Bukan Kisah Siti Nurbaya
Namanya Canu, satu kata yang
menggambarkan dirinya yaitu ia cantik jelita. Dia tumbuh menjadi sosok wanita
yang banyak disukai oleh para lelaki yang berada di lingkungan desanya, yaitu di desa
terpencil di daerah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Banyak lelaki yang terpesona
dengan wajahnya yang cantik jelita. Kini usianya telah menginjak remaja, dia
baru lulus dari sebuah Sekolah Menengah Pertama. Di desanya, tidak banyak gadis
yang seberuntung Canu karena para gadis di desa tersebut lebih banyak yang
hanya merasakan bangku pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar, mereka
beranggapan seorang anak perempuan tidak perlu bekerja, paling mereka hanya
disuruh membantu mengerjakan pekerjaan rumah, dan membantu mengantarkan makanan
bapak ke sawah. Dengan begitu menikah di usia muda pilihan utama yang dapat
dilakukan oleh para gadis muda untuk meringankan beban orangtua, sekaligus
membantu kehidupan ekonomi keluarga.
Tapi hal ini tidak berpengaruh bagi
Canu. Canu tetap berprinsip bahwa pendidikan setinggi-tingginya yang dapat
membantu kehidupan keluarganya agar menjadi lebih baik, bukan dengan mengambil
pilihan untuk menikah muda. Canu memiliki cita-cita sangat mulia, ia ingin
menjadi seorang guru. Ia bercita-cita untuk bisa ikut mencerdaskan kehidupan
bangsa terutama mencerdaskan kehidupan anak-anak yang berada di desanya.
Namun, sepertinya cita-cita Canu
untuk dapat terus merasakan bangku pendidikan yang setinggi-tingginya tidaklah
mudah. Karena pada pagi itu, Canu mendapati keluarganya kedatangan seorang
tamu.
“Kalau Inaq[1] setuju saja Pak, kalau itu memang baik untuk
kehidupan Canu ke depannya,” Bapak
tersenyum setelah mendengar jawaban ibu.
“Alhamdulillah kalau begitu ya Bu, Pak. Jadi
kalau memang bapak dan ibu sudah setuju dengan maksud kedatangan saya kesini,
kapan saya bisa datang kesini lagi untuk mepadik
lamar[2] anak Bapak dan Ibu?” Kata
lelaki yang duduk di depan hadapan Bapak dan Ibunya.
Mendengar pembicaraan tersebut Canu langsung tersentak,
dan rasanya ia sulit untuk bernafas lagi. Apalagi saat ia mengetahui sosok
lelaki yang ingin melamarnya itu sudah berusia tua, dengan rambut yang sudah
mulai memutih, bahkan kumisnya pun sudah mulai ikut memutih juga. Pakaiannya
sangatlah rapi, di luar rumah pun terparkir mobil mewah berwarna perak dengan
seorang supir. Canu dapat menyimpulkan lelaki itu orang kaya raya, karena
lelaki yang ada di desanya pada umumnya tidak berpenampilan seperti itu. Canu
sangatlah kecewa dengan pilihan Bapak dan Ibunya, ia tidaklah menyangka mereka
memilihkan lelaki tua seperti itu untuk menjadi suaminya. Canu tidak habis
pikir Bapak dan Ibunya bisa setega itu terhadap dirinya padahal mereka tahu Canu
tidak mau menikah di usia muda dan masih ingin melanjutkan sekolah. Apalagi
hanya demi sebuah harta.
Musim liburan sekolah telah berakhir.
Canu berniat untuk melanjutkan pendidikannya ke bangku Sekolah Menengah Atas, Canu
memang anak yang cerdas sehingga ia dengan mudah lulus tes masuk sekolah negeri
yang menjadi sekolah unggulan di kotanya itu. Namun, sepertinya Canu harus mengurungkan
niatnya untuk bisa bersekolah karena Bapak dan Ibunya tidak mengizinkannya
untuk melanjutkan sekolah sesuai dengan keinginan Canu. Hari demi hari dilalui
Canu dengan hanya menganggur di rumah. Hatinya sangatlah sedih menerima
kenyataan ketika ia mendapati kabar kalau dirinya sudah dilamar oleh lelaki tua
itu tanpa sepengetahuan dirinya. Dia kini sudah dilamar oleh lelaki tua itu dan
sebentar lagi akan menikah. Tidak dapat disembunyikan lagi betapa kecewanya
perasaan Canu, Canu tak lelahnya memohon kepada Bapak dan Ibunya agar
membatalkan lamaran tersebut. Dia tidak mau menikah dengan siapapun pada saat
sekarang ini.
“Aku sudah tidak tahan lagi hidup di
rumah ini, lebih baik aku pergi merantau ke Jakarta. Disana aku yakin
kehidupanku akan lebih baik. Aku akan meneruskan sekolah disana tanpa ada orang
yang menghalangi niatku.” Canu selalu mengucapkan kata-kata seperti itu disaat
ia menemui teman-temannya. Dia berniat untuk melarikan diri dari rumah.
Canu menyusun rencana agar bisa
melarikan diri dari rumah tanpa Bapak dan Ibunya tahu. Setiap malam ia nampak
gelisah agar bisa cepat-cepat menjalankan rencananya itu. Sebenarnya ia juga
tidak kuasa meninggalkan Bapak dan Ibunya hidup di desa, apalagi ia hanya anak
semata wayang yang harusnya menemani Bapak dan Ibunya itu. Tetapi pikiran itu
ia singkirkan jauh-jauh, mengingat sikap Bapak dan Ibunya yang dengan teganya
menikahkannya dengan lelaki tua itu. Dia merasa sudah siap untuk
meninggalkan rumah demi cita-citanya itu. Bapak dan Ibunya memang sudah lama
bersepakat untuk menjodohkan Canu dengan lelaki yang dianggapnya pantas menjadi
pendamping hidup Canu, tanpa memandang usianya. Hal ini dikarenakan, Bapak dan
Ibunya masih sangat kental adat kebudayaannya yaitu adat suku Sasak. Dimana
dalam adat suku sasak[3], orangtua
menjodohkan anak gadisnya dengan memiliki alasan untuk memurnikan keturunan
dari sebuah keluarga. Perondongan[4] ini dilakukan
berdasarkan kesepakatan orangtua semata.
Canu menunggu waktu agar cepat malam
hari, karena ia sudah tidak sabar ingin menlaksanakan rencananya. Matanya tidak
henti-hentinya terlepas dari jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 21:30 ,
karena ia sudah berencana pergi dari rumah pukul 22:00 dimana pada pukul
tersebut lampu-lampu sudah mulai dipadamkan dan penghuni rumah sudah mulai
terlelap tidur.
Waktu sudah menunjukkan pukul 22:00. Canu
segera bergegas merapikan tasnya, ia mengendap-endap keluar dari kamar dengan
langkah yang sangat hati-hati ia melangkah menuju ruang tamu.
Tiba-tiba terdengar suara “Canu..” panggil
Bapak.
“Aduh, semoga amaq[5] belum melihat aku.” Gumamnya dengan
lirih. Seluruh badannya terasa sangat dingin ketika mendengar suara Bapaknya
itu.
“Kemarilah nak, amaq ada perlu..” Bapaknya mengulang perkataannya itu sampai
beberapa kali.
“I..i..iya pak , Ca..Canu segera
kesana.“ Dengan wajah
yang pucat ia menghampiri Bapak dan Ibunya yang sudah duduk di pinggir tempat
tidur.
“Sini nak, duduklah !” Perintah
Bapaknya.
Canu semakin takut menghampiri Bapak
dan Ibunya yang pada saat itu berwajah serius. Dia berpikir pasti dirinya akan
dihakimi oleh Bapak dan Ibunya, dia pasti akan akan tetap dipaksa untuk menikah
dengan lelaki tua tersebut dan semakin dilarang untuk melanjutkan sekolah.
Pikirannya semakin tidak karuan ketika ia melihat raut wajah Ibunya yang kini
terlihat sedih. Dalam hati Canu terus bertanya-tanya.
Canu pun makin ketakutan ketika
melihat Bapak mulai membuka mulut untuk berbicara. Tangannya terus berkeringat,
matanya seakan tak kuasa menatap mata Bapak dan Ibunya. Ia hanya menundukkan
kepala.
“Can, besok kamu kembali sekolah lagi
saja.” Kata-kata itu membuat Canu tidak percaya dan kaget, ia langsung mendongakkan
kepala dan menatap wajah Bapaknya.
“Bapak serius ? kenapa tiba-tiba Bapak bicara seperti
itu..” Jawabnya sambil terbata-bata.
“Canu, Bapak dan Ibu sangat
menyayangi kamu. Mana mungkin kami bisa bahagia kalau kamu merasa tertekan
seperti ini. Bapak dan Ibu tidak mungkin mengorbankan kebahagiaan dan cita-cita
Canu hanya untuk kesenangan kami. Kalau memang Canu tidak menyukai perjodohan
ini, kami tidak akan melanjutkannya. Buat Bapak dan Ibu kebahagiaan Canu yang
lebih penting..” Bapak terlihat sangat tenang dalam menyampaikan maksudnya itu.
Canu tidak mampu berkata-kata lagi, ia sangat senang mendengar perkataan
Bapaknya itu. Tanpa mampu berkata-kata lagi ia menghampiri Bapak dan Ibunya
lalu memeluk keduanya dengan erat.
Keesokan paginya Canu terbangun
dengan wajah yang sumringah. Ia sangat bersemangat masuk sekolah, sudah tidak
sabar rasanya ia ingin menduduki bangku sekolah. Tidak seperti biasanya ia
sudah rajin menyiapkan sarapan untuk Bapak dan Ibunya dan membersihkan seluruh ruangan rumah. Saat
perjalanan menuju sekolah, ia tidak habis pikir siapakah lelaki tua tersebut
dan kemana perginya ia sekarang. Tidak terdengar lagi kabar darinya tentang
pembatalan perjodohan ini. Tapi Canu tidak mau ambil pusing, yang terpenting
baginya sekarang Bapak dan Ibunya sudah mengizinkannya ia bersekolah kembali.
Tahun silih berganti, kini Canu sudah
lulus dari Sekolah Menengah Atas. Selama bertahun-tahun itu ia tidak mendengar
lagi kata perjodohan dari Bapak dan Ibunya, ia diberikan kebebasan untuk bisa
meraih cita-citanya menjadi seorang guru. Canu merasa sangat beruntung memiliki
orangtua seperti Bapak dan Ibunya, sering terbesit penyesalan darinya ketika
mengingat betapa piciknya ia berencana melarikan diri dari rumah meninggalkan
kedua orangtuanya. Ia berjanji akan menuruti apapun keinganan orangtuanya.
Kini Canu si gadis desa sudah menjadi seorang guru. Ia
menikah dengan seorang dokter, bernama Munaris. Dan jalan takdir ternyata telah
mempertemukan mereka disaat yang tepat. Munaris adalah anak dari lelaki tua yang
waktu itu ingin melamar Canu. Betapa terkejutnya Canu saat ia tahu lelaki tua
tersebut ingin melamarnya bukan untuk dirinya, tetapi untuk anak laki-lakinya.
Mereka pun kini hidup dengan bahagia.
[1] Inaq adalah Ibu dalam
adat suku Sasak
[2] Mepadik Lamar adalah
acara lamaran dalam suku adat Sasak.
[3] Suku Sasak adalah suku
bangsa yang mendiami pulau Lombok, Nusa
Tenggara Barat dan menggunakan bahasa sasak.
Sebagian besar suku Sasak beragama Islam,
uniknya pada sebagian kecil masyarakat suku Sasak, terdapat praktik agama Islam
yang agak berbeda dengan Islam pada umumnya yakni Islam Wetu Telu.
[4] Perondongan adalah
Perjodohan yang dilakukan oleh masyarakat adat sasak di masa lampau.
[5] Amaq adalah bapak dalam bahasa adat suku sasak.
[1] Inaq adalah Ibu dalam
adat suku Sasak
[2] Mepadik Lamar adalah
acara lamaran dalam suku adat Sasak.
[3] Suku Sasak adalah suku
bangsa yang mendiami pulau Lombok, Nusa
Tenggara Barat dan menggunakan bahasa sasak.
Sebagian besar suku Sasak beragama Islam,
uniknya pada sebagian kecil masyarakat suku Sasak, terdapat praktik agama Islam
yang agak berbeda dengan Islam pada umumnya yakni Islam Wetu Telu.
[4] Perondongan adalah
Perjodohan yang dilakukan oleh masyarakat adat sasak di masa lampau.
[5] Amaq adalah bapak dalam bahasa adat suku sasak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar