“
Kopi pak, kopi susu, kopi ABC,” teriakku menjajakan daganganku.
Matahari
begitu terik. Rasanya kulitku sudah gosong terkena paparan sinarnya. Wajahku
sudah begitu kumal, terasa tebal juga oleh debu jalanan. Wajar saja dari pagi
aku berkeliling demi lembaran dua ribu rupiah. Demi membayar utang kontrakan
tiga bulan. Belum lagi untuk makan dan keperluan hidup sehari-hari.
Lelah
tak dapat kutahan lagi. Rasanya kedua kakiku akan segera patah karna pegal.
Mungkin duduk-duduk sebentar tak mengapa. Terik matahari seakan jadi penghambat
rezekiku hari ini. Jarang orang yang mau minum kopi panas di siang bolong.
Mereka lebih memilih es kepala atau es dawet yang segar. Ah, rezeki tidak
kemana celetukku dalam hati menghibur diri sendiri.
Andai
saja aku dinikahi lelaki mapan, bertanggung jawab dan menyayangiku. Duh,
ada-ada saja yang aku pikirkan. Terlalu
banyak mengkhayal. Kenyataan memang tak seindah khayalan.
Kenyataannya,
aku sempat dinikahi preman terminal. Rumah tanggaku begitu kacau. Setiap malam
preman itu pulang dengan perempuan-perempuan yang tidak jelas. Setiap hari kami
bertengkar, dia mabuk lalu aku jadi samsak tinjunya. Lebam atau bengkak di
wajah sudah menjadi riasan hari-hari. Begitu pahit pernikahan kami. Tidak ada
kasih sayang sama sekali. Semua janji manis pernikahan seolah menguap. Aku tidak
bodoh, aku memutuskan untuk bercerai. Untung saja dia mau, pasti karna sudah
ada perempuan lain juga.
Aku
ingat, aku pindah ke Jakarta setelah perceraian. Aku tinggalkan Semarang yang penuh
kenangan pahit. Sejak awal menginjakan kaki di Jakarta, hidupku tak banyak
berubah. Setidaknya wajahku tak berias lebam dan bengkak bekas tinju lelaki
itu. Tapi, tetap saja aku hidup susah. Perut sering harus menahan lapar, aku
sering puasa karena tak punya uang.
Sudah
berapa lama aku melamun. Rasanya baru sebentar tapi suara adzan Ashar sudah
terdengar. Kuambil keranjang dan termosku. Aku harus berkeliling walau badan
rasanya sudah remuk. Pengunjung Monas sudah mulai ramai. Pasti banyak yang mau
membeli kopiku.
“Pak,
kopi pak. Kopi panas, ada kopi susu kopi mix,”
rayu ku menjajakan kopiku kepada sekumpulan Bapak-bapak yang sedang duduk
berbincang.
“Kopi
hitam mbak satu, yang manis ya,”
pinta seorang Bapak berkumis tipis. “ Ngih,
pak”
Kuberikan
gelas plastik berisi kopi hitam manis kepada Bapak itu. Dua ribu rupiah ku
kantongi sebagai gantinya. Aku mengucap syukur dalam hati, akhirnya ada juga
uang yang mengisi kantongku.
“
Matur nuwun ya, Pak” Ucapku pamit
sambil mengangkat kembali dagangangku. Siap berkeliling lagi.
“Mbak,
tunggu dulu. Mbak, Isniati bukan?”
Aku
kaget setengah mati, bapak ini tau namaku. Biasanya orang lain memanggilku Iis.
“Loh, kok bapak tau ya? Bapak ini sopo yo? Aku rak ngenalke,” tanyaku heran. “ Aku ndak salah orang yo, kamu
sedikit berubah Is lebih kurus sekarang. Aku Wanto.” Lama aku mengingat-ingat
nama itu. Sampai akhirnya aku ingat, lelaki berkulit coklat matang dengan
rambut kumal yang sering membuatku jengkel karna hobinya menjambak rambutku
sewaktu SMA.
Jujur
saja aku kaget setengah mati melihat Wanto sekarang. Rambut rapi dan stelan
baju kerjanya membuatku pangling. Aku bingung harus menjawab apa. Dia terlihat
sangat tampan sekarang, beda dengan gayanya yang dulu. Pasti dompetnya pun
tebal. Kalau Ia belanja tinggal gesek lalu beres. Istrinya mungkin cantik,
berpendidikan, dan bersyukur memiliki suami sepertinya.
Kami
berbincang sedikit. Entah bagaimana, sekarang kami sudah berasa di warung bakso
di pelataran parkir Monas. Wanto sudah memesan dua porsi bakso urat. “ Is,
kenapa kamu jadi pedagang kopi? Mana suamimu?” tanyanya heran. “Aku janda To, seharusnya
aku tidak menikah dengan preman sialan itu. Hidupku jadi berantakan, ya aku
terpaksa jualan kopi demi menyambung hidup di Jakarta ini, To,” jawabku jujur. Mungkin
kaget atau kasihan, Ia tak bertanya soal rumah tanggaku lagi. Hanya soal
hidupku sekarang. Semangkuk bakso urat sudah kulahap habis tanpa sisa. Laparku
hilang akhirnya. “ Terima kasih ya sudah repot-repot mentraktir bakso.” “Ah,
jangan sungkan, Is.”
Cling....cling..
grrrr grrrr
Handphone
Wanto bergetar. “Waduh, teman-temanku sudah menunggu Is. Aku pamit ya. Jaga
dirimu ya, Is.”
Aku
hanya diam, mataku masih mengikuti langkahnya. Ia membayar bakso dan bergegas
pergi, sebelumnya Ia sempat menaruh secarik kertas bertuliskan nomor telepon
dan beberapa lembar lima puluh ribuan. Rasanya lidahku kaku, padahal seharusnya
aku berterima kasih atas kebaikannya. Ah, kenapa aku ini.
Tepat
sebulan tak pernah aku melihatnya lagi. Aku juga bingung kenapa aku berharap
bertemu dengan Wanto lagi. Mungkin karna aku hanya merasa berterima kasih soal
pemberiannya waktu itu.
“
Is, mana kopimu?”
Aku
menoleh ke arah suara itu. Wanto. Ada apa dengan orang ini, setiap muncul
selalu membuatku kaget. Tapi, aku tak bohong, aku senang melihatnya disini. Masih
dengan baju bagus dan dandanan rapi.
“
Aku tidak dagang hari ini. Sedang apa kau disini? Liburan dengan keluarga atau
teman?” Tanyaku penasaran. Ya mungkin aku bisa sedikit tahu dia sudah berkeluarga
atau belum. Berharap dia tak menjawab kalau Ia sudah berkeluarga.
“
Ada, istri dan anakku sedang naik ke atas Monas. Aku bosan sudah seringkali aku
naik.”
“
Oh..begitu rupanya.” Jengkel hatiku mendengarnya. Istri? Anak? Aku mengira kau
masih bujang, To. Mungkin kita bisa dekat kalau kau masih bujang, khayalku saja
memang.
Semenjak
pertemuan sebulan yang lalu memang aku seperti menaruh harapan padanya. Aku selalu
takut untuk menghubunginya, padahal sudah sempat kuketik pesan singkat di
handphone bututku. Tak pernah kukirim. Hampir menghubungi, sebut saja begitu.
Aku hampir pingsan sekarang. Harus kupendam jauh-jauh harapan. Harapanku pahit,
seperti kopi hitam tanpa gula daganganku.
“
To, aku pamit ya. Wes arep magrib.”
“
Yo, Is. Hati-hati dijalan ya. Semoga
lain kali kita bertemu lagi.”
Pilu
hati, salahku memang. Menaruh harapan
pada kopi pesanannya, kebaikannya, dan... Ah sudahlah, aku hanya pedagang kopi,
tak pantas. Mungkin juga ini hatiku saja terlalu senang sehingga aku
menganggapnya seperti perasaan sayang atau cinta. Wanto bukan rezekiku. Ia
rezeki istrinya.
Nurafni Sulistiyowati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar