Maaf Bunda Aku Ingin Berguna
Sore itu,
ketikaku pulang dari sekolah, kulewati sebuah gang kecil di samping perumahan elit.
Langkah kakiku terhenti di depan sebuah gerbang besar berwarna cokelat yang
terbuat dari kayu jati, aku ingin sekali masuk ke dalam perumahan itu, melihat
rumahku yang dulu. Aahhh..., mikir apa sih Embun?
bagaimana bisa masuk kesana? penjagaannya sangat ketat hanya orang tertentu
yang diizinkan untuk masuk. Sudahlah pulang saja.
“Embun”
teriak seorang pria memanggilku.
Kupalingkan
wajahku kearahnya, ternyata itu pak satpam perumahan. Tak kusangka beliau masih
mengenaliku.
“Sudah
besar sekarang, makin cantik ya Embun rambutnya halus, panjang, dan tebal
seperti gadis-gadis iklan shampoo he he he.”
“Aduh…,
bapak bisa saja Embun jadi malu.”
“Ingin
masuk ke dalam?” Tanya pak satpam.
“Iya pak,
kangen mau lihat rumah Embun yang dulu, memangnya boleh pak?” Dengan
penuh harap semoga diizinkan masuk ke dalam.
“Boleh
saja kalau hanya ingin melihat rumah Embun yang dulu.”
Segeralah
aku masuk melewati gerbang depan perumahan, suasananya masih sama seperti 4
tahun yang lalu. Sepi, tenang, hanya terlihat bangunan megah rumah-rumah dengan
berbagai ukiran arsitektur yang indah. Rumah lamaku terletak paling ujung di
sebelah kiri dari pintu gerbang perumahan.
Jalan
Venus nomor 4B. Rumah penuh kenangan indah sekarang berubah menjadi
rumah besar yang rapuh tak berpenghuni, cat dinding yang sudah mengelupas, kayu
yang dimakan rayap, tumbuhan liar yang kini menghiasi halaman rumah. Melihat
bangunannya saja aku takut, terasa asing bagiku seperti telah hilang semua
kenanganku bersama rumah ini. Semuanya berubah ketika rumah ini dijual untuk
membayar pengobatan ayahku.
Gagal ginjal itulah penyakit yang menggerogoti tubuh
ayahku, harus cuci darah di rumah sakit seminggu dua kali. Kuperhatikan tubuh ayahku yang semakin
lama semakin kurus, terlihat wajahnya lebih tua dari umur aslinya. Tibalah saat cuci darah pun
tidak berarti lagi untuk ginjal ayahku, yang ia butuhkan hanyalah transplantasi
ginjal yang cocok untuknya.
Bundaku sibuk mencari pendonor yang cocok ke
berbagai rumah sakit, dibuat juga semacam sayembara di internet dengan imbalan
yang tinggi. Alhamdulillah ada pendonor yang cocok ginjalnya untuk ayahku,
tetapi keluarganya meminta bayaran yang tinggi. Sangat ironis ketika mengetahui
kalau pendonor itu dipaksa mendonorkan ginjalnya oleh keluarganya supaya
mendapatkan uang yang banyak. Kalau saja ginjalku cocok akan kuberikan untuk
ayah sebuah cahaya duniaku.
“Embun, bunda ingin menjual rumah kita,” kata
bundaku sambil menitihkan air mata.
“Bunda yakin? Nanti kita tinggal dimana?” kataku
dengan raut wajah kebingungan.
“Iya nak, kita harus melunasi utang untuk membayar
pengobatan ayah kepada rentenir yang tiap bulan bunganya semakin bertambah,
biaya operasi dan membeli ginjal pendonor juga memerlukan uang yang banyak,
nanti kita pindah ke rumah kontrakan milik ayah yang tinggal disana penghuninya
sudah pindah.”
“Embun setuju aja bunda, yang penting ayah
sembuh dan keluarga kita bahagia seperti dulu,” kataku sambil memeluk
erat bunda.
Minggu pukul 13.00 di ruang operasi RSCM ayahku
menghembuskan nafasnya yang terakhir, operasinya berhasil tetapi takdir berkata
lain ayahku sudah tidak kuat melawan penyakitnya, jantungku seperti berhenti
berdetak ketika mendengar kabar dari dokter bahwa ayah sudah tidak ada.
“Ya Allah, kenapa secepat ini? Bahkan aku belum
sempat menjadi anak kebanggaannya,” kataku sambil menangis teriak-teriak.”
“Istighfar nak, semua yang hidup akan kembali
kepadaNya, ikhlas ya sayang ayah pasti sudah tenang disana, kasian kan
ayah sudah 2 tahun sakit.” Kata bunda sambil menenangkanku.
“Astagfirullah...., maafin Embun ya Allah….Embun ikhlas.”
Ayahku telah tiada, rumah mewah kami sudah dijual
untuk melunasi hutang kepada rentenir, aku dan bunda tinggal di rumah kontrakan
yang tidak jauh dari perumahan tempat kami tinggal sebelumnya.
“Eh.., kamu Embun kan? Anak yang pernah tinggal disini?”
Kata seorang anak laki-laki yang kira-kira umurnya sebaya denganku.
“Iya aku Embun, kamu siapa ya? Koq kenal Embun?”
Kataku sambil mengingat-ingat apakah mengenal anak itu.
“Saya Rival anak gang Mars, saya sempet denger
cerita tentang keluarga kamu turut prihatin ya Bun.”
“Eksis juga ye keluargaku ampe nyebar gitu
ceritanya ke gang sebelah.”
“Gaya banget si Bun pede bener ha ha ha, kamu ngapain
saya liatin dari tadi bengong disitu?”
“Nggak tau Val, tiba-tiba pas lewat
sini jadi kangen rumah ini, tapi lihat aja sekarang ini rumah udah gak
layak disebut rumah.”
“Ya wajar kali Bun secara nih rumah udah
gak ada yang nempatin, ya rusak lah lama-lama.”
“Kamu koq pucet sih?
Sakit ya.”
“Iya Bun saya mah anak penyakitan, dari kecil
udah kena penyakit ini.”
“Sakit apa?”
“Gagal ginjal, tapi selow badai pasti
berlalu, saya pasti sembuh koq.” Kata Rival sambil terseyum ceria.
Ya Allah penyakitnya Rival sama seperti ayah. “Embun
pulang dulu ya Val nanti bunda nyariin.”
“Okrraay..., Embun ati-ati.”
Sesampainya di rumah ternyata bunda khawatir kenapa
aku belum pulang, aku pun menceritakan kalau tadi habis dari rumah yang lama.
“Bunda..., Aku berangkat dulu ya, sini bunda aku
cium dulu pipinya.”
“Permatanya bunda mau sekolah ya, nah gitu dong
cium dulu bundanya.”
“Berangkat dulu ya bun,” kataku sambil mencium pipi
bunda.
Tiiiiiiinnnnn...... jegeeerrrr.....
Mobil sedan berwarna putih memberikan klakson
untukku tetapi karena lagi pake headset aku nggak mendengar suara
klaksonan mobil itu, dan akhirnya mobil itu tidak sengaja menyerempetku dari
belakang. Kaki dan tanganku luka-luka karena tergores aspal, aku pun dibawa ke
rumah sakit oleh seorang bapak yang mengemudikan sedan itu.
Bapak ini sepertinya cemas sekali, kuperhatikan dari
tadi sejak masuk ke dalam mobilnya. Wajahnya pucat, terlihat jelas
kekhawatirannya. Apa dia mengkhawatirkanku? Yelah pede amat yak, aku kan bukan
siapa-siapa. Aku ingin bertanya tapi takut wajah bapak ini dingin
sekali.
Lukaku selesai diobati, bapak ini tetap saja
memunculkan raut wajah yang panik. Tuh kan bener dia bukan
mengkhawatirkanku. Tapi siapa yang dikhawatirkan olehnya?.
Aku pun diajak ke sebuah ruangan oleh bapak itu,
disudut ruangan tergeletak seorang anak laki-laki yang sebaya denganku, aku
bertanya-tanya dalam hati “apakah ini anaknya?” Jadi dari tadi anak ini yang
dikhawatirkan oleh si bapak. Pelan-pelan kuhampiri anak itu dan waktu
kuperhatikan dengan saksama
dia adalah Rival, anak perumahan gang Mars yang kutemui beberapa hari yang lalu.
“Ini anak saya satu-satunya, dari umur 7 tahun dia
sudah terkena penyakit gagal ginjal, sekarang keadaanya lagi kritis dia sangat
membutuhkan donor ginjal yang cocok untuknya kalau tidak, nyawanya tidak akan
tertolong.” Kata bapak itu sambil mengusap-ngusap rambut anaknya.
Tiba-tiba kejadian 4 tahun yang lalu saat ayah
membutuhkan donor ginjal menghantui pikiranku, aku jadi merasa iba dan ingin
menolong Rival. Teringat jelas betapa sulitnya mencari donor ginjal yang cocok
dan memberi ginjalnya tanpa
pamrih. Aku pun
menawarkan diri untuk menjadi pendonor transplantasi ginjal untuk Rival,
setelah beberapa jam diperiksa oleh dokter ternyata ginjalku cocok untuknya.
“Bunda aku ingin mendonorkan ginjalku untuk orang
lain, aku ingin berguna untuk orang lain, orang lain yang mempunyai penyakit
seperti ayah.”
“Embun kenapa ini tangan sama kakinya luka-luka?
Donor untuk siapa Embun,
hal ini sangat beresiko.”
“Aku tadi keserempet mobil, bapak yang menyerempet
Embun anaknya sedang kritis sama seperti ayah dulu membutuhkan transplantasi ginjal bun.”
“Bunda nggak setuju nak, kenapa kamu malah
baik sama orang yang udah melukaimu?”
“Aku mohon bun, aku ingin menolongnya seenggaknya
dulu aku nggak bisa menolong ayah, tapi sekarang bisa
menolong orang yang sakit seperti ayah.”
Seminggu kemudian bunda mengantarkanku ke rumah
sakit untuk operasi transplantasi ginjal untuk Rival, semua peralatan operasi
sudah siap kesehatanku sudah diperiksa oleh dokter, hanya tinggal menunggu ayah
Rival datang.
Ketika ayah Rival datang, ternyata bunda
mengenalinya. Aku tidak
mengetahui ayah Rival adalah rentenir yang meminjamkan uang untuk
pengobatan ayahku.
“Jadi Rival anak anda, dan anda juga yang menyerempet
anak saya, dasar rentenir nggak tau diri.” Kata bunda dengan penuh
amarah.
“Maafkan saya, saya tidak sengaja menyerempet Embun,
saya panik ketika tau Rival masuk rumah sakit.” Kata ayah Rival.
“Embun, ayahnya Rival yang meminjamkan bunda uang
dan ternyata pinjaman itu tiap bulan bunganya naik, dia yang bikin keluarga
kita jatuh miskin, ibu mohon batalkan operasi ini.”
“Maafkan saya bu itu semua kesalahan saya, jangan ibu
limpahkan kesalahan saya kepada
Rival, anak saya sangat membutuhkan donor ginjal.” Kata ayah Rival sambil
berlutut menangis dihadapan bunda, sosok yang biasanya angkuh kini berubah menjadi
orang yang sedang putus asa.
“Bunda maafkan aku, ingin sekali aku berguna untuk
orang lain. Bunda nggak boleh dendam sama orang lain keluarga kita menjadi miskin itu
semua udah rencana Allah, Rival butuh ginjalku bunda.” Kataku sambil menggenggam erat tangan bunda.
Rival sudah memasuki ruang operasi di RSCM, setelah itu saatnya aku
untuk masuk. Perlahan bunda melepas genggaman erat tanganku. Kuhapus air mata yang jatuh
dipipinya dengan tangan halusku. Dia bisikan sesuatu ditelingaku “Bunda bangga
sama Embun, buah hati kesayanganku.” Sebelum kulangkahkan kakiku menuju ruang
operasi, kupeluk erat tubuh bundaku seperti pelukan untuk yang terakhir kalinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar