Sungguh, bukannya aku tak mau
beranjak dari tebalnya selimut dan empuknya kasur ini. Seakan “terikat” oleh
peristirahatan yang panjang. Ya, Selasa pagi ini tepat lima hari kesehatanku
tak kunjung membaik. Rasa ngilu yang menjalar di seluruh tubuh membuatku
merintih dalam diam. Bulir-bulir keringat sebesar biji jagung yang sedari tadi
sudah kuusap untuk kesekian kali pun tak juga berhenti. Panas, kering dan haus
di tenggorokan ini terasa begitu mencekik. Belum lagi pusing di kepala yang
untung saja tidak membuat kedua bola mataku nyaris “lompat” keluar.
Masih buram. Kukerjapkan mataku berulang kali, mencoba
memperjelas pandangan yang kulempar ke sekitar. Ruang yang biasa kusebut
“kamar” ini sangat bersahabat dan mempunyai kenyamanan yang tak terbantahkan.
Begitu melewati pintu depan kamar, udara sejuk yang berasal dari alat pendingin
ruangan di sebelah kiri pintu itu dengan segera melepas rasa gerah yang
melekat. Ruangan ini tidak terlalu besar, tapi cukup luas dengan barang-barag
yang tertata rapih pada tempatnya. Sejajar dari pintu masuk, ada sebuah pintu
menuju balkon. Di samping kirinya terdapat dua buah jendela yang berbau kayu
lapuk, tapi masih tampak terlapisi bagus oleh tirai satin itu. Di depannya ada
sebuah meja belajar dan kursi, tempat biasa ku duduk dan bercengkrama dengan
setumpuk buku dan tugas-tugas perkuliahan.
Masih di sebelah kiri, ada sebuah kasur kecil yang begitu
empuk. Ukurannya hanya cukup untuk satu orang, dan di letakkan terlalu rapat
dengan dinding. Kasur ini berbalut seprai lembut bermotif gajah abu-abu, juga
sebuah selimut tebal, bantal dan guling serta boneka beruang setengah tinggiku
tertata rapih diatasnya.
Nah, mulai lagi. Sesaat lalu mataku sudah hampir terpejam
ketika nikmatnya alunan music pop dan
jazz kesukaanku mengalun dari sebuah
radio tua di atas lemari kecil tempatku menata rapih seluruh koleksi jilbab dan
sepatuku. Namun, decitan pintu lemari di seberang kanan tempat ku berbaring
berulang kali membuat mataku kembali terbuka. Pasti karna terlalu banyak baju
beraneka ragam dan warna yang mengganjal pintu lemari putih tulang itu tidak
tertutup rapat.
Ini lantai dua. Sebuah tangga tua menghubungkann kamarku
dengan ruangan-ruangan lainnya di lantai bawah. Seakan begitu dekatnya dengan
tangga, bahkan tanpa perlu beranjak dari tempatku berbaring, aku bisa mendengar
jika ada suara langkah kaki seseorang menaiki tangga dan menuju kamarku. Dan
benar saja, tepat setelah langkah kaki itu berhenti di depan pintu kamarku,
disusul dengan beberapa ketukan “permisi” yang kembali membuatku gagal pulas.
Segera gagang pintu itu mengarah kebawah tanda akan terbuka. “ini teh dan
buburnya, ayo dimakan dulu.” Suara lembut Ibu dan bau manis bubur ayam panas,
lengkap dengan bumbu, taburan kerupuk dan siraman kecap manis benra-benar
membuatku terjaga untuk perut yang tak lagi lapar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar