Selasa, 22 April 2014

Harapan Sepahit Kopi

“ Kopi pak, kopi susu, kopi ABC,” teriakku menjajakan daganganku.
Matahari begitu terik. Rasanya kulitku sudah gosong terkena paparan sinarnya. Wajahku sudah begitu kumal, terasa tebal juga oleh debu jalanan. Wajar saja dari pagi aku berkeliling demi lembaran dua ribu rupiah. Demi membayar utang kontrakan tiga bulan. Belum lagi untuk makan dan keperluan hidup sehari-hari.
Lelah tak dapat kutahan lagi. Rasanya kedua kakiku akan segera patah karna pegal. Mungkin duduk-duduk sebentar tak mengapa. Terik matahari seakan jadi penghambat rezekiku hari ini. Jarang orang yang mau minum kopi panas di siang bolong. Mereka lebih memilih es kepala atau es dawet yang segar. Ah, rezeki tidak kemana celetukku dalam hati menghibur diri sendiri.
Andai saja aku dinikahi lelaki mapan, bertanggung jawab dan menyayangiku. Duh, ada-ada saja yang aku pikirkan.  Terlalu banyak mengkhayal. Kenyataan memang tak seindah khayalan.
Kenyataannya, aku sempat dinikahi preman terminal. Rumah tanggaku begitu kacau. Setiap malam preman itu pulang dengan perempuan-perempuan yang tidak jelas. Setiap hari kami bertengkar, dia mabuk lalu aku jadi samsak tinjunya. Lebam atau bengkak di wajah sudah menjadi riasan hari-hari. Begitu pahit pernikahan kami. Tidak ada kasih sayang sama sekali. Semua janji manis pernikahan seolah menguap. Aku tidak bodoh, aku memutuskan untuk bercerai. Untung saja dia mau, pasti karna sudah ada perempuan lain juga.
Aku ingat, aku pindah ke Jakarta setelah perceraian. Aku tinggalkan Semarang yang penuh kenangan pahit. Sejak awal menginjakan kaki di Jakarta, hidupku tak banyak berubah. Setidaknya wajahku tak berias lebam dan bengkak bekas tinju lelaki itu. Tapi, tetap saja aku hidup susah. Perut sering harus menahan lapar, aku sering puasa karena tak punya uang.
Sudah berapa lama aku melamun. Rasanya baru sebentar tapi suara adzan Ashar sudah terdengar. Kuambil keranjang dan termosku. Aku harus berkeliling walau badan rasanya sudah remuk. Pengunjung Monas sudah mulai ramai. Pasti banyak yang mau membeli kopiku.
“Pak, kopi pak. Kopi panas, ada kopi susu kopi mix,” rayu ku menjajakan kopiku kepada sekumpulan Bapak-bapak yang sedang duduk berbincang.
“Kopi hitam mbak satu, yang manis ya,” pinta seorang Bapak berkumis tipis. “ Ngih, pak”
Kuberikan gelas plastik berisi kopi hitam manis kepada Bapak itu. Dua ribu rupiah ku kantongi sebagai gantinya. Aku mengucap syukur dalam hati, akhirnya ada juga uang yang mengisi kantongku.
Matur nuwun ya, Pak” Ucapku pamit sambil mengangkat kembali dagangangku. Siap berkeliling lagi.
 “Mbak, tunggu dulu.  Mbak,  Isniati bukan?”
Aku kaget setengah mati, bapak ini tau namaku. Biasanya orang lain memanggilku Iis. “Loh, kok bapak tau ya? Bapak ini sopo yo? Aku rak ngenalke,” tanyaku heran. “ Aku ndak salah orang yo, kamu sedikit berubah Is lebih kurus sekarang. Aku Wanto.” Lama aku mengingat-ingat nama itu. Sampai akhirnya aku ingat, lelaki berkulit coklat matang dengan rambut kumal yang sering membuatku jengkel karna hobinya menjambak rambutku sewaktu SMA.
Jujur saja aku kaget setengah mati melihat Wanto sekarang. Rambut rapi dan stelan baju kerjanya membuatku pangling. Aku bingung harus menjawab apa. Dia terlihat sangat tampan sekarang, beda dengan gayanya yang dulu. Pasti dompetnya pun tebal. Kalau Ia belanja tinggal gesek lalu beres. Istrinya mungkin cantik, berpendidikan, dan bersyukur memiliki suami sepertinya.
Kami berbincang sedikit. Entah bagaimana, sekarang kami sudah berasa di warung bakso di pelataran parkir Monas. Wanto sudah memesan dua porsi bakso urat. “ Is, kenapa kamu jadi pedagang kopi? Mana suamimu?” tanyanya heran. “Aku janda To, seharusnya aku tidak menikah dengan preman sialan itu. Hidupku jadi berantakan, ya aku terpaksa jualan kopi demi menyambung hidup di Jakarta ini, To,” jawabku jujur. Mungkin kaget atau kasihan, Ia tak bertanya soal rumah tanggaku lagi. Hanya soal hidupku sekarang. Semangkuk bakso urat sudah kulahap habis tanpa sisa. Laparku hilang akhirnya. “ Terima kasih ya sudah repot-repot mentraktir bakso.” “Ah, jangan sungkan, Is.”
Cling....cling.. grrrr grrrr
Handphone Wanto bergetar. “Waduh, teman-temanku sudah menunggu Is. Aku pamit ya. Jaga dirimu ya, Is.”
Aku hanya diam, mataku masih mengikuti langkahnya. Ia membayar bakso dan bergegas pergi, sebelumnya Ia sempat menaruh secarik kertas bertuliskan nomor telepon dan beberapa lembar lima puluh ribuan. Rasanya lidahku kaku, padahal seharusnya aku berterima kasih atas kebaikannya. Ah, kenapa aku ini.
Tepat sebulan tak pernah aku melihatnya lagi. Aku juga bingung kenapa aku berharap bertemu dengan Wanto lagi. Mungkin karna aku hanya merasa berterima kasih soal pemberiannya waktu itu.
“ Is, mana kopimu?”
Aku menoleh ke arah suara itu. Wanto. Ada apa dengan orang ini, setiap muncul selalu membuatku kaget. Tapi, aku tak bohong, aku senang melihatnya disini. Masih dengan baju bagus dan dandanan rapi.
“ Aku tidak dagang hari ini. Sedang apa kau disini? Liburan dengan keluarga atau teman?” Tanyaku penasaran. Ya mungkin aku bisa sedikit tahu dia sudah berkeluarga atau belum. Berharap dia tak menjawab kalau Ia sudah berkeluarga.
“ Ada, istri dan anakku sedang naik ke atas Monas. Aku bosan sudah seringkali aku naik.”
“ Oh..begitu rupanya.” Jengkel hatiku mendengarnya. Istri? Anak? Aku mengira kau masih bujang, To. Mungkin kita bisa dekat kalau kau masih bujang, khayalku saja memang.
Semenjak pertemuan sebulan yang lalu memang aku seperti menaruh harapan padanya. Aku selalu takut untuk menghubunginya, padahal sudah sempat kuketik pesan singkat di handphone bututku. Tak pernah kukirim. Hampir menghubungi, sebut saja begitu. Aku hampir pingsan sekarang. Harus kupendam jauh-jauh harapan. Harapanku pahit, seperti kopi hitam tanpa gula daganganku.
“ To, aku pamit ya. Wes arep magrib.”
Yo, Is. Hati-hati dijalan ya. Semoga lain kali kita bertemu lagi.”
Pilu hati, salahku memang.  Menaruh harapan pada kopi pesanannya, kebaikannya, dan... Ah sudahlah, aku hanya pedagang kopi, tak pantas. Mungkin juga ini hatiku saja terlalu senang sehingga aku menganggapnya seperti perasaan sayang atau cinta. Wanto bukan rezekiku. Ia rezeki istrinya.




Nurafni Sulistiyowati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar