Radit tidak pernah
sekalipun berpikir untuk meninggalkan Indra. Sahabatnya, tapi tentu saja dia
masih normal, dia menyukai Shinta murid kelas 3 yang pintar. Mereka bertemu di
sekolah dasar, begitu kebetulan memang. Kala itu, Radit kelabakan
setengah mati karena belum mengahafal
rumus tambah-tambahan untuk tes masuk sekolah dasar. Dia duduk di bangku dengan
wajah pucat, lalu secuil harapan mendatanginya bersama anak laki-laki
bernama Indra, yang mengajarinya sekaligus memberitahunya kalau “
Tambah-tambahan tidak memakai rumus ,Radit.”
Indra itu pendiam, terlihat cool
dari luar, dan juga pintar. Indra segalanya bagi Radit. Ia membantu Radit
mengerjakan soal IPA dan Matematika, hingga setidaknya meraih nilai 7 dari 10. Indra seorang yang terlampau sabar
menghadapi kebodohan Radit setiap waktu.
Saat kelas 3 Sekolah Dasar,
Radit pernah menangis karena ditinggal ibunya bekerja di luar kota selama dua
malam. Dan Indra di sana, menepuk bahunya sampai tidak ada air mata lagi yanng
ke luar. Lantas, Indra belum kehabisan akal, sampai “Kau tahu? Kemarin ada anak
laki-laki yang jorok”, Radit menolehkan pandangannya pada Indra, ingin tahu
kelanjutan cerita Indra. “Dia mengelap ingusnya dengan baju, eww” Indra
memasang tampang jijik, membayangkan kembali kejadian kemarin sore saat
di taman bermain. Radit memecahkan tawanya karena tak sanggup melihat tingkah Indra. “Oh ya, Radit apa kau
juga tahu ? Bulan lalu....” ia mengucapkan beribu-ribu cerita lucu supaya Radit
tertawa.
Dua tahun kemudian, di depan
panggung aula sekolah, Indra bersama teman-teman se-tim basketnya dengan bangga
mengangkat piala kemenangan mereka. Radit melihat dari kejauhan, tampak
menyesal karena saat pertandingan itu berlangsung ia justru jatuh sakit, jadi
ia tidak bisa ikut berpartisipasi. Tapi sesudah Indra turun dari panggung, ia
bergegas mendekati tempat duduk Radit, melihat sahabat satu-satunya itu merubah
air mukanya jadi sedingin lemari es di rumah Indra. “Radit,” Indra menepuk
bahunya, kemudian melanjutkan ucapannya “ Aku tidak bermaksud menang-” “Iya,
aku tahu” potong Radit, “ Itu bukan masalah.” Radit coba menyunggingkan senyum.
Sejak itu, ia tahu, ia dapat melakukan sesuatu yang setidaknya membuat Indra
tidak kecewa.
Ketika hari kelulusan tiba,”
Indra ,” Indra menoleh pada Radit, “ Kau akan masuk sekolah menengah yang sama
denganku?” tersirat nada khawatir di sana, semendung wajah Radit. Indra
tersenyum, “ Tentu saja, aku akan masuk Jakarta Arts Junior High School.” “ Aku
tidak percaya ,” Radit melipat tangannya, juga membuang mukanya dari hadapan
Indra. “ percayalah, Ibuku juga sudah mengatakannya padamu .” “ Benarkah?
Kapan? ” Indra kadang ingin menampar wajah menyebalkan Radit. “ Kemarin, saat
menjemputku dari gladi bersih acara akhir sekolah.” Radit menepuk jidatnya di detik kedua. Lantas tertawa hambar
yang menampakkan gigi putihnya. “ Oh ya, maaf, hehehe, aku melupakannya.” Indra akan memukul kepala
Radit kalau saja tidak ada suara Kepala Sekolah yang menyuruh mereka semua
diam.
Pada suatu sore yang cerah,
Indra mengelap keringatnya dengan handuk kering setelah latihan basket. Klek.
Indra menoleh ke pintu dan mendapati Radit dengan senyum polosnya. “ Apa lagi?”
ketus Indra. “ Jangan marah begitu, kawan. ” Radit mendekati Indra, merangkul
bahunya yang lengket. Tidak mendapat respon dari Indra, maka Radit melanjutkan
ucapannya, “ Kita bersahat sejak kecil Indra .” “ Lalu? ” tanya Indra kembali.
“ Hehehe- ” oh, kalau sudah begini pasti ada yang diinginkan Radit dari sang
sahabat terdekatnya. “ Eumm, itu loh...
kau tahu kan besok ulangan matematika? ” Indra mencibir, mengetahui apa maksud
dari basa-basi Radit. Pasti habis ini ia akan pulang ke rumah Radit, membuka
buku pelajaran matematika dan segera menjelaskan panjang lebar tentang rumus
yang seperti benang kusut untuk Radit. “ Oke, oke, asal kau traktir aku sarapan
di kantin, besok. ” Gantian Radit meledek. “ Ck, sarapan saja kau perlu aku
traktir.” “ Matematika saja kau perlu aku ajarkan .” Radit kalah telak, dia
membungkam mulutnya, dan bergegas menjauhi Indra dan bergegas ke luar dari
ruang latihannya untuk menunggu di luar. Lebih baik begitu pikir Radit.
Dua tahun berlalu, Radit tumbuh
menjadi anak remaja yang popular, tampangnya dibuat cool saat berjalan
di koridor sekolah. Radit tak luput dari bola basket, masih berkecimpung di dunia
yang sama dengan Indra. Mereka menjadi partner hebat dalam pertandingan.
Tersenyum bersama-sama saat mengangkat piala hasil kerja keras mereka bersama
tim.
“ Indra, ” panggil Radit, Indra
mengalihkan pandangannya dari catatan kimia, menangkap ekspresi super bahagia
yang terjiplak sempurna di wajah Radit. “ Ada apa? Kau tidak gila ‘kan? “ Indra
memasang tampang pura-pura khawatir. “ Indra! Aku serius.” “ Oke, oke, ada apa?
” “ Kau kenal Shinta? ” tanya Radit. “ Iya, aku mengenalnya, kenapa? Dia murid
kelas piano ‘kan?” Radit mengangguk pasti. “ Aku menyukainya.” Indra melebarkan matanya detik itu juga,
hatinya mulai berdegup tak karuan karena terlalu kaget. Bagaimana bisa ini
terjadi? Apa karena mereka sahabat, mereka terlalu dekat, mempunyai hobi yang
sama, kesukaan yang sama, itu berarti mereka juga harus menyukai gadis yanng
sama? “ O-oh .” Radit mengerutkan dahinya kala hanya mendapat respon sebegitu
datarnya. “ Hanya itu? ” tanya Radit. “ Apa? ” “ Kau tidak ingin membantuku
mendapatkannya? Aku sudah berencana akan menjadikannya pacarku sore nanti. ”
Indra makin gelagapan, seperti ada yang merenggut oksigen dari
kehidupannya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Membantu sahabatnya untuk
mendapatkan orang yang ia cintai? Itu tidak mungkin. “ Maaf Radit, aku punya
jadwal tambahan les bahasa Inggris.” Ia berbohong. “ Tapi-” Indra lebih dulu
beranjak dari bangkunya dan pergi meninggalkan kelas.
Maka sore itu adalah sore yang
paling kelam bagi Indra, lebih kelam dari langit mendung. Ia bersembunyi di
balik piilar, menyaksikan Radit berlutut lantas mencium tangan Shinta,
mengucapkan kata-kata mutiara yang mungkin laki-laki itu contek dari internet
dan Shinta menerimanya. Indra tidak pernah tahu kalau patah hati itu rasanya
sesakit ini. Ia berbalik menjauh dari koridor sekolah yang sepi sambil
memegangi dadanya.
Radit merasa sahabatnya itu
lama-kelamaan menjauhinya. Indra selalu menolak ajakannya saat diajak latihan
basket bersama. Selalu datang paling lambat di kelas dan pulang paling cepat.
Minggu berikutnya ada ulangan matematika, Radit menghubungi Indra tapi
sambungannya dimatikan. Radit menuliskan pesan di text message-nya tapi
Indra tidak menggubris. Pada detik-detik pembagian soal ulangan, Radit
menyuguhkan tampang tanpa dosanya ketika semua soal pilihan ganda itu ia jawab
A. Radiit kembali menggunakan cara lama sebelum Indra bersedia menawarkan diri
untuk membantunya belajar. Dan ia mendapat nilai 60. Radit tersenyum begitu
bangga dengan hasilnya. Menurut orang nilai itu tidak memuaskan tapi bagi
seorang Radit, 60 adalah nilai terbaiknya yang menggunakan usaha sendiri. Tapi ia tetap rindu ketika Indra menjitak
kepalanya kalau ia dapat nilai merah. Ia rindu sosok Indra yanng sekarang lebih
dekat dengan entah siapa namanya, Radit tidak peduli.
Shinta memberikan segelas air
putih pada Radit ketika mereka baru saja duduk di meja kantin sekolah. Gadis
itu menangkap mata frustasi pada sorotan Radit. “ Kau kenapa? ” tanyanya pelan.
“ Kau tahu Indra?” “ Tentu saja, dia kan sahabatmu .” “ Aku pikir sekarang
tidak lagi.” Radit menyeruput air putihnya sendu. “ Kenapa?” “ Dia menjauhiku.”
“ Cobalah mencari waktu untuk berbicara-” “ tapi dia selalu tidak mau berbicara
denganku” potong Radit. “ Dengarkan aku dulu, Radit. Mungkin pulang sekolah
nanti kamu bisa menariknya untuk duduk sebentar dan berbicara di kelas. Coba
tanyakan kenapa dia menjauhimu. ”
Sesuai anjuran Shinta, Radit
menarik tangan Indra, memaksanya untuk duduk lagi. “ Kenapa, sih?” ketus Indra.
“ Seharusnya aku yang bertanya kenapa,
kenapa kau menjauhiku? ” Indra menggeleng dan memasang tampang malasnya. “
Bahkan kau bersikap dingin padaku .” “ Tidak ada apa-apa, sudahlah, aku harus mengajari
Dimas.” Indra beranjak dari kursi, mengambil langkah seribu kali lebih panjang
guna mencapai luar kelas secepat mungkin. Tapi Radit tidak menyerah sampai di
situ saja, ia berusaha mengejar Indra. Menarik tangannya lagi untuk sekedar
berhenti di tengah koridor sekolah yang melompong sepi. “ Indra!” bentaknya. “
Aku bilang, aku sibuk!” balas Indra tak kalah galak. Mereka mulai berteriak
ketika langit yang mendung berangsur-angsur menurunkan ratusan tetes air dari
awan gelap. “ Itukah alasanmu? Tidak masuk akal, tahu!” kata Radit. “ Baik,
akan aku katakan yang sebenarnya. Kau mau tahu?” Radit mengangguk. “ Karena kau
adalah kekasih Shinta.” Indra berbicara sehalus hembusan angin, namun terasa
begitu keras di telinga Radit. “ Jadi, kau menyukai Shinta juga?” Indra gantian
mengganggukan kepalanya.
Radit membuang mukanya,
tersenyum kecut menandakan hatinya
terluka persis kala Indra tahu Radit menyukai Shinta. “ Aku bisa lakukan apapun
supaya kau tidak lagi meninggalkanku.” Ucap Radit. Radit menangkap Indra
mangatakan lalu apa yang akan kau lakuakan? “ Aku akan-” ia perlu menyiapkan
sejenak untuk mengambil keputusan. “ Aku akan.. akan..” Radit memejamkan
matanya. “ Aku akan memutuskan Shinta. ”Indra melongo.
Keesokan
harinya, Radit tersenyum senang merasa Indra kembali dekat dengannya. Meskipun
Shinta masih tidak rela hubungan mereka kandas, tapi Radit memberikan
pengertian untuk membuat Shinta paham. Radit lega, merasa lebih baik daripada
saat Indra meninggalkannya.
Tapi,
suatu waktu, Indra menariknya ke kedai bubble tea dan mentraktirnya
segelas besar rasa coklat. Mereka duduk di sana. “ Radit ”, “ ya? ” “
kembalilah pada Shinta .” Walaupun sakit tapi menurut Indra lebih sakit lagi
kalu ia jadi penghalang di antara hubungan seseorang. Rdit membualtkan matanya,
hampir tersedak bubble yang ia kunyah di mulut. “ Tapi kenapa?” “
Karena-” Indra bingung harus berkata apa sebagai penjelasan. “ Karena- eum,
sudahlah, kau banyak bicara yang penting aku mau kau kembali berpacaran dengan
Shinta.” “ Tidak mau.” “ Kenapa?” Indra balik bertanya. “ Kau banyak bicara.”
“Hei! Aku serius.” “ Nanti kalau aku berpacaran dengan Shinta kau akan
menjauhiku lagi.” “Tidak akan.” “ Yakin?” “Ya sudah, kalau kau tidak mau!
Terserah! ” Indra berteriak, kesabarannya habis untuk seorang Radit. “ Oh, kau
tidak boleh marah begitu, kita ‘kan sahabat.” Radit merangkul pundak Indra. Dan
keduanya tertawa saat perjalanan pulang ke rumah masing- masing sore itu.
Indra
merasa lebih lega dari kemarin. Ia bisa tersenyum lebar walaupun masih ada
sakit menyengat juga kala melihat kemesraan Radit dan Shinta. Tapi sudahlah, toh
ia mulai tertarik dengan Dinda si murid perempuan kelas menari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar