Senin, 07 April 2014

Dua hari yang lalu aku tiba di kota Jogja. Kota yang selalu menawarkan ketentraman dan keramahan warganya. Dan di minggu yang cerah ini, aku ingin bertemu sahabat lamaku yang kuliah di salah satu perguruan tinggi di Jogja. Kami berpisah karena orang tuaku memutuskan untuk pindah dan menetap di Jakarta. Dan kami pun sepakat untuk bertemu di kafe biasa. Djendelo Koffie.
Ya, Coffee shop yang satu ini terletak di jalan  H. Affandi - Gejayan Yogyakarta di lantai dua toko buku Toga Mas. Desainnya yang sederhana khas dengan bangku kuno yang terbuat dari anyaman rotan dan lantai kayu, tempat minum ini selalu menjadi favorit bagi siapa saja. Aroma yang khas selalu menemani saat berkunjung ke djendelo koffie. Kadang aroma kopi, kadang aroma cokelat dan kadang aroma keduanya yang bercampur menjadi satu.
Tempat ini tidak banyak berubah. Sampai disana, aku disambut dengan buku-buku yang tersusun rapi di raknya. Aku berjalan pelan sambil melihat-lihat judul buku dan segera menapaki anak tangga yang mengantarkanku ke Djendelo Koffie. Mataku menyusuri tempat ini mencari sosok yang kucari dan ternyata Ninis belum datang. Jadi aku putuskan untuk duduk di spot kursi paling pinggir di tempat ini tepat di dekat jendela yang desainnya mirip jendela kantor pemerintahan zaman kolonial Belanda. Sembari menunggu Ninis, aku mulai membaca daftar menu yang disajikan dari atas ke bawah. Membaca daftar menu di kafe ini selalu membuatku tertawa sendiri karena nama menu makanan dan minuman di Djendelo Koffie menggunakan ejaan jaman dulu. Meskipun banyak pilihan yang ditawarkan, tetap saja pilihanku jatuh pada Bedebah Dibalik Djoebah Mewah yang merupakan tjoklat panas djendelo poenya. Selain minuman, ada juga camilan khas Jawa tentunya.
Setelah memesan, mata ini kembali menyusuri berbagai sudut di ruangan ini. Seakan mengajakku bernostagia. Lampu di Kafe Djendelo Koffie yang remang, memberikan nuansa hangat tersendiri. Lantainya yang tersusun dari papan, meja dan kursinya dari bambu dan rotan yang dianyam. Ornamen ruangan yang didominasi warna cokelat kian menambah kesan ‘jadul’ yang sangat kental. Ada pula area lesehan bagi pengunjung yang ingin duduk lebih santai. Kafe ini juga dilengkapi hotspot yang terkadang dapat membuat orang lupa waktu karena keasyikan online.
Setelah menunggu kurang lebih 15 menit, akhirnya aku melihat Ninis yang melambaikan tangan dari pintu masuk. Dia mengenakan celana jeans, kemeja berwarna putih yang terlihat sedikit kebesaran dan sepatu sportnya. Kami pun saling merangkul dan tertawa melepas rindu. Hari ini adalah hari yang menyenangkan dari sebuah perjalanan kembali ke kota dimana aku pernah tinggal. Menghabiskan malam bersama sahabat di tempat yang klasik ini menutup perjalanku di Kota Gudeg dengan berkesan.
Suci Rahayu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar