Kamis, 03 April 2014

Kamar Lantai Dua



Sungguh, bukannya aku tak mau beranjak dari tebalnya selimut dan empuknya kasur ini. Seakan “terikat” oleh peristirahatan yang panjang. Ya, Selasa pagi ini tepat lima hari kesehatanku tak kunjung membaik. Rasa ngilu yang menjalar di seluruh tubuh membuatku merintih dalam diam. Bulir-bulir keringat sebesar biji jagung yang sedari tadi sudah kuusap untuk kesekian kali pun tak juga berhenti. Panas, kering dan haus di tenggorokan ini terasa begitu mencekik. Belum lagi pusing di kepala yang untung saja tidak membuat kedua bola mataku nyaris “lompat” keluar.
        Masih buram. Kukerjapkan mataku berulang kali, mencoba memperjelas pandangan yang kulempar ke sekitar. Ruang yang biasa kusebut “kamar” ini sangat bersahabat dan mempunyai kenyamanan yang tak terbantahkan. Begitu melewati pintu depan kamar, udara sejuk yang berasal dari alat pendingin ruangan di sebelah kiri pintu itu dengan segera melepas rasa gerah yang melekat. Ruangan ini tidak terlalu besar, tapi cukup luas dengan barang-barag yang tertata rapih pada tempatnya. Sejajar dari pintu masuk, ada sebuah pintu menuju balkon. Di samping kirinya terdapat dua buah jendela yang berbau kayu lapuk, tapi masih tampak terlapisi bagus oleh tirai satin itu. Di depannya ada sebuah meja belajar dan kursi, tempat biasa ku duduk dan bercengkrama dengan setumpuk buku dan tugas-tugas perkuliahan.
        Masih di sebelah kiri, ada sebuah kasur kecil yang begitu empuk. Ukurannya hanya cukup untuk satu orang, dan di letakkan terlalu rapat dengan dinding. Kasur ini berbalut seprai lembut bermotif gajah abu-abu, juga sebuah selimut tebal, bantal dan guling serta boneka beruang setengah tinggiku tertata rapih diatasnya.
        Nah, mulai lagi. Sesaat lalu mataku sudah hampir terpejam ketika nikmatnya alunan music pop dan jazz kesukaanku mengalun dari sebuah radio tua di atas lemari kecil tempatku menata rapih seluruh koleksi jilbab dan sepatuku. Namun, decitan pintu lemari di seberang kanan tempat ku berbaring berulang kali membuat mataku kembali terbuka. Pasti karna terlalu banyak baju beraneka ragam dan warna yang mengganjal pintu lemari putih tulang itu tidak tertutup rapat.
        Ini lantai dua. Sebuah tangga tua menghubungkann kamarku dengan ruangan-ruangan lainnya di lantai bawah. Seakan begitu dekatnya dengan tangga, bahkan tanpa perlu beranjak dari tempatku berbaring, aku bisa mendengar jika ada suara langkah kaki seseorang menaiki tangga dan menuju kamarku. Dan benar saja, tepat setelah langkah kaki itu berhenti di depan pintu kamarku, disusul dengan beberapa ketukan “permisi” yang kembali membuatku gagal pulas. Segera gagang pintu itu mengarah kebawah tanda akan terbuka. “ini teh dan buburnya, ayo dimakan dulu.” Suara lembut Ibu dan bau manis bubur ayam panas, lengkap dengan bumbu, taburan kerupuk dan siraman kecap manis benra-benar membuatku terjaga untuk perut yang tak lagi lapar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar