Rabu, 23 April 2014

Cahaya di Panti Jompo

“Aku pulang agak telat, mau konsultasi dulu sama prof. Walker. Jadi jemputnya juga agak telat. Maaf ya.”  Setelah aku membalas sms dari suamiku hanya dengan kata “iya” aku langsung mengunci ponselku lalu kemudian memasukkannya ke dalam tas. Fokusku langsung kembali ke nenek tua yang duduk di kursi roda di sampingku. Aku kembali menyuapi bubur ke mulutnya sambil mengobrol dan bercanda.
Ya, di sini lah aku, Linden House. Sebuah panti jompo yang berada di kota Hampshire, sebelah selatan Inggris, yang menawarkanku kesibukan merawat orang-orang tua yang dititipkan oleh anak-anak mereka, khususnya orang-orang lanjut usia penderita demensia. Pekerjaan ini sungguh menyenangkan sebenarnya. Apalagi sebelumnya aku tidak memiliki pekerjaan apapun ketika berada di Inggris ini. Sehari-hari hanya menunggu suamiku pulang dari kampusnya, University of Winchester. Tujuanku menetap di Inggris memang untuk menemani Imam, suamiku yang harus menyelesaikan pendidikan magisternya di sini. Selain itu? Hanya berjalan-jalan di sekitar flat dan menonton televisi. Kegiatan yang sangat membosankan. Lebih membosankan lagi ketika teringat bahwa pendidikan suamiku akan berakhir dua tahun lagi. Sudah kucoba untuk melamar pekerjaan di kota Hampshire ini. Tetapi selalu ditolak. Penyebabnya adalah sebuah kain yang menutupi tempurung kepalaku yang menjadi simbol kemuslimahanku. Memang harus banyak berlapang dada ketika berada di tempat yang menjadikan kita minoritas. Namun, kesabaranku akhirnya berbuah manis. Ketika kudatangi Linden House dan menawarkan menjadi pengasuh, aku langsung diterima tanpa kesulitan apa  pun.
Linden House menyediakan 60 kamar tidur dengan biaya menginap per minggunya adalah sebesar 980 poundsterling, atau 19,1 juta rupiah. Harga mahal ini berbanding lurus dengan fasilitas yang diberikan, seperti salon pribadi, lapangan golf mini, tempat bersantai, dan fasilitas kebutuhan pribadi lainnya. Semua dibuat dengan tidak tanggung-tanggung. Pengaturan interiornya pun sangat diperhatikan, dari warna hingga materialnya dibuat sehingga Linden House menjadi menarik.
Aku memasuki kamar nomor 20 di lantai dua, menemui Madam Patricia. Wanita 71 tahun yang dititipkan anaknya di Linden House ini. Aku mendapat tugas untuk merawatnya. Kuajak jalan-jalan Madam Patricia ke luar kamar menuju taman. Ia selalu bercerita mengenai anak perempuanya, Alicia Poole. Anak perempuan yang kini sudah memiliki kehidupan sendiri bersama suami dan dua orang anak kembar perempuan. Anak perempuan yang sibuk dengan pekerjaannya sebagai sekretaris di perusahaan besar di Winchester, ibu kota Hampshire. Anak perempuan yang jarang sekali berbicara dengan ibunya. Selalu ada nada getir ketika Madam Patricia membicarakan anak perempuan itu. Entah apa penyebabnya. Aku hanya berusaha menanggapi sambil tersenyum dan berusaha bertanya tentang kehidupannya yang lain.
Matahari sudah begitu terik, aku membawa Madam Patricia ke kamarnya. “Perkenankan aku untuk melakukan kewajibanku sebentar, Madam. Sementara kau tunggu aku di sini.” Kataku memohon kepada Madam Patricia. Ia hanya mengangguk sambil tersenyum. Sementara itu aku menggelar sajadahku di sudut kamar nomor 20 itu, kemudian memakai mukenaku dan segera melakukan salat zuhur.
Setelah mengakhiri salat zuhurku dengan salam, aku segera melipat mukenaku. Aku tahu bahwa Madam Patricia memerhatikanku ketika aku salat tadi. Aku segera bergegas untuk mengambil makan siang untuk Madam Patricia dan segera kembali lagi ke kamarnya. “Saatnya makan siang, Madam.” Kataku sambil tersenyum girang. Madam Patricia tersenyum antusias. “Kau membuatku menunggu lama, aku sudah lapar sekali.” Candanya. “Maafkan aku, Madam.” Kataku memohon. “Aku hanya bercanda.” Jawab Madam Patricia sambil tertawa, memperlihatkan giginya yang sudah mulai jarang. “Ngomong-ngomong tadi kau melakukan apa?” Lanjutnya dengan begitu penasaran. Aku tersenyum. Pantas saja tadi ia memerhatikanku ketika sedang salat. “Hmm... bagaimana menjelaskannya ya. Aku hanya sedang berdoa, Madam.” Jawabku. “Berdoa kepada siapa?” Tanya madam lagi, melanjutkan rasa penasarannya. “Kepada Tuhanku, Madam.” Jawabku singkat. “Aku jarang melihat orang berdoa di sini.”  Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Madam Patricia. Memang tak aneh mendengar perkataan Madam Patricia barusan, mengingat mayoritas di sini adalah negara sekuler, di mana urusan agama tidak diatur pemerintah dan menjadi kebebasan bagi warga negaranya. Pembicaraan tentang berdoa ini beralih begitu saja setelah aku menyuapinya oatmeal di tanganku. Madam Patricia kembali menceritakan anak perempuannya yang sepertinya sangat ia sayangi namun seperti bertepuk sebelah tangan. Anak perempuan yang selalu tidak peduli terhadapnya, namun Madam Patricia sangat mencintainya. Aku begitu kagum terhadap Madam Patricia. Ia didagnosis menderita demensia yang cukup akut, tetapi ingatan tentang anak perempuannya tak ada yang luntur. Setiap detail sangat jelas ia ceritakan dengan mantap, tanpa ragu.
Ketika hari sudah menjelang sore, jam kerjaku sudah hampir habis. Madam Patricia masih terlelap dalam tidur siangnya setelah makan siang tadi. Aku bergegas berwudu dan segera melakukan salat asar. Kembali kugelar sajadah dan memakai mukena di sudut kamar Madam Patricia nomor 20 itu. Madam Patricia terbangun ketika aku mengakhiri salatku dengan salam. Ia tersenyum, “kau berdoa lagi?” aku menjawab “iya, Madam” sambil tersenyum semanis mungkin. Setelah itu aku pamit pulang dan segera ke halte Himpshire untuk bertemu suamiku dan segera kembali ke flat.
Hari-hariku terlalui dengan bekerja di Linden House bersama Madam Patricia. Bermain bersama, mendengarkan cerita tentang semasa hidupnya dulu, bagaimana kesedihannya ketika suaminya mendahuluinya karena kanker usus, mendengarkannya bernyanyi lagu-lagu Inggris yang kadang tidak aku tahu, menyuapinya makan dan hal lainnya. Aku pun tidak lupa untuk menunaikan kewajiban salatku di lingkungan minoritas ini. Beruntungnya merawat Madam Patricia yang tidak manja dan mengerti kewajibanku, walaupun ia tidak mengerti ritual apa yang aku lakukan. Ia hanya memerhatikan aku salat dan tidak menggangguku.
Suatu hari Madam Patricia bertanya, “untuk apa kau berdoa?” Sejujurnya aku bingung menjawab pertanyaan seperti ini. “Karena aku cinta Tuhanku, Madam. Sama seperti kau mencintai seseorang, kau akan melakukan apa pun untuknya.” Jawabku. “Untuk apa kau berdoa sedangkan Tuhanmu tidak memberikanmu apa-apa?” Tanya Madam lagi dengan penasaran. “Apa yang diberikan tidak selalu harus terlihat. Semua kenikmatan yang tidak terduga, itu dari Tuhan. Hanya kita tidak pernah menyadarinya” jawabku sambil tersenyum. Entah jawaban macam apa yang aku utarakan barusan. Namun Madam Patricia tersenyum seperti sangat mengerti apa yang aku ucapkan barusan. “Ajari aku berdoa, Salsa.” Kata Madam memohon dan kontan membuatku kaget. Aku bingung bagaimana mengajarkan seorang non-muslim berdoa, sedangkan ia tidak mengetahui apa agamanya. Ia tidak mengetahui Islam, tetapi yang ia lihat hanyalah ritual yang aku lakukan. “Kau hanya perlu menengadahkan kedua tanganmu dan menundukkan kepalamu, setelah itu ucapkan dalam hati apa yang kau inginkan.” Jawabku dan Madam Patricia mengangguk.
Suatu hari suamiku, Imam memberitahukan bahwa ia mendapat surat tugas penelitian ke London dan diperkirakan akan berlangsung tiga bulan lamanya. Itu berarti aku harus berpindah penginapan yang sudah disediakan pula di sana. Dan itu berarti pula aku harus berhenti menjadi pengasuh di Linden House. Aku hanya sempat berpamitan lewat telepon dengan Jackie Hampton, pemilik panti jompo itu karena terlalu mendadaknya rencana suamiku ini.
Setelah tiga bulan sejak dilakukan riset Imam, maka kami kembali ke flat di Hampshire. Kerinduanku langsung tertuju pada Madam Patricia. Namun hari sudah malam, aku pun mengurungkan niatku dan menundanya sampai esok hari.
Esoknya, aku segera bergegas menuju Linden House seperti biasa dengan naik bus dari halte Hampshire yang tak jauh dari flatku. Rasa tak sabar menggerogoti tubuhku, kerinduan terhadap Madam Patricia sudah tak terbendung lagi. Sesampainya, aku langsung menuju kamar nomor 20. Namun ketika aku membuka pintu kamar, bukan Madam Patricia yang kutemui, melainkan orang lain. Seorang kakek tua renta keriput yang sedang tertidur. Aku tidak berpikir apa pun. Mungkin ia sedang bermain di taman atau lapangan golf mini. Aku berjalan di koridor lantai dua Linden House melihat-lihat kamar-kamar yang mewah mirip dengan fasilitas hotel. Ketika di ujung koridor, terdapat tembok besar yang bertuliskan “Rest in Peace” beserta foto-foto penghuni Linden House yang sudah meninggal. Seingatku ada 30 foto yang terpasang di sana. Kuhitung sekarang sudah menjadi 31 foto. Aku bertanya dalam hati, siapa yang meninggal lagi. Kulihat di sudut kanan bawah tembok, terdapat foto wanita yang sangat aku kenali. Mataku terbelalak ketika menegaskan foto tersebut. Tertulis Patricia Poole di sana. Keterangan di sana mengatakan bahwa ia meninggal satu bulan yang lalu. aku takjub tak percaya. Segera aku turun untuk menemui Jackie untuk mendapatkan penjelasan tentang kabar yang belum aku percayai tadi.
Ketika aku turun menuju lobi di lantai bawah, terlihat perempuan tinggi semampai berambut coklat, berkulit putih, memakai baju stelan orang kerja, rok selutut berwarna hijau toska dan blezzer berwarna senada dengan rok dengan baju dalam putih. Ia sedang berbincang dengan Jackie Hampston dan perbincangan mereka berhenti ketika melihatku berjalan ke arah mereka yang berdiri di dekat meja reservasi. “Hai, Salsa. Aku tidak melihatmu datang. Kebetulan sekali nona ini ingin bertemu denganmu. Aku masih ada urusan, aku tinggal sebentar ya.” Kata Jackie sambil berpamitan masuk ke ruang kerjanya di sebelah meja yang ada di lobi tadi. Aku bersalaman dengan perempuan muda cantik di hadapanku, “Salsabila Fahira” kataku sambil berkenalan, “just call me Salsa.” Perempuan cantik itu menjawab dengan senyum yang menampakkan lesung pipinya yang membuatnya menjadi terlihat semakin manis, “Alicia Poole.” Aku semakin terkejut. Benarkah ini yang namanya selalu aku dengar dari Madam Patricia? “Aku anak dari Patricia.” Lanjutnya lagi.
Kemudian mereka berdua melanjutkan obrolan sambil berjalan di taman, “mama kena serangan jantung sebulan yang lalu. Aku tidak pernah mengetahui ia punya penyakit jantung, ia hanya memberitahu dokternya saja. Semenjak kau tidak bekerja mengasuh mama, ia ingin pulang dan merasa tidak betah lagi di Linden House. Akhirnya aku menyewakan perawat untuknya.” Aku terdiam menanggapi cerita Alicia, sesekali ingin memotong namun ragu. “Mama selalu menceritakan kau, perempuan berjubah di kepala, baik hati, ramah dan sangat penyayang. Bukan seperti yang diberitakan di televisi bahwa orang sepertimu adalah teroris, penyebar kejahatan dan pembuat keonaran.” Lanjut Alicia. “Belakangan, ia sering menengadahkan tangannya dan menunduk. Ia lakukan itu setiap hari. Ia bilang ia akan mendapatkan ketenangan setelah ia melakukannya.” Aku terkejut namun senang mendengar pernyataan Alice tersebut. “Mama menitipkan ini, bukalah” Alice menyodorkan sebuah kantong kertas kepadaku.  Ketika kubuka, ternyata isinya adalah dua helai kain persegi empat berwarna merah dan satu lagi berwarna biru, sebuah kerudung. Di dalamnya terdapat tulisan “keep praying”. Aku terharu sekaligus sedih karena merindukan sosok tua nan periang itu. “Kemudian ada ini”, Alice menyodorkan sebuah amplop besar berwarna coklat kepadaku. Ketika kubuka isinya adalah tiket pesawat keliling Inggris beserta voucher menginap di hotel yang telah disediakan. “Itu dariku, karena sudah merawat ibuku dengan sepenuh hati, karena telah membuatku menyesal mencampakkannya, karena sudah sangat rela direpotkan oleh ibuku.” Katanya dengan setitik air bening yang menghiasi pipinya. Aku terkejut bukan kepalang. Rasanya niatku bekerja di sini hanyalah untuk mengisi waktuku yang sangat kosong, entah apa yang membuatnya berbuah sangat manis seperti ini. “Ijinkan aku berbuat baik kepadamu untuk membayar kesalahanku pada ibuku, Salsa. Be my sister, please.” Kata Alicia lagi dengan penuh harap. Aku hanya mengangguk kemudian memeluk Alicia.

Setelah hari itu, aku dan Alicia menjadi sangat dekat. Aku direkomendasikan untuk bekerja di perusahaan tempat Alicia bekerja. Awalnya pimpinan sangat menolak, apa lagi kalau bukan karena sehelai kain di kepalaku. Namun karena begitu gigihnya Alicia memperjuangkanku, aku diterima sebagai staf kantor itu. Aku sangat bersyukur, niat kemanusiaan yang hanya setitik, kini berbuah sangat manis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar