Rabu, 23 April 2014

Cerita Pendek



Ketegaran Hati Ibu

Seluruh isi rumah tersentak kaget melihat keberadaan Ayah di rumah malam itu. Ayah kembali. Benar-benar di luar dugaan. Disaat malam yang gelap, dingin dan sedikit menegangkan, Ayah kembali. Adik merasakan kasih sayang dan kehangatan yang jarang, bahkan tidak pernah, dirasakan sebelumnya. Tetapi tidak begitu dengan Ibu dan Abang. Amarah dan kekecewaan masih terlihat diwajah mereka.

Ayah datang kembali ke rumah karena ingin mengajak keluarganya kembali, utuh dan sempurna. Ayah yang hampir tak pernah mengucapkan banyak kata, malam itu ia bicara, bicara, dan bicara. Ayah bercerita tentang bisnis travelnya yang sudah cukup lama ia rintis. Dia berbicara tentang tempat tinggalnya sekarang yang mewah. Dia membicarakan keinginannya kembali dengan keluarganya, anak-anaknya, menjalani kehidupan bersama.

Ibu terkesima. Tak bisa berkata-kata. Pikirannya terus memikirkan masa lalu Ayah yang membuat ia dan Abang harus berpikir berulang-ulang ribuan kali tentang keinginan Ayah ini.

Terbesit dalam pikiran Ibu, kejadian yang menyebabkan ia berpisah dengan Ayah.

Lima tahun yang lalu...

Malam hari itu Ayah baru saja pulang dari luar kota, dinas dari kantor katanya, Ibu mempercayai saja. Karena ia tidak pernah membatasi kegiatan suaminya yang berhubungan dengan pekerjaan.

Selepas mandi dan makan malam, Ayah langsung bergegas tidur. Tidak seperti biasanya. Seperti ada yang ditutupi. Tapi Ibu tidak mau berprasangka buruk. Setelah selesai membereskan piring bekas makan malam, Ibu membereskan koper Ayah yang dibawa keluar kota.

Ibu sedikit bingung ketika membereskan baju kotor Ayah. Tercium bau parfum milik wanita. Pikiran Ibu menjadi tidak karuan, apa yang dilakukan Ayah selama diluar kota. Tapi Ibu segera membuang pikiran buruknya.

Ponsel Ayah berbunyi memecah pikiran Ibu, ada yang menelpon. Tidak ada namanya, hanya nomor yang tertera pada layar LCD. Karena takut ada kabar penting, Ibu mengangkat telpon itu.
Terdengar suara lembut seorang perempuan diluar sana, “Mas, sudah samapai dirumah? Kok tidak mengabari aku?” Ucap perempuan itu.

Ibu ternganga, siapa perempuan ini, mengapa ia sangat perhatian pada Ayah. Ibu menguatkan diri menjawab perempuan itu, dengan terbata-bata, “Maaf, mba ini siapa ya? Ada hubungan apa dengan suami saya?”

Suara berdesis kaget terdengar samar-samar dari seberang sana. Tiba-tiba telepon terputus.
Ibu sangat bingung, tapi tak mau berprasangka buruk. Mungkin hanya salah sambung. Ibu segera menyelesaikan membereskan koper Ayah dan menyusul Ayah tidur.

Keesokan paginya, Ibu menanyakan pada Ayah tentang telpon tadi malam. Ayah mengabaikan pertanyaan ibu, tidak terlalu memperhatikan, sibuk dengan koran yang sedang dibacanya. Melihat sikap acuh Ayah, Ibu semakin curiga. Bener-benar merasakan sesuatu yang ditutupi oleh Ayah.

Merasa omongannya diabaikan oleh Ayah, Ibu meninggalkan Ayah ke dapur. Ibu terus memikirkan apa penyebab sikap Ayah berbeda. Pikiran Ibu tak henti-hentinya berprasangka buruk. Tapi Ibu tidak mau menuduh suaminya.

Hari demi hari berlalu.

Perubahan sikap ayah semakin terlihat seminggu ini, semenjak pulang dari dinas di luar kota, Ayah jarang makan malam di rumah dan selalu pulang larut malam. Ibu sangat merasakan perubahan sikap Ayah. Abang dan Adik pun sudah jarang mendapat perhatian dari Ayah. Apa yang terjadi dengan Ayah?

Abang yang ketika itu masih berusia 15 tahun menanyakan pada Ibu mengenai perubahan sikap Ayah, “Bu, kenapa sekarang aku jarang bertemu Ayah, ya? Apa Ayah terlalu sibuk sampai tidak bisa lagi menemani aku menonton bola?”

“Mungkin Ayah lagi banyak kerjaan, Bang.” Jawab Ibu.

Ibu menangis dalam hati, sedih, apa yang terjadi pada keluarganya? Mengapa terasa ada jarak antara suami dan anak-anaknya? Ibu belum menemukan jawabannya.

Sampai suatu hari Ayah, ponsel Ayah tertinggal di rumah ketika Ayah pergi bekerja. Ibu penasaran dan mencari tahu apa yang menyebabkan perubahan pada Ayah. Ibu membuka dan membaca pesan-pesan yang masuk di ponsel Ayah. Ibu terkejut ketika membaca percakapan mesra antara Ayah dengan seseorang yang tidak disimpan nomor teleponnya oleh Ayah.

Perasaan ibu kacau tidak karuan, berbagai prasangka burung menghantui pikirannya tidak tau harus berbuat apa. Merasa dibohongi oleh Ayah. Tapi ibu tidak mau menuduh sampai mendengarkan penjelasan dari Ayah.
Ibu menangis sesegukan sambil adik yang sedang tidur siang. Abang yang ketika itu baru pulang sekolah kaget melihat ibunya menangis. “Ibu kenapa? Siapa yang berani jahat sama Ibu? Kasih tau aku, Bu!” Desak Abang.

Ibu tidak menjawab pertanyaan Abang, tidak mampu berkata-kata, air mata yang terus keluar dari mata Ibu menggambarkan kesedihan yang sangat mendalam. Ibu memberikan ponsel Ayah kepada Abang. Abang membaca semua percakapan mesra Ayah dengan orang lain itu.
Kemarahan Abang memuncak. “Jadi ini, yang selama ini ayah lakukan, Bu? Pulang larut malam hanya untuk menemui wanita simpanannya? Sudah gila!”

Tangis ibu semakin menjadi-jadi. Abang tidak tega melihat wanita yang melahirkannya itu terus menangis. Abanag memeluk Ibu, mencoba menenangkan perasaan Ibu.

Malam harinya, setelah Ayah pulang bekerja, Ibu langsung menodong Ayah dengan berbagai pernyataan. Mencoba meminta penjelasan pada Ayah.

“Ayah tolong jelaskan siapa pemilik nomor ini? Mengapa percakapan Ayah sangat mesra dengannya?” Tanya Ibu.

Ayah hanya diam, tidak menjawab apa-apa. Mukanya terlihat memerah, entah perasaan malu, lelah, bersalah, semuanya bercampur.

Dengan lancang Abang keluar dari kamar dan menghampiri Ayah, ditariknya kerah baju Ayah. “Jadi selama ini Ayah menjauh dari kita, jarang punya waktu bersama kita karena perempuan jalang itu?”

Ayah menampar keras pipi Abang. Merasa tidak dihormati sebagai orang tua. “Begini sikap anak hasil didikanmu? Tidak tahu sopan santun! Kalau memang aku lebih memilih bersama perempuan itu, apa urusan kalian? Peduli apa kalian? Kalian tidak pernah mengerti bagaimana jadi aku. Aku juga butuh hiburan.” Bentak Ayah.

Ibu dan Abang sangat terpukul mendengar perkataan Ayah. Tak percaya Ayah berkata seperti itu. Selama ini Ibu selalu berusaha mengikuti keinginan suamiya itu, tapi kenapa malah seperti ini balasannya

“Baik, jika Ayah merasa seperti itu. Jika Ayah merasa perempuan itu lebih bisa memberikan kebahagiaan untuk Ayah, silahkan tinggalkan kami, silahkan Ayah pergi dari rumah ini.” Ucap Ibu menaham tangis.

Sejak malam itu Ibu, Abang dan Adik melanjutkan hidup hanya bertiga, tanpa Ayah. Mereka mencoba melupakan sosok Ayah yang ternyata malah mengkhianati mereka.

Hari ini, Lima tahun sejak kejadian itu, Ayah kembali. Abang masih tidak menerima keberadaan Ayah dirumahnya, tapi Ibu menahan Abang, membiarkan Ayah menjelaskan kedatanganya. Kedatangan Ayah membuka luka lama Ibu yang sudah  disimpan dalam-dalam.

Adik menghampiri Ayah dengan membawakan minuman. Adik tidak mengenali paras Ayah, karena waktu Ayah pergi, usia Adik masih 3 Tahun.

“Ternyata aku tertipu, aku memilih perempuan yang tidak benar-benar mencintaiku. Dia hanya menginginkan hartaku. Dua tahun aku bersamanya, ternyata dia masih menjalin hubungan dengan pria lain. Dia meninggalkan aku, semua uang, surat-surat berharga, kendaraan dibawa pergi. Kantor pusat memecat aku sebagai karyawannya karena aku menggelapkan dana perusahaan. Aku jatuh miskin. Putus asa. Tidak punya semangat hidup. Aku merasa sangat bersalah telah meninggalkan kalian. Saat itu aku berjanji untuk berubah. Aku memulai hidup baru, memulai usaha baru, sekarang aku sudah medapatkan kembali kehidupanku. Tapi aku masih merasa kurang sempurna. Kalian lah yang mampu menyempurnakan hidupku. Aku ingin kalian kembali ke kehidupanku.” Cerita Ayah panjang lebar.

“Kemarin kau meninggalkan kami, sekarang dengan tidak tau malu kau ingin kembali dikeluarga kami? Seenak-enaknya saja!” Ucap Abang penuh Amarah.

Adik memeluk Ibu, merasa takut dengan suasana tegang dirumah saat itu.

“Ayah rela melakukan apa saja, bahkan mencium kaki Ibu dan Abang sekalipun Ayah rela, asal kalian mau menerima aku kembali dikeluarga ini.” Ucap Ayah lirih.

“Lakukan sekarang!” Perintah Abang sinis.

Ayah duduk berlutut, sudah bersiap untuk mencium kaki Abang. Ibu segera menarik Ayah, Membangunkan Ayah dari duduknya.

“Abang tidak boleh berkata seperti itu. Ibu tidak pernah mengajarkan Abang untuk bersikap tidak sopan kepada orang yang lebih tua 'kan? Ayah ini 'kan yang merawat dan membiayai hidup Abang sejak kecil. Kemarin itu ujian dari Allah yang harus Ayah lewati. Ternyata hati Ayah tergoyah dan Ayah sudah mendapatkan ganjarannya. Sekarang biarlah kita berikan kesempatan kedua pada Ayah. Kita terima lagi Ayah dalam keluarga kita. Tinggal bagaimana Ayah menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya.” Jelas Ibu sambil meneteskan air mata.

“Ibu mengijinkan Ayah kembali dikeluarga ini?” Tanya Ayah tidak percaya.

Ibu tidak menjawab, hanya mengganggukan kepala sambil tersenyum.

“Ibu benar-benar bidadari yang diturunkan dari surga. Ketegaran hati Ibu, kesabaran Ibu, kekuatan hati Ibu tidak dimiliki wanita lain. Ibu hebat!” Puji Abang pada Ibu.

Abang masih sedikit tidak menerima, tapi dia tidak bisa membantah Ibu. Ayah memeluk Adik yang masih kebingungan tapi sedikit memahami kejadian malam itu. Keluarga ini kembali sempurna, Ayah, Ibu, Abang, dan Adik melanjutkan hidup yang tentram dan sejahtera.

Kesalahan Ayah menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi semua anggota keluarga. Kejadian ini menjadikan mereka lebih menghargai sesama.





*SELESAI*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar