Rabu, 23 April 2014

Best Friend




Radit tidak pernah sekalipun berpikir untuk meninggalkan Indra. Sahabatnya, tapi tentu saja dia masih normal, dia menyukai Shinta murid kelas 3 yang pintar. Mereka bertemu di sekolah dasar, begitu kebetulan memang. Kala itu, Radit kelabakan setengah mati  karena belum mengahafal rumus tambah-tambahan untuk tes masuk sekolah dasar. Dia duduk di bangku dengan wajah pucat, lalu secuil harapan mendatanginya bersama anak laki-laki bernama Indra, yang mengajarinya sekaligus memberitahunya kalau “ Tambah-tambahan tidak memakai rumus ,Radit.”
                Indra itu pendiam, terlihat cool dari luar, dan juga pintar. Indra segalanya bagi Radit. Ia membantu Radit mengerjakan soal IPA dan Matematika, hingga setidaknya meraih nilai  7 dari 10. Indra seorang yang terlampau sabar menghadapi kebodohan Radit setiap waktu.
                Saat kelas 3 Sekolah Dasar, Radit pernah menangis karena ditinggal ibunya bekerja di luar kota selama dua malam. Dan Indra di sana, menepuk bahunya sampai tidak ada air mata lagi yanng ke luar. Lantas, Indra belum kehabisan akal, sampai “Kau tahu? Kemarin ada anak laki-laki yang jorok”, Radit menolehkan pandangannya pada Indra, ingin tahu kelanjutan cerita Indra. “Dia mengelap ingusnya dengan baju, eww” Indra memasang tampang jijik, membayangkan kembali kejadian kemarin sore saat di taman bermain. Radit memecahkan tawanya karena tak sanggup  melihat tingkah Indra. “Oh ya, Radit apa kau juga tahu ? Bulan lalu....” ia mengucapkan beribu-ribu cerita lucu supaya Radit tertawa.
                Dua tahun kemudian, di depan panggung aula sekolah, Indra bersama teman-teman se-tim basketnya dengan bangga mengangkat piala kemenangan mereka. Radit melihat dari kejauhan, tampak menyesal karena saat pertandingan itu berlangsung ia justru jatuh sakit, jadi ia tidak bisa ikut berpartisipasi. Tapi sesudah Indra turun dari panggung, ia bergegas mendekati tempat duduk Radit, melihat sahabat satu-satunya itu merubah air mukanya jadi sedingin lemari es di rumah Indra. “Radit,” Indra menepuk bahunya, kemudian melanjutkan ucapannya “ Aku tidak bermaksud menang-” “Iya, aku tahu” potong Radit, “ Itu bukan masalah.” Radit coba menyunggingkan senyum. Sejak itu, ia tahu, ia dapat melakukan sesuatu yang setidaknya membuat Indra tidak kecewa.
                Ketika hari kelulusan tiba,” Indra ,” Indra menoleh pada Radit, “ Kau akan masuk sekolah menengah yang sama denganku?” tersirat nada khawatir di sana, semendung wajah Radit. Indra tersenyum, “ Tentu saja, aku akan masuk Jakarta Arts Junior High School.” “ Aku tidak percaya ,” Radit melipat tangannya, juga membuang mukanya dari hadapan Indra. “ percayalah, Ibuku juga sudah mengatakannya padamu .” “ Benarkah? Kapan? ” Indra kadang ingin menampar wajah menyebalkan Radit. “ Kemarin, saat menjemputku dari gladi bersih acara akhir sekolah.” Radit menepuk  jidatnya di detik kedua. Lantas tertawa hambar yang menampakkan gigi putihnya. “ Oh ya, maaf, hehehe,  aku melupakannya.” Indra akan memukul kepala Radit kalau saja tidak ada suara Kepala Sekolah yang menyuruh mereka semua diam.
                Pada suatu sore yang cerah, Indra mengelap keringatnya dengan handuk kering setelah latihan basket. Klek. Indra menoleh ke pintu dan mendapati Radit dengan senyum polosnya. “ Apa lagi?” ketus Indra. “ Jangan marah begitu, kawan. ” Radit mendekati Indra, merangkul bahunya yang lengket. Tidak mendapat respon dari Indra, maka Radit melanjutkan ucapannya, “ Kita bersahat sejak kecil Indra .” “ Lalu? ” tanya Indra kembali. “ Hehehe- ” oh, kalau sudah begini pasti ada yang diinginkan Radit dari sang sahabat terdekatnya.  “ Eumm, itu loh... kau tahu kan besok ulangan matematika? ” Indra mencibir, mengetahui apa maksud dari basa-basi Radit. Pasti habis ini ia akan pulang ke rumah Radit, membuka buku pelajaran matematika dan segera menjelaskan panjang lebar tentang rumus yang seperti benang kusut untuk Radit. “ Oke, oke, asal kau traktir aku sarapan di kantin, besok. ” Gantian Radit meledek. “ Ck, sarapan saja kau perlu aku traktir.” “ Matematika saja kau perlu aku ajarkan .” Radit kalah telak, dia membungkam mulutnya, dan bergegas menjauhi Indra dan bergegas ke luar dari ruang latihannya untuk menunggu di luar. Lebih baik begitu pikir Radit.
                Dua tahun berlalu, Radit tumbuh menjadi anak remaja yang popular, tampangnya dibuat cool saat berjalan di koridor sekolah. Radit tak luput dari bola basket, masih berkecimpung di dunia yang sama dengan Indra. Mereka menjadi partner hebat dalam pertandingan. Tersenyum bersama-sama saat mengangkat piala hasil kerja keras mereka bersama tim.
                “ Indra, ” panggil Radit, Indra mengalihkan pandangannya dari catatan kimia, menangkap ekspresi super bahagia yang terjiplak sempurna di wajah Radit. “ Ada apa? Kau tidak gila ‘kan? “ Indra memasang tampang pura-pura khawatir. “ Indra! Aku serius.” “ Oke, oke, ada apa? ” “ Kau kenal Shinta? ” tanya Radit. “ Iya, aku mengenalnya, kenapa? Dia murid kelas piano ‘kan?” Radit mengangguk pasti. “ Aku menyukainya.”  Indra melebarkan matanya detik itu juga, hatinya mulai berdegup tak karuan karena terlalu kaget. Bagaimana bisa ini terjadi? Apa karena mereka sahabat, mereka terlalu dekat, mempunyai hobi yang sama, kesukaan yang sama, itu berarti mereka juga harus menyukai gadis yanng sama? “ O-oh .” Radit mengerutkan dahinya kala hanya mendapat respon sebegitu datarnya. “ Hanya itu? ” tanya Radit. “ Apa? ” “ Kau tidak ingin membantuku mendapatkannya? Aku sudah berencana akan menjadikannya pacarku sore nanti. ” Indra makin gelagapan, seperti ada yang merenggut oksigen dari kehidupannya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Membantu sahabatnya untuk mendapatkan orang yang ia cintai? Itu tidak mungkin. “ Maaf Radit, aku punya jadwal tambahan les bahasa Inggris.” Ia berbohong. “ Tapi-” Indra lebih dulu beranjak dari bangkunya dan pergi meninggalkan kelas.
                Maka sore itu adalah sore yang paling kelam bagi Indra, lebih kelam dari langit mendung. Ia bersembunyi di balik piilar, menyaksikan Radit berlutut lantas mencium tangan Shinta, mengucapkan kata-kata mutiara yang mungkin laki-laki itu contek dari internet dan Shinta menerimanya. Indra tidak pernah tahu kalau patah hati itu rasanya sesakit ini. Ia berbalik menjauh dari koridor sekolah yang sepi sambil memegangi dadanya.
                Radit merasa sahabatnya itu lama-kelamaan menjauhinya. Indra selalu menolak ajakannya saat diajak latihan basket bersama. Selalu datang paling lambat di kelas dan pulang paling cepat. Minggu berikutnya ada ulangan matematika, Radit menghubungi Indra tapi sambungannya dimatikan. Radit menuliskan pesan di text message-nya tapi Indra tidak menggubris. Pada detik-detik pembagian soal ulangan, Radit menyuguhkan tampang tanpa dosanya ketika semua soal pilihan ganda itu ia jawab A. Radiit kembali menggunakan cara lama sebelum Indra bersedia menawarkan diri untuk membantunya belajar. Dan ia mendapat nilai 60. Radit tersenyum begitu bangga dengan hasilnya. Menurut orang nilai itu tidak memuaskan tapi bagi seorang Radit, 60 adalah nilai terbaiknya yang menggunakan usaha sendiri.  Tapi ia tetap rindu ketika Indra menjitak kepalanya kalau ia dapat nilai merah. Ia rindu sosok Indra yanng sekarang lebih dekat dengan entah siapa namanya, Radit tidak peduli.
                Shinta memberikan segelas air putih pada Radit ketika mereka baru saja duduk di meja kantin sekolah. Gadis itu menangkap mata frustasi pada sorotan Radit. “ Kau kenapa? ” tanyanya pelan. “ Kau tahu Indra?” “ Tentu saja, dia kan sahabatmu .” “ Aku pikir sekarang tidak lagi.” Radit menyeruput air putihnya sendu. “ Kenapa?” “ Dia menjauhiku.” “ Cobalah mencari waktu untuk berbicara-” “ tapi dia selalu tidak mau berbicara denganku” potong Radit. “ Dengarkan aku dulu, Radit. Mungkin pulang sekolah nanti kamu bisa menariknya untuk duduk sebentar dan berbicara di kelas. Coba tanyakan kenapa dia menjauhimu. ”
                Sesuai anjuran Shinta, Radit menarik tangan Indra, memaksanya untuk duduk lagi. “ Kenapa, sih?” ketus Indra. “ Seharusnya  aku yang bertanya kenapa, kenapa kau menjauhiku? ” Indra menggeleng dan memasang tampang malasnya. “ Bahkan kau bersikap dingin padaku .” “ Tidak ada apa-apa, sudahlah, aku harus mengajari Dimas.” Indra beranjak dari kursi, mengambil langkah seribu kali lebih panjang guna mencapai luar kelas secepat mungkin. Tapi Radit tidak menyerah sampai di situ saja, ia berusaha mengejar Indra. Menarik tangannya lagi untuk sekedar berhenti di tengah koridor sekolah yang melompong sepi. “ Indra!” bentaknya. “ Aku bilang, aku sibuk!” balas Indra tak kalah galak. Mereka mulai berteriak ketika langit yang mendung berangsur-angsur menurunkan ratusan tetes air dari awan gelap. “ Itukah alasanmu? Tidak masuk akal, tahu!” kata Radit. “ Baik, akan aku katakan yang sebenarnya. Kau mau tahu?” Radit mengangguk. “ Karena kau adalah kekasih Shinta.” Indra berbicara sehalus hembusan angin, namun terasa begitu keras di telinga Radit. “ Jadi, kau menyukai Shinta juga?” Indra gantian mengganggukan kepalanya.
                Radit membuang mukanya, tersenyum kecut menandakan  hatinya terluka persis kala Indra tahu Radit menyukai Shinta. “ Aku bisa lakukan apapun supaya kau tidak lagi meninggalkanku.” Ucap Radit. Radit menangkap Indra mangatakan lalu apa yang akan kau lakuakan? “ Aku akan-” ia perlu menyiapkan sejenak untuk mengambil keputusan. “ Aku akan.. akan..” Radit memejamkan matanya. “ Aku akan memutuskan Shinta. ”Indra melongo.
Keesokan harinya, Radit tersenyum senang merasa Indra kembali dekat dengannya. Meskipun Shinta masih tidak rela hubungan mereka kandas, tapi Radit memberikan pengertian untuk membuat Shinta paham. Radit lega, merasa lebih baik daripada saat Indra meninggalkannya.
Tapi, suatu waktu, Indra menariknya ke kedai bubble tea dan mentraktirnya segelas besar rasa coklat. Mereka duduk di sana. “ Radit ”, “ ya? ” “ kembalilah pada Shinta .” Walaupun sakit tapi menurut Indra lebih sakit lagi kalu ia jadi penghalang di antara hubungan seseorang. Rdit membualtkan matanya, hampir tersedak bubble yang ia kunyah di mulut. “ Tapi kenapa?” “ Karena-” Indra bingung harus berkata apa sebagai penjelasan. “ Karena- eum, sudahlah, kau banyak bicara yang penting aku mau kau kembali berpacaran dengan Shinta.” “ Tidak mau.” “ Kenapa?” Indra balik bertanya. “ Kau banyak bicara.” “Hei! Aku serius.” “ Nanti kalau aku berpacaran dengan Shinta kau akan menjauhiku lagi.” “Tidak akan.” “ Yakin?” “Ya sudah, kalau kau tidak mau! Terserah! ” Indra berteriak, kesabarannya habis untuk seorang Radit. “ Oh, kau tidak boleh marah begitu, kita ‘kan sahabat.” Radit merangkul pundak Indra. Dan keduanya tertawa saat perjalanan pulang ke rumah masing- masing  sore itu.
Indra merasa lebih lega dari kemarin. Ia bisa tersenyum lebar walaupun masih ada sakit menyengat juga kala melihat kemesraan Radit dan Shinta. Tapi sudahlah, toh ia mulai tertarik dengan Dinda si murid perempuan kelas menari.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar