Ketegaran Hati Ibu
Seluruh isi rumah tersentak kaget melihat keberadaan Ayah di
rumah malam itu. Ayah kembali. Benar-benar di luar dugaan. Disaat malam yang
gelap, dingin dan sedikit menegangkan, Ayah kembali. Adik merasakan kasih
sayang dan kehangatan yang jarang, bahkan tidak pernah, dirasakan sebelumnya. Tetapi
tidak begitu dengan Ibu dan Abang. Amarah dan kekecewaan masih terlihat diwajah
mereka.
Ayah datang kembali ke rumah karena ingin mengajak keluarganya
kembali, utuh dan sempurna. Ayah yang hampir tak pernah mengucapkan banyak
kata, malam itu ia bicara, bicara, dan bicara. Ayah bercerita tentang bisnis
travelnya yang sudah cukup lama ia rintis. Dia berbicara tentang tempat
tinggalnya sekarang yang mewah. Dia membicarakan keinginannya kembali dengan
keluarganya, anak-anaknya, menjalani kehidupan bersama.
Ibu terkesima. Tak bisa berkata-kata. Pikirannya terus
memikirkan masa lalu Ayah yang membuat ia dan Abang harus berpikir
berulang-ulang ribuan kali tentang keinginan Ayah ini.
Terbesit dalam pikiran Ibu, kejadian yang menyebabkan ia
berpisah dengan Ayah.
Lima tahun yang lalu...
Malam hari itu Ayah baru saja pulang dari luar kota, dinas
dari kantor katanya, Ibu mempercayai saja. Karena ia tidak pernah membatasi
kegiatan suaminya yang berhubungan dengan pekerjaan.
Selepas mandi dan makan malam, Ayah langsung bergegas tidur. Tidak
seperti biasanya. Seperti ada yang ditutupi. Tapi Ibu tidak mau berprasangka
buruk. Setelah selesai membereskan piring bekas makan malam, Ibu membereskan
koper Ayah yang dibawa keluar kota.
Ibu sedikit bingung ketika membereskan baju kotor Ayah. Tercium
bau parfum milik wanita. Pikiran Ibu menjadi tidak karuan, apa yang dilakukan
Ayah selama diluar kota. Tapi Ibu segera membuang pikiran buruknya.
Ponsel Ayah berbunyi memecah pikiran Ibu, ada yang menelpon. Tidak
ada namanya, hanya nomor yang tertera pada layar LCD. Karena takut ada kabar penting, Ibu mengangkat telpon itu.
Terdengar suara lembut seorang perempuan diluar sana, “Mas,
sudah samapai dirumah? Kok tidak
mengabari aku?” Ucap perempuan itu.
Ibu ternganga, siapa perempuan ini, mengapa ia sangat
perhatian pada Ayah. Ibu menguatkan diri menjawab perempuan itu, dengan
terbata-bata, “Maaf, mba ini siapa ya? Ada hubungan apa dengan suami saya?”
Suara berdesis kaget terdengar samar-samar dari seberang
sana. Tiba-tiba telepon terputus.
Ibu sangat bingung, tapi tak mau berprasangka buruk. Mungkin
hanya salah sambung. Ibu segera menyelesaikan membereskan koper Ayah
dan menyusul Ayah tidur.
Keesokan paginya, Ibu menanyakan pada Ayah tentang telpon
tadi malam. Ayah mengabaikan pertanyaan ibu, tidak terlalu memperhatikan, sibuk
dengan koran yang sedang dibacanya. Melihat sikap acuh Ayah, Ibu semakin
curiga. Bener-benar merasakan sesuatu yang ditutupi oleh Ayah.
Merasa omongannya diabaikan oleh Ayah, Ibu meninggalkan Ayah
ke dapur. Ibu terus memikirkan apa penyebab sikap Ayah berbeda. Pikiran
Ibu tak henti-hentinya berprasangka buruk. Tapi Ibu tidak mau menuduh suaminya.
Hari demi hari berlalu.
Perubahan sikap ayah semakin terlihat seminggu ini, semenjak
pulang dari dinas di luar kota, Ayah jarang makan malam di rumah dan selalu
pulang larut malam. Ibu sangat merasakan perubahan sikap Ayah. Abang dan Adik
pun sudah jarang mendapat perhatian dari Ayah. Apa yang terjadi dengan Ayah?
Abang yang ketika itu masih berusia 15 tahun menanyakan pada
Ibu mengenai perubahan sikap Ayah, “Bu, kenapa sekarang aku jarang bertemu Ayah,
ya? Apa Ayah terlalu sibuk sampai tidak bisa lagi menemani aku menonton bola?”
“Mungkin Ayah lagi banyak kerjaan, Bang.” Jawab Ibu.
Ibu menangis dalam hati, sedih, apa yang terjadi pada
keluarganya? Mengapa terasa ada jarak antara suami dan anak-anaknya? Ibu belum
menemukan jawabannya.
Sampai suatu hari Ayah, ponsel Ayah tertinggal di rumah
ketika Ayah pergi bekerja. Ibu penasaran dan mencari tahu apa yang menyebabkan
perubahan pada Ayah. Ibu membuka dan membaca pesan-pesan yang masuk di ponsel
Ayah. Ibu terkejut ketika membaca percakapan mesra antara Ayah dengan seseorang
yang tidak disimpan nomor teleponnya oleh Ayah.
Perasaan ibu kacau tidak karuan, berbagai prasangka burung
menghantui pikirannya tidak tau harus berbuat apa. Merasa dibohongi oleh Ayah.
Tapi ibu tidak mau menuduh sampai mendengarkan penjelasan dari Ayah.
Ibu menangis sesegukan sambil adik yang sedang tidur siang.
Abang yang ketika itu baru pulang sekolah kaget melihat ibunya menangis. “Ibu
kenapa? Siapa yang berani jahat sama Ibu? Kasih tau aku, Bu!” Desak Abang.
Ibu tidak menjawab pertanyaan Abang, tidak mampu
berkata-kata, air mata yang terus keluar dari mata Ibu menggambarkan kesedihan
yang sangat mendalam. Ibu memberikan ponsel Ayah kepada Abang. Abang membaca
semua percakapan mesra Ayah dengan orang lain itu.
Kemarahan Abang memuncak. “Jadi ini, yang selama ini ayah
lakukan, Bu? Pulang larut malam hanya untuk menemui wanita simpanannya? Sudah
gila!”
Tangis ibu semakin menjadi-jadi. Abang tidak tega melihat
wanita yang melahirkannya itu terus menangis. Abanag memeluk Ibu, mencoba
menenangkan perasaan Ibu.
Malam harinya, setelah Ayah pulang bekerja, Ibu langsung
menodong Ayah dengan berbagai pernyataan. Mencoba meminta penjelasan pada Ayah.
“Ayah tolong jelaskan siapa pemilik nomor ini? Mengapa
percakapan Ayah sangat mesra dengannya?” Tanya Ibu.
Ayah hanya diam, tidak menjawab apa-apa. Mukanya terlihat
memerah, entah perasaan malu, lelah, bersalah, semuanya bercampur.
Dengan lancang Abang keluar dari kamar dan menghampiri Ayah,
ditariknya kerah baju Ayah. “Jadi selama ini Ayah menjauh dari kita, jarang
punya waktu bersama kita karena perempuan jalang itu?”
Ayah menampar keras pipi Abang. Merasa tidak dihormati
sebagai orang tua. “Begini sikap anak hasil didikanmu? Tidak tahu sopan santun! Kalau memang aku lebih memilih bersama perempuan itu, apa urusan kalian? Peduli
apa kalian? Kalian tidak pernah mengerti bagaimana jadi aku. Aku juga butuh
hiburan.” Bentak Ayah.
Ibu dan Abang sangat terpukul mendengar perkataan Ayah. Tak
percaya Ayah berkata seperti itu. Selama ini Ibu selalu berusaha mengikuti
keinginan suamiya itu, tapi kenapa malah seperti ini balasannya
“Baik, jika Ayah merasa seperti itu. Jika Ayah merasa
perempuan itu lebih bisa memberikan kebahagiaan untuk Ayah, silahkan tinggalkan
kami, silahkan Ayah pergi dari rumah ini.” Ucap Ibu menaham tangis.
Sejak malam itu Ibu, Abang dan Adik melanjutkan hidup hanya
bertiga, tanpa Ayah. Mereka mencoba melupakan sosok Ayah yang ternyata malah
mengkhianati mereka.
Hari ini, Lima tahun sejak kejadian itu, Ayah kembali. Abang
masih tidak menerima keberadaan Ayah dirumahnya, tapi Ibu menahan Abang,
membiarkan Ayah menjelaskan kedatanganya. Kedatangan Ayah membuka luka lama Ibu yang sudah disimpan dalam-dalam.
Adik menghampiri Ayah dengan membawakan minuman. Adik tidak
mengenali paras Ayah, karena waktu Ayah pergi, usia Adik masih 3 Tahun.
“Ternyata aku tertipu, aku memilih perempuan yang tidak
benar-benar mencintaiku. Dia hanya menginginkan hartaku. Dua tahun aku
bersamanya, ternyata dia masih menjalin hubungan dengan pria lain. Dia meninggalkan
aku, semua uang, surat-surat berharga, kendaraan dibawa pergi. Kantor pusat
memecat aku sebagai karyawannya karena aku menggelapkan dana perusahaan. Aku jatuh
miskin. Putus asa. Tidak punya semangat hidup. Aku merasa sangat bersalah telah
meninggalkan kalian. Saat itu aku berjanji untuk berubah. Aku memulai hidup
baru, memulai usaha baru, sekarang aku sudah medapatkan kembali kehidupanku. Tapi
aku masih merasa kurang sempurna. Kalian lah yang mampu menyempurnakan hidupku.
Aku ingin kalian kembali ke kehidupanku.” Cerita Ayah panjang lebar.
“Kemarin kau meninggalkan kami, sekarang dengan tidak tau
malu kau ingin kembali dikeluarga kami? Seenak-enaknya saja!” Ucap Abang penuh
Amarah.
Adik memeluk Ibu, merasa takut dengan suasana tegang dirumah
saat itu.
“Ayah rela melakukan apa saja, bahkan mencium kaki Ibu dan Abang sekalipun Ayah rela, asal kalian mau
menerima aku kembali dikeluarga ini.” Ucap Ayah lirih.
“Lakukan sekarang!” Perintah Abang sinis.
Ayah duduk berlutut, sudah bersiap untuk mencium kaki Abang. Ibu segera
menarik Ayah, Membangunkan Ayah dari duduknya.
“Abang tidak boleh berkata seperti itu. Ibu tidak pernah mengajarkan Abang untuk bersikap tidak sopan kepada orang yang lebih tua 'kan? Ayah ini 'kan yang merawat dan membiayai hidup
Abang sejak kecil. Kemarin itu ujian dari Allah yang harus Ayah lewati.
Ternyata hati Ayah tergoyah dan Ayah sudah mendapatkan ganjarannya. Sekarang
biarlah kita berikan kesempatan kedua pada Ayah. Kita terima lagi Ayah dalam
keluarga kita. Tinggal bagaimana Ayah menggunakan kesempatan ini
sebaik-baiknya.” Jelas Ibu sambil meneteskan air mata.
“Ibu mengijinkan Ayah kembali dikeluarga ini?” Tanya Ayah
tidak percaya.
Ibu tidak menjawab, hanya mengganggukan kepala sambil
tersenyum.
“Ibu benar-benar bidadari yang diturunkan dari surga. Ketegaran
hati Ibu, kesabaran Ibu, kekuatan hati Ibu tidak dimiliki wanita lain. Ibu
hebat!” Puji Abang pada Ibu.
Abang masih sedikit tidak menerima, tapi dia tidak bisa
membantah Ibu. Ayah memeluk Adik yang masih kebingungan tapi sedikit memahami
kejadian malam itu. Keluarga ini kembali sempurna, Ayah, Ibu, Abang, dan Adik
melanjutkan hidup yang tentram dan sejahtera.
Kesalahan Ayah menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi
semua anggota keluarga. Kejadian ini menjadikan mereka lebih menghargai sesama.
*SELESAI*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar