Rabu, 23 April 2014


Cerita Pendek


Debu-Debu Berterbangan Mendatangkan Penyesalan
Suara burung dan kabut-kabut tipis yang menyelimuti kawasan Gunung Merapi mewarnai di pagi itu. Yoga keluar rumah dengan membawa cangkul di pundaknya pergi menuju sawah. Sesampainya di sawah, Yoga mulai bekerja menggarap sawah tersebut. Ketika Yoga sedang bekerja, tiba-tiba terdengar teriakan ibunya dari tepi sawah “Nak, ada surat untukmu.” Teriak sang ibu.
Lalu Yoga berhenti menggarap dan menghampiri ibunya, “surat dari siapa bu?” Tanya Yoga.
“Ibu tidak tahu nak, coba kamu baca suratnya.” Jawab sang ibu.
Yoga lalu membaca surat tersebut dan ternyata surat tersebut dari salah satu perusahaan yang mengadakan kuis menulis cerpen dan Yoga memenangkan kuis tersebut. Bu, aku memenangkan kuis cerpen yang aku kirimkan 2 minggu lalu dan besok aku akan ke Jakarta untuk mengambil hadiahnya, kata Yoga dengan wajah gembira.
“Alhamdulillah, yasudah nak ibu akan beri tahu bapak kalau kamu besok akan ke Jakarta.” Ucap sang ibu.
Keesokan harinya Yoga berisap-siap untuk pergi ke Jakarta, sebelum pergi, ia berpamitan kepada kedua orang tuanya. Lalu ibunya berkata, “kamu hati-hati ya nak di jalan, kalau sudah rapi segera pulang ke rumah.”
“Baik bu, setelah aku mengambil hadiahnya aku akan segera pulang, Assalamu’alaikum.” Ucap Yoga sambil menjejakkan kaki meninggalkan rumahnya menuju stasiun.
Tiba di stasiun, Yoga langsung masuk ke gerbong kereta dan duduk di samping laki-laki dan ternyata laki-laki tersbut adalah Didit, teman sebangkunya pada waktu duduk di bangku SMA. Hai Dit, bagaimana kabarmu?” Tanya Yoga.
“Alhamdulillah kabarku baik, bagaimana kabarmu?” Didit balik bertanya.
“Alhamdulillah kabarku juga baik Dit.” Jawab Yoga
Setelah itu Yoga menceritakan bahwa ia akan ke Jakarta untuk mengambil hadiah dari kuis yang ia menangkan.
“Apakah kamu tahu alamat ini Dit?” Tanya Yoga.
“Iya aku tahu, kebetulan aku juga akan ke Jakarta untuk kembali bekerja setelah beberapa hari cuti untuk pulang kampung karena kakakku melangsungkan pernikahannya kemarin, alamat itu tidak jauh kok dari kantorku.” Jawab Didit.
Tiba di Stasiun Gambir, Didit bergegas mencari taksi dan mengantarkan Yoga ke alamat perusahaan yang diperlihatkannya tadi.
Setibanya di gedung perusahaan, Yoga langsung masuk ke kantor perusahaan tersebut dan Didit menunggu di dalam taksi.
Berselang 15 menit, Yoga keluar dari kantor tersebut dengan wajah gembira dan masuk ke dalam taksi.
“Dit, kamu tahu hadiah yang kuterima apa?” Tanya Yoga.
“Memang hadiah yang kamu terima apa?” Didit balik bertanya.
“Hadiahnya uang 100 juta Dit.” Jawab Yoga.
“Wah, besar juga hadiahnya, selamat ya Yog.” Ucap Didit.
“Bagaimana untuk sementara ini kamu tinggal dirumahku?” Tanya Didit.
Yoga berpikir sejenak, mengingat pesan orang tuanya untuk segera pulang ke rumah setelah mengambil hadiah tersebut. “Hmm, tak usah lah Dit, aku langsung pulang saja ke rumah karena aku janji akan segera pulang setelah mengambil hadiah ini.” Ucap Yoga.
Tapi kan kamu kamu belum mempunyai tiket untuk pulang Yog. Ucap Didit.
“Ohiya ya aku belum beli tiket untuk pulang, yasudah aku terima tawaranmu.” Ucap Yoga.
Sesampainya di rumah Didit, Yoga beristirahat sejenak sambil berbincang-bincang dengan Didit.
“Yog, hadiah yang kamu terima tadi cukup besar, aku punya saran, bagaimana kalau kamu membuka usaha di Jakarta?” Kata Didit.
“Sepertinya aku akan membuka usaha di kampung halamanku saja Dit.” Jawab Yoga
Di Jakarta kamu akan mendapatakan keuntungan 3 kali lipat Yog daripada kamu membuka usaha di kampung halamanmu” Kata Didit.
“Sebaiknya aku buka usaha apa ya Dit?” Tanya Yoga.
“Saranku, kamu membuka restoran kecil-kecilan saja Yog, nanti aku akan bantu untuk mencarikan tempatnya.” Saran Didit.
“Baiklah Dit aku setuju dengan saranmu” Ucap Yoga.
Keesokan harinya, Yoga dan Didit mulai mencari tempat untuk usaha restoran yang mereka rencanakan, setelah keliling sekitar Jakarta, akhirnya mereka mendapatkan tempat yang strategis dan esok harinya pula Yoga memulai usaha restorannya tersebut.
Setelah berjalan satu minggu, ternyata restoran Yoga semakin banyak pengunjungnya, dan dalam waktu 4 bulan Yoga sudah mempunyai pegawai yang berjumlah 10 orang.
Seiring dengan majunya usaha Yoga, ia mengucapkan banyak terima kasih kepada Didit karena telah banyak membantunya selama di Jakarta, ia pun sekarang sudah mempunyai rumah yang letaknya tidak jauh dengan rumah Didit dan ia juga mempunyai satu unit mobil mewah.
Di tengah kehidupan kota metropolitan, hidup Yoga kini telah berubah drastis, dulu Yoga yang dikenal dengan kesederhanaannya sekarang berubah menjadi suka bermewah-mewahan dan hedonis. Pada saat itu, restoran Yoga semakin lama sedikit pengunjungnya dan tak lama kemudian restorannya mengalami kebangkrutan.
Ketika Yoga pulang ke rumahnya, ia dikejutkan warga sekitar yang berada di depan rumahnya dan kobaran api yang membakar rumahnya. Yoga sedih dan sangat terpukul melihat ruamahnya hangus terbakar api. Tak lama kemudian Didit datang menghampiri Yoga. “Kamu yang tabah ya Yog, ini semua cobaan dari Allah.” Ucap Didit.
“Hidup ini tak selamanya linier dan tubuh tak seharusnya tersier.” Nasihat Didit yang penuh makna kepada Yoga mengetahui kehidupan Yoga yang sekarang cenderung bermewah-mewahan.
Mendengar nasihat dari Didit, Yoga baru teringat pesan orang tuanya yang selama ini ia lupakan. Dit, besok tolong antarkan aku ke kampung halamanku ya? Pinta Yoga.
“Baik Yog, besok pagi kita berangkat ke kampung halamanmu.” Ucap Didit
Esok paginya, mereka berangkat menuju kampung halaman Didit. Selama 8 jam akhirnya mereka tiba di kampung halaman Yoga. “Yog, sepertinya aku hanya bisa mengtarmu sampai sini, karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.” Ucap Didit
“Iya Dit. tak apa. Aku berterima kasih kamu mau mengantarkanku pulang.” Ucap Yoga
Setelah itu Yoga menuju rumahnya yang berada di sekitar Gunung Merapi, terlihat dari kejauhan garis pembatas polisi dan Gunung Merapi yang mengeluarkan asap hitam yang tebal pertanda akan terjadi erupsi dan ternyata status Gunung Merapai saat itu sedang “waspada”. Terlihat banyak warga sekitar yang mengungsi ke posko-posko dan tempat yang aman dari asap dan debu vulkanik yang dikeluarkan Gunung Merapi. Melihat hal itu, Yoga langsung berlari melewati pembatas polisi menuju rumahnya.
Tiba di rumahnya, Yoga membuka pintu dan terlihat kedua orang tuanya sudah terkapar dan tidak bernafas lagi, karena kawasan rumah Yoga sudah dipenuhi asap hitam dan debu-debu vulkanik yang berterbangan. Isak tangis dan kesedihan Yoga tak terbendung lagi. Rasa sesal di dalam hati Yoga karena melupakan pesan kedua orang tuanya. Tak lama kemudian Yoga mengalami sesak nafas, ia terkulai dan tubuhnya membiru, tragis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar