Rabu, 23 April 2014

Sosok Terang dalam Gelap



Sore itu, aku bergegas pulang setelah seharian berkutat dengan sampah. Ya, sehari-hari aku memulung untuk membantu keuangan keluargaku. Dengan wajah lesu diiringi suara perut yang tak henti berceloteh meminta asupan makanan, kususuri meter demi meter jalan menuju rumah.
Setibanya di rumah, kubuka pintu masuk secara perlahan seraya mengucap salam.
Assalamualaikum. Bu, aku sudah pulang,” ucapku sembari membuka alas kaki.
Terdengar sayup-sayup suara isak tangis dari dalam rumah. Aku pun bergegas memasuki rumah. Suara isak tangis semakin terdengar jelas. Ternyata suaranya berasal dari dapur. Aku tersentak mendapati ibuku tengah duduk di sudut dapur sambil menangis terisak-isak. Di sekelilingnya berserakan perabotan dapur serta beberapa pecahan piring dan gelas. Kulangkahkan kaki dengan hati-hati. Kurengkuh tubuh ibuku yang kemudian kupeluk dengan erat.
“Bu, apa yang terjadi? Siapa yang tega melakukan ini padamu?” Tanyaku dengan suara sedikit bergetar.
Tak sepatah kata pun keluar dari mulut ibuku. Kulepas pelukku, kuambil segelas air putih yang kemudian kuberikan kepada ibuku. Kuusap dengan lembut pipinya yang dibasahi air mata. Kusandarkan kepalanya dibahuku sambil sesekali kuusap kepalanya.
“Ini pasti ulah ayahku. Dia pasti mengamuk lagi karena tidak diberi uang oleh ibuku.” Keluhku dalam hati.
Satu jam berselang. Ibuku mulai terlihat sedikit tenang. Tak lagi kulihat air mata membasahi pipinya. Aku beranjak dari sisi ibuku. Satu persatu perabotan yang tadi berserakan kuambil dan kuletakkan ditempat semula. Kemudian, kubersihkan pecahan piring dan gelas agar tidak membahayakan orang lain.
Tak terasa sore telah berganti menjadi malam. Aku berjalan menuju kamar ibu, bermaksud mengecek bagaimana keadaannya. Ternyata ibu sudah tertidur lelap. Kuselimuti ibuku dengan sehelai kain agar dia tidak merasa kedinginan. Terakhir, kukecup kening ibuku seraya berbisik Aku menyayangimu ibu.
“Gubraaakk!” Terdengar suara pintu terbanting menghantam tembok.
Ternyata ayahku baru saja pulang. Seperti biasa, aroma alkohol menyeruak dari mulutnya.
“Aku lapar!! Heh anak sialan, siapkan aku makanan!!” Teriak ayah.
Sifat ayah yang selalu tempramen itu tak ubahnya seperti mimpi buruk bagiku. Belum lagi ayah tidak pernah peduli bagaimana kondisi keluarganya. Bahkan aku dan ibu sering ditelantarkannya begitu saja.
Aku segera mematikan lampu kamar dan meninggalkan ibu yang sudah terlelap karena lelah menangis sedari tadi. Bergegas aku berlari ke dapur sambil tetap berhati-hati takut terkena pecahan gelas dan piring tadi. Seketika aku kaget melihat nasi di rice cooker ternyata habis. Aku pun berbalik arah. Ternyata ayah sudah berdiri tepat di belakangku. Dia menghempaskan tubuhku hingga terbentur rak piring. Benturan yang cukup keras itu membuatku tak sadarkan diri.
Aku terbangun dipangkuan ibuku. Masih setengah sadar, ibu mulai menceritakan masa lalu mereka dan sebab ayah menjadi sangat pemarah seperti saat ini. Aku terisak, terharu, lalu kembali terlelap setelah mendengar cerita yang lumayan panjang dari ibu malam itu.
“Aku sayang kamu ibu..” Gumamku dalam hati sebelum terlelap.
Menurut cerita ibu, dulu ayah adalah orang yang sangat baik. Bahkan ayah pernah mewakili daerahnya untuk lomba membaca al-quran tingkat Kabupaten. Tapi, semasa SMA ayah salah memilih pergaulan dan terjerumus menjadi anak yang nakal dan liar. Ayah kembali menjadi dirinya yang baik saat bertemu dan menikah dengan ibuku. Namun, 3 tahun belakangan ayah kembali lagi menjadi sosok nakal dan liar. Sepertinya  ini dikarenakan kejadian 3 tahun lalu. Pada saat itu ibuku tengah hamil anak kedua dalam usia kandungan sekitar 6 bulan. Suatu hari darah segar mengalir dikakinya. Ketika itu, ibu hanya sendirian di rumah. Karena panik, ibu langsung berteriak meminta tolong. Berharap ada seseorang mendengar teriakannya. Tak lama kemudian, seorang tetanggaku datang kerumah. Tanpa pikir panjang, dia langsung melarikan ibuku kerumah sakit. Mendengar kabar mengejutkan itu, akupun bergegas menuju ke rumah sakit, meninggalkan begitu saja sekarung barang bekas yang sedari pagi kukumpulkan.
Setibanya di rumah sakit, ibuku langsung dilarikan ke UGD. Dokter dengan didampingi oleh seorang suster langsung menangani ibuku. Aku duduk di ruang tunggu yang terletak tepat di depan pintu UGD. Mulutku tak henti melantunkan doa untuk keselamatan ibuku.
Setengah jam berselang, pintu UGD terbuka. Seorang wanita berjas putih keluar dari dalam sana. Aku segera beranjak dari ruang tunggu untuk menghampirinya.
“Dok, bagaimana keadaan ibuku? Apa dia baik-baik saja?” Tanyaku sedikit mendesak.
“Dimana ayahmu? Saya ingin berbicara padanya.” Jawab sang dokter.
“Ayahku sedang tidak di rumah. Bagaimana kalau aku saja yang mewakilkan. Aku anaknya.” Sahutku.
Kami pun beranjak menuju ruang dokter. Dokter tersebut menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana keadaan ibuku saat ini. Ternyata ibuku mengalami keguguran. Janin yang ada didalam rahimnya terpaksa diangkat karena sudah tidak bisa diselamatkan lagi.
Setelah perbincangan yang cukup panjang, aku pun keluar dari ruangkan tersebut. Saat ini, ibuku telah dipindahkan ke ruang perawatan. Tak lama berselang, ayahku tiba di rumah sakit. Tepat di belakangnya berdiri seorang suster yang tengah membawa map berisikan rincian biaya yang harus segera dibayar. Ayahku tersentak. Di situ tercatat nominal yang harus dibayar adalah sebesar Rp. 8.000.000.
“Dari mana aku mendapatkan uang sebanyak ini!” Keluh ayahku.
Pada saat itu, ayahku baru saja di PHK dari pabrik tempatnya bekerja. Ayahku kelimpungan mencari cara untuk membayar biaya rumah sakit. Dia pun berlari meninggalkan rumah sakit. Dia mendatangi satu demi satu rumah sanak-saudara untuk mencari pinjaman uang. Namun sayang, tak sepeser pun uang yang dia dapatkan. Berjam-jam ayah berkeliling mencari pinjaman. Sampai akhirnya ayah memutuskan untuk meminjam uang pada salah seorang rentenir di kampungku. Uang sudah ditangan. Ayahku segera menuju rumah sakit dan melunasi seluruh biaya perawatan ibu. Setelah kondisi ibu membaik, aku dan ayahku pun memboyong ibu pulang ke rumah.
Dua bulan berselang, ayahku belum juga melunasi hutangnya pada rentenir itu. Bukannya berkurang, hutang ayahku justru makin bertambah disetiap harinya. Ayahku stres dibuatnya.
“Ini gara-gara kamu bu! Andai saja dulu kamu tidak keguguran, pasti saya tidak harus menanggung hutang sebanyak ini. Dasar istri sialan!!” Teriak ayah memaki ibuku.
Semenjak kejadian itu, ayahku berubah drastis. Dia jadi sering mabuk-mabukan dan pulang tengah malam. Sementara itu, aku dan ibu sibuk banting tulang, mencari uang untuk melunasi hutang yang nominalnya terus bertambah setiap harinya.
***
Pagi ini tak seperti biasanya. Kicau burung, sayup adzan dan senyum ibu yang membangunkanku untuk shalat shubuh terasa lebih hangat. Hari ini aku terbangun dengan rasa lega setelah mendengar cerita ibu semalam. Hari ini aku merasa mampu mencari uang yang sangat banyak. Malam tadi aku disadarkan ibu, bahwa ayah tak seburuk yang aku kira selama ini.
“Sebenarnya ayah orang yang baik, dan setelah hutang lunas, ayah pasti kembali menjadi baik.” Pikirku.
 Aku mengambil perlengkapan memulung yang kugantungkan di dinding dapur.
“Bu, aku berangkat dulu ya.” Teriakku.
Sepulang aku memulung, aku menemukan ibuku tengah terduduk di sudut dapur  sambil menangis terisak-isak. Rupanya debt collector baru saja datang menagih hutang ayahku. Karena belum bisa membayar hutang yang sudah jatuh tempo, mereka mengacak-acak seisi rumahku.
“Pergi nak! Kamu jangan masuk ke dalam!” Teriak ibuku.
Aku tak menghiraukan larangan ibu. Kuterobos masuk ke dalam dapur dan langsung menghadiahkan bogem mentah tepat di bagian wajah salah seorang debt collector.
“Kurang ajar kamu! Apa yang tengah kamu perbuat pada ibuku. Pergi kalian dari rumahku!!” Tegasku.
Bukannya kapok, mereka malah menyeretku keluar dari rumah. Tubuhku meronta-ronta, berusaha melepas cengkraman kuat salah seorang debt collector.
“Anak gadis ini gua bawa sebagai jaminan. Kalo lu gak bisa ngelunasin hutang lu secepatnya, gua akan bunuh anak lu!” Ucap salah seorang debt collector menggertak.
Ibuku hanya bisa menangis tanpa bisa berbuat apa-apa.
Mereka membiusku sehingga aku tak sadarkan diri. Rupanya mereka membawaku ke sebuah gudang tua yang sudah tak terpakai.
Aku tersadar karena siraman air salah seorang debt collector yang tepat mengenai wajahku. Kudapati tubuhku terikat erat disalah satu bangku yang nampaknya sudah rapuh. Mulutku dibekap menggunakan lakban berwarna hitam. Susah payah kucoba melepaskan tali yang mengikat tubuhku. Namun sayang, usahaku sia-sia. Salah satu debt collector menghampiriku.  Dengan ringannya dia menghantam wajahku dengan telapak tangannya yang besar. Darah segar mengalir di sela-sela bibirku. Tak lama kemudian, satu persatu debt collector itu memukuliku secara bergantian. Entah seperti apa rupaku sekarang. Aku hanya bisa menangis menahan rasa sakit dari setiap pukulan yang diarahkan padaku.
Salah seorang dari mereka melepaskan tali yang sedari tadi membelitku.
“Terimakasih Tuhan, akhirnya ada orang yang berbaik hati melepaskan ikatanku.”
Kemudian, satu persatu kancing bajuku mulai dilepasnya.
“Eh, mau apa? Kenapa kau ingin menanggalkan bajuku?” Ucapku dalam hati.
Sial, ternyata orang itu bukan mau menolongku, tetapi dia mau memperkosaku. Aku berusaha teriak sekencang-kencangnya. Aku lupa, lakban hitam masih membalut mulutku. Sekuat tenaga aku mencoba melawan orang-orang biadab itu. Namun sayang, aku sudah tidak memiliki cukup tenaga untuk melawan mereka.
“Braaaakkk...” Terdengar suara benda terjatuh.
Ternyata itu ayahku. Dia mendobrak pintu dan menerobos masuk kedalam. Satu persatu debt collector dipukulinya. Berkali-kali ayahku tersungkur ke tanah. Namun ayah tak kunjung menyerah. Dia terus saja melawan para debt collector itu. Disini terlihat sekali bahwa ayah mati-matian membelaku. Saat ayah sedang lengah, salah seorang debt collector berlari menuju ayahku sambil mengarahkan sebilah pisau. Sontak ayahku tersungkur ke tanah. Pisau itu tepat menancap di jantung ayahku.
“Ayaaaah!” Teriakku histeris.
Tak lama kemudian, datang beberapa polisi yang kemudian melepaskan timah panas untuk melumpuhkan mereka yang berusaha kabur. Aku merangkak menghampiri tubuh ayahku yang sudah tergolek lemah.
“Ayah, bertahan yah. Ayah pasti kuat.” Ucapku sambil terisak.
Dari arah belakang, terdengar suara kaki seperti berlari.
“Ibu.. Ayah bu..” Ucapku.
Tangis ibu pecah. Dia merengkuh tubuh ayahku dan memangkunya.
“Bu, maafkan ayah. Ayah belum bisa menjadi suami sekaligus ayah yang baik untuk ibu dan anak kita.” Ucap ayah tergagap-gagap.
“Jaga ibumu ya nak. Jadilah anak yang salehah. Jangan tiru ayahmu yang biadab ini.” Pesan ayahku.
Wajah ayah mulai memucat. Badannya yang semula hangat kini terasa dingin. Nafasnya pun mulai terputus-putus. Kumohon jangan. Jangan Kau ambil dia dariku Tuhan.
Dengan suara yang sedikit parau, ibu menuntun ayah mengucap dua kalimat syahadatAsyhadu an-Laa Ilaaha Illallah wa Asyhadu an-na Muhammadarrosuululloh.
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Ayah mengehembuskan nafas terakhirnya dipangkuan ibuku. Tangisku pecah. Mulutku terasa kaku, dadaku terasa sesak. Ya Tuhan, inikah rasanya kehilangan.
Yang kutahu, selama ini ayah tak pernah absen dari pandanganku. Tapi kehadirannya tak lebih dari mimpi buruk yang ingin segera kuakhiri. Sikap kasarnya serta tutur katanya yang kasar tak jarang membuat ibuku menangis. Ah, bahkan kau tak pantas kupanggil “Ayah.”
Namun kini aku tersadar. Betapa pun kerasnya sosok ayahku, dia tetap memiliki hati yang lembut. Pada kenyataannya dia teramat menyayangi ibu dan aku. Cuma, caranya saja yang berbeda.

Ayah, maafkan aku yang selama ini salah memahami sikapmu. Terimakasih untuk pengorbananmu ayah. Aku akan selalu mencintaimu. Aku berjanji akan selalu menjaga ibu untukmu ayah, aku janji. Selamat jalan ayah, semoga kamu tenang di alam sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar