Malaikat
Kecil di Sisi Kota
Pagi yang cerah, matahari terbit di ufuk timur
dan sinar merah mudanya menyinari alam. Di rumah kardus yang ada di kolong
jembatan jalan tol inilah aku dan adikku tinggal. Aku terbangun dari tidur bergegas
mempersiapkan pekerjaan yang kulakukan setiap harinya. Kulihat Rayhan masih
terlelap. Kutinggalkan secarik kertas untuknya yang bertuliskan ‘Aku pergi dulu
ya dek, kamu jangan kemana-mana, tunggu aku sampai pulang’.
Kulangkahkan kakiku menyusuri jalanan ibu kota
yang ramai. Semangat yang besar selalu kuteguhkan dalam hati. Aku pun pergi
dengan membawa gitar kesayanganku mencoba peruntungan dari bus satu ke bus yang
lain. Aku mulai memainkan gitar dan bernyayi...
Dan demi
nafas
Yang telah
kau hembuskan
Dalam
kehidupanku
Kuberjanji
Kuakan
menjadi yang terbaik
Jalankan
segala perintah-Mu
Menjauh di
segala larangan-Mu
Adalah
sebaris doaku untuk-Mu
Tak terasa waktu sudah menunjukkan jam 4 sore,
aku memilih beristirahat di sebuah halte dan kutaruh gitar kecilku di samping
kursi yang kududuki. Kuhitung receh demi receh yang berhasil kukumpulkan,
berharap cukup untuk membeli sebungkus nasi dan segelas
air minum untuk mengisi perutku dan Rayhan yang sedari pagi belum tersentuh
makanan.
Setelah membeli makanan, aku segera pulang dan
memakan nasi bungkus tadi dengan Rayhan. Tiga tahun yang lalu, orang tua kami
memiliki sebuah perusahaan besar, tapi karena ditipu habis-habisan oleh seorang
investor nakal, maka raiblah semua harta benda kami. Tak ada sepeserpun uang
yang bisa kami genggam. Dan satu tahun yang lalu, Ayah meninggal. Disusul
dengan Ibu yang berangkat untuk mengadu nasib di luar negeri sebagai TKW.
Meninggalkan kami berdua. Tapi sampai saat inipun tak ada kabar akan kembalinya
Ibu. Sempat ada kabar angin bahwa Ibu sudah meninggal. Tapi entahlah, kebenarannya
sampai saat ini belum kuketahui.
Setelah menghabiskan makanan ini ditemani deru
kendaraan bermotor dan asap-asap mengepul dari kenalpot, kami bergegas tidur
beralaskan sebuah kain lusuh dan sobek di sana-sini termakan usia. Keesokan
paginya, kami terbangun karena tetes-tetes dingin air hujan yang mulai
membahasi kulit. Namun hal itu tak menyurutkan semangat kami untuk tetap
mencari walau hanya sekedar recehan untuk bertahan hidup. Dan sampailah aku di
sebuah bus yang penuh sesak, aku melihat beberapa murid kelas 3 SMP sebayaku
membaca buku dengan asyiknya. Miris rasanya, melihat anak seusiaku dapat melanjutkan
mengenyam pendidikan dan berbagi ilmu pengetahuan untuk masa depannya kelak.
Tapi apa daya, untuk biaya makan saja kami masih kesulitan, apalagi ditambah
untuk biaya sekolah. Adikku pun begitu, ia putus sekolah sejak berada di kelas
4 SD. Aku menghela nafas pasrah pada sang Ilahi.
*****
Setelah turun dari bus, dua orang preman
berwajah garang menghampiriku.
“Heh anak kecil...!” Bentaknya sambil menunjuk
kantungan plastik tempatku mengumpulkan recehan. “Sini!”
“Ta.. tapi, ini uang makan hari ini...” Ucapku
takut.
“Heh! Mana peduli! Biar uang makan, sekolah
atau apalah! Sini...!” Bentaknya dan merampas hasil jerih payahku pagi ini lalu
meninggalkanku sendirian di tengah keramaian kota Jakarta yang penuh sesak ini.
Mungkin banyak orang yang melihat kejadian
tadi, namun mereka menganggapnya seakan tak terjadi apapun. Ya, mungkin itu
sudah menjadi sifat dasar mereka yang acuh dan sombong.
Aku kembali berusaha mencari recehan demi
recehan yang bisa kukumpulkan sampai sore ini. Tapi nihil, aku hanya mendapat
beberapa ratus rupiah yang tak mungkin cukup untuk segelas air dan sebungkus
nasi. Kutatap wajah lesu adikku yang kelelahan dan kelaparan. Kulihat kantung
plastiknya. Sama, namun terlihat lebih parah dari hasil yang kudapat. Beberapa
saat kemudian dia terbangun.
“Kak Rio...” Ucapnya dengan suara parau dan
wajah penuh harap.
“Maaf ya, mungkin kita bisa makan besok.”
Jawabku sambil tersenyum getir dan membelai rambutnya.
Aku tertidur di sebelahnya sambil menahan rasa
sakit di perutku karena kelaparan.
Aku berkelana di alam mimpi, entah sudah
berapa lama aku tertidur. Saat aku terbangun kutatap wajah polos Rayhan,
wajahnya tampak begitu kotor dan kelelahan. Aku merasa bersalah padanya karena
telah menyiksa fisik dan batinnya, dan akupun seraya memohon kepada Yang Maha
Kuasa agar kami diberi ketabahan untuk dapat tetap melanjutkan hidup.
Kuambil gitarku dan melakukan rutinitasku
sebagai pengamen, satu-satunya pekerjaan yang seharusnya tidak dilakukan oleh
anak seusiaku. Usia yang seharusnya menikmati masa bermain dan belajarnya. Ah
sudahlah, tak ada gunanya aku mengeluh saat ini. Pernah aku menyalahkan takdir,
namun apa daya. Tak ada hasil. Yang ada hanya penyesalan dan air mata yang
kudapat. Yang bisa kulakukan saat ini hanya membuang jauh-jauh pikiran masa
lalu itu yang kini hanya menjadi angan-angan belaka dan terus mengumpulkan
beberapa kepingan uang logam untuk menyambung hidup. Sempat terlintas di
benakku.
“Sampai kapankah kehidupanku akan seperti ini?
Akankah ini berakhir? Apakah ini serupa menguras air laut yang tiada habisnya?
Yang terus berlanjut hingga akhir hayat? Apakah kehidupanku memang ditakdirkan
seperti ini? Layaknya benang kusut yang tidak akan pernah lurus seperti
sediakala?” Entahlah, kuserahkan takdirku pada Tuhan mungkin itu lebih baik.
Hari-hari kulewati hanya bersama dengan adikku
seorang, tanpa sosok ibu yang mengasuh kami. Sampai pada akhirnya,
preman-preman yang biasa memalaki hasil jerih payah kami di jalan raya memukuli
punggungku dengan kasarnya hingga mengeluarkan cairan merah kental karena aku
menolak memberikan uangku padanya, lalu mereka meninggalkan kami sendiri di
tengah hiruk pikuk kendaraan yang berlalu-lalang. Kusentuh perlahan punggungku “Aw...,”
keluhku lirih. Rayhan menatapku dengan gurat wajah cemas seolah mengisyaratkan
‘Kakak tidak apa-apakan?’ atau mungkin ‘Kakak baik-baik saja kan?’
Tatapan yang hanya kubalas dengan senyuman
hambar dengan wajah pucat pasi menahan rasa sakit di punggung ini yang seakan
berisyarat ‘Aku tidak apa-apa’ yang mungkin sebenarnya berarti ‘Tentu aku tak
baik-baik saja...’
Aku mengajaknya untuk terlelap dan tidak
memikirkan sakit yang kuderita.
Kutatap langit dengan pikiran berkecamuk,
sebuah senyum tipis tersungging di sudut bibir ini disertai air mata yang
tiba-tiba nampak menerobos keluar dari mata mungil ini. Skema adegan 3 tahun
yang lalu mulai nampak lagi, sekan terputar ulang secara otomatis.
Saat itu, aku dan teman kelasku mengadakan
pensi perpisahan kelas. Yang pada saat itu pula kenangan bersama teman-teman
terukir kembali, kejadian-kejadian konyolku di masa Sekolah Dasar, penuh canda
tawa tanpa pernah terpikirkan hari itu akan terjadi. Kejadian-kejadian
menjahili teman saat ulang tahun, dimarahi dan dihukum guru, cinta monyet,
bermain game hingga larut malam hingga kejadian yang tak penting yang bahkan
aku tak tahu kenapa itu semua bisa teringat kembali. Jauh kuberkelana di memori
masa SDku dulu sembari menghapus air mata yang terus-menerus mengalir deras.
Setidaknya itu bisa melupakan sejenak rasa sakit di punggung ini, lama kelamaan
akupun tertidur pulas. Sampai akhirnya aku terbangun saat semburat langit senja
sudah menghiasi langit, semburat acak-acakan yang bisa menghasilkan lukisan
indah yang tiada tandingnya. Mungkin aku terlalu lama tertidur karena rasa sakit
yang begitu menyiksa ini.
Kulihat dari ujung jalan Rayhan berjalan
sambil menenteng sekantung plastik berisi nasi bungkus dan air minum. Kutatap
iba kepadanya, membayangkan ia bersusah payah hari ini. Sempat aku menolak
memakannya karena aku tidak ikut membantunya untuk mencari makanan ini, tapi ia
tetap bersikeras memaksaku dengan mengatakan, “Kakak harus memakannya, tak
peduli siapaun yang bekerja keras, jika hari ini aku bertahan hidup sedangkan
kakak tidak, itu tak akan ada gunanya. Apapun yang terjadi, kita harus bisa
bertahan hidup hingga hari itu datang. Hari dimana kita benar-benar ditakdirkan
untuk mati...” Ucapnya.
Dalam hati aku bersyukur telah diberikan sosok
adik yang penuh pengertian dan bisa menerima apapun yang terjadi, apapun
keadaan kami.
Besok adalah hari ulang tahunku yang ke-14,
aku mengetahui tanggal itu dari kalender yang kupungut di tempat sampah awal tahun
lalu. Di hari esok, yang aku inginkan bukanlah sebuah kue tart berukuran jumbo
ataupun setumpuk kado dari teman-teman. Tapi, sosok ibu yang memelukku penuh
kasih dan membawa keluar aku dan Rayhan dari kejamnya kehidupan ini, menuju
kehidupan lain yang lebih baik.
Setidaknya itulah harapanku di tahun ini. Hari
ini, tepatnya sore ini. Entah karena apa, kami tak mendapatkan sepeserpun uang,
bahkan recehpun tidak. Sambil menahan gejolak rasa lapar yang meronta-ronta,
Rayhan mengajakku untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa untuk mengganjal
perut hingga hari ini berlalu. Rayhan menatap penuh harap di hadapan segunung
sampah, berharap kami menemukan sepotong roti di tempat pembuangan sampah yang
teramat kumuh ini. Tapi tak rugi juga, selama satu jam kami mencari, bersusah
payah membongkar sampah-sampah menjijikan dan berbau tak sedap ini, aku
mendapati sepotong roti yang nampak berjamur dikulitnya. Kukupas bagian berjamur
itu dan memakannya dengan Rayhan. Biarlah. Asalkan kami bisa makan hari ini.
Keesokan harinya, aku dan Rayhan seperti biasa
mengadu nasib di jalanan. Sebenarnya, aku sudah melarang Rayhan untuk ikut
bersamaku. Tetapi dia memaksa, dia merasa kesepian jika harus di rumah sendiri.
Serba salah. Aku tidak ingin Rayhan ikut merasakan jadi pengamen jalanan
sepertiku, tapi di sisi lain aku juga tidak tega kalau terus meninggalkannya
sendiri.
Waktu itu, bus dalam keadaan penuh sesak. Sampai-sampai
aku dan Rayhan kesulitan untuk keluar dari bus. Ketika kami sedang berusaha
melewati orang-orang yang berdiri berdesakan, aku tidak sengaja menginjak
sesuatu. Ternyata benda itu adalah sebuah dompet. Karena aku iba dengan Rayhan
yang daritadi mengeluh kesakitan karena kakinya terinjak, maka aku memutuskan
untuk segera turun dari bus dengan membawa dompet tersebut.Karena penasaran,
aku membuka dompet itu dan ternyata isinya adalah 7 lembar uang seratus ribuan,
KTP, STNK, SIM, dan beberapa kartu. Sempat terlintas dipikiranku, dengan uang
sebanyak itu aku dan Rayhan tidak perlu lagi mengais makanan di tempat sampah
seperti kemarin. Kami sangat membutuhkan uang itu. Terjadi pergulatan di
batinku untuk mengambil uang tersebut atau menyerahkannya ke pihak berwajib.
“Kak... Kata Ibu, kita tidak boleh mengambil
sesuatu yang bukan milik kita. Benar kan kak?” Rayhan membuyarkan lamunanku.
Hatiku terasa seperti teriris mendengar Rayhan
berkata demikian. Aku merasa malu, malu pada diriku sendiri yang sempat
berpikir ingin mengambil uang tersebut.
“Iya... Kamu benar Ray. Sekarang sebaiknya
kita pergi ke kantor polisi terdekat, kasihan yang punya dompet ini. Dompet ini
pasti sangat penting.” Kataku membenarkan perkataan Rayhan.
Setelah hari itu berakhir, kami kembali
bekerja keras seorang diri. Tanpa belaian kasih sayang. Tak jarang pula orang
memandang kami dengan jijik dan enggan memberikan bantuan kepada kami. Namun di
dunia ini beruntung masih saja ada orang yang beretika dan berhati baik
berkeliaran di sekitar kami. Seperti ada yang mau dan tidak malu untuk
memberikan sekotak nasi, ataupun sebotol susu kepada kami. Tapi sejak hari itu
aku bertekad, aku takkan pernah berhenti berjuang menghadapi lika-liku
kehidupan ini, setidaknya untuk saat ini, berharap hari esok aku dan Rayhan
tetap bisa melanjutkan hidup. Dan kuharap suatu saat nanti, sosok ibu yang
selama ini kurindukan kehadirannya akan datang dalam keadaan hidup dan mampu. Mampu
dalam artian yang luas, misalnya mampu menyekolahkan kami, memberi makan,
pakaian, tempat tinggal dan kehidupan yang layak. Dan juga aku percaya, tidak
ada satupun di dunia ini, yang bisa didapat dengan mudah. Kerja keras dan doa
adalah cara untuk mempermudahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar