Sore itu, aku bergegas
pulang setelah seharian berkutat dengan sampah. Ya, sehari-hari aku memulung
untuk membantu keuangan keluargaku. Dengan wajah lesu diiringi suara perut yang
tak henti berceloteh meminta asupan makanan, kususuri meter demi meter jalan
menuju rumah.
Setibanya di rumah,
kubuka pintu masuk secara perlahan seraya mengucap salam.
“Assalamualaikum. Bu, aku sudah pulang,” ucapku sembari membuka alas
kaki.
Terdengar sayup-sayup
suara isak tangis dari dalam rumah. Aku pun bergegas memasuki rumah. Suara isak
tangis semakin terdengar jelas. Ternyata suaranya berasal dari dapur. Aku
tersentak mendapati ibuku tengah duduk di sudut dapur sambil menangis
terisak-isak. Di sekelilingnya berserakan perabotan dapur serta beberapa
pecahan piring dan gelas. Kulangkahkan kaki dengan hati-hati. Kurengkuh tubuh
ibuku yang kemudian kupeluk dengan erat.
“Bu, apa yang terjadi?
Siapa yang tega melakukan ini padamu?” Tanyaku dengan suara sedikit bergetar.
Tak sepatah kata pun
keluar dari mulut ibuku. Kulepas pelukku, kuambil segelas air putih yang
kemudian kuberikan kepada ibuku. Kuusap dengan lembut pipinya yang dibasahi air
mata. Kusandarkan kepalanya dibahuku sambil sesekali kuusap kepalanya.
“Ini pasti ulah ayahku.
Dia pasti mengamuk lagi karena tidak diberi uang oleh ibuku.” Keluhku dalam
hati.
Satu jam berselang. Ibuku
mulai terlihat sedikit tenang. Tak lagi kulihat air mata membasahi pipinya. Aku
beranjak dari sisi ibuku. Satu persatu perabotan yang tadi berserakan kuambil
dan kuletakkan ditempat semula. Kemudian, kubersihkan pecahan piring dan gelas
agar tidak membahayakan orang lain.
Tak terasa sore telah
berganti menjadi malam. Aku berjalan menuju kamar ibu, bermaksud mengecek
bagaimana keadaannya. Ternyata ibu sudah tertidur lelap. Kuselimuti ibuku
dengan sehelai kain agar dia tidak merasa kedinginan. Terakhir, kukecup kening
ibuku seraya berbisik Aku menyayangimu
ibu.
“Gubraaakk!” Terdengar
suara pintu terbanting menghantam tembok.
Ternyata ayahku baru saja
pulang. Seperti biasa, aroma alkohol menyeruak dari mulutnya.
“Aku lapar!! Heh anak sialan, siapkan aku makanan!!”
Teriak ayah.
Sifat ayah yang selalu
tempramen itu tak ubahnya seperti mimpi buruk bagiku. Belum lagi ayah tidak pernah
peduli bagaimana kondisi keluarganya. Bahkan aku dan ibu sering
ditelantarkannya begitu saja.
Aku segera mematikan
lampu kamar dan meninggalkan ibu yang sudah terlelap karena lelah menangis
sedari tadi. Bergegas aku berlari ke dapur sambil tetap berhati-hati takut
terkena pecahan gelas dan piring tadi. Seketika aku kaget melihat nasi di rice cooker ternyata habis. Aku pun
berbalik arah. Ternyata ayah sudah berdiri tepat di belakangku. Dia
menghempaskan tubuhku hingga terbentur rak piring. Benturan yang cukup keras itu
membuatku tak sadarkan diri.
Aku terbangun dipangkuan
ibuku. Masih setengah sadar, ibu mulai menceritakan masa lalu mereka dan sebab
ayah menjadi sangat pemarah seperti saat ini. Aku terisak, terharu, lalu
kembali terlelap setelah mendengar cerita yang lumayan panjang dari ibu malam
itu.
“Aku sayang kamu ibu..” Gumamku
dalam hati sebelum terlelap.
Menurut cerita ibu, dulu ayah
adalah orang yang sangat baik. Bahkan ayah pernah mewakili daerahnya untuk
lomba membaca al-quran tingkat Kabupaten. Tapi, semasa SMA ayah salah memilih
pergaulan dan terjerumus menjadi anak yang nakal dan liar. Ayah kembali menjadi
dirinya yang baik saat bertemu dan menikah dengan ibuku. Namun, 3 tahun
belakangan ayah kembali lagi menjadi sosok nakal dan liar. Sepertinya ini dikarenakan kejadian 3 tahun lalu. Pada
saat itu ibuku tengah hamil anak kedua dalam usia kandungan sekitar 6 bulan.
Suatu hari darah segar mengalir dikakinya. Ketika itu, ibu hanya sendirian di
rumah. Karena panik, ibu langsung berteriak meminta tolong. Berharap ada
seseorang mendengar teriakannya. Tak lama kemudian, seorang tetanggaku datang
kerumah. Tanpa pikir panjang, dia langsung melarikan ibuku kerumah sakit.
Mendengar kabar mengejutkan itu, akupun bergegas menuju ke rumah sakit, meninggalkan
begitu saja sekarung barang bekas yang sedari pagi kukumpulkan.
Setibanya di rumah sakit,
ibuku langsung dilarikan ke UGD. Dokter dengan didampingi oleh seorang suster
langsung menangani ibuku. Aku duduk di ruang tunggu yang terletak tepat di
depan pintu UGD. Mulutku tak henti melantunkan doa untuk keselamatan ibuku.
Setengah jam berselang,
pintu UGD terbuka. Seorang wanita berjas putih keluar dari dalam sana. Aku
segera beranjak dari ruang tunggu untuk menghampirinya.
“Dok, bagaimana keadaan
ibuku? Apa dia baik-baik saja?” Tanyaku sedikit mendesak.
“Dimana ayahmu? Saya
ingin berbicara padanya.” Jawab sang dokter.
“Ayahku sedang tidak di
rumah. Bagaimana kalau aku saja yang mewakilkan. Aku anaknya.” Sahutku.
Kami pun beranjak menuju
ruang dokter. Dokter tersebut menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dan
bagaimana keadaan ibuku saat ini. Ternyata ibuku mengalami keguguran. Janin
yang ada didalam rahimnya terpaksa diangkat karena sudah tidak bisa
diselamatkan lagi.
Setelah perbincangan yang
cukup panjang, aku pun keluar dari ruangkan tersebut. Saat ini, ibuku telah
dipindahkan ke ruang perawatan. Tak lama berselang, ayahku tiba di rumah sakit.
Tepat di belakangnya berdiri seorang suster yang tengah membawa map berisikan
rincian biaya yang harus segera dibayar. Ayahku tersentak. Di situ tercatat
nominal yang harus dibayar adalah sebesar Rp. 8.000.000.
“Dari mana aku
mendapatkan uang sebanyak ini!” Keluh ayahku.
Pada saat itu, ayahku
baru saja di PHK dari pabrik tempatnya bekerja. Ayahku kelimpungan mencari cara
untuk membayar biaya rumah sakit. Dia pun berlari meninggalkan rumah sakit. Dia
mendatangi satu demi satu rumah sanak-saudara untuk mencari pinjaman uang.
Namun sayang, tak sepeser pun uang yang dia dapatkan. Berjam-jam ayah
berkeliling mencari pinjaman. Sampai akhirnya ayah memutuskan untuk meminjam
uang pada salah seorang rentenir di kampungku. Uang sudah ditangan. Ayahku
segera menuju rumah sakit dan melunasi seluruh biaya perawatan ibu. Setelah
kondisi ibu membaik, aku dan ayahku pun memboyong ibu pulang ke rumah.
Dua bulan berselang,
ayahku belum juga melunasi hutangnya pada rentenir itu. Bukannya berkurang,
hutang ayahku justru makin bertambah disetiap harinya. Ayahku stres dibuatnya.
“Ini gara-gara kamu bu!
Andai saja dulu kamu tidak keguguran, pasti saya tidak harus menanggung hutang
sebanyak ini. Dasar istri sialan!!” Teriak ayah memaki ibuku.
Semenjak kejadian itu,
ayahku berubah drastis. Dia jadi sering mabuk-mabukan dan pulang tengah malam.
Sementara itu, aku dan ibu sibuk banting tulang, mencari uang untuk melunasi
hutang yang nominalnya terus bertambah setiap harinya.
***
Pagi ini tak seperti
biasanya. Kicau burung, sayup adzan dan senyum ibu yang membangunkanku untuk
shalat shubuh terasa lebih hangat. Hari ini aku terbangun dengan rasa lega
setelah mendengar cerita ibu semalam. Hari ini aku merasa mampu mencari uang
yang sangat banyak. Malam tadi aku disadarkan ibu, bahwa ayah tak seburuk yang
aku kira selama ini.
“Sebenarnya ayah orang
yang baik, dan setelah hutang lunas, ayah pasti kembali menjadi baik.” Pikirku.
Aku mengambil perlengkapan memulung yang kugantungkan
di dinding dapur.
“Bu, aku berangkat dulu
ya.” Teriakku.
Sepulang aku memulung, aku
menemukan ibuku tengah terduduk di sudut dapur
sambil menangis terisak-isak. Rupanya debt collector baru saja datang menagih hutang ayahku. Karena belum
bisa membayar hutang yang sudah jatuh tempo, mereka mengacak-acak seisi
rumahku.
“Pergi nak! Kamu jangan
masuk ke dalam!” Teriak ibuku.
Aku tak menghiraukan
larangan ibu. Kuterobos masuk ke dalam dapur dan langsung menghadiahkan bogem
mentah tepat di bagian wajah salah seorang debt
collector.
“Kurang ajar kamu! Apa
yang tengah kamu perbuat pada ibuku. Pergi kalian dari rumahku!!” Tegasku.
Bukannya kapok, mereka
malah menyeretku keluar dari rumah. Tubuhku meronta-ronta, berusaha melepas
cengkraman kuat salah seorang debt
collector.
“Anak gadis ini gua bawa sebagai jaminan. Kalo lu
gak bisa ngelunasin hutang lu
secepatnya, gua akan bunuh anak lu!” Ucap salah seorang debt collector menggertak.
Ibuku hanya bisa menangis
tanpa bisa berbuat apa-apa.
Mereka membiusku sehingga
aku tak sadarkan diri. Rupanya mereka membawaku ke sebuah gudang tua yang sudah
tak terpakai.
Aku tersadar karena
siraman air salah seorang debt collector
yang tepat mengenai wajahku. Kudapati tubuhku terikat erat disalah satu bangku
yang nampaknya sudah rapuh. Mulutku dibekap menggunakan lakban berwarna hitam.
Susah payah kucoba melepaskan tali yang mengikat tubuhku. Namun sayang, usahaku
sia-sia. Salah satu debt collector menghampiriku.
Dengan ringannya dia menghantam wajahku
dengan telapak tangannya yang besar. Darah segar mengalir di sela-sela bibirku.
Tak lama kemudian, satu persatu debt
collector itu memukuliku secara bergantian. Entah seperti apa rupaku
sekarang. Aku hanya bisa menangis menahan rasa sakit dari setiap pukulan yang
diarahkan padaku.
Salah seorang dari mereka
melepaskan tali yang sedari tadi membelitku.
“Terimakasih Tuhan,
akhirnya ada orang yang berbaik hati melepaskan ikatanku.”
Kemudian, satu persatu
kancing bajuku mulai dilepasnya.
“Eh, mau apa? Kenapa kau
ingin menanggalkan bajuku?” Ucapku dalam hati.
Sial, ternyata orang itu
bukan mau menolongku, tetapi dia mau memperkosaku. Aku berusaha teriak
sekencang-kencangnya. Aku lupa, lakban hitam masih membalut mulutku. Sekuat
tenaga aku mencoba melawan orang-orang biadab itu. Namun sayang, aku sudah
tidak memiliki cukup tenaga untuk melawan mereka.
“Braaaakkk...” Terdengar
suara benda terjatuh.
Ternyata itu ayahku. Dia
mendobrak pintu dan menerobos masuk kedalam. Satu persatu debt collector dipukulinya. Berkali-kali ayahku tersungkur ke
tanah. Namun ayah tak kunjung menyerah. Dia terus saja melawan para debt collector itu. Disini terlihat
sekali bahwa ayah mati-matian membelaku. Saat ayah sedang lengah, salah seorang
debt collector berlari menuju ayahku
sambil mengarahkan sebilah pisau. Sontak ayahku tersungkur ke tanah. Pisau itu
tepat menancap di jantung ayahku.
“Ayaaaah!” Teriakku
histeris.
Tak lama kemudian, datang
beberapa polisi yang kemudian melepaskan timah panas untuk melumpuhkan mereka
yang berusaha kabur. Aku merangkak menghampiri tubuh ayahku yang sudah tergolek
lemah.
“Ayah, bertahan yah. Ayah
pasti kuat.” Ucapku sambil terisak.
Dari arah belakang,
terdengar suara kaki seperti berlari.
“Ibu.. Ayah bu..” Ucapku.
Tangis ibu pecah. Dia
merengkuh tubuh ayahku dan memangkunya.
“Bu, maafkan ayah. Ayah
belum bisa menjadi suami sekaligus ayah yang baik untuk ibu dan anak kita.”
Ucap ayah tergagap-gagap.
“Jaga ibumu ya nak.
Jadilah anak yang salehah. Jangan
tiru ayahmu yang biadab ini.” Pesan ayahku.
Wajah ayah mulai memucat.
Badannya yang semula hangat kini terasa dingin. Nafasnya pun mulai
terputus-putus. Kumohon jangan. Jangan
Kau ambil dia dariku Tuhan.
Dengan suara yang sedikit
parau, ibu menuntun ayah mengucap dua kalimat syahadat. Asyhadu an-Laa Ilaaha Illallah wa Asyhadu an-na
Muhammadarrosuululloh.
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Ayah mengehembuskan nafas
terakhirnya dipangkuan ibuku. Tangisku pecah. Mulutku terasa kaku, dadaku
terasa sesak. Ya Tuhan, inikah rasanya
kehilangan.
Yang kutahu, selama ini
ayah tak pernah absen dari pandanganku. Tapi kehadirannya tak lebih dari mimpi
buruk yang ingin segera kuakhiri. Sikap kasarnya serta tutur katanya yang kasar
tak jarang membuat ibuku menangis. Ah, bahkan kau tak pantas kupanggil “Ayah.”
Namun kini aku tersadar.
Betapa pun kerasnya sosok ayahku, dia tetap memiliki hati yang lembut. Pada
kenyataannya dia teramat menyayangi ibu dan aku. Cuma, caranya saja yang
berbeda.
Ayah, maafkan aku yang selama ini salah memahami sikapmu.
Terimakasih untuk pengorbananmu ayah. Aku akan selalu mencintaimu. Aku berjanji
akan selalu menjaga ibu untukmu ayah, aku janji. Selamat jalan ayah, semoga
kamu tenang di alam sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar