Satu Cinta, Beda Kasta
“Cokorda Rai Sudarta,”
berkali-kali aku membaca tulisan yang tertera pada ponselku. Andai aku bisa,
aku ingin mengganti tulisan itu.
Seperti biasa, sore di Pantai Dreamland
penuh dengan turis asing maupun lokal. Pemandangan sunset di sini
memang indah, sehingga banyak turis yang ingin menikmatinya. Begitu juga kami,
ya aku dan Rai, kami sering menghabiskan waktu sore di sini. Bedanya, kami
lebih suka menikmati suasana pantai dari atas tebing. Pantai ini memang
dikelilingi tebing-tebing. Aku kembali memandangi layar ponselku.
“Rai, kenapa harus Cokorda, kenapa
harus itu nama depanmu?”
“Sudah berapa kali aku bilang, tak
usah permasalahkan namaku,” suaranya menyentakkanku dari lamunan, suara yang
selalu kurindu, suara yang entah sampai kapan masih bisa kudengar.
“Kau ini, tiba-tiba datang seperti
itu, aku jadi kaget,” jawabku dengan sedikit manja.
“Kamu sih selalu membahas
soal nama, apalah arti namaku San? itu hanya nama depanku, sudah aku bilang
berkali-kali nggak perlu bahas itu,” dia agak membentakku. Memang
aku yang salah, aku pernah berjanji tidak membahas namanya lagi.
“Iya, aku minta maaf. Kamu sih
lama sekali datangnya, jadi aku ngelamunin itu.”
“Nih, tadi aku beli ini
untukmu,” setangkai mawar dia berikan. Dia baik, bahkan terlalu baik. Rasanya
ingin sekali waktu berhenti sekarang, aku tidak ingin menghadapi
waktu-waktu ke depan.
“Matur suksma, Rai.”
“Suksma mewali, sudah
hampir malam, kita pulang saja, aku antar ya?”
“Yakin kamu mau antar aku? Nanti
kalau ibu dan aji lihat bagaimana?”
“Sudahlah, lihat nanti saja.”
Dengan terpaksa aku pulang
bersamanya. Dulu dia sering bermain ke rumahku. Namun, sekarang aku takut
sekali mengajaknya ke rumah. Semuanya telah berubah.
“Aku nggak masuk ya?”
“Iya, siapa juga yang mau ngajak
kamu masuk?”
“Ah kamu ini, gitu banget
sama aku, ya sudah, tiang jagi mepamit dumun, rahajeng wengi,”
”Rahajeng wengi, hati-hati
Rai!” Aku tersenyum padanya dan segera masuk ke dalam rumah.
“Bu, aku pulang.”
“Sampun ngajeng kamu Luh?”
Tanya ibuku.
“Sampun Bu, Aji dija?”
“Lagi di ruang kerjanya, ada
banyak pesanan lukisan. Tadi kamu diantar Cok Rai kan?”
“Mmmmm….iya Bu, tadi nggak
sengaja ketemu Rai,” jawabku gugup.
“Ibu sudah peringati kamu ya,
kalau kamu berhubungan serius sama dia, kamu tahu kan risikonya apa? Kamu tidak
kasihan sama Ibu sama Aji?”
“Ibu tenang aja, aku paham kok.”
Kubaringkan tubuhku di atas tempat
tidur. Kuarahkan pandangan ke langit-langit rumahku. Aku mulai merenung.
Kuliahku sudah lulus, aku hanya tinggal diwisuda. Sebagai lulusan sastra,
aku ingin sekali menjadi penulis. Aku berpikir untuk pindah ke Jakarta, mungkin
di sana aku bisa menjadi penulis hebat. Aku sudah mengantongi ijin dari kedua
orangtuaku. Bahkan mereka terlihat bersemangat ketika tahu bahwa aku berniat
pergi ke Jakarta. Sepertinya mereka hanya ingin aku jauh dari Rai. Ah, Rai
lagi, Rai lagi, kenapa akar masalah selalu ada pada dirinya? Apakah kami memang
benar-benar tidak berjodoh? Aku begitu mencintainya, aku tulus. Aku tidak
peduli dia anak siapa dan keturunan siapa. Egoisku pun kalah saat melihat
tulisan besar di dinding kamarku, “Ni Luh Gede Santhi,” namaku, ya itu namaku.
Aku harus sadar, tidak ada gelar apapun dalam namaku. Aku hanyalah anak dari
seorang pelukis, aku berkasta Sudra, kasta yang paling rendah. Ibu hanyalah ibu rumah tangga. Sedangkan Rai, keluarganya
keturunan Raja Ubud, Puri mereka saja di Ubud, semua orang Bali pun tahu kalau
Ubud dulunya kerajaan yang hebat. Cokorda yang paling disegani ya Cok Ubud.
Dari namanya saja orang pasti tahu dia Kasta Ksatria. Di umurku yang
sekarang tentu saja aku berpikir tentang pernikahan, namun mungkinkah aku bisa
bersatu dengan Rai? Aku mungkin saja menikah dengan Rai, bahkan aku akan merasa
bangga karena kastaku naik mengikuti kasta Rai. Tetap saja aku pasti akan
diperlakukan rendah dan dipandang sebelah mata di keluarga Rai, aku tahu benar
keluarganya sangat menjaga kedudukan kastanya. Lantas, apa aku siap jika nanti
orangtuaku meninggal aku tidak bisa mengurusi pemakamannya karena dianggap
sudah tidak sederajat dengan orangtuaku sendiri. Aku lelah memikirkan semua
ini.
“Luh, Ibu boleh masuk?” Suara Ibu
terdengar dari balik pintu kamarku.
“Nggih Bu,” jawabku sambil
duduk di dekat jendela.
“Kamu kenapa?” Tanya Ibu sambil
berdiri di sampingku.
“Nggak ada apa-apa Bu.”
“Sing dadi melog-melog loh.
Kamu pasti lagi mikirin Cok Rai, kan?”
“Bu, apa Rai sama aku nggak
bisa nikah?”
“Luh, Ibu tidak melarang kamu,
tapi keluarga Cok Rai pasti tidak bisa terima kamu. Dari awal kalian
berteman, Ibu sudah bilang jangan pakai hati, lagipula kamu pasti tahu
laki-laki di Puri seperti Cok Rai terkenal suka memaksakan cinta
kepada para gadis, bahkan seorang laki-laki bisa mempunyai empat orang istri,
mereka memanfaatkan kasta yang mereka punya.”
“Tapi Bu, Rai nggak seperti
itu, dia baik Bu, bahkan dia nggak suka dipanggil dengan embel-embel
Cokorda,”
“Sudah, Ibu tidak mau bahas ini
lagi, sudah malam, mandi terus tidur ya.” Ibu keluar dari kamarku. Aku masih
terus berpikir apa yang harus aku lakukan ke depan, ibu dan aji
sepertinya sudah benar-benar tidak setuju dengan Rai. Apa mungkin aku harus
kawin lari? Ya, kawin lari menjadi hal yang biasa di Bali. Hal ini terjadi jika
sepasang kekasih ingin menikah walapun mereka beda kasta dan ini terjadi
padaku.
“Baiklah, aku sudah tahu apa yang
harus aku lakukan,” kataku lirih. Ponselku berdering, terlihat tulisan Cokorda
Rai Sudarta meneleponku.
“San, ngudiang?”
“Lagi mikirin kamu.”
“Eh sudah malam gini masih
saja ngelamunin aku, sudah tidur!”
“Besok kita jalan ya?”
“Lunga kija?”
“Dreamland aja, aku lebih
suka ke sana.”
“Jam kuda?”
“Sia?”
“Boleh, sampai ketemu di sana ya.”
Telepon pun terputus, aku sudah
siap untuk membicarakannya dengan Rai, semoga Rai juga berpikir sama denganku.
Keesokan harinya, aku bangun jam 5
pagi dan disambut oleh matahari pagi yang sudah bersinar terang. Sudah menjadi
rutinitas, setiap hari dimulai dengan doa yang diiringi sesajen. Ibu sudah
menyiapkan sesajen sederhana. Sesajen biasanya berisi sedikit bagian dari
makanan keluarga untuk para dewa sebelum keluarga mengkonsumsi makanannya.
Selain itu, ada juga tempat kecil terbuat dari tirai daun pisang yang berisi
berbagai jenis bunga dan sirih sebagai simbol keramah-tamahan. Sesajen biasa
disimpan di depan pintu rumah kami. Di Bali, hal ini sudah tidak asing, sesajen
bisa ditemukan di mana saja, bahkan di depan toko-toko pinggir jalan. Konon
katanya, jika yang dengan sengaja menginjak akan terkena musibah. Aku sendiri
tidak begitu percaya.
“Bu, aku pamit ya, mau keluar
sebentar.”
“Iya, hati-hati kamu Luh. Sudah
mau diwisuda tidak perlu jauh-jauh perginya.”
“Bu, aku mau minta maaf.”
“Untuk apa?”
“Mau minta maaf saja, aku pamit ya
Bu,” aku langsung bergegas mencium tangan ibuku dan pergi menuju tempat biasa
aku dan Rai bertemu.
Cuaca Denpasar hari ini sangat
bersahabat, padahal biasanya saat bulan Desember curah hujannya tinggi di sini.
Mungkin cuaca tahu hari ini akan menjadi hari bersejarah dalam hidupku. Jarak
dari Denpasar ke Pantai Dreamland sekitar 32 km. Sekitar 40 menit
waktu tempuh dari rumahku. Jalanan pagi di Denpasar memang tidak seramai malam. Maklum saja, tempat hiburan yang sering dikunjungi turis asing buka saat malam
hari.
Seperti biasa, aku pasti sampai
lebih dulu dibandingkan Rai, dia selalu telat. Memang jarak dari rumahnya ke
sini sangat jauh, rumahnya di Ubud. Sambil menikmati udara pantai dari atas
tebing, aku lagi-lagi melamun. Pantai ini sangat berkesan bagiku,
letaknya tidak jauh dari kampus aku dan Rai. Kami kuliah di Universitas
Udayana, kebetulan fakultas kami berada di Kampus Pusat Bukit Jimbaran yang
memang tidak jauh dari sini. Rai anak hukum dan aku anak sastra. Aku sudah
lulus, sedangkan Rai masih menyelesaikan skripsinya. Pantai ini menjadi tempat
favorit kami, bukan hanya karena pantainya yang indah, namun asal usul nama pantai
ini pun menarik. Dahulu di area ini sempat terdapat sebuah proyek perumahan dan
obyek wisata. Namun proyek tersebut terhambat dan terbengkalai, sedangkan para
penduduk sekitar yang dulunya hidup sebagai seorang petani sangat berharap
proyek ini selesai dan mereka bisa menekuni pekerjaan di bidang pariwisata.
Karena itulah lahan di sekitar pantai ini disebut tanah impian atau Dreamland.
Ya, hanya sekedar impian, sama seperti aku dan Rai.
“Nyen adan ragane?”
“Kamu? Aku kira laki-laki iseng,
sok-sokan nanya nama aku siapa, kamu sudah nggak kenal sama aku?”
“Becanda San.”
“Sini duduk, aku mau ngomong
serius sama kamu.”
“Mau ngomong apa? Serius banget.”
“Setelah berpikir panjang
akhir-akhir ini, aku sudah memutuskan sesuatu.”
“Apa? Jangan bilang kamu mau mutusin
aku?”
“Putus? Kamu mikir gitu?”
“Iya.”
“Memangnya kita ada hubungan apa?
Putus? Sejak kapan kita pacaran? Kamu ngerasa jadi pacar aku? Aku pernah
bilang, kita nggak bisa pacaran, kasta kita berbeda Rai. Aku takut kalau
kita pacaran, nantinya aku akan kecewa,” aku sedikit menahan air mata. Aku
tidak ingin menangis di depannya.
“Iya, aku tahu kita memang tidak
pacaran, tapi kita saling sayang San, aku janji aku akan menikah denganmu
setelah aku lulus nanti. Kalau keluargaku tidak setuju, kita kawin lari saja!
Hal ini sudah biasa terjadi karena perbedaan kasta.”
“Sudah gila kamu, orangtuaku akan
merasa direndahkan kalau kamu berani mengajak aku untuk kawin lari!” Aku
sedikit membentaknya.
“Lantas bagaimana? Ni Luh Gede
Santhi, aku menyayangimu, aku mohon, kita perjuangkan semuanya bersama.” Rai
menatapku tajam, mata kita saling bertemu, tangannya sangat erat mengenggam
tanganku. Aku tahu dia tulus, aku bisa melihatnya dari matanya.
“Aku nggak bisa Rai, aku
sudah memutuskan pindah ke Jakarta, aku akan tinggal bersama tanteku di sana.
Aku ingin menjadi penulis di sana. Mungkin, kalau aku menyibukkan diriku dengan
menulis aku akan melupakanmu. Dari awal, semua sudah salah Rai, kita saja
yang terlalu maksa,” aku lepaskan gengamannya dari tanganku,
kuturunkan pandangan. Aku tidak sanggup kalau harus melihat matanya.
“San, apa hanya karena embel-embel
Cok, kita harus berpisah? Tuhan kita satu San, agama kita sama, ibadah kita
sama…..”
“Kasta kita beda, kita sama-sama
tahu dalam agama Hindu ada empat kasta, Kasta Brahmana, Kasta Ksatria,
Kasta Wesya, dan Kasta Sudra. Kasta kita jauh berbeda. Aku nggak
mungkin nikah sama kamu, aku nggak mau membiarkan diri aku naik kasta,
sementara orangtuaku? kastanya lebih rendah dari aku, aku takut mereka jadi
segan sama aku, aku nggak mau mereka harus panggil aku dengan sebutan
'Ibu Jero', aku nggak bisa lagi makan semeja, bahkan aku nggak
boleh ikut sembahyang di Pura keluargaku, ” aku berkata dengan nada agak
tinggi.
“Kamu nggak mau coba?”
Tanyanya lirih.
“Kita sudah mencobanya, sudah
hampir 7 tahun kita coba, tapi nggak pernah ada titik terang. Kita
saling sayang, tapi kita berbeda. Maafin aku Rai.”
“Kamu beneran nggak mau
coba? Sekali lagi?” Matanya sedikit berkaca-kaca, tapi aku tahu dia menahan
untuk tidak menangis di depanku.
Aku tidak menjawab pertanyaannya,
aku hanya memeluknya dengan erat. Itulah pelukan terakhirku. Hal yang aku
takuti terjadi, aku tidak akan bisa mendengar suaranya lagi. Aku berjalan
meninggalkannya di tebing, aku menangis sejadi-jadinya. Aku harap kami bahagia
dengan jalan kami masing-masing dan suatu saat nanti jika kami bertemu kembali,
aku sudah bersama suami dan anak-anakku begitu juga Rai sudah bersama istri dan
anak-anaknya yang tentunya satu kasta dengannya. Berjanjilah untuk selalu
bahagia, oke Rai?
Tuhan memang
satu, kita yang tak sama. Haruskah aku lantas pergi? Meski cinta takkan bisa
pergi...
Tiyara Rizqiya Sade
Arti Bahasa Bali yang saya gunakan dalam cerpen di atas:
BalasHapus1. Matur suksma = terima kasih
2. Suksma mewali = terima kasih kembali
3. Aji = sebutan Ayah dalam Bahasa Bali
4. Tiang jagi mepamit dumun = saya mau pamit dulu
5. Rahajeng wengi = selamat malam
6. Sampun ngajeng? = sudah makan?
7. Sampun = sudah
8. Aji dija? = Ayah di mana?
9. Nggih = boleh
10. Sing dadi melog-melog = tidak boleh bohong
11. Ngudiang? = sedang apa?
12. Lunga kija? = pergi kemana?
13. Jam kuda? = jam berapa?
14. Sia = sembilan
15. Nyen aden ragane? = nama kamu siapa?
16. Ibu Jero = gelar panggilan untuk perempuan yang menikah dengan bangsawan