Fajar Ramadhan di Penjara Suci
Melihat jam weker
yang ada di atas meja kamarku yang berada di lantai tiga, kurang dua puluh lima menit lagi akan genap menunjukkan pukul
empat subuh. Langit jelas masih nyaman dengan gelapnya
karena matahari belum waktunya terbit bahkan fajar pun belum
menyingsing. Udara dingin nan membuat segar jika terhirup ke dalam paru-paru. Sayup-sayup terdengar alunan nasyid yang dinyalakan dari kantor
kesantrian oleh salah satu ustadzah pengasuh yang mendapat giliran piket pagi itu, dan diperdengarkan ke
seluruh tempat yang sering disebut-sebut sebagai ‘penjara suci’ oleh para
santrinya, melalui pengeras suara yang ada hampir di setiap sudut.
Hiruk-pikuk di tengah kedamaian fajar sekarang ini biasa terjadi pada
saat subuh setiap harinya, apalagi pada bulan Ramadhan
seperti ini. Assaalaam akan terbangun lebih awal dari lelapnya. Tidak ada lagi santri yang masih nyaman tertidur di
kamarnya. Semua pintu dan jendela kamar sudah terbuka lebar bahkan dari satu
jam yang lalu menandakan bahwa penghuninya sudah terjaga. Tak lagi sepi seperti
sebelumya yang hanya terdengar suara dari roda sepeda
pak satpam yang berkeliling pondok ataupun suara kesibukan memasak di resto.
Tempat makan para santri atau yang kami sebut dengan
resto, berada kira-kira dua puluh meter tak jauh dari samping kanan asramaku
bahkan sudah mulai sepi. Tak ada lagi antrian mengular panjang seperti dua
puluh atau tiga puluh menit yang lalu. Hanya tinggal beberapa orang santri yang
tengah menyantap habis sahurnya. Pun dengan ibu-ibu yang sudah dari tengah
malam tadi sibuk memasak makanan sahur di dapur dan
membagikannya kepada para santri yang mengantri, kini sudah mulai perlahan
membereskan dan membersihkan sisa-sisa makanan dan wajan-wajan besar yang
kotor.
Empat rayon
asrama disekeliling resto, termasuk rayon tempat kamarku berada,
mulai kosong ditinggal penghuninya. Sebagian santri sudah memenuhi deretan
kamar mandi yang ada di samping tiap rayon, menunggu antrian mandi sambil
bersenda gurau dengan temannya yang membuat keadaan tambah riuh. Yang lainnya
menunggu antrian sembari membaca buku dari pelajaran yang akan diujikan hari
ini di kelas nanti. Ada pula yang menunggu gilirannya sambil duduk
terkantuk-kantuk memeluk handuk dan peralatan mandinya. Reser voir yang yang
ada di samping kamar mandi pun penuh dengan para santri yang mencuci pakaian
atau pun menjemur pakaian basah yang selesai dicucinya di jemuran yang berada
di antara kamar mandi dan reser voir.
Sekumpulan santri berukuh putih-putih
melewati jalan yang ada di depan rayon kamarku. Dari sini dapat kulihat mereka berjalan
menuju masjid untuk menunggu waktu subuh. Melewati pepohonan disamping area
lapangan olah raga, kelas, taman, dan Assalaam Center yang sekarang ini
terlihat agak gelap dan sepi. Lain halnya jika siang hari, tempat-tempat itu
pasti akan ramai orang berlalu lalang.
Alunan nasyid yang terdengar dari pengeras suara kini berganti
dengan lantunan ayat suci yang menambah segar suasana Ramadhan pagi ini,
sekaligus menunjukkan bahwa sebentar lagi akan tiba waktu fajar dan adzan subuh
akan segera dikumandangkan. Kamar-kamar di tiap rayon
mulai kosong, begitu pula dengan kamar mandi dan reser voirnya. Pastilah berbeda dengan masjid Assalaam yang
kini justru mulai penuh dengan santri yang berdatangan.
Pukul empat lewat sepuluh menit pintu resto sudah tertutup dan
lampu-lampunya sudah dipadamkan oleh ibu-ibu resto, karena pada saat adzan
subuh berkumandang yang bersamaan dengan sampainya aku di masjid,
mereka pun akan bergegas menuju masjid untuk
menunaikan sholat subuh berjamaah, lalu pulang beristirahat dan mengumpulkan energi
untuk kembali lagi ba’da ashar nanti
menyiapkan ta’jil dan makan
malam untuk berbuka bagi kami, para santri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar