan kepada panelis lain. Tapi, begitu tangannya bergerak, matanya pun melihat ke arah bangku peserta paling belakang. Perempuan muda yang telah membuat malamnya begitu indah dan memberinya energi lebih hari ini tengah memberi senyum manis. Senyum itu membuat niatnya semula diundurkan. Rasanya, perempuan di seberang sana baik-baik saja kok meski belum ia kirimi kabar.

Lelaki senja yang telah dipanggil “kakek” itu kembali melanjutkan misi kemanusiannya. Misi yang selalu ia perjuangkan dan ingin ia tularkan kepada semua orang. Tanpa kecuali.
Meski perjalanan hidup atas pernikahan resmi antara laki-laki dan perempuan tua itu membuahkan jalinan batin yang sering kali tidak dapat menipu, nyatanya kadang jalinan batin itu sering pula dianggap sepele dan tak ada masalah. Padahal yang sesungguhnya terjadi, istri yang katanya ia kasihi itu tengah berjuang melawan sakit yang kian nyeri.

Jahitan dari hati perempuan penuh kesetiaan itu makin mengeluarkan darah.
Selepas membantu perempuan tetangga yang tadi hendak menurunkan kucingnya dari atas atap, perempuan tua itu tak kuat lagi menahan sakit. Tempat tidur yang telah berulangkali menjadi saksi banyak hal, kali ini menjadi saksi kesakitannya yang tak tertahan. Walau, ganti ia yang kini dibantu oleh tetangga perempuannya itu, tapi rasanya tak berdampak banyak. Ia tahu, satu-satunya obat paling ampuh adalah jika suaminya datang.

Tapi, ooohh… Perempuan tua baru ingat, sejak perhitungan waktu mestinya sang suami telah sampai ke tujuan, mengapa belum juga ia memberi kabar? Padahal biasanya dia tidak lupa untuk memberitahu keberadaannya kepada istrinya. Dimana pun. Apakah kesibukan luar biasa sehingga ia sampai tak sempat memberi kabar? Apakah sinyal HP baru yang ia berikan itu tak secanggih yang dijanjikan? Atau justru suaminya masih gaptek menggunakan? Senyum tipis berkembang di bibir perempuan tua itu membayangkan kalau suaminya kesulitan menggunakan HP barunya.

Tiba-tiba saja, di sela kesakitan atas luka yang terus meneteskan darah itu, ada kebanggaan tak tertahankan atas apa yang tengah diperjuangkan sang suami. Ini adalah cita-citanya sejak dahulu. Meski sedikit terlambat karena kondisi, tapi inilah saatnya untuk memperjuangkan sebuah kemanusiaan bagi manusia. Rasanya rela-rela saja jika demi itu, ia harus sakit begini. Toh, untuk banyak orang.


Dan, sesaat pikiran itu melintas, suara perempuan itu terdengar lirih. Lirih seperti garda sedang memotong kepingan besi. Nyeri dan sakit sekali. Lebih sakit dari biasanya. Hingga alam di luar mendadak suram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar