Menunggu
Bapak Pulang
Oleh
: Robiatul Adawiyah (1112046100130)
Malam itu terasa dingin dan hujan turun
dengan derasnya, tetapi terasa gerah dan pengap sekali bagi Mbok Yatmi yang
sejak tadi menunggu suaminya pulang mencari kerja. “Kemana bapakmu, Le?”
Tanya Mbok Yatmi dengan nada sangat cemas. “Ndak tahu Bu, mungkin Bapak
sudah dapat pekerjaan baru,” sahut Angger, anak tertua Mbok Yatmi dan Pak Kaslam.
“Amin Gusti Allah,” kata Mbok Yatmi sambil mengusap-usap wajahnya.
Mbok Yatmi adalah seorang wanita paruh
baya yang menderita lumpuh pada seluruh badannya sehingga ia tak bisa berbuat
apa-apa lagi selain pertolongan suaminya ataupun Angger. Angger duduk di kelas
4 bangku Sekolah Dasar yang kesehariannya selain belajar juga membantu dan
menemani ibu dan adik-adiknya, Puspa dan Sari yang masing-masing berumur 6
tahun dan 5 tahun. Angger juga sesekali kerja serabutan pada tetangga yang
butuh bantuannya seperti, ke pasar dan mengangkut barang-barang. Hasilnya itu
tidak seberapa dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Kehidupan
mereka bergantung kepada Pak Kaslam, seorang lelaki tua yang menjadi suami Mbok
Yatmi dan ayah bagi Angger serta adik-adiknya. Sehari-hari Pak Kaslam hanya
bekerja menarik becak. Penghasilannya itu hanya cukup untuk makan kelima orang
keluarganya. Namun, keluarga ini kini gelisah karena becak yang menjadi
satu-satunya sumber penghidupan telah dijual oleh juragannya. Alasannya karena
becak sudah tidak boleh lagi beroperasi di Jakarta. “Daripada disita Satpol PP mending
dijual saja,” kata Sang Juragan.
Pukul
1 pagi di rumah sewanya yang kumuh, Mbok Yatmi semakin gelisah. “Gusti,
kemana suamiku? Aku cemas sekali,” kata Mbok Yatmi. Kekhawatiran Mbok Yatmi
semakin dalam ketika Bu Ahmad, si pemilik kontrakan datang bersama dua orang
polisi.
“Assalamualaikum, Mbok Yatmi. Ini saya Bu Ahmad,”
kata si pemilik kontrakan dengan nada ketakutan mengetuk pintu.
“Walaikumsalam, iya Bu Ahmad sebentar,” teriak Mbok
Yatmi. Lalu cepat-cepat Mbok Yatmi membangunkan Angger agar membukakan pintu
dan menyuruh tamu masuk.
“Ini ada apa Bu Ahmad malam-malam begini sama polisi
juga?” Tanya Mbok Yatmi yang tengah terbaring lumpuh di tempat tidurnya.
“Ibu istrinya Pak Kaslam?” Sambar Pak polisi menanyakan.
Mbok Yatmi mengangguk.
“Apa kerja suami Ibu?” Tanya Pak Polisi.
“Dulu menarik becak Pak, tapi sekarang sudah tidak
bekerja. Becaknya dijual sama yang punya,” jawab Mbok Yatmi dengan sorot mata
penuh tanda tanya. Dan polisi itu menatap agak lama.
“Maaf, Bu. Sebenarnya saya tidak tega, tapi ini harus saya
katakan pada Ibu. Suami Ibu meninggal dunia di rumah sakit.”
“Ha? Apa? Astagfirullah Gusti!” Jerit Mbok Yatmi.
Dada Mbok Yatmi bagai terpukul palu keras. Jiwanya betul-betul terguncang.
Pandangannya semakin kabur dan kacau. Dan akhirnya pingsan.
Saat itu Angger hanya tertegun. Entah apa yang ada
dipikirannya. Matanya menatap kosong sambil memeluki ibunya. Tak lama, Angger
menjerit dan menangis “Bapaaak!”.
Sesaat setelah itu, beberapa tetangga berdatangan ke rumah
Mbok Yatmi. Mereka bermaksud untuk membantu keluarga miskin ini. Termasuk Pak
RT dan beberapa warga lainnya menjemput jenazah di rumah sakit. Selain itu, ada
pula beberapa warga yang merapikan rumah kontrakan kecil itu untuk menyiapkan
kedatangan jenazah.
Kini, Angger hanya
duduk menatap kosong dengan matanya yang berair
sambil menjaga adik-adiknya yang sudah terbangun. Tepat disampingnya,
terbaring ibunya yang masih tak percaya kalau suaminya sudah tiada. Mbok Yatmi
hanya menangis pelan dan Bu Ahmad si pemilik kontrakan berusaha untuk
menenangkan.
“Mbok,” kata Bu Ahmad mengusap-usap punggung Mbok Yatmi. “Sabar
ya Mbok, Bapak lebih disayang Allah makanya Bapak pergi duluan. Sekarang kita
tinggal berdoa saja buat Bapak.”
Mbok Yatmi mengangguk.
Lalu Mbok Yatmi
bertanya, “Bu Ahmad, kenapa ini terjadi sama saya. Kenapa bapak
meninggalkan saya dan anak-anak? Apa salah kami Bu?” Tanya Mbok Yatmi
terisak-isak.
“Tidak ada yang salah Mbok. Sudah takdir yang kuasa,”
jawab Bu Ahmad.
“Lalu mengapa suami saya meninggal? Padahal dia
sehat-sehat saja.”
Lalu semua hening.
Pagi sebelumnya, sejak subuh tadi Pak Kaslam pergi dari rumah. Ia berjalan
kemana saja tanpa arah bermaksud untuk mengais rejeki apa saja. Pak Kaslam ikut
para calo bus antarkota tapi dengan kasar para calo bus antarkota itu
mengusirnya. Lalu Pak Kaslam mencoba ikut mengatur parkir mobil di depan pertokoan, tetapi seorang
lelaki bertubuh besar dan berwajah berewok segera mengusirnya. Bahkan dia
hampir ditempeleng ketika ngotot tetap berada di tempat itu. “Ini wilayah gue!
Pergi lu!” Bentak lelaki itu kasar.
Hari hampir malam dan Pak Kaslam belum mendapat secuil pun
rezeki. Saat malam tiba, hujan pun turun dengan derasnya. Akhirnya Pak Kaslam
berteduh dekat sebuah rumah yang tampak sepi dengan pintu rumah yang tidak
dikunci, bahkan sedikit terbuka. Dia mengamati isi rumah itu. Memang sangat tampak
barang-barang berharga tergeletak tak jauh dari tempatnya berteduh. Ada sebuah
televisi berukuran besar, jam dinding, tape recorder, dan sebuah arloji
mahal berwarna emas tergeletak di atas meja. Pak Kaslam pun ingat keluarganya
yang sejak tadi pasti kelaparan. “Seandainya aku dapat mengambil jam itu dan
menjualnya, tentu keluargaku tidak akan kelaparan lagi. Paling tidak untuk
beberapa hari ke depan dan mungkin dalam jangka waktu itu aku mendapat
pekerjaan,” pikiran Pak Kaslam bekerja keras. “Tetapi bagaimana cara mengambilnya?
Mungkin aku dapat melangkah pelan-pelan ke meja itu, mengambilnya dan
memasukannya ke saku. Ya, jam tangan itu saja, tak usah banyak-banyak,” benak Pak
Kaslam. “Tapi bagaimana nanti kalau ketahuan? Ah, kenapa tiba-tiba aku ingin
jadi maling?” Ia berpikir kembali.
Pak Kaslam teringat lagi pada anak-anak dan istrinya di
rumah, mulai besok mereka pasti akan tambah kelaparan. Dia memandang berkeliling.
Masih sepi. Lalu ia memandang kembali pada arloji berwarna emas di atas meja.
Pertentangan dalam batinnya semakin menghebat. Tetapi jam tangan itu semakin
kuat mengundangnya.
Pak Kaslam tiba-tiba sudah berada di depan meja tempat
arloji berwarna emas itu tergeletak. Dia memandang keseluruh penjuru angin.
Tidak ada orang lain di ruangan itu. Cepat-cepat dia mengambil arloji dan
secara kilat memasukannya ke dalam saku celananya. Dengan dada berdegup keras
ia berbalik untukk cepat-cepat berlalu. Tetapi tiba-tiba seorang anak muda
muncul dan berteriak dari pintu depan, “Maliiiing!”
Pak Kaslam terkejut lalu dia berbalik
ke arah belakang, tetapi dari sana muncul seorang bapak dan dua orang lelaki. Pak
Kaslam terkepung. Dia nekat menerobos tiga lelaki di depannya, tapi Pak Kaslam
terlalu lemah. Lalu Pak Kaslam tertangkap dan seketika merasakan pukulan-pukulan
yang menghujani kepala dan tubuhnya. Lalu
sebuah tinju keras bersarang di pelipis kirinya, disusul tinju-tinju lainnya.
Kemudian Pak Kaslam terhuyung-huyung dan terasa kepalanya berputar. Selagi
terhuyung itu, ternyata semakin banyak orang yang masuk ke rumah itu dan ikut
memukulnya. Pukulan-pukulan yang semakin gencar. Tak hanya pukulan, tetapi juga
benda-benda keras juga menghujam tubuhnya. Kemudian Pak Kaslam ambruk.
Kepalanya menghantam lantai dengan
keras. Pandangannya menjadi gelap. Semakin gelap. Gelap sekali.
Setelah pemakaman selesai, semua pengantar jenazah kembali
ke rumah. Kini Angger, Puspa dan Sari menjadi anak yatim. Mereka tak punya
tempat bergantung lagi. Ayah tiada, ibu pun tak mampu bahkan untuk mengurusi
dirinya sendiri. Ditengah keheningan malam dan nelangsanya keluarga ini, Bu
Ahmad datang bersama suaminya, Pak Ahmad. Mereka membawa makanan dan beberapa
kebutuhan dapur untuk keluarga miskin ini.
“Lalu bagaimana selanjutnya sekolah Angger, Sari dan Puspa
Mbok?” Tanya Bu Ahmad di sela-sela obrolan mereka malam itu.
“Ndak tahu Bu, saya juga bingung. Sepertinya mereka
putus sekolah saja. Ya mau gimana lagi, wong bangun saja saya ndak
mampu gimana mau kerja,” jawab Mbok Yatmi.
“Mbok, saya dan suami saya sebetulnya ingin menawarkan
bantuan. Bagaimana kalau Angger, Puspa dan Sari biar kami yang membiayai
sekolahnya hingga perguruan tinggi. Niat kami tulus hanya ingin membantu saja Mbok,”
senyum Bu Ahmad.
“Maksud Bu Ahmad?”
“Iya Mbok kami ingin membantu pendidikan mereka,” sahut
Pak Ahmad.
“Bu Ahmad apa saya ini mimpi? Betul yang Bapak katakan
itu?”
“Iya Mbok, kami serius dengan hal ini,” jelas Bu Ahmad.
“Aduh Gusti, mulia sekali keluarga Bu Ahmad ini. Sejak
dulu keluarga kami selalu saja merepotkan keluarga Ibu dan Bapak, mulai dari mengizinkan
saya bekerja di rumah Ibu dan Bapak, lalu saat saya jatuh sakit dan keluarga
Pak Ahmad juga yang membantu pengobatan saya dan sekarang keluarga Pak Ahmad
mau menyekolahkan anak-anak saya,” kata Mbok Yatmi sambil berkaca-kaca. “Terimakasih
Bu, saya tidak tahu harus membalas kebaikan Bu Ahmad dan keluarga dengan cara
apa. Semoga Allah selalu memberkahi dan melindungi keluarga Ibu dan Bapak,”
lanjut Mbok Yatmi sambil terus menangis terisak-isak. Saat yang sama, Angger
yang tengah mendengar percakapan malam itu merasa sangat senang sekali karena ia
serta saudara-saudaranya bisa tetap terus bersekolah dan dia pun menangis terharu
karena kebaikan keluarga Ibu dan Bapak Ahmad.
“Aku harus rajin belajar agar kelak menjadi anak pandai
dan menjadi orang yang berguna untuk sekelilingku, seperti yang selalu dilakukan
keluarga Bu Ahmad. Semoga di masa depan aku bisa membanggakan Ibu dan juga membanggakan
keluarga Pak Ahmad yang selalu dengan sangat tulus menolong keluargaku,” tekad Angger
dalam hatinya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar