Panti Lansia
“Papa,
pokoknya aku mau Nenek dititipkan di Panti Lansia.” Paksa aku. “Jenny, kita
masih bisa merawat Nenek di sini.” Papa menolak usulanku. Bukan aku tidak
senang Nenek tinggal bersama kami tapi kadang Nenek terlalu suka ikut campur
urusanku. Sejak Mama meninggal dunia, Papa meminta Nenek untuk tinggal bersama
kami dan untuk menemaniku jika Papa dinas ke luar kota. Awalnya aku senang ada
yang menemani dan mengurusku. Namun lama-kelamaan aku mulai kesal dengan sikap
Nenek yang over protective.
“Bu,
maafkan sikap Jenny ya.” Papa tidak enak hati pada ibunya sendiri. “Tidak apa, Tom.
Jenny cuma belum mengerti mengapa Ibu melakukan ini. Dia anak kamu
satu-satunya. Ibu ingin dia bergaul dengan teman-teman yang baik.” Aku diam saja
mendengar penjelasan Nenek. “Baiklah, kalau Jenny menginginkan Nenek dititipkan di
Panti Lansia.” Akhirnya Nenek menyetujui keinginanku. Aku tersenyum senang. “Tapi
ada satu hal yang harus kamu ingat, Jenny,” Senyumanku langsung menghilang. “kamu
harus bisa menjaga diri kamu sendiri, jangan kecewakan Papamu ya, Jen. Tidak
masalah jika Nenek tinggal di Panti Lansia. Nenek bisa melakukan kegiatan yang
Nenek sukai dan berjumpa dengan teman-teman baru yang sebaya.” Nenek tersenyum
kepadaku.
Sore ini
aku dan Papa mengantarkan Nenek ke Panti Lansia Yayasan Kasih Sejahtera di
kawasan Bogor. Panti berlantai dua itu lebih mirip apartemen dengan fasilitas
lengkap dengan lingkungan yang asri dan sejuk serta dikelilingi pepohonan hijau
di sekitarnya. Pantas saja Nenek bersemangat sekali untuk tinggal di sini.
Aku
berjalan seorang diri mengelilingi Panti. Aku ingin tahu apa saja yang
dilakukan para lansia di sini. Gedung bercat biru langit ini terawat dengan
baik. Di tiap lorong terdapat bangku-bangku panjang yang menghadap ke taman.
Tiap pagi dan sore hari para lansia duduk-duduk santai. Seperti sekarang,
banyak lansia saling bercengkerama di bangku ini. Panti ini hanya menampung
lansia wanita berusia 50 tahun ke atas. Terdapat 30 kamar yang setiap kamarnya bisa
diisi maksimal dua orang. Aku tahu dari pihak administrasi kalau lansia di sini
bukan dari keluarga yang mampu saja. Panti ini juga menerima lansia yang kurang
mampu. Lansia yang berasal dari kalangan menengah ke atas melakukan sistem
subsidi silang. Bagi mereka yang kurang mampu tidak dibebankan biaya apapun.
Ada juga yang membayar maksimum 50 persen dari uang pensiun mereka. Sedangkan
dari kalangan menengah ke atas wajib membayar 1,5-2 juta per bulan.
Setelah
puas berjalan-jalan, aku pun duduk di bangku panjang yang masih kosong. Lalu
kuambil sebotol air mineral dari dalam tas dan meminumnya. Kuamati satu per
satu lansia yang sedang bercengkerama. Mereka tampak bahagia tetapi siapa yang
tahu bahwa sebenarnya mereka sangat kesepian. Mereka merindukan suasana rumah
dan ingin menghabiskan masa tuanya dengan keluarga.
Aku mulai
bertanya pada diriku apakah Nenek juga akan merasakan hal yang sama seperti
lansia lainnya? Aku merasa jahat sekali kepada Nenekku sendiri. Tidak
seharusnya aku melakukan ini padanya. Aku harus melakukan sesuatu.
Aku
menghampiri Nenek dan Papa yang berada di kamar tempat Nenek beristirahat.
“Nek, Jenny minta maaf. Nggak seharusnya Jenny ngusir Nenek
dari rumah. Maafin Jenny ya Nek.” Aku memeluk Nenek sambil terisak. “Nenek
sudah memaafkan kamu, sayang.” Ucap Nenek sambil membelai rambutku. “Nenek mau
kan kembali ke rumah? Kita tinggal bersama lagi ya Nek.” Aku memohon pada
Nenek. “Kalau
untuk sekarang tidak bisa, Jen. Nenek mau tinggal di sini untuk sementara
waktu.” Aku sedih mendengar keputusan Nenek. “Aku janji selama Nenek di sini,
aku akan sering mengunjungi Nenek. Aku akan membantu petugas di sini untuk
merawat Nenek dan teman-teman Nenek.” Nenek tersenyum bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar