Rabu, 23 April 2014


Malaikat Kecil di Sisi Kota
Pagi yang cerah, matahari terbit di ufuk timur dan sinar merah mudanya menyinari alam. Di rumah kardus yang ada di kolong jembatan jalan tol inilah aku dan adikku tinggal. Aku terbangun dari tidur bergegas mempersiapkan pekerjaan yang kulakukan setiap harinya. Kulihat Rayhan masih terlelap. Kutinggalkan secarik kertas untuknya yang bertuliskan ‘Aku pergi dulu ya dek, kamu jangan kemana-mana, tunggu aku sampai pulang’.
Kulangkahkan kakiku menyusuri jalanan ibu kota yang ramai. Semangat yang besar selalu kuteguhkan dalam hati. Aku pun pergi dengan membawa gitar kesayanganku mencoba peruntungan dari bus satu ke bus yang lain. Aku mulai memainkan gitar dan bernyayi...

Dan demi nafas
Yang telah kau hembuskan
Dalam kehidupanku
Kuberjanji
Kuakan menjadi yang terbaik
Jalankan segala perintah-Mu
Menjauh di segala larangan-Mu
Adalah sebaris doaku untuk-Mu

Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 4 sore, aku memilih beristirahat di sebuah halte dan kutaruh gitar kecilku di samping kursi yang kududuki. Kuhitung receh demi receh yang berhasil kukumpulkan, berharap cukup untuk membeli sebungkus nasi dan segelas air minum untuk mengisi perutku dan Rayhan yang sedari pagi belum tersentuh makanan.
Setelah membeli makanan, aku segera pulang dan memakan nasi bungkus tadi dengan Rayhan. Tiga tahun yang lalu, orang tua kami memiliki sebuah perusahaan besar, tapi karena ditipu habis-habisan oleh seorang investor nakal, maka raiblah semua harta benda kami. Tak ada sepeserpun uang yang bisa kami genggam. Dan satu tahun yang lalu, Ayah meninggal. Disusul dengan Ibu yang berangkat untuk mengadu nasib di luar negeri sebagai TKW. Meninggalkan kami berdua. Tapi sampai saat inipun tak ada kabar akan kembalinya Ibu. Sempat ada kabar angin bahwa Ibu sudah meninggal. Tapi entahlah, kebenarannya sampai saat ini belum kuketahui.
Setelah menghabiskan makanan ini ditemani deru kendaraan bermotor dan asap-asap mengepul dari kenalpot, kami bergegas tidur beralaskan sebuah kain lusuh dan sobek di sana-sini termakan usia. Keesokan paginya, kami terbangun karena tetes-tetes dingin air hujan yang mulai membahasi kulit. Namun hal itu tak menyurutkan semangat kami untuk tetap mencari walau hanya sekedar recehan untuk bertahan hidup. Dan sampailah aku di sebuah bus yang penuh sesak, aku melihat beberapa murid kelas 3 SMP sebayaku membaca buku dengan asyiknya. Miris rasanya, melihat anak seusiaku dapat melanjutkan mengenyam pendidikan dan berbagi ilmu pengetahuan untuk masa depannya kelak. Tapi apa daya, untuk biaya makan saja kami masih kesulitan, apalagi ditambah untuk biaya sekolah. Adikku pun begitu, ia putus sekolah sejak berada di kelas 4 SD. Aku menghela nafas pasrah pada sang Ilahi.
*****
Setelah turun dari bus, dua orang preman berwajah garang menghampiriku.
“Heh anak kecil...!” Bentaknya sambil menunjuk kantungan plastik tempatku mengumpulkan recehan. “Sini!”
“Ta.. tapi, ini uang makan hari ini...” Ucapku takut.
“Heh! Mana peduli! Biar uang makan, sekolah atau apalah! Sini...!” Bentaknya dan merampas hasil jerih payahku pagi ini lalu meninggalkanku sendirian di tengah keramaian kota Jakarta yang penuh sesak ini.
Mungkin banyak orang yang melihat kejadian tadi, namun mereka menganggapnya seakan tak terjadi apapun. Ya, mungkin itu sudah menjadi sifat dasar mereka yang acuh dan sombong.
Aku kembali berusaha mencari recehan demi recehan yang bisa kukumpulkan sampai sore ini. Tapi nihil, aku hanya mendapat beberapa ratus rupiah yang tak mungkin cukup untuk segelas air dan sebungkus nasi. Kutatap wajah lesu adikku yang kelelahan dan kelaparan. Kulihat kantung plastiknya. Sama, namun terlihat lebih parah dari hasil yang kudapat. Beberapa saat kemudian dia terbangun.
“Kak Rio...” Ucapnya dengan suara parau dan wajah penuh harap.
“Maaf ya, mungkin kita bisa makan besok.” Jawabku sambil tersenyum getir dan membelai rambutnya.
Aku tertidur di sebelahnya sambil menahan rasa sakit di perutku karena kelaparan.
Aku berkelana di alam mimpi, entah sudah berapa lama aku tertidur. Saat aku terbangun kutatap wajah polos Rayhan, wajahnya tampak begitu kotor dan kelelahan. Aku merasa bersalah padanya karena telah menyiksa fisik dan batinnya, dan akupun seraya memohon kepada Yang Maha Kuasa agar kami diberi ketabahan untuk dapat tetap melanjutkan hidup.
Kuambil gitarku dan melakukan rutinitasku sebagai pengamen, satu-satunya pekerjaan yang seharusnya tidak dilakukan oleh anak seusiaku. Usia yang seharusnya menikmati masa bermain dan belajarnya. Ah sudahlah, tak ada gunanya aku mengeluh saat ini. Pernah aku menyalahkan takdir, namun apa daya. Tak ada hasil. Yang ada hanya penyesalan dan air mata yang kudapat. Yang bisa kulakukan saat ini hanya membuang jauh-jauh pikiran masa lalu itu yang kini hanya menjadi angan-angan belaka dan terus mengumpulkan beberapa kepingan uang logam untuk menyambung hidup. Sempat terlintas di benakku.
“Sampai kapankah kehidupanku akan seperti ini? Akankah ini berakhir? Apakah ini serupa menguras air laut yang tiada habisnya? Yang terus berlanjut hingga akhir hayat? Apakah kehidupanku memang ditakdirkan seperti ini? Layaknya benang kusut yang tidak akan pernah lurus seperti sediakala?” Entahlah, kuserahkan takdirku pada Tuhan mungkin itu lebih baik.
Hari-hari kulewati hanya bersama dengan adikku seorang, tanpa sosok ibu yang mengasuh kami. Sampai pada akhirnya, preman-preman yang biasa memalaki hasil jerih payah kami di jalan raya memukuli punggungku dengan kasarnya hingga mengeluarkan cairan merah kental karena aku menolak memberikan uangku padanya, lalu mereka meninggalkan kami sendiri di tengah hiruk pikuk kendaraan yang berlalu-lalang. Kusentuh perlahan punggungku “Aw...,” keluhku lirih. Rayhan menatapku dengan gurat wajah cemas seolah mengisyaratkan ‘Kakak tidak apa-apakan?’ atau mungkin ‘Kakak baik-baik saja kan?’
Tatapan yang hanya kubalas dengan senyuman hambar dengan wajah pucat pasi menahan rasa sakit di punggung ini yang seakan berisyarat ‘Aku tidak apa-apa’ yang mungkin sebenarnya berarti ‘Tentu aku tak baik-baik saja...’
Aku mengajaknya untuk terlelap dan tidak memikirkan sakit yang kuderita.
Kutatap langit dengan pikiran berkecamuk, sebuah senyum tipis tersungging di sudut bibir ini disertai air mata yang tiba-tiba nampak menerobos keluar dari mata mungil ini. Skema adegan 3 tahun yang lalu mulai nampak lagi, sekan terputar ulang secara otomatis.
Saat itu, aku dan teman kelasku mengadakan pensi perpisahan kelas. Yang pada saat itu pula kenangan bersama teman-teman terukir kembali, kejadian-kejadian konyolku di masa Sekolah Dasar, penuh canda tawa tanpa pernah terpikirkan hari itu akan terjadi. Kejadian-kejadian menjahili teman saat ulang tahun, dimarahi dan dihukum guru, cinta monyet, bermain game hingga larut malam hingga kejadian yang tak penting yang bahkan aku tak tahu kenapa itu semua bisa teringat kembali. Jauh kuberkelana di memori masa SDku dulu sembari menghapus air mata yang terus-menerus mengalir deras. Setidaknya itu bisa melupakan sejenak rasa sakit di punggung ini, lama kelamaan akupun tertidur pulas. Sampai akhirnya aku terbangun saat semburat langit senja sudah menghiasi langit, semburat acak-acakan yang bisa menghasilkan lukisan indah yang tiada tandingnya. Mungkin aku terlalu lama tertidur karena rasa sakit yang begitu menyiksa ini.
Kulihat dari ujung jalan Rayhan berjalan sambil menenteng sekantung plastik berisi nasi bungkus dan air minum. Kutatap iba kepadanya, membayangkan ia bersusah payah hari ini. Sempat aku menolak memakannya karena aku tidak ikut membantunya untuk mencari makanan ini, tapi ia tetap bersikeras memaksaku dengan mengatakan, “Kakak harus memakannya, tak peduli siapaun yang bekerja keras, jika hari ini aku bertahan hidup sedangkan kakak tidak, itu tak akan ada gunanya. Apapun yang terjadi, kita harus bisa bertahan hidup hingga hari itu datang. Hari dimana kita benar-benar ditakdirkan untuk mati...” Ucapnya.
Dalam hati aku bersyukur telah diberikan sosok adik yang penuh pengertian dan bisa menerima apapun yang terjadi, apapun keadaan kami.
Besok adalah hari ulang tahunku yang ke-14, aku mengetahui tanggal itu dari kalender yang kupungut di tempat sampah awal tahun lalu. Di hari esok, yang aku inginkan bukanlah sebuah kue tart berukuran jumbo ataupun setumpuk kado dari teman-teman. Tapi, sosok ibu yang memelukku penuh kasih dan membawa keluar aku dan Rayhan dari kejamnya kehidupan ini, menuju kehidupan lain yang lebih baik.
Setidaknya itulah harapanku di tahun ini. Hari ini, tepatnya sore ini. Entah karena apa, kami tak mendapatkan sepeserpun uang, bahkan recehpun tidak. Sambil menahan gejolak rasa lapar yang meronta-ronta, Rayhan mengajakku untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa untuk mengganjal perut hingga hari ini berlalu. Rayhan menatap penuh harap di hadapan segunung sampah, berharap kami menemukan sepotong roti di tempat pembuangan sampah yang teramat kumuh ini. Tapi tak rugi juga, selama satu jam kami mencari, bersusah payah membongkar sampah-sampah menjijikan dan berbau tak sedap ini, aku mendapati sepotong roti yang nampak berjamur dikulitnya. Kukupas bagian berjamur itu dan memakannya dengan Rayhan. Biarlah. Asalkan kami bisa makan hari ini.
Keesokan harinya, aku dan Rayhan seperti biasa mengadu nasib di jalanan. Sebenarnya, aku sudah melarang Rayhan untuk ikut bersamaku. Tetapi dia memaksa, dia merasa kesepian jika harus di rumah sendiri. Serba salah. Aku tidak ingin Rayhan ikut merasakan jadi pengamen jalanan sepertiku, tapi di sisi lain aku juga tidak tega kalau terus meninggalkannya sendiri.
Waktu itu, bus dalam keadaan penuh sesak. Sampai-sampai aku dan Rayhan kesulitan untuk keluar dari bus. Ketika kami sedang berusaha melewati orang-orang yang berdiri berdesakan, aku tidak sengaja menginjak sesuatu. Ternyata benda itu adalah sebuah dompet. Karena aku iba dengan Rayhan yang daritadi mengeluh kesakitan karena kakinya terinjak, maka aku memutuskan untuk segera turun dari bus dengan membawa dompet tersebut.Karena penasaran, aku membuka dompet itu dan ternyata isinya adalah 7 lembar uang seratus ribuan, KTP, STNK, SIM, dan beberapa kartu. Sempat terlintas dipikiranku, dengan uang sebanyak itu aku dan Rayhan tidak perlu lagi mengais makanan di tempat sampah seperti kemarin. Kami sangat membutuhkan uang itu. Terjadi pergulatan di batinku untuk mengambil uang tersebut atau menyerahkannya ke pihak berwajib.
“Kak... Kata Ibu, kita tidak boleh mengambil sesuatu yang bukan milik kita. Benar kan kak?” Rayhan membuyarkan lamunanku.
Hatiku terasa seperti teriris mendengar Rayhan berkata demikian. Aku merasa malu, malu pada diriku sendiri yang sempat berpikir ingin mengambil uang tersebut.
“Iya... Kamu benar Ray. Sekarang sebaiknya kita pergi ke kantor polisi terdekat, kasihan yang punya dompet ini. Dompet ini pasti sangat penting.” Kataku membenarkan perkataan Rayhan.
Setelah hari itu berakhir, kami kembali bekerja keras seorang diri. Tanpa belaian kasih sayang. Tak jarang pula orang memandang kami dengan jijik dan enggan memberikan bantuan kepada kami. Namun di dunia ini beruntung masih saja ada orang yang beretika dan berhati baik berkeliaran di sekitar kami. Seperti ada yang mau dan tidak malu untuk memberikan sekotak nasi, ataupun sebotol susu kepada kami. Tapi sejak hari itu aku bertekad, aku takkan pernah berhenti berjuang menghadapi lika-liku kehidupan ini, setidaknya untuk saat ini, berharap hari esok aku dan Rayhan tetap bisa melanjutkan hidup. Dan kuharap suatu saat nanti, sosok ibu yang selama ini kurindukan kehadirannya akan datang dalam keadaan hidup dan mampu. Mampu dalam artian yang luas, misalnya mampu menyekolahkan kami, memberi makan, pakaian, tempat tinggal dan kehidupan yang layak. Dan juga aku percaya, tidak ada satupun di dunia ini, yang bisa didapat dengan mudah. Kerja keras dan doa adalah cara untuk mempermudahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar