“Aku pulang agak telat, mau
konsultasi dulu sama prof. Walker. Jadi jemputnya juga agak telat. Maaf ya.” Setelah aku membalas sms dari suamiku hanya
dengan kata “iya” aku langsung mengunci ponselku lalu kemudian memasukkannya ke
dalam tas. Fokusku langsung kembali ke nenek tua yang duduk di kursi roda di
sampingku. Aku kembali menyuapi bubur ke mulutnya sambil mengobrol dan
bercanda.
Ya, di sini lah aku, Linden House.
Sebuah panti jompo yang berada di kota Hampshire, sebelah selatan Inggris, yang
menawarkanku kesibukan merawat orang-orang tua yang dititipkan oleh anak-anak
mereka, khususnya orang-orang lanjut usia penderita demensia. Pekerjaan ini
sungguh menyenangkan sebenarnya. Apalagi sebelumnya aku tidak memiliki
pekerjaan apapun ketika berada di Inggris ini. Sehari-hari hanya menunggu
suamiku pulang dari kampusnya, University of Winchester. Tujuanku menetap
di Inggris memang untuk menemani Imam, suamiku yang harus menyelesaikan
pendidikan magisternya di sini. Selain itu? Hanya berjalan-jalan di sekitar
flat dan menonton televisi. Kegiatan yang sangat membosankan. Lebih membosankan
lagi ketika teringat bahwa pendidikan suamiku akan berakhir dua tahun lagi.
Sudah kucoba untuk melamar pekerjaan di kota Hampshire ini. Tetapi selalu
ditolak. Penyebabnya adalah sebuah kain yang menutupi tempurung kepalaku yang
menjadi simbol kemuslimahanku. Memang harus banyak berlapang dada ketika berada
di tempat yang menjadikan kita minoritas. Namun, kesabaranku akhirnya berbuah
manis. Ketika kudatangi Linden House dan menawarkan menjadi pengasuh,
aku langsung diterima tanpa kesulitan apa
pun.
Linden House menyediakan 60 kamar tidur dengan
biaya menginap per minggunya adalah sebesar 980 poundsterling, atau 19,1 juta
rupiah. Harga mahal ini berbanding lurus dengan fasilitas yang diberikan,
seperti salon pribadi, lapangan golf mini, tempat bersantai, dan fasilitas
kebutuhan pribadi lainnya. Semua dibuat dengan tidak tanggung-tanggung.
Pengaturan interiornya pun sangat diperhatikan, dari warna hingga materialnya
dibuat sehingga Linden House menjadi menarik.
Aku memasuki kamar nomor 20 di lantai
dua, menemui Madam Patricia. Wanita 71 tahun yang dititipkan anaknya di Linden
House ini. Aku mendapat tugas untuk merawatnya. Kuajak jalan-jalan Madam
Patricia ke luar kamar menuju taman. Ia selalu bercerita mengenai anak
perempuanya, Alicia Poole. Anak perempuan yang kini sudah memiliki kehidupan
sendiri bersama suami dan dua orang anak kembar perempuan. Anak perempuan yang
sibuk dengan pekerjaannya sebagai sekretaris di perusahaan besar di Winchester,
ibu kota Hampshire. Anak perempuan yang jarang sekali berbicara dengan ibunya.
Selalu ada nada getir ketika Madam Patricia membicarakan anak perempuan itu.
Entah apa penyebabnya. Aku hanya berusaha menanggapi sambil tersenyum dan
berusaha bertanya tentang kehidupannya yang lain.
Matahari sudah begitu terik, aku
membawa Madam Patricia ke kamarnya. “Perkenankan aku untuk melakukan
kewajibanku sebentar, Madam. Sementara kau tunggu aku di sini.” Kataku memohon
kepada Madam Patricia. Ia hanya mengangguk sambil tersenyum. Sementara itu aku
menggelar sajadahku di sudut kamar nomor 20 itu, kemudian memakai mukenaku dan
segera melakukan salat zuhur.
Setelah mengakhiri salat zuhurku
dengan salam, aku segera melipat mukenaku. Aku tahu bahwa Madam Patricia
memerhatikanku ketika aku salat tadi. Aku segera bergegas untuk mengambil makan
siang untuk Madam Patricia dan segera kembali lagi ke kamarnya. “Saatnya makan
siang, Madam.” Kataku sambil tersenyum girang. Madam Patricia tersenyum
antusias. “Kau membuatku menunggu lama, aku sudah lapar sekali.” Candanya.
“Maafkan aku, Madam.” Kataku memohon. “Aku hanya bercanda.” Jawab Madam
Patricia sambil tertawa, memperlihatkan giginya yang sudah mulai jarang. “Ngomong-ngomong
tadi kau melakukan apa?” Lanjutnya dengan begitu penasaran. Aku tersenyum.
Pantas saja tadi ia memerhatikanku ketika sedang salat. “Hmm... bagaimana
menjelaskannya ya. Aku hanya sedang berdoa, Madam.” Jawabku. “Berdoa kepada
siapa?” Tanya madam lagi, melanjutkan rasa penasarannya. “Kepada Tuhanku,
Madam.” Jawabku singkat. “Aku jarang melihat orang berdoa di sini.” Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Madam
Patricia. Memang tak aneh mendengar perkataan Madam Patricia barusan, mengingat
mayoritas di sini adalah negara sekuler, di mana urusan agama tidak diatur
pemerintah dan menjadi kebebasan bagi warga negaranya. Pembicaraan tentang
berdoa ini beralih begitu saja setelah aku menyuapinya oatmeal di
tanganku. Madam Patricia kembali menceritakan anak perempuannya yang sepertinya
sangat ia sayangi namun seperti bertepuk sebelah tangan. Anak perempuan yang
selalu tidak peduli terhadapnya, namun Madam Patricia sangat mencintainya. Aku begitu
kagum terhadap Madam Patricia. Ia didagnosis menderita demensia yang cukup
akut, tetapi ingatan tentang anak perempuannya tak ada yang luntur. Setiap detail
sangat jelas ia ceritakan dengan mantap, tanpa ragu.
Ketika hari sudah menjelang sore, jam
kerjaku sudah hampir habis. Madam Patricia masih terlelap dalam tidur siangnya
setelah makan siang tadi. Aku bergegas berwudu dan segera melakukan salat asar.
Kembali kugelar sajadah dan memakai mukena di sudut kamar Madam Patricia nomor
20 itu. Madam Patricia terbangun ketika aku mengakhiri salatku dengan salam. Ia
tersenyum, “kau berdoa lagi?” aku menjawab “iya, Madam” sambil tersenyum
semanis mungkin. Setelah itu aku pamit pulang dan segera ke halte Himpshire
untuk bertemu suamiku dan segera kembali ke flat.
Hari-hariku terlalui dengan bekerja
di Linden House bersama Madam Patricia. Bermain bersama, mendengarkan
cerita tentang semasa hidupnya dulu, bagaimana kesedihannya ketika suaminya
mendahuluinya karena kanker usus, mendengarkannya bernyanyi lagu-lagu Inggris
yang kadang tidak aku tahu, menyuapinya makan dan hal lainnya. Aku pun tidak
lupa untuk menunaikan kewajiban salatku di lingkungan minoritas ini. Beruntungnya
merawat Madam Patricia yang tidak manja dan mengerti kewajibanku, walaupun ia
tidak mengerti ritual apa yang aku lakukan. Ia hanya memerhatikan aku salat dan
tidak menggangguku.
Suatu hari Madam Patricia bertanya, “untuk
apa kau berdoa?” Sejujurnya aku bingung menjawab pertanyaan seperti ini. “Karena
aku cinta Tuhanku, Madam. Sama seperti kau mencintai seseorang, kau akan
melakukan apa pun untuknya.” Jawabku. “Untuk apa kau berdoa sedangkan Tuhanmu
tidak memberikanmu apa-apa?” Tanya Madam lagi dengan penasaran. “Apa yang
diberikan tidak selalu harus terlihat. Semua kenikmatan yang tidak terduga, itu
dari Tuhan. Hanya kita tidak pernah menyadarinya” jawabku sambil tersenyum. Entah
jawaban macam apa yang aku utarakan barusan. Namun Madam Patricia tersenyum
seperti sangat mengerti apa yang aku ucapkan barusan. “Ajari aku berdoa, Salsa.”
Kata Madam memohon dan kontan membuatku kaget. Aku bingung bagaimana mengajarkan
seorang non-muslim berdoa, sedangkan ia tidak mengetahui apa agamanya. Ia tidak
mengetahui Islam, tetapi yang ia lihat hanyalah ritual yang aku lakukan. “Kau
hanya perlu menengadahkan kedua tanganmu dan menundukkan kepalamu, setelah itu
ucapkan dalam hati apa yang kau inginkan.” Jawabku dan Madam Patricia
mengangguk.
Suatu hari suamiku, Imam
memberitahukan bahwa ia mendapat surat tugas penelitian ke London dan
diperkirakan akan berlangsung tiga bulan lamanya. Itu berarti aku harus
berpindah penginapan yang sudah disediakan pula di sana. Dan itu berarti pula
aku harus berhenti menjadi pengasuh di Linden House. Aku hanya sempat
berpamitan lewat telepon dengan Jackie Hampton, pemilik panti jompo itu karena
terlalu mendadaknya rencana suamiku ini.
Setelah tiga bulan sejak dilakukan
riset Imam, maka kami kembali ke flat di Hampshire. Kerinduanku langsung
tertuju pada Madam Patricia. Namun hari sudah malam, aku pun mengurungkan
niatku dan menundanya sampai esok hari.
Esoknya, aku segera bergegas menuju Linden
House seperti biasa dengan naik bus dari halte Hampshire yang tak jauh dari
flatku. Rasa tak sabar menggerogoti tubuhku, kerinduan terhadap Madam Patricia
sudah tak terbendung lagi. Sesampainya, aku langsung menuju kamar nomor 20. Namun
ketika aku membuka pintu kamar, bukan Madam Patricia yang kutemui, melainkan
orang lain. Seorang kakek tua renta keriput yang sedang tertidur. Aku tidak
berpikir apa pun. Mungkin ia sedang bermain di taman atau lapangan golf mini. Aku
berjalan di koridor lantai dua Linden House melihat-lihat kamar-kamar
yang mewah mirip dengan fasilitas hotel. Ketika di ujung koridor, terdapat
tembok besar yang bertuliskan “Rest in Peace” beserta foto-foto penghuni
Linden House yang sudah meninggal. Seingatku ada 30 foto yang terpasang
di sana. Kuhitung sekarang sudah menjadi 31 foto. Aku bertanya dalam hati,
siapa yang meninggal lagi. Kulihat di sudut kanan bawah tembok, terdapat foto
wanita yang sangat aku kenali. Mataku terbelalak ketika menegaskan foto
tersebut. Tertulis Patricia Poole di sana. Keterangan di sana mengatakan bahwa
ia meninggal satu bulan yang lalu. aku takjub tak percaya. Segera aku turun
untuk menemui Jackie untuk mendapatkan penjelasan tentang kabar yang belum aku
percayai tadi.
Ketika aku turun menuju lobi di
lantai bawah, terlihat perempuan tinggi semampai berambut coklat, berkulit
putih, memakai baju stelan orang kerja, rok selutut berwarna hijau toska dan blezzer
berwarna senada dengan rok dengan baju dalam putih. Ia sedang berbincang
dengan Jackie Hampston dan perbincangan mereka berhenti ketika melihatku
berjalan ke arah mereka yang berdiri di dekat meja reservasi. “Hai, Salsa. Aku
tidak melihatmu datang. Kebetulan sekali nona ini ingin bertemu denganmu. Aku masih
ada urusan, aku tinggal sebentar ya.” Kata Jackie sambil berpamitan masuk ke
ruang kerjanya di sebelah meja yang ada di lobi tadi. Aku bersalaman dengan
perempuan muda cantik di hadapanku, “Salsabila Fahira” kataku sambil
berkenalan, “just call me Salsa.” Perempuan cantik itu menjawab dengan
senyum yang menampakkan lesung pipinya yang membuatnya menjadi terlihat semakin
manis, “Alicia Poole.” Aku semakin terkejut. Benarkah ini yang namanya selalu
aku dengar dari Madam Patricia? “Aku anak dari Patricia.” Lanjutnya lagi.
Kemudian mereka berdua melanjutkan
obrolan sambil berjalan di taman, “mama kena serangan jantung sebulan yang
lalu. Aku tidak pernah mengetahui ia punya penyakit jantung, ia hanya
memberitahu dokternya saja. Semenjak kau tidak bekerja mengasuh mama, ia ingin
pulang dan merasa tidak betah lagi di Linden House. Akhirnya aku
menyewakan perawat untuknya.” Aku terdiam menanggapi cerita Alicia, sesekali
ingin memotong namun ragu. “Mama selalu menceritakan kau, perempuan berjubah di
kepala, baik hati, ramah dan sangat penyayang. Bukan seperti yang diberitakan
di televisi bahwa orang sepertimu adalah teroris, penyebar kejahatan dan
pembuat keonaran.” Lanjut Alicia. “Belakangan, ia sering menengadahkan tangannya
dan menunduk. Ia lakukan itu setiap hari. Ia bilang ia akan mendapatkan
ketenangan setelah ia melakukannya.” Aku terkejut namun senang mendengar
pernyataan Alice tersebut. “Mama menitipkan ini, bukalah” Alice menyodorkan
sebuah kantong kertas kepadaku. Ketika kubuka,
ternyata isinya adalah dua helai kain persegi empat berwarna merah dan satu
lagi berwarna biru, sebuah kerudung. Di dalamnya terdapat tulisan “keep
praying”. Aku terharu sekaligus sedih karena merindukan sosok tua nan
periang itu. “Kemudian ada ini”, Alice menyodorkan sebuah amplop besar berwarna
coklat kepadaku. Ketika kubuka isinya adalah tiket pesawat keliling Inggris
beserta voucher menginap di hotel yang telah disediakan. “Itu dariku,
karena sudah merawat ibuku dengan sepenuh hati, karena telah membuatku menyesal
mencampakkannya, karena sudah sangat rela direpotkan oleh ibuku.” Katanya
dengan setitik air bening yang menghiasi pipinya. Aku terkejut bukan kepalang. Rasanya
niatku bekerja di sini hanyalah untuk mengisi waktuku yang sangat kosong, entah
apa yang membuatnya berbuah sangat manis seperti ini. “Ijinkan aku berbuat baik
kepadamu untuk membayar kesalahanku pada ibuku, Salsa. Be my sister, please.”
Kata Alicia lagi dengan penuh harap. Aku hanya mengangguk kemudian memeluk
Alicia.
Setelah hari itu, aku dan Alicia
menjadi sangat dekat. Aku direkomendasikan untuk bekerja di perusahaan tempat
Alicia bekerja. Awalnya pimpinan sangat menolak, apa lagi kalau bukan karena
sehelai kain di kepalaku. Namun karena begitu gigihnya Alicia memperjuangkanku,
aku diterima sebagai staf kantor itu. Aku sangat bersyukur, niat kemanusiaan
yang hanya setitik, kini berbuah sangat manis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar