Terjebak Dalam
Sebuah Pelarian
Oleh : Eva Hardini Fauziah (1112046100009)
“Mungkin
hubungan kita sampai di sini saja Vin,” ucapku
gemetar.
“Kenapa?
Apa salah aku?”, jawabnya tak terima dengan keputusanku.
“Aku
tidak bisa menjalani hubungan jarak jauh seperti ini, aku capek Vin. Aku harap
kamu bisa mengerti dan menerima keputusanku.”
“Baiklah,
aku mengerti,” jawabnya pelan sambil terisak.
“Terima
kasih Vin.” Klik. Aku menutup telepon dan mengakhiri pembicaraanku dengan Vina.
Maafkan
aku Vin, sebenarnya dalam hati kecil ini aku masih menyayangimu. Tapi aku juga capek kalau harus seperti ini
terus. Mungkin ini jalan terbaik buat kita. Maafkan aku…
Masih
sama seperti hari-hari sebelumnya, tiga minggu setelah aku memutuskan
hubunganku dengan Vina, kadang
aku merindukannya. Vina masih suka menghubungiku tapi aku mencoba untuk tidak
meresponnya. Aku ingin menghilangkan perasaan cinta ini, tetapi sulit. Aku tidak tahu apakah aku menyesal atas keputusan yang
telah aku ambil atau tidak. Tetapi hal itu benar-benar membuat kepalaku pusing.
“Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mungkin minta balikan lagi sama dia, aku
tidak mau,” bisikku dalam hati”. Masalah ini membuat diriku berubah,
akhir-akhir ini aku lebih sering diam dan melamun. Sampai-sampai lupa dengan
janji hari ini. Jam 10 pagi, aku ada janji untuk bertemu dengan teman lamaku.
“Astaga..sudah
hampir jam 10. Aku belum siap-siap. Dia pasti marah-marah kalau aku datang
terlambat, dia kan orangnya cerewet,”
gumamku sambil bergegas ke kamar mandi.
*****
“Aduh
Raf, kamu kemana saja? Nyasar? Janji jam 10, ini udah jam berapa ?” Ucap Rizal
kesal. Rizal teman sebangkuku waktu SD dulu. Walaupun dia cerewet dan suka
marah-marah tapi dia best friendku yang paling perhatian. Dari SD sampai
SMP kita selalu bersama tapi setelah itu kita berpisah. Hanya waktu liburan seperti
sekarang ini aku bisa bertemu dengannya lagi.
“Sorry,,sorry,
tadi ada masalah darurat,” jawabku sambil cengengesan. “Bagaimana
kabarmu, sehat? Sudah lama yah kita tidak bertemu.”
“Kalau
kamu bukan best friendku, sudah aku tinggalin kamu dari tadi. Kabarku
sehat, alhamdulillah. Kamu sendiri?” Tanya Rizal.
“Alhamdulillah,
aku juga sehat,” jawabku.
“Syukurlah
kalau kamu sehat. Tapi kok sekarang kamu agak keliatan sedikit berbeda, kenapa?
Ceritalah sama aku, aku kan sahabatmu. Status-status galaumu juga sering nongol
di beranda. Kamu putus sama Vina?” Tanya Rizal penuh rasa ingin
tahu.
“Iya
Zal, aku tidak bisa hubungan jarak jauh jadi aku putusin Vina. Sekarang aku
pusing Zal, aku tidak tahu harus bagaimana, aku belum bisa melupakan dia,”
jawabku pelan.
“Memang
semua itu butuh proses Raf, tidak bisa kamu tiba-tiba lupa sama dia. Biarkan
waktu yang menghapus semuanya Raf,” ucap Rizal dengan kata-kata bijaknya. “Ya sudah
Raf, lebih baik kamu cari pacar baru lagi. Gampang kan?” ucapnya sambil
bercanda.
“Dasar
, gak segampang itu nyari pacar. Memangnya
kamu,” jawabku sambil tertawa. “Kamu tahu kan aku itu susah buat suka sama
seseorang,” ucapku.
Pertemuanku
dengan Rizal sedikit meringankan masalah yang sedang kuhadapi. Aku sedikit
terhibur dengan candaan-candaan konyolnya. Tak terasa hari sudah semakin sore,
mengobrol dengan teman lama memang membuat lupa waktu. Akhirnya kita berpisah
dan pulang ke rumah masing-masing.
*****
Beep.
Handphoneku berbunyi, membuyarkan lamunanku. Ada sebuah permintaan pertemanan,
Chika Syathira Putri ingin menjadi teman anda. “Chika, siapa Chika?” Batinku. Karena aku penasaran akhirnya aku membuka profilenya.
Setelah aku lihat, ternyata dia juga berteman dengan sahabatku Rizal. Itu
karena Chika lulus dari sekolahan yang sama dengan Rizal.
“Hey,
kamu kenal sama Rizal?” Tanyaku
memulai percakapan.
“Hey
juga. Iya aku kenal. Dulu aku pernah sekelas sama dia,” jawab Chika.
Itulah
awal percakapan dan perkenalanku dengan Chika. Berawal dari situ hampir setiap
hari kami selalu berkomunikasi diFacebook, dari mulai saling komentar kemudian ngobrol diobrolan sampai berjam-jam.
Aku cepat akrab dengannya, karena dia orang yang baik dan enak diajak ngobrol.
Aku pun tidak sadar menceritakan semua masalahku pada Chika. Padahal sebenarnya
aku bukan tipe orang yang mudah menceritakan masalah pribadi kepada orang lain,
apalagi Chika orang yang baru beberapa hari aku kenal.
Kehadiran
Chika bisa membuatku sedikit melupakan Vina dan sekarang aku sudah jarang
melamun lagi. Aku senang dan merasa kalau masalahku mulai berkurang. “Haruskah
aku jadian sama Chika?” Pikiran seperti itu tiba-tiba terlintas dibenakku.
Aku
mengirimkan sebuah pesan pada Chika tentang perasaanku yang begitu senang telah
mengenalnya dan merasa nyaman dengannya. Aku juga berharap hubungan kita ini
bukan sekedar hubungan pertemanan. Cukup lama Chika membalas pesanku. Beep. Handphoneku
berbunyi. Tiba-tiba jantungku berdegup begitu kencang, takut kecewa dengan
balasan dari Chika.
“Aku
juga senang bisa mengenalmu dan aku juga ingin hubungan kita lebih sekedar dari
teman.” Itulah isi pesan balasan dari Chika.
Setelah
membaca pesan itu, perasaanku campur aduk, antara kaget, senang dan sedih. Aku terkejut, secepat itu aku bisa melupakan
Vina dan jadian sama orang lain. Aku juga senang cintaku diterima, tetapi aku
juga merasa sedih karena aku masih bingung apakah aku benar-benar mencintai
Chika atau hanya sekedar perasaan sesaat.
Kukirimkan
sebuah pesan pada Rizal tentang berita gembira ini, “Zal, aku sama Chika sudah
resmi pacaran.”
“Secepat
itu? Kamu kan baru satu minggu kenal sama dia. Kok bisa? Jangan sampai kamu jadian
sama Chika buat pelarian kamu saja.” Balas Rizal.
Kata-kata pelarian dalam pesan itu membuatku terdiam
dan berpikir. “Apakah benar aku menjadikan Chika sebagai pelarianku saja?” Batinku.
Aku bingung dan sungguh tidak tahu. ”Ah sudahlah, sekarang ini yang terpenting
aku sudah jadian sama Chika dan aku harus membahagiakannya,” pikirku mengusir
kegelisahan.
*****
Sudah
hampir satu bulan statusku berpacaran. Seperti pasangan yang lain setiap hari
kita selalu berkomunikasi lewat handphone. Kami belum bisa bertemu langsung
karena Chika masih kuliah di Bandung. Setelah liburan mungkin kita bisa sering
bertemu karena ternyata kita tinggal di daerah yang sama.
Aku
tidak sabar ingin cepat-cepat bertemu dengan Chika, karena aku begitu
merindukannya. Akhirnya kuputuskan untuk mengunjunginya di Bandung. Betapa
senangnya hatiku setelah aku bertemu
dengan Chika, perempuan yang aku sayangi saat ini. Begitupun dia. Dua hari di
Bandung, aku habiskan waktu bersama Chika dengan berjalan-jalan mengelilingi
Kota Kembang ini. Kebetulan Chika sedang tidak ada jadwal kuliah.
Hari
itu, hari terakhir aku di Bandung sebelum besok harus kembali lagi ke rumah.
Kami sedang makan siang di sebuah kafe, tempatnya anak-anak muda Bandung
berkumpul menghabiskan waktu sambil mengobrol dan minum secangkir kopi.
“Cepet
banget si, besok kamu sudah balik lagi ke rumah. Padahal aku masih pengen kamu
di sini,” ucap Chika sambil cemberut.
“Kamu
jangan cemberut, nanti cantiknya hilang loh. Kamu tenang saja, nanti kalau kamu
sudah liburan kita jalan-jalan bareng
lagi,” ucapku menghibur.
“Sebenarnya
ada sesuatu yang belum aku kasih tahu ke kamu, Raf,” ucap Chika pelan.
“Apa?”
Tanyaku penasaran.
“Sebenarnya..,”
Chika menghentikan pembicaraanya. Tapi aku membujuknya untuk segera mengatakan
apa yang dia sembunyikan dariku.
“Sebenarnya
aku sudah dijodohkan oleh orang tuaku dengan laki-laki pilihan mereka. Tapi aku
tidak suka sama dia.” Sahut Chika dengan mata yang berkaca-kaca.
Aku
kaget. Aku terdiam sejenak. “Kenapa? Kenapa kamu baru mengatakan hal itu padaku
sekarang, Chik? Dan kenapa dulu kamu menerima cintaku?”
Tanyaku kecewa.
“Karena aku sayang sama kamu dan aku tidak mau dijodohkan, Raf. Aku tidak
suka dengan laki-laki itu.”
“Lalu bagaimana denganku? Jika orang tuamu sudah menjodohkanmu
dengan orang lain, lebih baik kamu terima karena itu pasti pilihan yang terbaik
untuk kamu. Walaupun saat ini kamu tidak suka dengan laki-laki pilihan orang
tuamu, tapi aku yakin suatu saat nanti kamu pasti akan menyukainya. Sebelum
semuanya terlambat lebih baik hubungan
kita sampai di sini saja Chik.” Ucapku sedih sambil berusaha menguatkan hati.
Chika
terkejut dan langsung menangis menolak permintaanku. Aku tidak tega melihat
Chika menangis lalu aku urungkan niatku untuk memutuskan Chika. “Ya Tuhan,
bagaimana ini?” bisikku dalam hati.
Sore
hari setelah aku makan siang dengan Chika, dia memintaku untuk mengantarnya check up
ke rumah sakit untuk. Selama ini dia memang sedang sakit, badannya mudah merasa
lemas jika beraktifitas terlalu banyak. Tetapi dia selalu tidak mau mengatakan
apa penyakitnya itu padaku. Akhirnya kesempatan ini aku gunakan untuk
mengetahui penyakit apa yang sebenarnya diderita oleh Chika.
Aku
masuk ke ruang dokter bersama Chika. Setelah diperiksa, dokter meminta kepada
Chika untuk banyak beristirahat dan mengurangi semua kegiatannya. Hal itu
membuatku benar-benar penasaran.
“Dok,
sebenarnya Chika sakit apa?” Tanyaku penasaran.
“Dalam
istilah kedokteran penyakit yang Chika alami disebut dengan MG atau Miastenia
Gravis,” jawab dokter singkat.
“Penyakit
apa itu dok? Saya baru mendengarnya.”
“
Penyakit ini memang penyakit langka. MG atau Miastenia Gravis
adalah suatu penyakit autoimun dimana persambungan otot dan saraf berfungsi
secara tidak normal dan menyebabkan kelemahan otot. Otot-otot yang paling
sering diserang adalah otot yang mengontrol gerak mata, kelompak mata, bicara,
menelan, mengunyah dan bahkan pada taraf yang lebih gawat sampai menyerang pada
otot pernafasan sehingga pasien mengalami gagal nafas,” jelas dokter panjang
lebar. “Oleh karena itu, Chika tidak boleh terlalu capek dan jangan sampai dia
mengalami stress karena hal itu memicu penyakitnya kambuh,” ucap dokter
menambahkan.
Aku
hanya terdiam mendengar penjelasan dari dokter. Begitupun dengan Chika, dia
hanya tertunduk sedih. Aku tidak menyangka jika
selama ini sakit yang diderita oleh Chika cukup parah dan berbahaya untuk nyawanya.
“Baiklah,
kalau begitu kami permisi dok. Terima kasih.”
“Iya
sama-sama,” jawab dokter ramah.
Sepanjang
jalan aku masih kepikiran dengan penjelasan dokter tadi. Sekarang aku
benar-benar merasa kasihan pada Chika. Tadinya aku akan memutuskan dia jika
kondisinya sudah memungkinkan dan akan memberi penjelasan agar dia mengerti dan
menerima perjodohan dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Aku percaya jika
keputusan orang tua itu adalah keputusan
yang terbaik untuk anaknya. Tetapi aku ingat pesan dokter tadi, Chika tidak
boleh stres. Aku takut jika keputusanku membuat Chika menjadi stres sehingga
penyakitnya kambuh dan semakin parah.
“Kamu
kenapa? Kok diam saja. Kamu tidak usah khawatir, aku baik-baik saja,” ucap
Chika sambil tersenyum manis.
“Iya,
aku tahu. Kamu harus ingat ya pesan dokter tadi, kamu harus banyak istirahat
dan tidak boleh terlalu capek apalagi stres,” jawabku sambil membalas
senyumnya.
“Rafli,
aku sayang sama kamu. Jangan tinggalin aku ya.”
“Iya,
aku juga sayang sama kamu Chik.”
“Tuhan..,bagaimana
ini? Aku benar-benar bingung, apa yang harus aku lakukan? Adakah jalan keluar
dari masalah ini? Apakah aku harus memutuskan Chika disaat kondisi Chika
seperti ini ataukah aku harus tetap bersamanya menjalani hubungan yang entah
akan berakhir seperti apa,” debatku dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar