Rabu, 23 April 2014

Cerpen



Sebuah Pilihan

Sudah lima belas tahun berlalu ruang sidang itu tidak banyak berubah, tata ruangnya masih seperti dulu. Meja, kursi, Sang Merah Putih, dan lambang Garuda  masih diletakkan persis seperti pertama kali Kartini Dewi kesini.  Tercium bau cat yang masih baru. Ruang dengan cat baru itu terlihat lebih gagah.

Di bagian tamu, di bangku panjang kayu jati yang masih kokoh, cat coklat tua yang belum memunculkan tanda-tanda bahwa dia akan meninggalkan tuannya, memudar, masih merekat setia di bangku itu. Duduklah Kartini Dewi sejak beberapa saat yang lalu.

Pengacara Publik itu duduk dengan santai. Binar bola matanya menyorotkan kebahagiaan. Beberapa saat kemudian, dia memejamkan matanya. Menenggelamkan pikirannya dalam kenangan masa lalu lima belas tahun silam.

Malam itu seperti malam-malam biasanya. Jalan Senja yang sejak pukul tujuh pagi ramai oleh kendaraan dan manusia yang berlalu lalang. Entah mengapa, setiap pukul sembilan malam jalan ini seperti sudah tidak ada peradaban. Hanya cahaya bulan dan lampu jalan yang menemani jalan itu. Jalan yang selalu merasa kesepian disetiap malamnya.

Kala itu, ada seorang pria yang sedang berjalan mengikuti seorang wanita. Gerak-geriknya mencurigakan. Pria itu menengok ke kanan dan ke kiri. Sorot matanya  seperti sedang memastikan tidak ada seorangpun yang melihatnya. Beberapa detik kemudian, pria itu berjalan cepat mendekati wanita tersebut. Pria itu mengeluarkan pisau dari saku jaketnya dan tiba-tiba pria itu menusuk punggung wanita tersebut. Wanita itu seketika jatuh terkapar bersimbah darah. Dan pria itupun langsung pergi meninggalkan wanita yang sudah tidak berdaya itu.

Berita itu cepat sekali menyebar. Keesokan harinya, wanita itu ditemukan tewas di tempat kejadian. Warga mulai berkumpul..
“Ini mayat pasti korban pembunuhan.”
“Mengerikan.”
“Malangnya nasib wanita ini.”

Polisi membawa mayat itu untuk dilakukan visum. Sebulan kemudian, polisi menemukan pelaku pembunuhan itu, Hanung namanya. Pelaku itu langsung diamankan.

13 Juli 201, ini hari pertama Kartini Dewi mulai bekerja sebagai pengacara publik. Dia sangat bersemangat. Kring.. kring.. tertera di layar handphonenya sebuah nama “Hadi”. Kartini langsung mengangkatnya.
“Hallo, selamat pagi pak ?”
“kamu bisa ke ruangan saya ?”
“Baik pak” jawab Kartini bersemangat. Pasti dia akan diberikan tugas pertamanya, pikirnya.

Benar saja pak Hadi memanggil dengan tujuan ingin memberikan sebuah berkas kasus yang harus Kartini tangani. Ketika Kartini membuka berkas kasus tersebut. Kartini tersentak kaget. Dia tidak menyangka bahwa kasus yang dia akan tangani adalah kasus pembunuhan yang dilakukan oleh sahabat masa kecilnya.
Kartini teringat suatu hari ketika berumur 9 tahun dia harus meninggalkan Jogja dan berpindah ke Jakarta. Hari itu Hanung dan Kartini sangat sedih, karena mereka akan saling berjauhan. Tentu, berpisah dengan sahabat yang selalu mewarnai hari-hari kita itu menyakitkan. Hari itu juga pertemuan terakhirnya dengan Hanung. Dan sekarang Kartini akan dipertemukan dalam kondisi seperti ini, di satu kota yang sama, Jakarta.
Kartini terdiam, tak tahu apa yang harus dilakukan. Kartini merasa kasihan terhadap Hanung. Anak itu pendiam tapi mengapa bisa melakukan hal senekad ini, pikirnya. Kartini berdebat dengan pikirannya sendiri.
“Apa yang harus aku lakukan ?”
“Tentu aku akan membantunya” pikir Kartini dengan yakin.
“Tapi.. akankah aku membantu untuk membebaskannya ?”
“Ahh ! itu terlalu sulit karena ada bukti yang kuat”
“Ataukah aku menyuruh Hanung untuk mengakui perbuatannya? mungkin dengan begitu dia akan mendapat keringanan hukuman”
“Tapi.. jika dia dijebloskan ke penjara, bagaimana nasib ibunya yang selama ini hanya hidup bergantung pada Hanung ?”
“Apakah aku harus mengeluarkan sisi kemanusiaan yang salah, menolong seseorang yang memang melakukan tindak kejahatan? atau aku harus mengungkapkan kejujuran ? yaa.. walau ini memang pahit”
“Ini pilihan yang sulit”
“Bodoh ! Aku sudah dewasa, aku tahu mana pilihan yang terbaik”
“Mengapa aku mempersulitnya ?.”
Kring.. kring.. handphone Kartini berbunyi, membangunkan Kartini dari kenangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar