Selasa, 22 April 2014

Cerita Pendek : "Si Pengganggu Malam"


            Api perapian meliuk-liuk semakin kencang ketika angin malam menerobos di sela jendela kayu. Suara angin mendesah-desah di luar, meriuhkan dedaunan dan ranting-ranting pohon. Gesekan kayu dari rumah-rumah reot pun terdengar sampai seberang jalan, Desa itu terlihat suram sejak satu jam yang lalu. Musim hujan akan segera tiba dan angin yang menebar hawa dingin membuat orang-orang malas keluar untuk sekedar berbincang seperti biasa.
             Begitu pun yang aku lakukan, hanya membungkuk khusyuk di meja belajar. Di bawah sinar lilin yang redup, tanganku menggores-gores tinta di atas perkamen. Di samping masih ada tiga lembar perkamen yang menunggu untuk aku kerjakan. Rumah malam itu begitu sepi, ibuku berada di desa tetangga untuk bekerja, sementara ayah pergi ke hutan mencari anggrek liar untuk dijual di kota. Aku berharap keduanya akan kembali besok. Aku tak mau sendiri di musim buruk seperti ini, bukannya takut pada bayang-bayang tak kasat mata, karena aku bukanlah anak penakut, tapi sendirian dan kesepian bukanlah pilihan yang tepat, karena itu akan membuatku semakin kedinginan.
            Dalam kosentrasi penuh, Aku terperanjat kaget nyaris melompat jatuh dari kursi ketika kakiku tersenggol sesuatu yang geli. "Choco", desahku ketika melihat anak anjing milikku mengosok-gosok kepala di kakiku yang membuat geli."Kau lapar? Apa tadi aku lupa memberimu makan?" Aku beranjak ke sisi ruangan, membuka lemari kayu pendek tempat aku menyimpan sepotong daging asap sisa, bahkan aku sendiri lupa untuk makan, sementara tanganku sibuk mengiris membagi dua daging itu.
            Niat awalnya aku ingin makan bersama dengan ibu atau ayah yang mungkin pulang malam ini. Mereka selalu membawa sesuatu setiap pulang, dan daging asap ini bisa menjadi tambahan yang mengenyangkan. Tapi sepertinya malam ini hanya ini yang aku punya. Aku  meletakkan potongan yang lebih kecil di piring lalu menaruhnya di dekat kaki Choco. Anjing kecil itu menyalak lemah.
            “Hanya itu yang kita punya malam ini Choco, Jangan protes!” aku mengartikan suara Choco sebagai protes atas makan malamnya. Setelah menuangkan minum dari ketel yang baru ku angkat dari perapian ke gelas, Aku baru saja akan memakan separo daging asap dan sepotong roti, ketika pintu rumahku diketuk tak sabaran. Huh? Jam berapa ini?" Aku pun melongok, menyeret kakiku mendekati pintu. Raungan angin semakin terdengar mengerikan ketika aku membuka pintu.  "Hai Haru!" Seorang anak berwajah tampan tersenyum lebar di depan pintu memanggil namaku.  Sama sekali tak peduli pada geram angin yang mengibas-ibas liar mantel selututnya."Henry borinson?", "Tak perlu menyebut nama lengkapku seperti kita tidak berteman baik saja."Henry menepuk bahuku keras lalu masuk ke dalam tanpa diminta.
            "Oh, maaf kalau aku mengganggu acara makan malammu dan belajarmu," katanya setelah melihat sepiring makanan yang belum tersentuh dan bergulung-gulung perkamen di seberang ruangan. "Tak masalah," ucapku setengah hati. Perutku bergetar lapar saat mataku melirik iri pada Choco yang masih mengunyah nikmat daging asapnya.  "Aku kemari untuk meminta bantuanmu sebenarnya." Aku kembali memandang Henry yang sedang berdiri mengoreksi perkamennya. "Tapi ternyata kau sudah membuatnya ya. Apa aku boleh menyalin pekerjaanmu?", "Oh ya, tentu" Aku hanya menggigit bibir, Sadar betul siapa Henry.
             Henry bukan anak biasa, seperti itulah orang-orang menyebutnya. Dia anak kepala desa, orang terkaya di desa. Rumahnya merupakan bangunan paling tinggi, Sepuluh kali lipat lebih besar dari gubuk reot milikku. Aku memang tidak pernah menginjakkan kaki kesana, tapi mendengar dari cerita ibuku yang pernah bekerja sebagai pelayan di rumahnya, keluarga Henry memiliki semua hal yang Henry impikan. Kasur empuk terbaik, kamar mandi termewah, lampu-lampu terang yang menggantung di langit-langit dan berpiring-piring makanan terenak yang selalu tersaji di meja makan. Ibu memamerkan semua itu tanpa merasa kasihan padaku yang menetes-netes air liur.
`           Tapi pada akhirnya ibuku menambahkan, "Apa kau ingin semua itu?","Tentu Bu!" jawabku,"Maka kau harus menjadi anak pintar dan bekerja keras demi masa depanmu," balas ibuku dengan senyum lembut. Aku hanya mengangguk kecil lalu balik bertanya, "Apa ibu juga ingin?" Telapak tangan ibu yang hangat mengusap kepalaku pelan sebelum kembali berujar, "Selama kau hidup bahagia dengan penuh rasa syukur, itu adalah harta paling indah bagi ibu melebihi seisi rumah megah itu”.
            "Malam ini ayahku lembur di balai desa, huh menyebalkan sekali." Suara Henry membangunkan lamunanku. "Dan ibu belum pulang dari acara pestanya, aku kesepian," gerutunya.  "Benarkah?" Dalam hatiku mencibir, hal apa saja yang tidak bisa Henry lakukan di rumahnya? Bahkan ada berpuluh-puluh pelayan yang siap sedia menyanggupi keinginannya. Sungguh berbeda dengan nasibku sendiri, tapi tuan muda Henry ini mengeluh di depan mukaku yang tidak punya apa-apa. Apa dia sedang menghinaku? Aku mendadak memasang wajah keruh."Ya ampun, ini banyak sekali. Tanganku pegal. Apa kau bisa membantuku Haru?" Henry mendongak dari meja belajarnya. Memandangku dengan mata bulat merajuk. "Baiklah." Aku terpaksa melanjutkan tulisan Henry yang belum setengah halaman. “Keterlaluan,” geramku dalam hati.
             Jam seakan berputar alot ketika Henry melanjutkan keluhannya. Tentang protesnya pada cat dinding kamarnya yang baru. Ceritanya pun menyebar ke masalah teman-temannya di sekolah yang hanya memanfaatkan kekayaannya sampai pada cinta bertepuk sebelah tangannya dengan teman satu kelasnya. Aku tidak menyela. Hanya sesekali menyahut singkat "Begitukah?" "Oh." ,"Aku turut prihatin”.  "Wah, sudah tengah malam." Henry melempar pandang ke jendela ketika sayup-sayup di luar sana terdengar dentang jam raksasa yang berdiri di tengah-tengah desa. Suaranya menyebar ke seluruh penjuru. "Yeah," sahutku dengan raut wajah kesal. Harusnya kau pulang sekarang, tapi ternyata Henry tidak melihat wajahku."Aku keluar sebentar." Henry beranjak meninggalkanku yang masih sibuk mengerjakan contekannya."Tinggal lima baris lagi," desahku menenangkan diriku sendiri.
            Tepat ketika aku berhasil menambah huruf terakhir di perkamen itu dan bernapas lega, pintuku di ketuk-ketuk. Membuatku menggerutu, "Kenapa tidak masuk saja”, Dan benar Henry borinson yang mengetuk pintu untuk kedua kalinya. Masih dengan senyum lebar. "Selamat ulang tahun Haru!", seketika aku membeku, berganti memandang wajah Henry lalu turun tepat ke kedua tangannya yang menenteng sepiring besar kalkun panggang. Itu adalah kalkun terbesar yang pernah aku temui. Sekitar lima orang berdiri di belakang Henry, masing-masing membawa sepiring makanan yang membuat mataku semakin membulat kagum. "Apa kau mau membiarkan tanganku semakin pegal memegang ini", "Oh─oh maaf", sahutku parau. Aku pun mundur memberi jalan pada Henry dan pelayan-pelayannya.
          Sambil memperhatikan mereka menata piring-piring itu di meja makan yang kecil, aku  akhirnya berbicara, "Apa ucapan ulang tahun ini juga termasuk sogokanmu atas salinan tugas-tugas itu? “Tawa Henry meledak terbahak-bahak. "Bukan-bukan. Sungguh, aku memberikan ini karena kau adalah teman baikku. Terima kasih sudah mau mendengar semua ceritaku dari dulu sampai sekarang Haru, jujur saja aku malu padamu. Kau tidak pernah mengeluh sedikit pun”. Aku pun mengulum senyum kemudian memandangnya dengan penuh haru. "Terima kasih", Lalu tersadar bahwa semua yang Henry miliki tidak pernah bisa mengobati rasa sepi anak itu. Henry kesepian dan dia butuh teman, aku pun berpikir bahwa harta bukanlah segalanya, aku bersyukur atas keadaan yang aku jalani sekarang dan akan selalu menjadi teman terbaik bagi Henry.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar