Api perapian meliuk-liuk semakin
kencang ketika angin malam menerobos di sela jendela kayu. Suara angin
mendesah-desah di luar, meriuhkan dedaunan dan ranting-ranting pohon. Gesekan
kayu dari rumah-rumah reot pun terdengar sampai seberang jalan, Desa itu terlihat
suram sejak satu jam yang lalu. Musim hujan akan segera tiba dan angin yang
menebar hawa dingin membuat orang-orang malas keluar untuk sekedar berbincang
seperti biasa.
Begitu pun yang aku lakukan, hanya membungkuk
khusyuk di meja belajar. Di bawah sinar lilin yang redup, tanganku
menggores-gores tinta di atas perkamen. Di samping masih ada tiga lembar
perkamen yang menunggu untuk aku kerjakan. Rumah malam itu begitu sepi, ibuku
berada di desa tetangga untuk bekerja, sementara ayah pergi ke hutan mencari
anggrek liar untuk dijual di kota. Aku berharap keduanya akan kembali besok.
Aku tak mau sendiri di musim buruk seperti ini, bukannya takut pada
bayang-bayang tak kasat mata, karena aku bukanlah anak penakut, tapi sendirian
dan kesepian bukanlah pilihan yang tepat, karena itu akan membuatku semakin
kedinginan.
Dalam kosentrasi penuh, Aku
terperanjat kaget nyaris melompat jatuh dari kursi ketika kakiku tersenggol
sesuatu yang geli. "Choco", desahku ketika melihat anak anjing
milikku mengosok-gosok kepala di kakiku yang membuat geli."Kau lapar? Apa
tadi aku lupa memberimu makan?" Aku beranjak ke sisi ruangan, membuka
lemari kayu pendek tempat aku menyimpan sepotong daging asap sisa, bahkan aku
sendiri lupa untuk makan, sementara tanganku sibuk mengiris membagi dua daging
itu.
Niat awalnya aku ingin makan bersama
dengan ibu atau ayah yang mungkin pulang malam ini. Mereka selalu membawa
sesuatu setiap pulang, dan daging asap ini bisa menjadi tambahan yang
mengenyangkan. Tapi sepertinya malam ini hanya ini yang aku punya. Aku meletakkan potongan yang lebih kecil di piring
lalu menaruhnya di dekat kaki Choco. Anjing kecil itu menyalak lemah.
“Hanya itu yang kita punya malam ini
Choco, Jangan protes!” aku mengartikan suara Choco sebagai protes atas makan
malamnya. Setelah menuangkan minum dari ketel yang baru ku angkat dari perapian
ke gelas, Aku baru saja akan memakan separo daging asap dan sepotong roti, ketika
pintu rumahku diketuk tak sabaran. Huh? Jam berapa ini?" Aku pun melongok,
menyeret kakiku mendekati pintu. Raungan angin semakin terdengar mengerikan
ketika aku membuka pintu. "Hai Haru!"
Seorang anak berwajah tampan tersenyum lebar di depan pintu memanggil namaku. Sama sekali tak peduli pada geram angin yang
mengibas-ibas liar mantel selututnya."Henry borinson?", "Tak perlu menyebut nama lengkapku
seperti kita tidak berteman baik saja."Henry menepuk bahuku keras lalu
masuk ke dalam tanpa diminta.
"Oh, maaf kalau aku mengganggu
acara makan malammu dan belajarmu," katanya setelah melihat sepiring
makanan yang belum tersentuh dan bergulung-gulung perkamen di seberang ruangan.
"Tak masalah," ucapku setengah hati. Perutku bergetar lapar saat
mataku melirik iri pada Choco yang masih mengunyah nikmat daging asapnya. "Aku kemari untuk meminta bantuanmu
sebenarnya." Aku kembali memandang Henry yang sedang berdiri mengoreksi
perkamennya. "Tapi ternyata kau sudah membuatnya ya. Apa aku boleh
menyalin pekerjaanmu?", "Oh ya, tentu" Aku hanya menggigit
bibir, Sadar betul siapa Henry.
Henry bukan anak biasa, seperti itulah
orang-orang menyebutnya. Dia anak kepala desa, orang terkaya di desa. Rumahnya
merupakan bangunan paling tinggi, Sepuluh kali lipat lebih besar dari gubuk
reot milikku. Aku memang tidak pernah menginjakkan kaki kesana, tapi mendengar
dari cerita ibuku yang pernah bekerja sebagai pelayan di rumahnya, keluarga
Henry memiliki semua hal yang Henry impikan. Kasur empuk terbaik, kamar mandi
termewah, lampu-lampu terang yang menggantung di langit-langit dan
berpiring-piring makanan terenak yang selalu tersaji di meja makan. Ibu
memamerkan semua itu tanpa merasa kasihan padaku yang menetes-netes air liur.
` Tapi pada akhirnya ibuku menambahkan,
"Apa kau ingin semua itu?","Tentu Bu!" jawabku,"Maka
kau harus menjadi anak pintar dan bekerja keras demi masa depanmu," balas
ibuku dengan senyum lembut. Aku hanya mengangguk kecil lalu balik bertanya,
"Apa ibu juga ingin?" Telapak tangan ibu yang hangat mengusap
kepalaku pelan sebelum kembali berujar, "Selama kau hidup bahagia dengan
penuh rasa syukur, itu adalah harta paling indah bagi ibu melebihi seisi rumah
megah itu”.
"Malam ini ayahku lembur di
balai desa, huh menyebalkan sekali." Suara Henry membangunkan lamunanku.
"Dan ibu belum pulang dari acara pestanya, aku kesepian," gerutunya. "Benarkah?" Dalam hatiku mencibir,
hal apa saja yang tidak bisa Henry lakukan di rumahnya? Bahkan ada
berpuluh-puluh pelayan yang siap sedia menyanggupi keinginannya. Sungguh berbeda
dengan nasibku sendiri, tapi tuan muda Henry ini mengeluh di depan mukaku yang
tidak punya apa-apa. Apa dia sedang menghinaku? Aku mendadak memasang wajah
keruh."Ya ampun, ini banyak sekali. Tanganku pegal. Apa kau bisa
membantuku Haru?" Henry mendongak dari meja belajarnya. Memandangku dengan
mata bulat merajuk. "Baiklah." Aku terpaksa melanjutkan tulisan Henry
yang belum setengah halaman. “Keterlaluan,” geramku dalam hati.
Jam seakan berputar alot ketika Henry
melanjutkan keluhannya. Tentang protesnya pada cat dinding kamarnya yang baru.
Ceritanya pun menyebar ke masalah teman-temannya di sekolah yang hanya memanfaatkan kekayaannya sampai pada cinta bertepuk sebelah
tangannya dengan teman satu kelasnya. Aku tidak menyela. Hanya sesekali
menyahut singkat "Begitukah?" "Oh." ,"Aku turut
prihatin”. "Wah, sudah tengah
malam." Henry melempar pandang ke jendela ketika sayup-sayup di luar sana
terdengar dentang jam raksasa yang berdiri di tengah-tengah desa. Suaranya
menyebar ke seluruh penjuru. "Yeah," sahutku dengan raut wajah kesal.
Harusnya kau pulang sekarang, tapi ternyata Henry tidak melihat wajahku."Aku
keluar sebentar." Henry beranjak meninggalkanku yang masih sibuk
mengerjakan contekannya."Tinggal lima baris lagi," desahku
menenangkan diriku sendiri.
Tepat ketika aku berhasil menambah
huruf terakhir di perkamen itu dan bernapas lega, pintuku di ketuk-ketuk.
Membuatku menggerutu, "Kenapa tidak masuk saja”, Dan benar Henry borinson
yang mengetuk pintu untuk kedua kalinya. Masih dengan senyum lebar.
"Selamat ulang tahun Haru!", seketika aku membeku, berganti memandang
wajah Henry lalu turun tepat ke kedua tangannya yang menenteng sepiring besar
kalkun panggang. Itu adalah kalkun terbesar yang pernah aku temui. Sekitar lima
orang berdiri di belakang Henry, masing-masing membawa sepiring makanan yang
membuat mataku semakin membulat kagum. "Apa kau mau membiarkan tanganku
semakin pegal memegang ini", "Oh─oh maaf", sahutku parau. Aku
pun mundur memberi jalan pada Henry dan pelayan-pelayannya.
Sambil memperhatikan mereka menata
piring-piring itu di meja makan yang kecil, aku
akhirnya berbicara, "Apa ucapan ulang tahun ini juga termasuk
sogokanmu atas salinan tugas-tugas itu? “Tawa Henry meledak terbahak-bahak.
"Bukan-bukan. Sungguh, aku memberikan ini karena kau adalah teman baikku.
Terima kasih sudah mau mendengar semua ceritaku dari dulu sampai sekarang Haru,
jujur saja aku malu padamu. Kau tidak pernah mengeluh sedikit pun”. Aku pun
mengulum senyum kemudian memandangnya dengan penuh haru. "Terima kasih",
Lalu tersadar bahwa semua yang Henry miliki tidak pernah bisa mengobati rasa
sepi anak itu. Henry kesepian dan dia butuh teman, aku pun berpikir bahwa harta
bukanlah segalanya, aku bersyukur atas keadaan yang aku jalani sekarang dan
akan selalu menjadi teman terbaik bagi Henry.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar