Rabu, 23 April 2014

Cerita Pendek

Pelangi Untuk Zahra

Liburan akhir sekolah tahun ini, Zahra menemaniku berkunjung ke kampung halaman orangtuaku. Kami bersekolah di SMA yang sama di daerah Jakarta. Dan sekarang  adalah detik-detik terakhir kami bersama. Kami akan segara berpisah, mencari tempat menunut ilmu terbaik untuk menggapai masa depan kami masing-masing. Aku memilih kuliah disalah satu PTN ternama di Jawa Tengah, dan Zahra akan berkuliah di salah satu PTN Islam di Jakarta.
Zahra adalah sahabat karibku sejak SMP. Bagiku, ia adalah sosok gadis yang cantik, dewasa dan cerdas. Zahra begitu bijaksana dalam sagala hal. Hanya saja ada satu keterbatasan dirinya, ia tuna netra. Kebutaannya adalah bawaan sejak lahir. Meski demikian, ia tidak pernah merasa ingin diperhatikan lebih apalagi dikasihani. Ia bersekolah di sekolah umum dan sampai sekarang ia bisa mengikuti seluruh pelajaran dengan baik-baik saja. Jika saja ia bisa membaca secara normal maka pengetahuannya pastilah sudah melampauiku. Sayangnya, buku-buku pengetahuan dengan huruf braille masih terbatas. Tetapi Zahra selalu update terhadap informasi. Allah memberikannya pendengaran yang sempurna dan itu sungguh dimanfaatkannya.
Senja yang mendung saat ini menemaniku dan Zahra berbincang santai di atas kursi bambu yang menghadap ke arah kolam air tawar yang dikenal dengan sebutan “sendang” oleh orang Jawa pada umumnya. Aku memulai pembicaraan dengan Zahra yang sejak tadi hanya terdiam menikmati sejuknya senja di daerah Ngimbang kala ini.
“Ra, tahu nggak, awalnya, sendang ini ada secara alamiah. Tepinya terbuat dari batu alam dan dipinggirnya ada lumut-lumut hijau yang licin. Tetapi saat ini sudah tidak bisa disebut alami lagi, soalnya seluruh tepinya sudah di semen dan dibuat tangga untuk masuk kedalam air. Beda banget sama suasana waktu zaman aku kecil dulu.”
Zahra tersenyum dan merubah posisi duduknya, mencoba menghadapku. Hening, ia tak menjawab.
“Kalau kamu kesini dulu, semuanya terlihat lebih alami. Oh iya, di daerah Ngimbang ini banyak lho situs prasasti peninggalan kerajaan-kerajaan Jawa yang ditulis para pengarang buku sejarah.” Sambungku.
“Hush! Buku sejarah kok dikarang. Itu fakta, Karla. Kamu dendam banget sih sama sejarah?” Sanggah Zahra. Ah, akhirnya kudengar juga suaranya.
“Habisnya sejarah itu mengikuti siapa yang berkuasa sih. Peristiwa-peristiwa seenaknya diubah, tergantung siapa yang lagi duduk di singgasana kekuasaan.”
“Ya itu kan sejarah pemerintahan. Kalau sejarah kerajaan-kerajaan lampau dan prasejarah, siapa juga yang mau ngubah. Apa untungnya, La.” Ucapnya dengan lucu.
Sejenak terlepas tawa antara kita, sebelum hening kembali menghampiri kami yang begitu menikmati betapa nyamannya kesejukkan senja di pinggir sendang saat ini.
“Ra, ngomong-ngomong kita pas banget ke Ngimbang sekarang. Kata Mbah Kakung, berdasarkan perhitungan primbon Jawa, Jumat besok ditentuin sebagai hari pelaksanaan ruwatan lingkungan tahun ini untuk memberkahi desa dan melindungi dari segala yang jahat.”
“Wah, lucu yah adat keyakinannya. Apa tadi namanya? Ruwatan? Itu ritual kaya gimana?”
Belum sempat aku menjelaskan, Mbah Putri memanggil kami pulang karena sudah hampir magrib. Mbah Putri berdalih, bahwa anak gadis tidak baik berada di luar pada waktu magrib.  Kalau istilah jawanya, “Ora Ilo” atau bisa diartikan “Tidak Pantas”.
Kami berjalan pulang melewati jalan setapak menuju pintu belakang rumah. Bila tidak melihat langsung, tak akan ada yang menyadari bahwa aku sedang bersama orang tuna netra. Zahra sungguh peka dan hati-hati, ia mampu untuk mandiri tanpa perlu dituntun setiap kali berjalan.
Kami segara berkumpul di ruang tengah. Mbak Sekar, kakak sepupuku sudah menyiapkan tikar untuk alas duduk, lengkap dengan makan malam khas Jawa Timur ditengahnya. Mbak Sekar sudah tidak memiliki orangtua dan tinggal di rumah Mbah untuk membantu merawat Mbah yang sudah tua. Menu makan malam kali ini adalah Rujak Cingur. Kalau di Jakarta, rujak itu biasa diartikan dengan bermacam irisan buah-buahan yang dicampur dengan bumbu kacang. Sedangkan Rujak Cingur disini mungkin lebih tepat disebut gado-gado, karena isinya adalah sayur-sayuran dan di ulek dengan bumbu kacang ditambah dengan cingur atau hidung sapi.
Sambil makan malam lesehan beralaskan tikar, kami berbincang-bincang. Mbah Putri dengan bangganya menceritakan tradisi-tradisi Jawa dan peribahasa Jawa yang sudah biasa kudengar, yaitu “Mangan Ora Mangan Sing Penting Ngumpul”. Atau dalam bahasa Indonesia, makan atau tidak makan yang penting berkumpul.
“Maknanya itu dalam, nduk[1]. Ini menggambarkan sifat kekeluargaan yang kuat, jadi lagi makan atau ndak, tetap bersama, kumpul. Ndak cuma kumpul mengitari meja makan pada saat santap makan aja seperti orang-orang kota zaman sekarang.” Jelas Mbah Kakung.
“Makna makan disini juga bisa diartikan sebagai kondisi yang sejahtera dan tidak makan diartikan sebagai kondisi susah. Sehingga kita harus tetap bersama baik dalam kondisi sejahtera ataupun susah.” Sambung Mbah Putri menjelaskan.
“Sudah Mbah, jangan pamer tradisi Jawa terus, nanti Zahra malah betah dan nggak mau pulang ke Jakarta lagi” Candaku sambil melirik Zahra.
Setelah makan malam, kami membantu Mbak Sekar merapikan perabotan dan tikar makan. Aku melihat Zahra dan Mbak Sekar sudah bercakap-cakap dengan akrabnya seperti sudah lama kenal.
Esok harinya aku mengajak Zahra lari pagi sambil keliling desa.
“Ayo Ra, hari ini kita ke Sendang Gede yah. Cuaca lagi cerah nih.”
“Sendang Gede? Apa lagi tuh, La? Yang kemarin sendang apa?”
“Kemarin itu mah sendang kecil desa, setiap desa juga ada. Ini Sendang Gede kecamatan Ngimbang, Ra. Ada prasasti juga lho disana.”
“Oh begitu.Yuk, aku ingin merasakan bagaimana suasananya.”
Setelah sampai di Sendang Gede, aku mengajak Zahra berkeliling dan menunjukkan prasasti yang ada disini.
“Coba kamu raba prasastinya, Ra.”Ujarku sambil membantu Zahra mengukurkan tangannya kearah prasasti.
Prasasti ini terletak di sebelah timur sendang dan menancap di tanah, bagian bawahnya tidak diketahui bentuk aslinya, apakah terdapat padmasana[2] ataukah langsung menancap di tanah. Prasasti ini terlindungi dengan sebuah cungkup yang sederhana dengan bagian atap terbuat dari seng. Sayangnya kondisi prasasti ini kurang terawat dan rawan dari sisi keamanan. Disisi depan prasasti terlihat tulisan sebanyak 26 baris, disisi belakang juga ada tulisan sebanyak 26 baris. Tulisannya sepertinya menggunakan aksara Jawa Kuno, walaupun tidak terbaca.
Kemudian aku membimbing Zahra untuk duduk ditepi sendang dan merendam kaki kedalam air. Di pojok sebelah kiri Sendang Gede, ada kolam yang lebih kecil dengan pancuran air. Dari situ terlihat pelangi kecil akibat pantulan cahaya dari air tersebut. Aku menggenggam tangan Zahra dan berkata halus kepadanya,
“Ra, tau gak? Kita lagi lihat pelangi kecil di pancuran air dari ujung kolam lho. Tidak jauh berbeda dengan goresan pelangi yang muncul di balik hujan yang baru saja reda. Pelanginya indah, Ra. Kata orang, warna pelangi itu disebut mejikuhibiniu. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Gak bisa diungkapin sama kata-kata deh”
“Aku ingin tau seperti apa pelagi itu, aku ingin tau apa itu warna sebenarnya, kok ada merah, biru, kuning. Sayang yah, aku nggak bisa menikmati dan nggak pernah tau keindahan satu ini.”
Deg! Aku tersentak kaget, aku tersadar bahwa ucapanku tadi bukannya membuat Zahra senang, melainkan membuatnya kecewa. Aku hanya diam tak menanggapi.
Tetapi seperti biasa, Zahra tidak ingin orang melihat kekecewaannya dan lantas mengasihinya. Ia segera mengalihkan pembicaraan.
“Oh iya Karla, kemarin kamu cerita tentang ruwatan. Kamu belum jelasin ke aku ruwatan itu apa?”
“Oh iya, aku lupa. Ayolah kita pulang aja. Dan bertanya langsung sama Mbah Putri yang lebih paham tentang ini.” Ajakku.
Sesampainya kami dirumah, kami berbincang-bincang seputar ritual ruwatan dengan Mbah Putri di ruang tengah. Mbah Putri menanggapi pertanyaan demi pertanyaan Zahra dengan senang hati.
“Ruwatan itu semacam ritual untuk mengusir nasib buruk atau kesialan yang ada pada diri seseorang, nduk. Biasanya serangakaian dengan penyembuhan secara gaib. Ruwatan yang mau diadakan jumat besok itu ruwatan desa. Maksudnya, mau menjadikan lingkungan ini aman, sejahtera, jauh dari gangguan makhluk halus. Kemudian akan diadakan pagelaran perwayangan kisah Murwa Kala yang dilakukan oleh dalang khusus yang memiliki kemampuan dalam  bidang ruwatan. Nah, kalau mau melakukan ruwatan untuk diri sendiri caranya beda lagi. Biasanya di lakukan dengan cara-cara tertentu seperti melakukan puasa, kendurian[3] dan bertapa. Biasanya sekalian dengan pemandian keris juga. Dipercaya bahwa setelah adanya ritual ini, maka kehidupan seorang yang diruwat akan menjadi lebih baik, lebih sejahtera, lebih beruntung dan bisa sembuh dari penyakit yang dideritanya.” Mbah Putri menjelaskan panjang lebar dengan tenang dan wibawa. Zahra terlihat sangat antusias. Tetapi kali ini aku sungguh kaget akan tanggapan Zahra.
“Ada penyembuhan gaib, Mbah? Itu bener bisa nyembuhin apa aja? Zahra bisa ikut nggak ya Mbah? Pengen deh sembuh dari kebutaan. Zahra pengen banget melihat pelangi.”
“Masya Allah, Aku nggak salah dengar  nih? Yang benar saja, Ra?”
Zahra hanya tertawa kecil tak menjawab. Kemudian aku masuk kamar Mbak Sekar untuk mengobrol dan meninggalkan Zahra dengan Mbah Putri berbincang-bincang seputar ruwatan dan penyembuhan gaib. Aku tau, dibalik ketegarannya, di dalam hatinya ia sangat menginginkan untuk dapat melihat. Tetapi aku tidak habis pikir jika tersirat dalam benaknya untuk melakukan penyembuhan gaib.
Tak lama kemudian Zahra masuk kamar dan memulai pembicaraan,
“Karla, kamu disini?” Tanyanya memastikan keberadaanku. Sebelum aku mengiyakan, ia segera melanjutkan kalimatnya lagi.
“Berdasarkan informasi yang aku dengar dari Mbah Kakung dan Mbah Putri, ritual-ritual semacam itu tuh, ajiannya pakai doa-doa bahasa arab gitu yah. Bacaannya juga kalimat-kalimat zikir kok, La. Berarti nggak apa-apa dong.”
“Hush! Jangan begitu, orang arab nyanyi lagu-lagu vulgar juga pakai bahasa arab. Jadi jangan mentang-mentang pakai bahasa arab terus dianggap sah dalam islam. Arab yo arab. Islam yo islam.” Tegas Mbak Sekar.
“Hehe, iya Mbak. Maaf, aku kalap.”
Akhirnya Zahra tidak lagi membahas tentang ruwatan dan penyembuhan gaib. Pada hari Jumat, kami hanya datang melihat pelaksanaan prosesi ruwatan tersebut tanpa andil sedikitpun. Aku bersyukur Zahra tidak mengharapkan keajaiban lewat jalan itu lagi.
Esok adalah hari terakhir kami singgah di kampung Orangtuaku ini. Aku ingin mengajak Zahra berkeliling untuk terakhir kalinya. Akhirnya aku memutuskan akan mengajaknya ke Makam Nyi Andong Sari, ibunda dari Patih Gajah Mada.
Keesokan harinya, kami pergi ke Makam Nyi Andong Sari mengendarai sepeda motor. Awalnya Mbak Sekar ingin ikut menemani kami, tetapi Mbak Sekar memilih mewakilkan kami ke stasiun untuk membeli tiket pulang. Stasiun terdekat dari sini adalah Stasiun Jombang. Jaraknya cukup jauh dan harus ditempuh dengan bus dan menyambung perjalanan lagi dengan menggunakan angkot kecil. Mbak Sekar tidak tega membiarkan waktu kami disini habis untuk perjalanan membeli tiket pulang. Akhirnya kami dipersilahkan keliling sementara Mbak Sekar membeli tiket keretanya.
Di situs Makam Nyi Andong Sari ini, terdapat makam Nyi Andong Sari selaku ibunda Patih Gajah Mada. Uniknya, kami juga melihat ada makam kucing bernama Condromowo dan makam Garangan Putih. Kami yang penasaran akhirnya bertanya kepada Pakde[4] Agus, salah satu penjaga situs ini. Pakde Agus menjelaskan, bahwa kucing tersebut mati dibunuh Nyi Andong Sari karena kesalahpahaman.
“Jadi begini nduk ceritanya. Dulu, saat Patih Gajah Mada masih bayi, Nyi Andong Sari meninggalkannya bersama peliharaannya untuk mencari makanan. Peliharaannya itu seekor kucing bernama Condromowo dan seekor garangan putih. Terus tiba tiba ada seekor ular besar ingin memakan bayi Gajah Mada. Garangan putih dan kucing Condromowo berusaha menjaga Gajah Mada dan berusaha menyerang ular tersebut  sampai akhirnya ular tersebut mati. Ketika Nyi Andong Sari pulang dan melihat disekujur tubuh peliharaannya banyak darah, Nyi Andong Sari mengira bahwa yang menyerang anaknya adalah garangan dan kucing tersebut. Akhirnya kesalahpahaman Nyi Andong Sari berbuah kematian pada garangan dan kucing peliharaannya. Nyi Andong Sari membunuh kedua peliharaannya yang diduga telah membunuh bayinya itu. Kemudian Nyi Andong Sari bergegas menuju tempat bayinya ditinggalkan. Tidak disangka,  bayinya masih hidup dan ada bangkai ular besar dan darah disebelahnya. Dalam benak Nyi Andong Sari, ia salah telah membunuh kedua peliharaannya. Seketika itu, muncullah jiwa ksatria Nyi Andong Sari. Ia berkeyakinan bahwa mati harus ditebus dengan mati. Sambil berdoa agar ada yang menemukan dan mau merawat bayinya itu, Nyi Andong Sari melakukan Suduk Sliro[5] disamping bayinya.” Pakde Agus menjelaskan dengan panjang lebar.
Aku dan Zahra sampai terharu mendengar kisah tersebut. Kesimpulan penting yang dapat ditarik dari kisah tersebut adalah jangan cepat berprasangka yang akan menimbulkan kesalahpahaman dan jangan bedebah dalam mengambil tindakan.
Setelah mengucapkan terimakasih dan berpamitan pada Pakde Agus, kami pun beranjak pulang. Sesampai kami dirumah, kami mendapati Mbah Putri dan Mbah Kakung sedang menangis. Kami mendapat kabar bahwa bis yang Mbak Sekar tumpangi mengalami kecelakaan parah dan seluruh penumpang terluka bahkan ada yang meninggal karena kehabisan darah.
Kami kaget luar biasa, bahkan hampir tak percaya. Bagaimana mungkin? Baru tadi pagi kami berbincang dengan Mbak sekar. Aku dan Zahra segera berangkat menuju rumah sakit tempat korban kecelakaan di evakuasi ditemani beberapa tetangga. Tak lama kemudian, kami menemukan Mbak Sekar dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Mbak Sekar yang sudah diambang kesadarannya, berusaha tersenyum melihat kami. Sejujurnya, melihat kondisi Mbak Sekar seperti itu, aku tidak yakin ia dapat bertahan. Dengan lemah, jari-jarinya menunjuk matanya dan kemudian beralih ke mata Zahra. Mbak sekar ingin menyampaikan bahwa ia ingin mendonorkan matanya untuk Zahra.
Zahra yang mengetahui hal tersebut begitu perih hatinya. Disatu sisi ia sangat menginingkan memiliki sepasang mata untuk melihat. Tetapi disisi lain, ia tidak ingin bahagia diatas penderitaan orang lain. Tetapi ini bukanlah perbuatan zhalim, ini adalah amanah dari Mbak Sekar. Aku pun berusaha membujuk Zahra dan menenangkan hatinya.
“Ra, sungguh aku juga nggak mau melihat sahabatku senang diatas penderitaan orang lain diakhir hidupnya. Tetapi sekarang kamu pikir, bukankah sebuah kemuliaan jika kita mengabulkan permintaan orang yang ingin pergi untuk selamanya? Zahra, ini untuk kebaikan kita semua.”
Zahra mengangguk sambil menangis. Hatinya bergejolak tiada menentu. Atas persetujuan Mbah dan keluarga besar Mbak Sekar, akhirnya kami memutuskan untuk melakukan tlanplantasi mata. Setelah dilakukan pemeriksaan untuk Zahra dan Mbak Sekar, operasi segera dilaksanakan.
Operasi ini berjalan lancar, tetapi nyawa Mbak Sekar tidak bisa diselamatkan. Karena setelah operasi ia tidak sadarkan diri. Mengetahui hal ini, aku merasa lemas tiada terkira. Tak lama kemudian kami melihat Zahra dan jenazah Mbak Sekar keluar dari ruang operasi. Jenazah Mbak Sekar dibawa ke ruang jenazah, sedangkan Zahra di bawa ke ruang rawat inap. Aku menemani Zahra yang sedang kacau perasaannya. Matanya masih dilapisi perban dan boleh dibuka seminggu kemudian. Hal ini mengakibatkan Aku dan Zahra harus tinggal di Jawa lebih lama lagi.
Seminggupun berlalu begitu cepat. Dan hari ini perban Zahra sudah bisa dilepas, itu berarti dia akan segera bisa melihat. Hari ini hujan turun sangat deras, aku meminta dokter untuk membuka perban Zahra setelah hujan mulai reda dan ketika Zahra pertama kali membuka matanya, aku ingin ia bisa melihat pelangi yang akan muncul di balik hujan.
Begitu hujan mulai reda, dokter dan aku membawa Zahra ke taman di belakang rumah sakit dan disana sudah mulai tampak warna-warni pelangi yang menghiasi langit biru. Dokter mulai membuka perban Zahra. Ketika Zahra perlahan membuka matanya, ia sungguh terkejut. Dan betapa bahagianya aku, Zahra langsung mengenaliku. Aku memeluk Zahra erat dan berkata,
“Ra, lihat di atas sana. Itulah pelangi yang pernah kuceritakan. Dan sekarang kita bisa melihatnya bersama.” Ucapku terharu. Aku tak kuasa menahan tangis karena haru. Dokter pun mengerti suasana haru bahagia di antara kami dan meninggalkan kami yang larut dalam bahagia.
Aku kembali menatap pelangi bersama Zahra dan berharap Mbak Sekar bahagia melihat kami di alam sana.


[1] Panggilan untuk anak perempuan. Semakna dengan panggilan “Nak”.
[2] Padmasana atau (Sanskerta: padmāsana) adalah sebuah tempat untuk bersembahyang dan menaruh sajian.
[3] Selamatan atau Tasyakuran
[4] Sebutan untuk seorang bapak yang lebih senior dari orantua, atau semakna dengan Paman.
[5] Bunuh diri

Sendang Gede Ngimbang

1 komentar:

  1. I kok itu bedebah sih? Yang di nilai moral nyai andong? Bedebah kan artinya sialan. Mungkin maksudnya gegabah kali ya haha

    Ika

    BalasHapus