Pelangi
Untuk Zahra
Liburan akhir sekolah tahun ini, Zahra
menemaniku berkunjung ke kampung halaman orangtuaku. Kami bersekolah di SMA
yang sama di daerah Jakarta. Dan sekarang
adalah detik-detik terakhir kami bersama. Kami akan segara berpisah,
mencari tempat menunut ilmu terbaik untuk menggapai masa depan kami
masing-masing. Aku memilih kuliah disalah satu PTN ternama di Jawa Tengah, dan
Zahra akan berkuliah di salah satu PTN Islam di Jakarta.
Zahra adalah sahabat karibku sejak
SMP. Bagiku, ia adalah sosok gadis yang cantik, dewasa dan cerdas. Zahra begitu
bijaksana dalam sagala hal. Hanya saja ada satu keterbatasan dirinya, ia tuna netra.
Kebutaannya adalah bawaan sejak lahir. Meski demikian, ia tidak pernah merasa
ingin diperhatikan lebih apalagi dikasihani. Ia bersekolah di sekolah umum dan
sampai sekarang ia bisa mengikuti seluruh pelajaran dengan baik-baik saja. Jika
saja ia bisa membaca secara normal maka pengetahuannya pastilah sudah melampauiku.
Sayangnya, buku-buku pengetahuan dengan huruf braille masih terbatas. Tetapi
Zahra selalu update terhadap informasi. Allah memberikannya pendengaran
yang sempurna dan itu sungguh dimanfaatkannya.
Senja yang mendung saat ini menemaniku
dan Zahra berbincang santai di atas kursi bambu yang menghadap ke arah kolam
air tawar yang dikenal dengan sebutan “sendang” oleh orang Jawa pada
umumnya. Aku memulai pembicaraan dengan Zahra yang sejak tadi hanya terdiam menikmati
sejuknya senja di daerah Ngimbang kala ini.
“Ra, tahu nggak, awalnya, sendang ini
ada secara alamiah. Tepinya terbuat dari batu alam dan dipinggirnya ada
lumut-lumut hijau yang licin. Tetapi saat ini sudah tidak bisa disebut alami
lagi, soalnya seluruh tepinya sudah di semen dan dibuat tangga untuk masuk
kedalam air. Beda banget sama suasana waktu zaman aku kecil dulu.”
Zahra tersenyum dan merubah posisi
duduknya, mencoba menghadapku. Hening, ia tak menjawab.
“Kalau kamu kesini dulu, semuanya
terlihat lebih alami. Oh iya, di daerah Ngimbang ini banyak lho situs prasasti
peninggalan kerajaan-kerajaan Jawa yang ditulis para pengarang buku sejarah.” Sambungku.
“Hush! Buku sejarah kok dikarang. Itu
fakta, Karla. Kamu dendam banget sih sama sejarah?” Sanggah Zahra. Ah, akhirnya
kudengar juga suaranya.
“Habisnya sejarah itu mengikuti siapa
yang berkuasa sih. Peristiwa-peristiwa seenaknya diubah, tergantung siapa yang
lagi duduk di singgasana kekuasaan.”
“Ya itu kan sejarah pemerintahan.
Kalau sejarah kerajaan-kerajaan lampau dan prasejarah, siapa juga yang mau
ngubah. Apa untungnya, La.” Ucapnya dengan lucu.
Sejenak terlepas tawa antara kita, sebelum
hening kembali menghampiri kami yang begitu menikmati betapa nyamannya
kesejukkan senja di pinggir sendang saat ini.
“Ra, ngomong-ngomong kita pas banget
ke Ngimbang sekarang. Kata Mbah Kakung, berdasarkan perhitungan primbon Jawa,
Jumat besok ditentuin sebagai hari pelaksanaan ruwatan lingkungan tahun ini
untuk memberkahi desa dan melindungi dari segala yang jahat.”
“Wah, lucu yah adat keyakinannya. Apa
tadi namanya? Ruwatan? Itu ritual kaya gimana?”
Belum sempat aku menjelaskan, Mbah Putri
memanggil kami pulang karena sudah hampir magrib. Mbah Putri berdalih, bahwa
anak gadis tidak baik berada di luar pada waktu magrib. Kalau istilah jawanya, “Ora Ilo” atau bisa
diartikan “Tidak Pantas”.
Kami berjalan pulang melewati jalan
setapak menuju pintu belakang rumah. Bila tidak melihat langsung, tak akan ada
yang menyadari bahwa aku sedang bersama orang tuna netra. Zahra sungguh peka
dan hati-hati, ia mampu untuk mandiri tanpa perlu dituntun setiap kali
berjalan.
Kami segara berkumpul di ruang tengah.
Mbak Sekar, kakak sepupuku sudah menyiapkan tikar untuk alas duduk, lengkap
dengan makan malam khas Jawa Timur ditengahnya. Mbak Sekar sudah tidak memiliki
orangtua dan tinggal di rumah Mbah untuk membantu merawat Mbah yang sudah tua. Menu
makan malam kali ini adalah Rujak Cingur. Kalau di Jakarta, rujak itu biasa diartikan
dengan bermacam irisan buah-buahan yang dicampur dengan bumbu kacang. Sedangkan
Rujak Cingur disini mungkin lebih tepat disebut gado-gado, karena isinya adalah
sayur-sayuran dan di ulek dengan bumbu kacang ditambah dengan cingur atau
hidung sapi.
Sambil makan malam lesehan beralaskan
tikar, kami berbincang-bincang. Mbah Putri dengan bangganya menceritakan
tradisi-tradisi Jawa dan peribahasa Jawa yang sudah biasa kudengar, yaitu “Mangan
Ora Mangan Sing Penting Ngumpul”. Atau dalam bahasa Indonesia, makan atau tidak
makan yang penting berkumpul.
“Maknanya itu dalam, nduk[1].
Ini menggambarkan sifat kekeluargaan yang kuat, jadi lagi makan atau ndak,
tetap bersama, kumpul. Ndak cuma kumpul mengitari meja makan pada saat santap
makan aja seperti orang-orang kota zaman sekarang.” Jelas Mbah Kakung.
“Makna makan disini juga bisa
diartikan sebagai kondisi yang sejahtera dan tidak makan diartikan sebagai
kondisi susah. Sehingga kita harus tetap bersama baik dalam kondisi sejahtera
ataupun susah.” Sambung Mbah Putri menjelaskan.
“Sudah Mbah, jangan pamer tradisi Jawa
terus, nanti Zahra malah betah dan nggak mau pulang ke Jakarta lagi” Candaku sambil
melirik Zahra.
Setelah makan malam, kami membantu
Mbak Sekar merapikan perabotan dan tikar makan. Aku melihat Zahra dan Mbak Sekar
sudah bercakap-cakap dengan akrabnya seperti sudah lama kenal.
Esok harinya aku mengajak Zahra lari
pagi sambil keliling desa.
“Ayo Ra, hari ini kita ke Sendang Gede
yah. Cuaca lagi cerah nih.”
“Sendang Gede? Apa lagi tuh, La? Yang
kemarin sendang apa?”
“Kemarin
itu mah sendang kecil desa, setiap desa juga ada. Ini Sendang Gede kecamatan Ngimbang,
Ra. Ada prasasti juga lho disana.”
“Oh begitu.Yuk,
aku ingin merasakan bagaimana suasananya.”
Setelah
sampai di Sendang Gede, aku mengajak Zahra berkeliling dan menunjukkan prasasti
yang ada disini.
“Coba kamu
raba prasastinya, Ra.”Ujarku sambil membantu Zahra mengukurkan tangannya kearah
prasasti.
Prasasti ini terletak di sebelah
timur sendang dan menancap di tanah, bagian bawahnya tidak diketahui
bentuk aslinya, apakah terdapat padmasana[2] ataukah langsung menancap
di tanah. Prasasti ini terlindungi dengan sebuah cungkup yang sederhana dengan
bagian atap terbuat dari seng. Sayangnya kondisi prasasti ini kurang terawat
dan rawan dari sisi keamanan. Disisi depan prasasti terlihat tulisan sebanyak
26 baris, disisi belakang juga ada tulisan sebanyak 26 baris. Tulisannya
sepertinya menggunakan aksara Jawa Kuno, walaupun tidak terbaca.
Kemudian aku membimbing Zahra
untuk duduk ditepi sendang dan merendam kaki kedalam air. Di pojok
sebelah kiri Sendang Gede, ada kolam yang lebih kecil dengan pancuran air. Dari
situ terlihat pelangi kecil akibat pantulan cahaya dari air tersebut. Aku menggenggam
tangan Zahra dan berkata halus kepadanya,
“Ra, tau gak? Kita lagi lihat pelangi
kecil di pancuran air dari ujung kolam lho. Tidak jauh berbeda dengan goresan
pelangi yang muncul di balik hujan yang baru saja reda. Pelanginya indah, Ra.
Kata orang, warna pelangi itu disebut mejikuhibiniu. Merah, jingga, kuning,
hijau, biru, nila, dan ungu. Gak bisa diungkapin sama kata-kata deh”
“Aku ingin
tau seperti apa pelagi itu, aku ingin tau apa itu warna sebenarnya, kok ada
merah, biru, kuning. Sayang yah, aku nggak bisa menikmati dan nggak pernah tau
keindahan satu ini.”
Deg! Aku
tersentak kaget, aku tersadar bahwa ucapanku tadi bukannya membuat Zahra
senang, melainkan membuatnya kecewa. Aku hanya diam tak menanggapi.
Tetapi
seperti biasa, Zahra tidak ingin orang melihat kekecewaannya dan lantas
mengasihinya. Ia segera mengalihkan pembicaraan.
“Oh iya Karla,
kemarin kamu cerita tentang ruwatan. Kamu belum jelasin ke aku ruwatan itu
apa?”
“Oh iya,
aku lupa. Ayolah kita pulang aja. Dan bertanya langsung sama Mbah Putri yang
lebih paham tentang ini.” Ajakku.
Sesampainya
kami dirumah, kami berbincang-bincang seputar ritual ruwatan dengan Mbah Putri
di ruang tengah. Mbah Putri menanggapi pertanyaan demi pertanyaan Zahra dengan
senang hati.
“Ruwatan
itu semacam ritual untuk
mengusir nasib buruk atau kesialan yang ada pada diri seseorang, nduk. Biasanya serangakaian dengan
penyembuhan secara gaib. Ruwatan yang mau diadakan jumat besok itu
ruwatan desa. Maksudnya, mau menjadikan lingkungan ini aman, sejahtera, jauh
dari gangguan makhluk halus. Kemudian akan diadakan pagelaran perwayangan kisah
Murwa Kala yang dilakukan oleh dalang khusus yang memiliki kemampuan dalam bidang ruwatan. Nah, kalau mau melakukan
ruwatan untuk diri sendiri caranya beda lagi. Biasanya di lakukan dengan
cara-cara tertentu seperti melakukan puasa, kendurian[3]
dan bertapa. Biasanya sekalian dengan pemandian keris juga. Dipercaya bahwa setelah adanya ritual
ini, maka kehidupan seorang yang diruwat akan menjadi lebih baik, lebih
sejahtera, lebih beruntung dan bisa sembuh dari penyakit yang dideritanya.” Mbah Putri
menjelaskan panjang lebar dengan tenang dan wibawa. Zahra terlihat sangat
antusias. Tetapi kali ini aku sungguh kaget akan tanggapan Zahra.
“Ada
penyembuhan gaib, Mbah? Itu bener bisa nyembuhin apa aja? Zahra bisa ikut nggak
ya Mbah? Pengen deh sembuh dari kebutaan. Zahra pengen banget melihat pelangi.”
“Masya
Allah, Aku nggak salah dengar nih? Yang
benar saja, Ra?”
Zahra
hanya tertawa kecil tak menjawab. Kemudian aku masuk kamar Mbak Sekar untuk
mengobrol dan meninggalkan Zahra dengan Mbah Putri berbincang-bincang seputar
ruwatan dan penyembuhan gaib. Aku tau, dibalik ketegarannya, di dalam hatinya
ia sangat menginginkan untuk dapat melihat. Tetapi aku tidak habis pikir jika
tersirat dalam benaknya untuk melakukan penyembuhan gaib.
Tak lama
kemudian Zahra masuk kamar dan memulai pembicaraan,
“Karla, kamu
disini?” Tanyanya memastikan keberadaanku. Sebelum aku mengiyakan, ia segera
melanjutkan kalimatnya lagi.
“Berdasarkan
informasi yang aku dengar dari Mbah Kakung dan Mbah Putri, ritual-ritual
semacam itu tuh, ajiannya pakai doa-doa bahasa arab gitu yah. Bacaannya juga
kalimat-kalimat zikir kok, La. Berarti nggak apa-apa dong.”
“Hush!
Jangan begitu, orang arab nyanyi lagu-lagu vulgar juga pakai bahasa arab. Jadi
jangan mentang-mentang pakai bahasa arab terus dianggap sah dalam islam. Arab
yo arab. Islam yo islam.” Tegas Mbak Sekar.
“Hehe, iya
Mbak. Maaf, aku kalap.”
Akhirnya
Zahra tidak lagi membahas tentang ruwatan dan penyembuhan gaib. Pada hari Jumat,
kami hanya datang melihat pelaksanaan prosesi ruwatan tersebut tanpa andil
sedikitpun. Aku bersyukur Zahra tidak mengharapkan keajaiban lewat jalan itu
lagi.
Esok
adalah hari terakhir kami singgah di kampung Orangtuaku ini. Aku ingin mengajak
Zahra berkeliling untuk terakhir kalinya. Akhirnya aku memutuskan akan mengajaknya
ke Makam Nyi Andong Sari, ibunda dari Patih Gajah Mada.
Keesokan
harinya, kami pergi ke Makam Nyi Andong Sari mengendarai sepeda motor. Awalnya
Mbak Sekar ingin ikut menemani kami, tetapi Mbak Sekar memilih mewakilkan kami ke
stasiun untuk membeli tiket pulang. Stasiun terdekat dari sini adalah Stasiun
Jombang. Jaraknya cukup jauh dan harus ditempuh dengan bus dan menyambung
perjalanan lagi dengan menggunakan angkot kecil. Mbak Sekar tidak tega
membiarkan waktu kami disini habis untuk perjalanan membeli tiket pulang. Akhirnya
kami dipersilahkan keliling sementara Mbak Sekar membeli tiket keretanya.
Di situs
Makam Nyi Andong Sari ini, terdapat makam Nyi Andong Sari selaku ibunda Patih
Gajah Mada. Uniknya, kami juga melihat ada makam kucing bernama Condromowo dan
makam Garangan Putih. Kami yang penasaran akhirnya bertanya kepada Pakde[4]
Agus, salah satu penjaga situs ini. Pakde Agus menjelaskan, bahwa kucing
tersebut mati dibunuh Nyi Andong Sari karena kesalahpahaman.
“Jadi begini nduk ceritanya. Dulu, saat Patih Gajah Mada masih bayi, Nyi Andong Sari meninggalkannya bersama peliharaannya
untuk mencari makanan. Peliharaannya itu seekor kucing bernama Condromowo dan
seekor garangan putih. Terus tiba tiba ada seekor ular besar ingin memakan bayi
Gajah
Mada. Garangan putih dan kucing Condromowo
berusaha menjaga Gajah Mada dan berusaha menyerang ular tersebut sampai
akhirnya ular tersebut mati. Ketika Nyi Andong Sari pulang dan melihat
disekujur tubuh peliharaannya banyak darah, Nyi Andong Sari mengira bahwa yang
menyerang anaknya adalah garangan dan kucing tersebut. Akhirnya kesalahpahaman
Nyi Andong Sari berbuah kematian pada garangan dan kucing peliharaannya. Nyi
Andong Sari membunuh kedua peliharaannya yang diduga telah membunuh bayinya itu.
Kemudian Nyi Andong Sari bergegas menuju tempat bayinya ditinggalkan. Tidak
disangka, bayinya masih hidup dan ada bangkai ular besar dan darah
disebelahnya. Dalam benak Nyi Andong Sari, ia salah telah membunuh kedua
peliharaannya. Seketika itu, muncullah jiwa ksatria Nyi Andong Sari. Ia
berkeyakinan bahwa mati harus ditebus dengan mati. Sambil berdoa agar ada yang
menemukan dan mau merawat bayinya itu, Nyi Andong Sari melakukan Suduk Sliro[5]
disamping bayinya.” Pakde Agus menjelaskan dengan panjang lebar.
Aku dan Zahra sampai terharu mendengar kisah
tersebut. Kesimpulan penting yang dapat ditarik dari kisah tersebut adalah
jangan cepat berprasangka yang akan menimbulkan kesalahpahaman dan jangan
bedebah dalam mengambil tindakan.
Setelah mengucapkan terimakasih dan berpamitan
pada Pakde Agus, kami pun beranjak pulang. Sesampai kami dirumah, kami
mendapati Mbah Putri dan Mbah Kakung sedang menangis. Kami mendapat kabar bahwa
bis yang Mbak Sekar tumpangi mengalami kecelakaan parah dan seluruh penumpang
terluka bahkan ada yang meninggal karena kehabisan darah.
Kami kaget luar biasa, bahkan hampir tak
percaya. Bagaimana mungkin? Baru tadi pagi kami berbincang dengan Mbak sekar.
Aku dan Zahra segera berangkat menuju rumah sakit tempat korban kecelakaan di
evakuasi ditemani beberapa tetangga. Tak lama kemudian, kami menemukan Mbak Sekar
dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Mbak Sekar yang sudah diambang
kesadarannya, berusaha tersenyum melihat kami. Sejujurnya, melihat kondisi Mbak
Sekar seperti itu, aku tidak yakin ia dapat bertahan. Dengan lemah,
jari-jarinya menunjuk matanya dan kemudian beralih ke mata Zahra. Mbak sekar
ingin menyampaikan bahwa ia ingin mendonorkan matanya untuk Zahra.
Zahra yang mengetahui hal tersebut begitu
perih hatinya. Disatu sisi ia sangat menginingkan memiliki sepasang mata untuk
melihat. Tetapi disisi lain, ia tidak ingin bahagia diatas penderitaan orang
lain. Tetapi ini bukanlah perbuatan zhalim,
ini adalah amanah dari Mbak Sekar. Aku pun berusaha membujuk Zahra dan
menenangkan hatinya.
“Ra, sungguh
aku juga nggak mau melihat sahabatku senang diatas penderitaan orang lain diakhir
hidupnya. Tetapi sekarang kamu pikir, bukankah sebuah kemuliaan jika kita mengabulkan
permintaan orang yang ingin pergi untuk selamanya? Zahra, ini untuk kebaikan
kita semua.”
Zahra
mengangguk sambil menangis. Hatinya bergejolak tiada menentu. Atas persetujuan Mbah
dan keluarga besar Mbak Sekar, akhirnya kami memutuskan untuk melakukan
tlanplantasi mata. Setelah dilakukan pemeriksaan untuk Zahra dan Mbak Sekar,
operasi segera dilaksanakan.
Operasi
ini berjalan lancar, tetapi nyawa Mbak Sekar tidak bisa diselamatkan. Karena
setelah operasi ia tidak sadarkan diri. Mengetahui hal ini, aku merasa lemas
tiada terkira. Tak lama kemudian kami melihat Zahra dan jenazah Mbak Sekar
keluar dari ruang operasi. Jenazah Mbak Sekar dibawa ke ruang jenazah,
sedangkan Zahra di bawa ke ruang rawat inap. Aku menemani Zahra yang sedang
kacau perasaannya. Matanya masih dilapisi perban dan boleh dibuka seminggu
kemudian. Hal ini mengakibatkan Aku dan Zahra harus tinggal di Jawa lebih lama
lagi.
Seminggupun berlalu begitu cepat. Dan
hari ini perban Zahra sudah bisa dilepas, itu berarti dia akan segera bisa
melihat. Hari ini hujan turun sangat deras, aku meminta dokter untuk membuka
perban Zahra setelah hujan mulai reda dan ketika Zahra pertama kali membuka
matanya, aku ingin ia bisa melihat pelangi yang akan muncul di balik hujan.
Begitu hujan mulai reda, dokter dan
aku membawa Zahra ke taman di belakang rumah sakit dan disana sudah mulai
tampak warna-warni pelangi yang menghiasi langit biru. Dokter mulai membuka
perban Zahra. Ketika Zahra perlahan membuka matanya, ia sungguh terkejut. Dan
betapa bahagianya aku, Zahra langsung mengenaliku. Aku memeluk Zahra erat dan
berkata,
“Ra, lihat di atas sana. Itulah
pelangi yang pernah kuceritakan. Dan sekarang kita bisa melihatnya bersama.”
Ucapku terharu. Aku tak kuasa menahan tangis karena haru. Dokter pun mengerti
suasana haru bahagia di antara kami dan meninggalkan kami yang larut dalam
bahagia.
Aku kembali menatap pelangi bersama
Zahra dan berharap Mbak Sekar bahagia melihat kami di alam sana.
I kok itu bedebah sih? Yang di nilai moral nyai andong? Bedebah kan artinya sialan. Mungkin maksudnya gegabah kali ya haha
BalasHapusIka