Ruang
Yasmin Nomor Lima
Ku tarik nafas
dalam ketika ku lihat nama ruangan lengkap dengan nomornya yang tertera di
bagian atas pintu. Ku genggam pegangan pintu model lama bercat coklat tua,
sedikit mendorongnya agar terbuka. Tak banyak perabotan mengisi kamar ini.
Barang-barang yang ada pun ditata dengan rapi dan bersih sehingga memberi kesan
kamar ini terlihat lebih luas dan lapang. Udara sejuk, bersih, bercampur dengan
bau obat-obatan tercium pula seperti di luar kamar ini ataupun ruangan-ruangan
di rumah sakit pada umumnya. Tak terdengar suara bising sedikitpun dari sini.
Hanya sesekali terdengar derap kaki orang berjalan santai atau terburu-buru
dari luar. Begitu tenang.
Di depanku, di
seberang ruangan, terdapat dua buah sofa. Satu sofa berukuran pendek dan satu
lagi berukuran panjang, keduanya ditata berjejer merapat ke dinding. Di atasnya
tiga jendela besar terbentang, memberi pencahayaan yang baik untuk kamar
berukuran sedang ini dengan tirai putih yang menghiasinya. Sebuah pendingin ruangan di atasnya, yang
sesekali dinyalakan.
Ku langkahkan kakiku perlahan agar tidak menimbulkan suara,
menghampiri sofa panjang yang ada di depanku itu, bermaksud mendudukinya. Tak jauh dari sofa yang ku duduki, sebelah
kanannya adalah kamar mandi sederhana berukuran 2x1,5 meter. Di sebelah kiriku,
atau pojok kamar ini, sebuah meja kayu berbentuk segi empat yang memiliki
laci-laci di bawahnya, ditutupi kain
biru dongker bermotif bunga-bunga.
Tepat di ujung pandanganku adalah pintu yang tadi ku gunakan untuk
masuk. Satu-satunya pintu yang digunakan untuk masuk dan keluar ruangan ini. Di
samping kiri pintu itu, ada sebuah kulkas model satu pintu berwarna putih yang
mulai memudar. Tak penuh isinya, hanya buah-buahan, beberapa makanan kecil, dan
dua botol air mineral satu liter. Seukuran dengan kulkas yang ada disampingnya,
sebuah lemari kayu berpintu dua yang hanya berisi beberapa helai pakaian dan
sebuah tas besar. Sebuah televisi berlayar 21 inch diletakkan di atas lemari
itu. Lalu ada segelas air putih dengan sedotan didalamnya dan sebuah teko
transparan di atas sebuah meja yang diperuntukkan untuk menaruh makanan,
berkaki roda sehingga mudah di geser kesana kemari. Di sampingnya, sebuah
tempat tidur khas rumah sakit dipepetkan hingga pojokan, lengkap dengan gagang
infus dan tabung oksigen yang ada disebelahnya.
Seorang wanita paruh baya tertidur lemah di atas tempat tidur itu
dengan mukena yang belum dilepaskannya. Terbatuk-batuk dan sesekali mencoba
untuk menarik nafas panjang. Berselimut agak tebal untuk menghangatkan suhu tubuh. Selang
oksigen tak lepas dari hidungnya, tersambung dengan tabung oksigen yang ada di
samping tempat tidur, membantu menambah oksigen yang masuk ke dalam
paru-parunya.
Aku melihat isi termos di atas meja yang ada di sampingku. Isinya
mungkin tak sampai setengah gelas, sehingga harus segera diisi. Aku berdiri dan
perlahan melangkah berjalan ke pintu. Sebelum ku rapatkan daun pintu, ku
sempatkan melirik ke asal suara yang memanggilku lemah. Wanita yang ku panggil
ibu itu telah terjaga dan memandangiku. Ia tersenyum. Aku balas menatapnya dan
tersenyum pula. “aku keluar sebentar, Bu”. Lalu ku rapatkan perlahan daun pintu
ruang yasmin nomor 5 itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar