Senin, 21 April 2014

Cerita Pendek



Maaf Bunda Aku Ingin Berguna

Sore itu, ketikaku pulang dari sekolah, kulewati sebuah gang kecil di samping perumahan elit. Langkah kakiku terhenti di depan sebuah gerbang besar berwarna cokelat yang terbuat dari kayu jati, aku ingin sekali masuk ke dalam perumahan itu, melihat rumahku yang dulu. Aahhh..., mikir apa sih Embun? bagaimana bisa masuk kesana? penjagaannya sangat ketat hanya orang tertentu yang diizinkan untuk masuk. Sudahlah pulang saja.
“Embun” teriak seorang pria memanggilku.
Kupalingkan wajahku kearahnya, ternyata itu pak satpam perumahan. Tak kusangka beliau masih mengenaliku.
“Sudah besar sekarang, makin cantik ya Embun rambutnya halus, panjang, dan tebal seperti gadis-gadis iklan shampoo he he he.”
“Aduh…, bapak bisa saja Embun jadi malu.”
“Ingin masuk ke dalam?” Tanya pak satpam.
“Iya pak, kangen mau lihat rumah Embun yang dulu, memangnya boleh pak?” Dengan penuh harap semoga diizinkan masuk ke dalam.
“Boleh saja kalau hanya ingin melihat rumah Embun yang dulu.”
Segeralah aku masuk melewati gerbang depan perumahan, suasananya masih sama seperti 4 tahun yang lalu. Sepi, tenang, hanya terlihat bangunan megah rumah-rumah dengan berbagai ukiran arsitektur yang indah. Rumah lamaku terletak paling ujung di sebelah kiri dari pintu gerbang perumahan.
Jalan Venus nomor 4B. Rumah penuh kenangan indah sekarang berubah menjadi rumah besar yang rapuh tak berpenghuni, cat dinding yang sudah mengelupas, kayu yang dimakan rayap, tumbuhan liar yang kini menghiasi halaman rumah. Melihat bangunannya saja aku takut, terasa asing bagiku seperti telah hilang semua kenanganku bersama rumah ini. Semuanya berubah ketika rumah ini dijual untuk membayar pengobatan ayahku.
Gagal ginjal itulah penyakit yang menggerogoti tubuh ayahku, harus cuci darah di rumah sakit seminggu dua kali. Kuperhatikan tubuh ayahku yang semakin lama semakin kurus, terlihat wajahnya lebih tua dari umur aslinya. Tibalah saat cuci darah pun tidak berarti lagi untuk ginjal ayahku, yang ia butuhkan hanyalah transplantasi ginjal yang cocok untuknya.
Bundaku sibuk mencari pendonor yang cocok ke berbagai rumah sakit, dibuat juga semacam sayembara di internet dengan imbalan yang tinggi. Alhamdulillah ada pendonor yang cocok ginjalnya untuk ayahku, tetapi keluarganya meminta bayaran yang tinggi. Sangat ironis ketika mengetahui kalau pendonor itu dipaksa mendonorkan ginjalnya oleh keluarganya supaya mendapatkan uang yang banyak. Kalau saja ginjalku cocok akan kuberikan untuk ayah sebuah cahaya duniaku.
“Embun, bunda ingin menjual rumah kita,” kata bundaku sambil menitihkan air mata.
“Bunda yakin? Nanti kita tinggal dimana?” kataku dengan raut wajah kebingungan.
“Iya nak, kita harus melunasi utang untuk membayar pengobatan ayah kepada rentenir yang tiap bulan bunganya semakin bertambah, biaya operasi dan membeli ginjal pendonor juga memerlukan uang yang banyak, nanti kita pindah ke rumah kontrakan milik ayah yang tinggal disana penghuninya sudah pindah.”
“Embun setuju aja bunda, yang penting ayah sembuh dan keluarga kita bahagia seperti dulu,” kataku sambil memeluk erat bunda.
Minggu pukul 13.00 di ruang operasi RSCM ayahku menghembuskan nafasnya yang terakhir, operasinya berhasil tetapi takdir berkata lain ayahku sudah tidak kuat melawan penyakitnya, jantungku seperti berhenti berdetak ketika mendengar kabar dari dokter bahwa ayah sudah tidak ada.
“Ya Allah, kenapa secepat ini? Bahkan aku belum sempat menjadi anak kebanggaannya,” kataku sambil menangis teriak-teriak.”
“Istighfar nak, semua yang hidup akan kembali kepadaNya, ikhlas ya sayang ayah pasti sudah tenang disana, kasian kan ayah sudah 2 tahun sakit.” Kata bunda sambil menenangkanku.
“Astagfirullah...., maafin Embun ya Allah….Embun ikhlas.”
Ayahku telah tiada, rumah mewah kami sudah dijual untuk melunasi hutang kepada rentenir, aku dan bunda tinggal di rumah kontrakan yang tidak jauh dari perumahan tempat kami tinggal sebelumnya.
Eh.., kamu Embun kan? Anak yang pernah tinggal disini?” Kata seorang anak laki-laki yang kira-kira umurnya sebaya denganku.
“Iya aku Embun, kamu siapa ya? Koq kenal Embun?” Kataku sambil mengingat-ingat apakah mengenal anak itu.
“Saya Rival anak gang Mars, saya sempet denger cerita tentang keluarga kamu turut prihatin ya Bun.”
Eksis juga ye keluargaku ampe nyebar gitu ceritanya ke gang sebelah.”
Gaya banget si Bun pede bener ha ha ha, kamu ngapain saya liatin dari tadi bengong disitu?”
Nggak tau Val, tiba-tiba pas lewat sini jadi kangen rumah ini, tapi lihat aja sekarang ini rumah udah gak layak disebut rumah.”
“Ya wajar kali Bun secara nih rumah udah gak ada yang nempatin, ya rusak lah lama-lama.”
“Kamu koq pucet sih? Sakit ya.”
“Iya Bun saya mah anak penyakitan, dari kecil udah kena penyakit ini.”
“Sakit apa?”
“Gagal ginjal, tapi selow badai pasti berlalu, saya pasti sembuh koq.” Kata Rival sambil terseyum ceria.
Ya Allah penyakitnya Rival sama seperti ayah. “Embun pulang dulu ya Val nanti bunda nyariin.”
Okrraay..., Embun ati-ati.”
Sesampainya di rumah ternyata bunda khawatir kenapa aku belum pulang, aku pun menceritakan kalau tadi habis dari rumah yang lama.
“Bunda..., Aku berangkat dulu ya, sini bunda aku cium dulu pipinya.”
“Permatanya bunda mau sekolah ya, nah gitu dong cium dulu bundanya.”
“Berangkat dulu ya bun,” kataku sambil mencium pipi bunda.
Tiiiiiiinnnnn...... jegeeerrrr.....
Mobil sedan berwarna putih memberikan klakson untukku tetapi karena lagi pake headset aku nggak mendengar suara klaksonan mobil itu, dan akhirnya mobil itu tidak sengaja menyerempetku dari belakang. Kaki dan tanganku luka-luka karena tergores aspal, aku pun dibawa ke rumah sakit oleh seorang bapak yang mengemudikan sedan itu.
Bapak ini sepertinya cemas sekali, kuperhatikan dari tadi sejak masuk ke dalam mobilnya. Wajahnya pucat, terlihat jelas kekhawatirannya. Apa dia mengkhawatirkanku? Yelah pede amat yak, aku kan bukan siapa-siapa. Aku ingin bertanya tapi takut wajah bapak ini dingin sekali.
Lukaku selesai diobati, bapak ini tetap saja memunculkan raut wajah yang panik. Tuh kan bener dia bukan mengkhawatirkanku. Tapi siapa yang dikhawatirkan olehnya?.
Aku pun diajak ke sebuah ruangan oleh bapak itu, disudut ruangan tergeletak seorang anak laki-laki yang sebaya denganku, aku bertanya-tanya dalam hati “apakah ini anaknya?” Jadi dari tadi anak ini yang dikhawatirkan oleh si bapak. Pelan-pelan kuhampiri anak itu dan waktu kuperhatikan dengan saksama dia adalah Rival, anak perumahan gang Mars yang kutemui beberapa hari yang lalu.
“Ini anak saya satu-satunya, dari umur 7 tahun dia sudah terkena penyakit gagal ginjal, sekarang keadaanya lagi kritis dia sangat membutuhkan donor ginjal yang cocok untuknya kalau tidak, nyawanya tidak akan tertolong.” Kata bapak itu sambil mengusap-ngusap rambut anaknya.
Tiba-tiba kejadian 4 tahun yang lalu saat ayah membutuhkan donor ginjal menghantui pikiranku, aku jadi merasa iba dan ingin menolong Rival. Teringat jelas betapa sulitnya mencari donor ginjal yang cocok dan memberi ginjalnya tanpa pamrih. Aku pun menawarkan diri untuk menjadi pendonor transplantasi ginjal untuk Rival, setelah beberapa jam diperiksa oleh dokter ternyata ginjalku cocok untuknya.
“Bunda aku ingin mendonorkan ginjalku untuk orang lain, aku ingin berguna untuk orang lain, orang lain yang mempunyai penyakit seperti ayah.”
“Embun kenapa ini tangan sama kakinya luka-luka? Donor untuk siapa Embun, hal ini sangat beresiko.”
“Aku tadi keserempet mobil, bapak yang menyerempet Embun anaknya sedang kritis sama seperti ayah dulu membutuhkan transplantasi ginjal bun.”
“Bunda nggak setuju nak, kenapa kamu malah baik sama orang yang udah melukaimu?”
“Aku mohon bun, aku ingin menolongnya seenggaknya dulu aku nggak bisa menolong ayah, tapi sekarang bisa menolong orang yang sakit seperti ayah.”
Seminggu kemudian bunda mengantarkanku ke rumah sakit untuk operasi transplantasi ginjal untuk Rival, semua peralatan operasi sudah siap kesehatanku sudah diperiksa oleh dokter, hanya tinggal menunggu ayah Rival datang.
Ketika ayah Rival datang, ternyata bunda mengenalinya. Aku tidak mengetahui ayah Rival adalah rentenir yang meminjamkan uang untuk pengobatan ayahku.
“Jadi Rival anak anda, dan anda juga yang menyerempet anak saya, dasar rentenir nggak tau diri.” Kata bunda dengan penuh amarah.
“Maafkan saya, saya tidak sengaja menyerempet Embun, saya panik ketika tau Rival masuk rumah sakit.” Kata ayah Rival.
“Embun, ayahnya Rival yang meminjamkan bunda uang dan ternyata pinjaman itu tiap bulan bunganya naik, dia yang bikin keluarga kita jatuh miskin, ibu mohon batalkan operasi ini.”
“Maafkan saya bu itu semua kesalahan saya, jangan ibu limpahkan kesalahan saya kepada Rival, anak saya sangat membutuhkan donor ginjal.” Kata ayah Rival sambil berlutut menangis  dihadapan bunda, sosok yang biasanya angkuh kini berubah menjadi orang yang sedang putus asa.
“Bunda maafkan aku, ingin sekali aku berguna untuk orang lain. Bunda nggak boleh dendam sama orang lain keluarga kita menjadi miskin itu semua udah rencana Allah, Rival butuh ginjalku bunda.” Kataku  sambil menggenggam erat tangan bunda.
Rival sudah memasuki ruang operasi di RSCM, setelah itu saatnya aku untuk masuk. Perlahan bunda melepas genggaman erat tanganku. Kuhapus air mata yang jatuh dipipinya dengan tangan halusku. Dia bisikan sesuatu ditelingaku “Bunda bangga sama Embun, buah hati kesayanganku.” Sebelum kulangkahkan kakiku menuju ruang operasi, kupeluk erat tubuh bundaku seperti pelukan untuk yang terakhir kalinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar