Rabu, 23 April 2014

Cerpen UTS: Bukan Kisah Siti Nurbaya

Bukan Kisah Siti Nurbaya

 

Namanya Canu, satu kata yang menggambarkan dirinya yaitu ia cantik jelita. Dia tumbuh menjadi sosok wanita yang banyak disukai oleh para lelaki yang berada di lingkungan desanya, yaitu di desa terpencil di daerah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Banyak lelaki yang terpesona dengan wajahnya yang cantik jelita. Kini usianya telah menginjak remaja, dia baru lulus dari sebuah Sekolah Menengah Pertama. Di desanya, tidak banyak gadis yang seberuntung Canu karena para gadis di desa tersebut lebih banyak yang hanya merasakan bangku pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar, mereka beranggapan seorang anak perempuan tidak perlu bekerja, paling mereka hanya disuruh membantu mengerjakan pekerjaan rumah, dan membantu mengantarkan makanan bapak ke sawah. Dengan begitu menikah di usia muda pilihan utama yang dapat dilakukan oleh para gadis muda untuk meringankan beban orangtua, sekaligus membantu kehidupan ekonomi keluarga.
Tapi hal ini tidak berpengaruh bagi Canu. Canu tetap berprinsip bahwa pendidikan setinggi-tingginya yang dapat membantu kehidupan keluarganya agar menjadi lebih baik, bukan dengan mengambil pilihan untuk menikah muda. Canu memiliki cita-cita sangat mulia, ia ingin menjadi seorang guru. Ia bercita-cita untuk bisa ikut mencerdaskan kehidupan bangsa terutama mencerdaskan kehidupan anak-anak yang berada di desanya.
Namun, sepertinya cita-cita Canu untuk dapat terus merasakan bangku pendidikan yang setinggi-tingginya tidaklah mudah. Karena pada pagi itu, Canu mendapati keluarganya kedatangan seorang tamu.
“Kalau Inaq[1] setuju saja Pak, kalau itu memang baik untuk kehidupan Canu ke depannya,” Bapak tersenyum setelah mendengar jawaban ibu.
“Alhamdulillah kalau begitu ya Bu, Pak. Jadi kalau memang bapak dan ibu sudah setuju dengan maksud kedatangan saya kesini, kapan saya bisa datang kesini lagi untuk mepadik lamar[2] anak Bapak dan Ibu?” Kata lelaki yang duduk di depan hadapan Bapak dan Ibunya.
Mendengar pembicaraan tersebut Canu langsung tersentak, dan rasanya ia sulit untuk bernafas lagi. Apalagi saat ia mengetahui sosok lelaki yang ingin melamarnya itu sudah berusia tua, dengan rambut yang sudah mulai memutih, bahkan kumisnya pun sudah mulai ikut memutih juga. Pakaiannya sangatlah rapi, di luar rumah pun terparkir mobil mewah berwarna perak dengan seorang supir. Canu dapat menyimpulkan lelaki itu orang kaya raya, karena lelaki yang ada di desanya pada umumnya tidak berpenampilan seperti itu. Canu sangatlah kecewa dengan pilihan Bapak dan Ibunya, ia tidaklah menyangka mereka memilihkan lelaki tua seperti itu untuk menjadi suaminya. Canu tidak habis pikir Bapak dan Ibunya bisa setega itu terhadap dirinya padahal mereka tahu Canu tidak mau menikah di usia muda dan masih ingin melanjutkan sekolah. Apalagi hanya demi sebuah harta.
Musim liburan sekolah telah berakhir. Canu berniat untuk melanjutkan pendidikannya ke bangku Sekolah Menengah Atas, Canu memang anak yang cerdas sehingga ia dengan mudah lulus tes masuk sekolah negeri yang menjadi sekolah unggulan di kotanya itu. Namun, sepertinya Canu harus mengurungkan niatnya untuk bisa bersekolah karena Bapak dan Ibunya tidak mengizinkannya untuk melanjutkan sekolah sesuai dengan keinginan Canu. Hari demi hari dilalui Canu dengan hanya menganggur di rumah. Hatinya sangatlah sedih menerima kenyataan ketika ia mendapati kabar kalau dirinya sudah dilamar oleh lelaki tua itu tanpa sepengetahuan dirinya. Dia kini sudah dilamar oleh lelaki tua itu dan sebentar lagi akan menikah. Tidak dapat disembunyikan lagi betapa kecewanya perasaan Canu, Canu tak lelahnya memohon kepada Bapak dan Ibunya agar membatalkan lamaran tersebut. Dia tidak mau menikah dengan siapapun pada saat sekarang ini.
“Aku sudah tidak tahan lagi hidup di rumah ini, lebih baik aku pergi merantau ke Jakarta. Disana aku yakin kehidupanku akan lebih baik. Aku akan meneruskan sekolah disana tanpa ada orang yang menghalangi niatku.” Canu selalu mengucapkan kata-kata seperti itu disaat ia menemui teman-temannya. Dia berniat untuk melarikan diri dari rumah.
Canu menyusun rencana agar bisa melarikan diri dari rumah tanpa Bapak dan Ibunya tahu. Setiap malam ia nampak gelisah agar bisa cepat-cepat menjalankan rencananya itu. Sebenarnya ia juga tidak kuasa meninggalkan Bapak dan Ibunya hidup di desa, apalagi ia hanya anak semata wayang yang harusnya menemani Bapak dan Ibunya itu. Tetapi pikiran itu ia singkirkan jauh-jauh, mengingat sikap Bapak dan Ibunya yang dengan teganya menikahkannya dengan lelaki tua itu. Dia merasa sudah siap untuk meninggalkan rumah demi cita-citanya itu. Bapak dan Ibunya memang sudah lama bersepakat untuk menjodohkan Canu dengan lelaki yang dianggapnya pantas menjadi pendamping hidup Canu, tanpa memandang usianya. Hal ini dikarenakan, Bapak dan Ibunya masih sangat kental adat kebudayaannya yaitu adat suku Sasak. Dimana dalam adat suku sasak[3], orangtua menjodohkan anak gadisnya dengan memiliki alasan untuk memurnikan keturunan dari sebuah keluarga. Perondongan[4] ini dilakukan berdasarkan kesepakatan orangtua semata.
Canu menunggu waktu agar cepat malam hari, karena ia sudah tidak sabar ingin menlaksanakan rencananya. Matanya tidak henti-hentinya terlepas dari jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 21:30 , karena ia sudah berencana pergi dari rumah pukul 22:00 dimana pada pukul tersebut lampu-lampu sudah mulai dipadamkan dan penghuni rumah sudah mulai terlelap tidur.
Waktu sudah menunjukkan pukul 22:00. Canu segera bergegas merapikan tasnya, ia mengendap-endap keluar dari kamar dengan langkah yang sangat hati-hati ia melangkah menuju ruang tamu.
Tiba-tiba terdengar suara “Canu..” panggil Bapak.
“Aduh, semoga amaq[5] belum melihat aku.” Gumamnya dengan lirih. Seluruh badannya terasa sangat dingin ketika mendengar suara Bapaknya itu.
“Kemarilah nak, amaq ada perlu..” Bapaknya mengulang perkataannya itu sampai beberapa kali.
“I..i..iya pak , Ca..Canu segera kesana.“ Dengan wajah yang pucat ia menghampiri Bapak dan Ibunya yang sudah duduk di pinggir tempat tidur.
“Sini nak, duduklah !” Perintah Bapaknya.
Canu semakin takut menghampiri Bapak dan Ibunya yang pada saat itu berwajah serius. Dia berpikir pasti dirinya akan dihakimi oleh Bapak dan Ibunya, dia pasti akan akan tetap dipaksa untuk menikah dengan lelaki tua tersebut dan semakin dilarang untuk melanjutkan sekolah. Pikirannya semakin tidak karuan ketika ia melihat raut wajah Ibunya yang kini terlihat sedih. Dalam hati Canu terus bertanya-tanya.
Canu pun makin ketakutan ketika melihat Bapak mulai membuka mulut untuk berbicara. Tangannya terus berkeringat, matanya seakan tak kuasa menatap mata Bapak dan Ibunya. Ia hanya menundukkan kepala. 
“Can, besok kamu kembali sekolah lagi saja.” Kata-kata itu membuat Canu tidak percaya dan kaget, ia langsung mendongakkan kepala dan menatap wajah Bapaknya.
“Bapak serius ? kenapa tiba-tiba Bapak bicara seperti itu..” Jawabnya sambil terbata-bata.
“Canu, Bapak dan Ibu sangat menyayangi kamu. Mana mungkin kami bisa bahagia kalau kamu merasa tertekan seperti ini. Bapak dan Ibu tidak mungkin mengorbankan kebahagiaan dan cita-cita Canu hanya untuk kesenangan kami. Kalau memang Canu tidak menyukai perjodohan ini, kami tidak akan melanjutkannya. Buat Bapak dan Ibu kebahagiaan Canu yang lebih penting..” Bapak terlihat sangat tenang dalam menyampaikan maksudnya itu. Canu tidak mampu berkata-kata lagi, ia sangat senang mendengar perkataan Bapaknya itu. Tanpa mampu berkata-kata lagi ia menghampiri Bapak dan Ibunya lalu memeluk keduanya dengan erat.
Keesokan paginya Canu terbangun dengan wajah yang sumringah. Ia sangat bersemangat masuk sekolah, sudah tidak sabar rasanya ia ingin menduduki bangku sekolah. Tidak seperti biasanya ia sudah rajin menyiapkan sarapan untuk Bapak dan Ibunya  dan membersihkan seluruh ruangan rumah. Saat perjalanan menuju sekolah, ia tidak habis pikir siapakah lelaki tua tersebut dan kemana perginya ia sekarang. Tidak terdengar lagi kabar darinya tentang pembatalan perjodohan ini. Tapi Canu tidak mau ambil pusing, yang terpenting baginya sekarang Bapak dan Ibunya sudah mengizinkannya ia bersekolah kembali.
Tahun silih berganti, kini Canu sudah lulus dari Sekolah Menengah Atas. Selama bertahun-tahun itu ia tidak mendengar lagi kata perjodohan dari Bapak dan Ibunya, ia diberikan kebebasan untuk bisa meraih cita-citanya menjadi seorang guru. Canu merasa sangat beruntung memiliki orangtua seperti Bapak dan Ibunya, sering terbesit penyesalan darinya ketika mengingat betapa piciknya ia berencana melarikan diri dari rumah meninggalkan kedua orangtuanya. Ia berjanji akan menuruti apapun keinganan orangtuanya.
            Kini Canu si gadis desa sudah menjadi seorang guru. Ia menikah dengan seorang dokter, bernama Munaris. Dan jalan takdir ternyata telah mempertemukan mereka disaat yang tepat. Munaris adalah anak dari lelaki tua yang waktu itu ingin melamar Canu. Betapa terkejutnya Canu saat ia tahu lelaki tua tersebut ingin melamarnya bukan untuk dirinya, tetapi untuk anak laki-lakinya. Mereka pun kini hidup dengan bahagia.



[1] Inaq adalah Ibu dalam adat suku Sasak
[2] Mepadik Lamar adalah acara lamaran dalam suku adat Sasak.
[3] Suku Sasak adalah suku bangsa yang mendiami pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat dan menggunakan bahasa sasak. Sebagian besar suku Sasak beragama Islam, uniknya pada sebagian kecil masyarakat suku Sasak, terdapat praktik agama Islam yang agak berbeda dengan Islam pada umumnya yakni Islam Wetu Telu.
[4] Perondongan adalah Perjodohan yang dilakukan oleh masyarakat adat sasak di masa lampau.
[5]  Amaq adalah bapak dalam bahasa adat suku sasak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar