Sabtu, 19 April 2014

cerpen dengan tema kemanusiaan

Donor Darah Pertamaku
Pukul 9.30 aku sudah berada di kampus. Matahari yang mulai naik dan terasa sedikit panas segera mengusir rasa kantuk dan malasku. Hari ini adalah Hari kamis, hari di mana aku dan teman-teman kelasku libur karena tidak ada jam kuliah pada hari ini. Tetapi tugas-tugas kelompok yang diberikan dosen yang mengharuskan aku untuk berada di sini dan sekaligus menghapus jam tidur pagiku setelah salat subuh. Aku bergegas langsung menuju perpustakaan FSH di lantai 2, tetapi tidak ada satupun teman kelompokku yang berada di sana. Sepertinya teman-teman kelompokku yang lain masih berada di tempat tidurnya mengingat hari ini adalah hari libur bagi mereka.
Sambil menunggu teman-teman kelompokku datang, aku langsung menuju  Kafe Cangkir untuk membeli cemilan, tetapi niat itu gagal karena terlihat di depan Kafe Cangkir ada sebuah mobil donor darah dari PMI yang sudah stand by dan sudah dipenuhi antrian calon pendonor. Terbesit niatku untuk mencoba dan memberanikan diri untuk mendonor darah. Lalu aku segera mendaftarkan diri sebagai calon pendonor dengan mengisi sebuah formulir pedaftaran dan tes kesehatan sekaligus golongan darah. Dan alhamdulillah aku dinyatakan sehat dan layak untuk menjadi pendonor. Ini adalah kali pertama aku mendonorkan darah karena aku sering mencobanya tetapi selalu tidak lolos tes karena HB-ku selalu rendah.
Setelah sekitar 15 menit menunggu akhirnya namaku dipanggil untuk segera masuk ke dalam mobil donor darah. Di dalam mobil ini ada dua orang petugas dan dua orang mahasiswa yang sedang diambil darahnya. Aku langsung menduduki satu-satunya bangku yang kosong di kursi pendonor. Tegang dan takut sekali rasanya. Petugas yang mengambil darahku ternyata seorang laki-laki, sepertinya ia cukup berpengalaman. Kugulung lengan bajuku sampai sebatas siku. “Jangan tegang ya mbak," kata si petugas. Tapi tetap saja aku masih tegang, setelah tanganku dipasang alat ukur tekanan darah, mulailah si petugas mengeluarkan kantong tempat darah sekaligus jarum suntiknya. “Ambil nafas panjang," kata si petugas ketika ingin memasukkan jarum suntiknya ke tanganku. “Sakitnya kayak digigit semut kan? tapi semutnya segerombolan hehe.” Guyonan si petugas. Dan ternyata memang rasanya sakit seperti digigit banyak semut. Darah langsung mengalir ke kantong darah yang disediakan. Sekitar lima belas menit berlalu mulailah rasa pusing dan mual melandaku, mataku mulai tidak fokus dan buram, keringat bercucuran ditubuhku padahal mobil ini dilengkapi dengan pendingin ruangan dengan suhu yang cukup dingin. “Waduh mukanya pucat nih, kayaknya yang ini sudah mulai gak kuat," ujar si petugas yang mengambil darahku kepada petugas yang satunya. Rasa mual yang aku rasakan semakin menjadi sampai menimbulkan suara seperti ingin muntah. Si petugas panik sambil mencari-cari plastik yang kosong untuk berjaga-jaga takut aku mengeluarkan muntahan. “Masih kuat kan? sabar ya sebentar lagi," ujar si petugas sambil mengecek kantong darahku yang sudah hampir penuh. “Ambil nafas, keluarkan,” ujar petugas yang satunya lagi. Aku sebisa mungkin bertahan sambil melakukan instruksi dari si petugas. Tak lama kemudian, aku sudah tidak kuat akan rasa pusing dan mualnya lalu aku meminta untuk segera menyudahinya. Lalu petugas itu segera mencabut jarum suntiknya dan terlepaslah sudah gigitan segerombolan semut itu di tanganku. “Untung sudah penuh, kalau tidak darahnya terbuang sia-sia nih hehe," ujar si petugas sambil mengecek kantong darahku. “Tiduran disini dulu ya sampai pusing dan mualnya hilang. Kamu baru pertama kali ya?” Ujar si petugas yang satunya lagi. Lalu aku mengangguk dan tersenyum. “Biasanya kalau baru pertama kali donor memang begitu kok, jangan kapok ya.”
Setelah pusing dan mualnya sudah hampir hilang lalu aku segera meninggalkan mobil itu karena antrean di luar masih panjang. Tak lupa kedua petugas itu mengucapkan terimakasih dan  memberikanku sebuah bingkisan dan kartu donor.  Ini toh rasanya donor darah. Rasa syukur yang teramat sangat terucap padaku karena aku telah berhasil melewati rasa takut ini, walau sebenarnya tanganku masih terasa kemeng hingga saat ini. Pada hari itu aku berjanji dalam hati, aku tidak akan kapok untuk mendonor darah lagi karena setetes darah kita begitu berarti untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Insya Allah niat baik akan selalu dimudahkan oleh Allah SWT. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar