Rabu, 23 April 2014

Menulis Cerpen

Menulis Cerpen
“Cletaak… ngeek… ‘duaar!’” Bunyi pintu blakang rumahku yang dibuka dengan kasar terempas ke tembok di sampingnya.
“Asslaamualaaiiikuum… Aku pulaaang!” Suara melengking yang khas dari salah satu anggota keluarga di rumah ini, yaitu Aku.
“wa’alaikum salam! Loh Fadhil? Kok tumben pulang hari Rabu, lagi libur tah dhil?” Sambut nenekku yang sambil tersenyum dengan khasnya. Meskipun keriput tak akan terlepas dari umurnya, tapi senyumnya yang manis itu selalu terjaga untuk menyambut cucunya yang datang di hadapannya.
“Eh? Mbah. Hehehe, iya Mbah. Besok kan aku libur, lagi banyak tugas juga mbah jadi mau pulang ke rumah biar bisa ngerjain tugas modem Fadhil dipinjam sama ibu kemarin lusa. Jadi mau nggak mau ya pulang Mbah..” Jawabku sambil masuk ke kamar menaruh tas dan bersiap mengerjakan tugas dengan membuka laptop yang kubawa dari kostan.
“ooh, ya sudah istirahat dulu sana, biar nggak kecapaian baru pulang dari Ciputat.”
“Iya mbah, gampang, nanti aja mau ngejar tugas dulu nih buat malam ini”

Kutarik kursi dan duduk di depan meja berwarna cokelat tua ini. Di atasnya terdapat laptop berwarna merah dan dua buah buku bahan tugasku. Sebelum membuat tugas tersebut, kubuka catatan tugas yang kumiliki syarat-syarat apa saja yang harus diperhatikan untuk membuat cerpen, dan setelah mengamati dan mempelajarinya, aku pun mulai mencoba menulisnya.
“Aku mungkin akan mencoba membuat cerpen dengan tema kedaerahan, tapi… Daerah mana yang harus aku angkat untuk sebuah cerpen ini? Aku tidak terlalu mengerti tentang daerah, mungkin yang aku kenal betul tentang Jakarta ialah tentang macetnya atau bahkan banjirnya yang bisa dibanggakan, atau mungkin yang lebih klasik lagi ialah daerah Yogyakarta yang suasananya seperti kota kenangan dengan budayanya yang kental dan tradisional. Ah, tetapi sudah terlalu mainstream kayaknya kalau mengangkat hal itu,” pikirku sambil melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul 8.15 malam. Dan aku sempat berpikir untuk mencontek karya orang lain, tapi tidak mungkin kulakukan karna itu termasuk jiwa seorang plagiator. Lagi pula originalitas atas cerpen yang akan kubuat akan menentukan nilai juga, jadi aku akan terus mencoba mencari imajinasi untuk menuliskan cerpen ini.
Detak jam yang terus berbunyi membuatku tidak dapat berfikir lagi, sudah berlalu setengah jam dari mulai aku membuka leptop ini. Akan tetapi belum ada satupun kata yang mampu kutuliskan untuk memulai tugas ini. Ruang kamarku yang sempit ini membuatku jenuh untuk berfikir, akhirnya aku cukupkan dan memilih untuk ke kamar mandi untuk mencari inspirasi apa yang dapat aku tuliskan pada tugas kali ini. Ruangan di mana imanjinasi muncul dan berkembang tak terduga.
Kuambil handuk dan pakaianku dan berjalan menuju kamar mandiku. Tembok berwarna pink dan dengan lantainya berwarna merah marun. Beserta gayung yang berwarna sama dengan tembok yang serasi membuat mata ini terasa nyaman melihat kepaduan warna yang ada di dalam kamar mandi itu. Tempat di mana aku biasa merenung dan mencari inspirasi di dalamnya. Yaa meskipun terlihat agak aneh, tapi hal ini nyata bagiku.
Terlarut aku dalam imajinasiku tentang tugas yang harus kubuat, tiba tiba aku terpikirkan untuk membuat cerpen dengan tema kemanusiaan dan akan menuliskan beberapa sifat manusia yang akan dituangkan di dalamnya.
Aku teringat tentang ibuku yang aku anggap sebagai orang tua sekaligus sebagai guru dalam hidupku. Ia adalah seseorang yang sangat istimewa dalam hidupku, tak akan ada yang bisa menggantikan sosoknya dalam hidupku. Ia yang mencontohkan kepadaku sebagai pribadi yang sabar dan tegar dalam menghadapi segala masalah masalah. Seseorang yang bijaksana dalam mengambil keputusan dengan memandang berbagai sisi yang tidak terpikirkan.
Suatu hari, aku menemaninya berbelanja ke pasar Kelender, yaa tempat yang tidak asing bagiku, sebuah pasar yang kotornya itu beeeeh… super-duper berantakan. Sekali kecipratan becekannya, lebih baik langsung dicuci deh pokoknya. Karena baunya itu akan menusuk hidung dan seakan merusak sistem kerja pernapasan.
Ketika itu aku berjalan dengan membawa barang belanjaan milik ibuku. Biasa lah, namanya juga ibu-ibu, pasti belanjaanya banyak banget dan sampai lupa waktu. dan setelah usai berbelanja, Aku dan Ibuku kembali ke mobil dan menyalakan mesinnya. Akan tetapi aku terdiam melihat sesuatu yang mengusik hatiku. Seorang tukang sapu yang sudah tua, duduk bersandar di pagar pinggir jalan sedang berkeringat terlihat sangat lelah setelah bekerja.
“Dhil, kasihan tukang sapu itu, kayaknya capak sekali dia membersihkan jalanan ini.” Sahut Ibuku yang ternyata juga memerhatikan bapak tua tersebut.
“Iya Bu, ya tapi gimana ya? Orang mau disapu seperti apapun juga yang namanya pasar pasti kotornya nggak abis-abis Bu. Wong yang buang sampah toh juga gak ada yang peduli sama lingkungan sini kan?”
“iya, tapi kasihan ya dhil. Banyak sekali orang di pasar ini tapi gak ada yang mau peduli sama kebersihan pasar ini sendiri karena berpikir ‘nanti juga pasti ada yang bersihin!’ jadi mereka pada seenaknya saja buang sampah sembarangan.”
“Ho’oh! Jadi berasa juga ya bu mengena di hati mirisnya hidup di jalanan yang keras begini. Kadang manusia suka berpikir apapun yang praktis tanpa memikirkan dampaknya. Jadi kayak buang sampah sembarangan juga yang penting praktis gak ribet nyari tempat sampah dulu.”
“Iya, serba salah juga sih Dhil. Antara fasilitasnya umum yang kurang lengkap dan nggak memadai, juga kesadaran manusianya yang kurang akan kebersihan lingkungan. Penghasilan tukang sapu itu perbulan juga belum tentu cukup untuk menafkahi keluarganya kan dhil.”
“Jakarta keras bu, yang kaya makin kaya, yang miskin semakin miskin.”
“Yasudah, ini Dhil. ‘sambil memberiku uang ceban ke tangan ku’  kamu pura jalan gih sana terus kasih ini ke bapak itu. Ya nggak seberapa buat kita tapi lumayan buat dia yang bekerja keras dibandingkan pengemis yang cuman minta-minta doang.”
“Yah, si Ibu… Nggak enak aah Fadhil ngasihnya, ibu aja deh yaa?”
“Udah, kamu aja. Ibu nggak tega ngasihnya. Bismillah aja buat sodaqoh bilang aja ‘buat beli minum pak!’ Gitu dhil.”

“O,iya! Kenapa nggak tulis tentang itu aja ya? Itu kayaknya tentang kemanusiaan deh, lumayan juga kalau dituangkan dalam tugas cerpenku.” Tersadar aku dalam imajinasiku di dalam kamar mandi. Akupun mulai berpikir dan mengembangkan ide tersebut dengan tambahan cerita didalamnya. “Pasti ceritanya akan menjadi bagus dan memiliki nilai moral di dalamnya.” Batinku di dalam hati.
Tak lama kemudian aku berpikir untuk melanjutkan tugasku tentang menulis cerpen yang masih belum terselesaikan. Namun, tiba-tiba teringat sesuatu, “Mengapa aku tidak menuliskan cerita tentang cinta atau kasih sayang? Pasti hasilnya bakalan bagus. Kata teman-temanku di kampus sih cerita tentang cinta yang aku jalani itu begitu seru layaknya sinetron FTV. Selalu ada-ada aja tingkah laku yang kuperbuat sampai-sampai pacarku sendiri menganggapku sebagai moodboster-nya. Kadang dalam satu hari aku bisa membuatnya, marah, kesal, menangis, bahkan sampai bahagia yang bikin orang lain iri dengan apa yang aku lakukan. Selalu buat warna warni seperti pelangi yang indah di langit biru. Ciiaaah… Bukannya ingin sombong, tapi aku memang dijuluki sebagai master masalah cinta-cintaan sejak waktu SMP.” Imajinasiku pun mulai berlebihan memuji diriku sendiri, sampai-sampai aku lupa untuk melanjutkan tugas cerpen yang harus aku kerjakan.
“Tok Tok Tok! Fadhil? Ngapain aja kamu di dalam kamar mandi? Kok lama sekali?” Teriak Bapakku mengejutkanku yang masih terbengong di dalam kamar mandi menjadi panik. Jantungku berdetak kaget serasa mau copot karena terkejut karena teriakan itu. Bapak ku ialah orang yang terlihat menyeramkan, dengan kumis tebal, suara serak, bermuka sangar dan badan tegapnya membuat teman-temanku yang pernah datang ke rumahku menjadi trauma untuk datang kembali. Wajar saja, Ia adalah seorang Polisi. Didikan militer disiplinnya, dan ketegasannya di dalam rumah pun telah diajarkannya sejak aku kecil. Meskipun begitu, dia adalah orang hebat dan baik serta menyayangi anak-anaknya di balik rupanya dan ketegasannya itu.
“Iya pak, fadhilnya lagi mikir.” Jawabku dengan polosnya.
Mikir kok di kamar mandi? Mikir ya di kamar gitu lho di depan meja, bukan di kamar mandi. Cepetan udahan! Nanti masuk angina kamunya!” Tegas suara bapakku dari depan pintu kamar mandi.
“iyaaa.” Suaraku memelas.

Akhirnya akupun segera menyelesaikan aktivitasku di kamar mandi itu. Entah sudah berapa lama aku berada di dalamnya, tapi percobaanku untuk mencari inspirasi di kamar mandi ini memang berhasi. Tempat terfavoritku dimana aku bisa berkhayal dan berimajinasi mencari inspirasi tanpa batas selain di atas kasur. Dan setelah aku selesai mandi serta makan, aku pun mulai melanjutkan tugas menulis cerpenku yang telah lama kutunda.
Jam sekarang telah menunjukkan pukul sepuluh malam, aku pun mulai menuliskan apa yang telah aku dapat dari ruang imajinasiku. Masalah tiba-tiba muncul kembali dalam benakku, “Jadi? Apa tema yang akan aku gunakan? Apakah kedaerahan, kemanusiaan, atau  kasih sayang? Ataukah aku akan memadukan dari tema-tema yang ada?” Batinku terus bertanya-tanya membuat aku bimbang untuk melanjutkannya.

Entah bagaimana hasil yang aku tulis, aku tak bisa menilainya sendiri. Yang pasti tulisan cerpen yang akan aku buat adalah karyaku sendiri, tanpa menjiplak dari karya orang lain. Sehingga aku jelas harus bangga dengan apa yang aku tuliskan. “So, its no problem. Just try it and you can do it!” Gayaku berkata sok Bahasa Inggris pada diri sendiri mencoba membangkitkan rasa percaya diri dengan usaha yang telah aku lakukan.


2 komentar:

  1. curahan hati yang tertuang dalam cerita pendek. 1 thumb for u.
    Yang kiri aja ye, thumb yang kanan buat gue. :p

    BalasHapus
    Balasan
    1. tapi yang penting kan menarik dan unik yas, hahaha tugasnya "Menulis Cerpen" dan judulnya pun "Menulis Cerpen" hahaha :p

      Hapus