Rabu, 09 April 2014

Calon Arang

Calon Arang

Pada suatu masa di Kerajaan Daha yang dipimpin oleh Raja Erlangga, hidup seorang janda yang sangat bengis Ia bernama Calon Arang. Ia tinggal di desa Girah. Calon Arang adalah seorang penganut sebuah aliran hitam, yakni kepercayaan sesaat yang selalu mengumbar kejahatan menggunakan ilmu gaib. Ia memiliki seorang putrid bernama Ratna Manggali. Karena puterinya telah cukup dewasa dan Calon Arang tidak ingin Ratna Manggali tidak mendapatkan jodoh, maka ia memaksa beberapa pemuda yang tampan dan kaya untuk menjadi menantunya. Karena sifatnya yang bengis Calon Arang tidak disukai oleh penduduk Desa Girah. Tak seorang pemuda pun yang mau memperistri Ratna Manggali. Hal ini membat marah Calon Arang. Ia berniat untuk membuat resah warga Desa Girah.

“Kerahkan anak buahmu! Cari seorang anak gadis hari ini juga! Sebelum matahari tenggelam anak gadis itu harus dibawa ke candi Durga!“ perintah Calon Arang kepada Krakah, seorang anak buahnya. Krakah segera mengerahkan cantrik-cantrik Calon Arang untuk mencari seorang anak gadis. Suatu perkerjaan yang tidak terlalu sulit bagi para cantrik Calon Arang.
Sebelum matahari terbit, anak gadis yang malang itu sudah berada di Candi Durga. Ia meronta-ronta ketakutan. “Lepaskan aku! Lepaskan aku!“ teriaknya. Lama kelamaan anak gadis itu pun lelah dan jatuh pingsan. Ia kemudian di baringkan di altar persembahan. Tepat tengah malam yang gelap gulita, Calon Arang mengorbankan anak gadis itu untuk dipersembahkan kepada Betari Durga, dewi angkara murka.

Kutukan Calon Arang menjadi kenyataan. “Banjir! Banjir!“ teriak penduduk Girah yang diterjang aliran sungai Brantas. Siapapun yang terkena percikan air sungai Brantas pasti akan menderita sakit dan menemui ajalnya. “He, he… siapa yang berani melawan Calon Arang ? Calon Arang tak terkalahkan!” demikian Calon Arang menantang dengan sombongnya. Akibat ulah Calon Arang itu, rakyat semakin menderita. Korban semakin banyak. Pagi sakit, sore meninggal. Tidak ada obat yang dapat menanggulangi wabah penyakit aneh itu..

“Apa yang menyebabkan rakyatku di desa Girah mengalami wabah dan bencana?” Tanya Prabu Erlangga kepada Paman Patih. Setelah mendengar laporan Paman Patih tentang ulah Calon Arang, Prabu Erlangga marah besar. Genderang perang pun segera ditabuh. Maha Patih kerajaan Daha segera menghimpun prajurit pilihan. Mereka segera berangkat ke desa Girah untuk menangkap Calon Arang. Rakyat sangat gembira mendengar bahwa Calon Arang akan ditangkap. Para prajurit menjadi bangga dan merasa tugas suci itu akan berhasil berkat doa restu seluruh rakyat.

Semua prajurit datang dengan gagah berani siap bertempur dengan Calon Arang. Sesampainya disana semua prajurit tidak bertemu dengan Calon Arang tetapi mereka hanya bertemu dengan para cantrik. Mereka bertempur dengan sengit sampai banyak pertumpahan darah disana-sini. Hingga pada saatnya Calon Arang datang dengan arogannya dibalut dengan pakaian yang menyerupai jubah yang serba hitam dan tongkat besar dari kayu dengan bola kristal ungu yang berada tepat diatas tongkat itu. Mungkin dari tongkat itulah kekuatan sang penyihir itu ada. Dia berujar bahwa “tidak akan berhenti bencana ini melanda desa sebelum ada pria yang menikahi putriku!” dengan lantangnya dia berteriak kepada seluruh prajurit yang masih hidup.

Hari pun berselang, tak ingin seluruh penduduk desa terkena wabah penyakit yang tidak jelas datangnya dan tidak ditemukan obatnnya hingga kini, Empu Barada datang kepada pria muda yang bernama Empu Bahula, pria tampan, cerdas, dan memiliki badan yang tegap. Empu Barada menceritakan kronologi permasalahan yang sedang terjadi, hingga akhirnya pria ini mau mengikuti saran yang diberikan oleh Empu Barada.

Keesokan harinya Empu Barada bersama dengan Empu Bahula datang ke peraduan si penyihir itu dan bertemu pula dengan anak Calon Arang yaitu Ratna Manggali, yang tampak berbeda perawakannya dengan sang ibu. Ratna Manggali tidak tampak seperti anak seorang penyihir karena Ratna Manggali tampak cantik dan terlihat lebih natural. Setelah bernegosiasi dengan Calon Arang, dengan berbagai persyaratan yang ada yang salah satunya ialah membebaskan segala wabah yang merebak dan menjangkit para penduduk desa Girah. Calon Arang pun menyetujui perjanjian tersebut. “Hahaha, akhirnya ada pemuda yang mau menikahi puteriku!”.

Dengan wajah yang semringah Calon Arang pun menyiapkan pesta besar yang berlangsung selama 7 hari 7 malam, pesta ini sangat megah dengan seluruh makanan dan dekorasi yang cukup megah pula untuk merayakan pesta pernikahan puteri tunggalnya yang sekian lama ini susah untuk mendapatkan jodoh.

Setelah pesta itu selesai dan berlangsung selama 7 hari, Empu Bahula telah menyiapkan banyak strategi untuk dapat mengalahkan Calon Arang. Tanpa diketahui ternyata selain tongkat saktinya Calon Arang mempelajari ilmunya dari kitab yang berisi ilmu-ilmu gaib yang dikuasainya. Mungkin karena terlalu lelah akibat pesta yang berlangsung selama 7 hari itu, Empu Bahula berhasil mengambil kitab sakti itu.

Sebelum Calon Arang memngetahui kitabnya hilang, Empu Bahula memberikan kitab tersebut kepada Empu Barada untuk dipelajari ilmu yang dimiliki oleh Calon Arang, pada akhirnya Calon Arang menyadari bahwa kitabnya hilang dan sangat murka. Mengetahui bahwa kitabnya dicuri orang pertama yang dicari ialah si Empu Barada. Tanpa berbasa-basi dia datang kepada Empu Barada dan langsung menyerang Empu Barada dengan berbagai jurus yang dia miliki, tetapi karena Empu Barada telah mempelajari dengan baik, ilmu yang dilancarkan oleh Calon Arang dapat dimentahkan begitu saja dan kekuatan itu malah berbalik menyerang dirinya sendiri, dan pada akhirnya Calon Arang dapat ditangani dan tewas di tempat.


Pada akhirnya keadaan desa kembali seperti biasa dan wabah yang sebelumnya menjangkit para penduduk desa berangsur-angsur membaik dan semua penduduk dapat hidup normal seperti sebelumnya.

2 komentar:

  1. Imajinasinya kurang berkembang nih fahmi hahaha

    BalasHapus
  2. bukan begitu dil, takut pesan dan ceritanya ga sampai ke pembaca. haha..

    BalasHapus