Perjalananku ke Kampus di Pagi yang
Mendung
Sudah pukul 06.45, waktunya saya untuk memulai rutinitas seperti
biasa. Kulangkahkan kakiku meninggalkan rumah bercat kuning yang diberi pagar
besi hitam menuju tempatku menimba ilmu. Sepanjang perjalanan kutengok kiri dan
kanan, sepi sekali. Toko-toko dan warung masih tertutup rapat. Padahal biasanya
dijam-jam ini mereka sudah bersiap menjual barang dagangannya. Pagi ini memang
mendung, langit yang biasanya biru cerah kini berubah menjadi abu-abu. Matahari
pun malu-malu menampakkan dirinya. Cuaca seperti ini membuat setiap orang malas
untuk memulai aktifitas. Begitu juga denganku, sebenarnya saya malas harus
berangkat pagi-pagi begini. Namun perasaan seperti itu harus saya buang jauh-jauh.
Cuaca panas, mendung atau hujan pun tidak berpengaruh. Seperti
biasa, jalanan di pagi hari tetap saja macet. Jumlah kendaraan yang banyak
membuat sesak jalanan. Ditambah lagi angkot yang menaikkan atau menurunkan
penumpang memperparah kemacetan. Suara gemuruh mesin dan bunyi klakson di
sana-sini, terdengar bising di telinga. Mobil dan motor tidak mau mengalah,
saling mendahului satu sama lain. Berebut jalanan agar tidak telat masuk kerja,
langit yang mendung membuat hari terasa masih pagi padahal sebenarnya beberapa
menit lagi jam menunjukkan pukul 07.00.
Tiba juga saya di depan gedung dengan tujuh lantai. Kutengok jam
tangan ungu yang kupakai di tangan kiriku. Tepat pukul 07.00. Suasananya masih
sepi, hanya beberapa orang yang sudah datang. Kendaraan pun baru ada beberapa
yang lewat dan terparkir di parkiran. Padahal biasanya jam segini kampus sudah
ramai. Para mahasiswa biasanya duduk-duduk di teras dekat taman sambil
mengobrol dengan temannya masing-masing, menunggu kelas dimulai. Begitu pun
dengan pintu gedung. Walaupun waktu sudah menunjukkan pukul 07.00 namun masih
terkunci. Akhirnya saya duduk di teras, menunggu pintu gedung terbuka.
Saya tidak sendiri, ada beberapa orang yang duduk di sebelahku dan
sebagian lagi di belakang. Di sebelah kananku ada dua orang mahasiswi, yang
satu memakai kerudung biru dan yang satunya lagi memakai pashmina polkadot
coklat. Mereka berdua asik mengobrol, sesekali tertawa. Sepertinya mereka teman
sekelas karena terlihat begitu akrab. Berbeda dengan seorang mahasiswi di
sebelah kiriku. Mahasiswi berkerudung abu-abu itu asik dengan smartphonenya. Di
tangannya ada sebuah buku yang cukup tebal, namun saya tidak tahu buku apa itu.
Saya duduk lumayan jauh dengannya, jadi saya tidak bisa melihat dengan jelas
judul buku itu.
Langit masih mendung. Semilir angin berhembus pelan membuat udara
terasa segar. Segar karena belum banyak tercemar oleh asap kendaraan maupun
asap rokok. Lihat saja jika hari semakin siang udara akan terasa panas dan
bercampur dengan polusi. Membuat pernapasan menjadi sesak. Andai saja udara di
Jakarta segar seperti ini, bisikku dalam hati. Halaman gedung ini terlihat
bersih. Sepertinya sudah dibersihkan oleh bapak-bapak yang membawa sapu tadi
yang kutemui di jalanan depan gedung ini. Begitu pun dengan tong sampah yang
sudah terisi penuh. Lima belas menit berlalu, pintu gedung masih tetap
terkunci. Suasana sudah mulai ramai, satu per satu orang mulai berdatangan.
Dari kejauhan nampak seorang bapak-bapak berseragam hitam, bergegas menuju
kemari. Ternyata bapak itu datang membawa kunci pintu gedung tersebut. Akhirnya
pintu pun terbuka dan orang-orang yang sudah menunggu cukup lama beranjak dari
tempat duduknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar