Waktu
menunjukkan pukul enam. Suara adzan maghrib dan iqamah sang Muadzin di seberang
sudah terdengar. Langit pun menggelap, mengulum tetirah awan dan cahaya demi
cahaya yang pergi kea rah barat. Hembusan angin yang sedari tadi tadi menyapa
kulit berhasil membuatku bergidik berulang kali. Bahkan hawa dingin ini pun
membuatku ngilu setengah mati.
Pada saat seperti sekarang ini, kebanyakan orang sudah berada
di jalan pulang menuju ke rumah mereka masing-masing. Jam kerja telah usai,
jalan Tol yang tadinya sepi, pun jadi sesak dipenuhi hiruk-pikuk kemacetan lalu
lintas. Mulut-mulut yang tak sabar pun mulai bersumpah-serapah dan jeritan
klakson mobil yang segera ingin melaju dengan ganas. Kepal-kepala yang ingin
rebah juga sudah tak terhitung jumlahnya, menggerutu karena kemacetan yang
entah sampai kapan. Mungkin si Komo bukan
hanya numpang lewat, tapi bahkan
bertengger memaguti keramaian menjelang malam, mendengar ocehan-ocehan tak
berkelas dari muka-muka yang memerah. Maklum, Jakarta.
Tapi semua hal itu tidak berlaku untukku saat ini. Aku yang
tengah sibuk merapihkan diri dan duduk manis di rumah, bersiap-siap untuk
jamuan makan malam sederhana yang kutawarkan pada lelaki yang sudah cukup lama
kukenal. Aku duduk di sebuah kursi memandang cermin, memperhatikan kanvas
wajahku dan mulai memoles bedak, mengukir alis, melentikkan bulu mata, dan
mewarnai bibir. Sekiranya sudah lima belas menit aku menghabiskan waktu
bersolek dan merapihkan penampilanku sampai pada akhirnya telepon pun berdering,
disusul dengan suara berat seorang lelaki yang khas kuhafal. “Aku sudah sampai”.
Tubuh tegap itu pun masuk melewati pintu coklat kayu di
hadapanku. Dengan sigap, lelaki itu pun meraih tangan Ayahku dan Ibuku dengan
begitu sopan sambil mengucapkan salam dan sedikit basa-basi ala tamu sewajarnya.
Ayah, Ibu, dan lelaki itu pun masuk melalui ruang tamu menuju ruang makan di
sebelah kiri dari pintu masuk. Ruang tau yang tidak begituu besar, ada sebuah
meja makan panjang yang terbuat dari kayu dengan empat buah kursi yang tertata
rapih. Mereka pun duduk di kursi meja makan. Ayah berada di samping Ibu,
berhadapan dengan lelaki itu yang duduk di sebelah kursi kosong tempat aku akan
duduk. Semua hidangan sudah terhidangkan di atas meja. Aku mengambil sebuah
botol air mineral dari kulkas yang terletak di sebelah kiri meja makan,
menuangkannya ke tiap gelas yang ada di atas meja. segera aku duduk setelah
semua makanan dan minuman tersedia dia atas meja.
Jamuan makan malam pun dimulai. Piring-piring yang tadinya
kosong sekarang sudah terisi dengan berbagai macam makanan khas masakan padang.
Nasi panas yang mengepul ditambah dengan siraman kuah gulai ayam yang kental
mampu membuat siapapun lapar. Seakan suasana kehangatan kembai menyeruak di
dalam ruang makan ini, setelah sekian lama hanya menjadi saksi bisu tak
terjamah. Aku memandang ke sebelah kiriku, kulkas yang biasanya kosong
tiba-tiba penuh dengan berbagai macam bahan makanan untuk menu masakan jamuan
makan malam istimewa sekarang ini. Aku memutar pandanganku ke depan, ku lihat
Ayah dan Ibu yang sedang asik makan sambil sesekali berbincang dengan lelaki
itu, mereka terlihat begitu akrab. Kukerjapkan mataku mengarah ke atas melihat
lampu yang sekarang ini terlihat begitu terang dan membangitkan suasana hangat
dalam ruangan ini. Kuteguk segelas air sambil melihat ke sebelah kanan, dan tatkala
mataku dan mata lelaki itu bersentuhan, buru-buru aku tersenyum dan sebisa
mungkin menawarkannya makanan apa saja yang ada di dekatku. Hanya senyum simpul
yang terukir di wajahnya, membuat jantungku berdebar dua kali lebih cepat.
Piring-piring yang penuh tadi pun sudah kembali kosong. jamuan
makan malam pun usai. Aku dan Ibu bangkit dari kursi untuk membereskan alat
makan dan sisa-sisa makanan yang belum habis. Waktu menunjukkan pukul delapan,
dengan begitu cepat. Sudah waktunya meja dan kursi makan itu kembali tidur. Tak
lama lelaki itu pun pamit pulang dan mengucapkan terima kasih berulang kali
atas jamuan yang menurutnya luar biasa. Kami mengantarkannya ke pintu gerbang
dan menunggunya pergi sampa suara deru motor yang di kendarainya hilang
menjauh. Kami pun masuk kembali ke dalam rumah, bergegas membereskan meja makan
di ruang makan. Tak butuh waktu yang lama untuk membuat meja makan itu kembali
mengkilap. Setalah selesai, aku berpaling menatapi kursi tempat lelaki itu
duduk. Sang meja dan kursi butuh istirahat dan tidur lelap untuk berbagai macam
makanan dan orang-orang yang lapar menunggu esok hari. Aku mematikan lampu, mengakhiri
malam dari sebuah meja makan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar