Sebuah
Pilihan
Sudah lima belas tahun berlalu ruang
sidang itu tidak banyak berubah, tata ruangnya masih seperti dulu. Meja, kursi,
Sang Merah Putih, dan lambang Garuda
masih diletakkan persis seperti pertama kali Kartini Dewi kesini. Tercium bau cat yang masih baru. Ruang dengan
cat baru itu terlihat lebih gagah.
Di bagian tamu, di bangku panjang kayu
jati yang masih kokoh, cat coklat tua yang belum memunculkan tanda-tanda bahwa dia
akan meninggalkan tuannya, memudar, masih merekat setia di bangku itu. Duduklah
Kartini Dewi sejak beberapa saat yang lalu.
Pengacara Publik itu duduk dengan santai.
Binar bola matanya menyorotkan kebahagiaan. Beberapa saat kemudian, dia
memejamkan matanya. Menenggelamkan pikirannya dalam kenangan masa lalu lima
belas tahun silam.
Malam itu seperti malam-malam
biasanya. Jalan Senja yang sejak pukul tujuh pagi ramai oleh kendaraan dan manusia
yang berlalu lalang. Entah mengapa, setiap pukul sembilan malam jalan ini
seperti sudah tidak ada peradaban. Hanya cahaya bulan dan lampu jalan yang
menemani jalan itu. Jalan yang selalu merasa kesepian disetiap malamnya.
Kala itu, ada seorang pria yang
sedang berjalan mengikuti seorang wanita. Gerak-geriknya mencurigakan. Pria itu
menengok ke kanan dan ke kiri. Sorot matanya seperti sedang memastikan tidak ada seorangpun
yang melihatnya. Beberapa detik kemudian, pria itu berjalan cepat mendekati
wanita tersebut. Pria itu mengeluarkan pisau dari saku jaketnya dan tiba-tiba
pria itu menusuk punggung wanita tersebut. Wanita itu seketika jatuh terkapar
bersimbah darah. Dan pria itupun langsung pergi meninggalkan wanita yang sudah
tidak berdaya itu.
Berita itu cepat sekali menyebar. Keesokan
harinya, wanita itu ditemukan tewas di tempat kejadian. Warga mulai berkumpul..
“Ini mayat pasti korban pembunuhan.”
“Mengerikan.”
“Malangnya nasib wanita ini.”
Polisi membawa mayat itu untuk
dilakukan visum. Sebulan kemudian, polisi menemukan pelaku pembunuhan itu, Hanung
namanya. Pelaku itu langsung diamankan.
13 Juli 201, ini hari pertama Kartini
Dewi mulai bekerja sebagai pengacara publik. Dia sangat bersemangat. Kring..
kring.. tertera di layar handphonenya sebuah nama “Hadi”. Kartini langsung
mengangkatnya.
“Hallo, selamat pagi pak ?”
“kamu bisa ke ruangan saya ?”
“Baik pak” jawab Kartini bersemangat.
Pasti dia akan diberikan tugas pertamanya, pikirnya.
Benar saja pak Hadi memanggil dengan
tujuan ingin memberikan sebuah berkas kasus yang harus Kartini tangani. Ketika Kartini
membuka berkas kasus tersebut. Kartini tersentak kaget. Dia tidak menyangka
bahwa kasus yang dia akan tangani adalah kasus pembunuhan yang dilakukan oleh sahabat
masa kecilnya.
Kartini teringat suatu hari ketika berumur
9 tahun dia harus meninggalkan Jogja dan berpindah ke Jakarta. Hari itu Hanung dan
Kartini sangat sedih, karena mereka akan saling berjauhan. Tentu, berpisah dengan
sahabat yang selalu mewarnai hari-hari kita itu menyakitkan. Hari itu juga
pertemuan terakhirnya dengan Hanung. Dan sekarang Kartini akan dipertemukan
dalam kondisi seperti ini, di satu kota yang sama, Jakarta.
Kartini terdiam, tak tahu apa yang
harus dilakukan. Kartini merasa kasihan terhadap Hanung. Anak itu pendiam tapi
mengapa bisa melakukan hal senekad ini, pikirnya. Kartini berdebat dengan
pikirannya sendiri.
“Apa yang harus aku lakukan ?”
“Tentu aku akan membantunya” pikir Kartini
dengan yakin.
“Tapi.. akankah aku membantu untuk
membebaskannya ?”
“Ahh ! itu terlalu sulit karena ada
bukti yang kuat”
“Ataukah aku menyuruh Hanung untuk
mengakui perbuatannya? mungkin dengan begitu dia akan mendapat keringanan
hukuman”
“Tapi.. jika dia dijebloskan ke
penjara, bagaimana nasib ibunya yang selama ini hanya hidup bergantung pada Hanung
?”
“Apakah aku harus mengeluarkan sisi
kemanusiaan yang salah, menolong seseorang yang memang melakukan tindak
kejahatan? atau aku harus mengungkapkan kejujuran ? yaa.. walau ini memang pahit”
“Ini pilihan yang sulit”
“Bodoh ! Aku sudah dewasa, aku tahu mana
pilihan yang terbaik”
“Mengapa aku mempersulitnya ?.”
Kring.. kring.. handphone Kartini berbunyi,
membangunkan Kartini dari kenangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar