Pada
jaman dahulu hidup seorang pemuda bernama Jaka Tarub di sebuah desa di daerah
Jawa Tengah. Ia tinggal bersama ibunya yang biasa dipanggil Mbok Milah. Ayahnya
sudah lama meninggal. Sehari hari Jaka Tarub dan Mbok Milah bertani padi di sawah.
Pada
suatu malam, ditengah tidurnya yang lelap, Jaka Tarub bermimpi mendapat istri
seorang bidadari nan cantik jelita dari kayangan. Begitu terbangun dan
menyadari bahwa itu semua hanya mimpi, Jaka Tarub tersenyum sendiri. Walaupun
demikian, mimpi indah barusan masih terbayang dalam ingatannya. Jaka Tarub
tidak dapat tidur lagi. Ia keluar dan duduk di ambengan depan rumahnya sambil
menatap bintang bintang di langit. Tak terasa ayam jantan berkokok tanda hari
sudah pagi.
Siang
hari ketika Mbok Milah sedang berada di sawah, tiba tiba datang Pak Ranu
pemilik sawah sebelah menghampirinya. “Mbok Milah, mengapa anakmu sampai saat
ini belum menikah juga ?”, tanya Pak Ranu membuka percakapan. “Entahlah”, kata
Mbok Milah sambil mengingat kejadian tadi pagi. “Ada apa kau menanyakan itu Pak
Ranu ?”, tanya Mbok Milah. Ia sedikit heran kenapa Pak Ranu tertarik dengan
kehidupan pribadi anaknya. “Tidak apa apa Mbok Milah. Aku bermaksud menjodohkan
anakmu dengan anakku Laraswati”, jawab Pak Ranu.
Mbok
Milah terkejut mendengar niat Pak Ranu yang baru saja diutarakan. Ia sangat
senang. Laraswati adalah seorang gadis perparas cantik yang tutur katanya lemah
lembut. Ia yakin kalau Jaka Tarub mau menjadikan Laraswati sebagai istrinya.
Walaupun demikian Mbok Milah tidak ingin mendahului anaknya untuk mengambil
keputusan. Biar bagaimanapun ia menyadari kalau Jaka Tarub sudah dewasa dan
mempunyai keinginan sendiri. “Aku setuju Pak Ranu. Tapi sebaiknya kita bertanya
dulu pada anak kita masing masing”, kata Mbok Milah bijak. Pak Ranu mengangguk
angguk. Ia pikir apa yang dikatakan Mbok Milah benar adanya.
Jaka
Tarub adalah seorang pemuda yang sangat senang berburu. Ia juga seorang pemburu
yang handal. Keahliannya itu diperolehnya dari mendiang ayahnya. Jaka Tarub
seringkali diajak berburu oleh ayahnya sedari kecil. Pagi itu Jaka Tarub telah
siap berburu ke hutan. Busur, panah, pisau dan pedang telah disiapkannya. Iapun
pamit pada ibunya.
Tak
memakan waktu lama di tengah hutan, Jaka tarub berhasil memanah seekor
menjangan. Hatinya senang. Segera saja ia memanggul menjangan itu dan bermaksud
segera pulang. Nasib sial rupanya datang menghampiri. Tengah asyik berjalan,
tiba tiba muncul seekor macan tutul di hadapan Jaka Tarub. Macan itu mengambil
ancang ancang untuk menyerang. Jaka tarub panik. Ia segera melepaskan menjangan
yang dipanggulnya dan mencabut pedang dari pinggangnya. Sang macan bergerak
sangat cepat. Ia segera menggigit menjangan itu dan membawanya pergi.
Nasib
sial belum mau meninggalkan Jaka tarub. Setelah berjalan dan menunggu beberapa
kali, tak seekor hewan buruanpun yang melintas. Matahari makin meninggi. Jaka
Tarub merasa lapar. Tak ada bekal yang dibawanya karena ia memang yakin tak
akan selama ini berada di hutan. Akhirnya Jaka Tarub memutuskan untuk pulang
walau dengan tangan hampa.
Sesampai nya dekat rumah, Jaka
Tarub melihat banyak orang yang sedang berada di rumah nya. Pak
Ranu teman dekat Mbok Milah segera menghampiri Jaka Tarub dan menepuk
pundaknya. Jaka Tarub semakin panic sebenarnya apa yang sedang terjadi, ternyata
terjawab sudah. Ia melihat Ibunya yg berada di atas kursi sudah tidak bernafas
lagi, Terjawab sudah mengapa Jaka Tarub mengalami hal sial yang terus-menerus
terjadi saat itu.
Setelah
kepergian Ibunya, Jaka tarub setiap hari pergi berburu, dan selalu memberikan
hasil buruannya kepada warga sekitar, karena hanya hal itu yang hanya ia bisa
perbuat saat ini. Suatu saat Jaka Tarub pergi berburu di hutan yang bernama
Wanawasa. Jaka Tarub berburu hingga siang, dan karena ia berburu, Jaka Tarub
pun kehausan. Ia pun pergi ke danau dekat hutan yang bernama Danau Toyawening.
Sesampainya disana, Jaka Tarub mendengar suara para gadis yang seding tertawa
satu sama lain. Jaka Tarub berfikir “ah, mana mungkin ada perempuan di sekitar
sini, apalagi di dekat hutan belantara seperti ini.” Ujarnya. Merasa tidak
yakin ia mengikuti suara itu dan sampai ke titik dimana suara itu terdengar.
Terkejut, Jaka Tarub melihat tujuh gadis cantik yang sedang mandi di danau
tersebut.
Jaka
Tarub mulai berangan-angan, mungkin ini mimpi yang dimaksud sewaktu Jaka Tarub
tidur,melihat sesosok bidadari. Dalam hari berkata “jika aku mencuri salah satu
pakaian mereka, pasti mereka tidak akan bisa pulang ke kayangan.” Tanpa
berpikir panjang, Jaka Tarub mengambil selendang berwarna merah mencolok,dan
segera bersembunyi. Sore pun tiba, ketujuh gadis itu pun segera berpakaian dan
bersiap-siap untuk pulang ke kayangan. Tetapi ada satu gadis yang merasa
pakaiannya hilang dan merasa panik akan hal itu, Nawangwulan namanya.”dimana
selendangku? Aku tidak dapat melihatnya, apakah diantara kalian ada yang
melihat selendangku?” dengan nada pelan dan mulai menangis Nawangwulan berkata.
Teman-temannya pun terlihat bingung karena mereka pun tidak tahu dimana letak
selendang Nawangwulan berada. Lama mereka mencari selendang tersebut, nihil
hasilnya. Hari mulai gelap dan para bidadari harus kembali ke kayangan. “maaf
Nawangwulan, kami harus pergi sekarang,sudah larut.” Ujar para bidadari.
Nawangwulan hanya bisa mengangguk dan menerima nasibnya, mungkin memang takdirnya
aku hidup di bumi.
Nawangwulan
bernazar jika perempuan yang menemukan selendangku, akan aku jadikan saudara,
dan apabila itu laki-laki, akan ku jadikan suamiku. Jaka Tarub yang bersembunyi
pun mendengar suara Nawangwulan dan segera memberikan pakaian kepada
Nawangwulan. “pakailah pakaian itu, hari sudah malam, kelak seluruh langit akan
gelap gulita.” Ujar Jaka Tarub. Tidak lama setelah itu Nawangwulan memakai
pakaian yang diberikan dari Jaka Tarub, dan sesuai dengan perkataannya,
Nawangwulan menyediakan dirinya menjadi istri Jaka Tarub.
Hari
demi hari, bulan berganti bulan. Jaka Tarub dan Nawangwulan dikaruniai seorang
putri yang mereka beri nama Nawangsih, semakin lengkap keluarga mereka. Suatu
hari Nawangwulan hendak membeli pangan untuk keperluan sehari-hari dan berkata
“mas, aku pergi dulu sebentar, tempat nasi yang sedang dimasak jangan dibuka
sebelum aku pulang.” Kata Nawangwulan. Jaka Tarub pun mengangguk. Siang hari
Jaka Tarub mengecek sawah dekat rumahnya, berpikir kenapa padi disini tidak pernah
habis dan berkurang, tetapi semakin banyak dan lebat. Sehabisnya berburu, Jaka Tarub merasa lapar dan tidak sengaja
membuka tempat nasi yang sedang dibuat Nawangwulan. Kaget dibuka nya, tempat
nasi itu berisikan hanya setangkai padi, sepulangnya Nawangwulan, dia melihat
Jaka Tarub yang sudah membuka tatakan nasi itu.”mengapa engkau membuka nya
mas?sudah kubilang untuk tidak membukanya. Sekarang aku tidak bisa lagi
menggunakan kekuatanku, kita harus bertanam padi sendiri mulai sekarang”.
Dengan nada sedikit kesal. Jaka Tarub pun merasa bersalah dan tidak tahu harus
berbicara apa.
Keesokan
harinya, suami istri itu pun mulai bekerja di sawah lebih giat dari hari
sebelumnya, mengetahui Nawangwulan tidak bisa lagi menggunakan kekuatan yang ia
punyai dari kayangan. Semakin hari padi yang mereka punyai semakin berkurang
dan sedikit, sampai-sampai rata terlihat oleh mata. Suatu saat Nawangwulan
mencabuti padi yang berada di sawah, tetapi saat itu ia memegang suatu yang
berbeda, lebih halus rasanya. Tak lama kemudian ia menarik objek tersebut, dan
tak tersangka benda halus tersebut adalah selendang kayangannya. Sungguh panik
dan terkejut ekspresi Nawangwulan saat itu, pria yang menjadi suami nya saat
ini adalah seorang yang menipu nya, dan menyembunyikan selendangnya selama ini.
Sesampai nya Nawangwulan di rumah dan bertemu Jaka Tarub, ia berkata “ini
selendangku yang aku temukan di sawah sore hari ini, kenapa engkau tega
melakukannya Jaka Tarub?”. Kaget melihatnya, Jaka Tarub lagi-lagi tidak bisa
berbuat apa-apa dan hanya terdiam. Lanjutnya Nawangwulan berkata “mulai saat
ini kita bukan lagi suami istri, aku akan kembali ke kayangan.” Diam dan tak
terucap, Jaka Tarub tidak membalas ucapan yang dikatakan oleh Nawangwulan,
hanya anggukan sedih dan sesal saja yang ia hanya bisa perbuat. Dan terkahir
Nawangwulan berkata, “Nawangsih juga anakku, dan aku mencintainya, jika suatu
saat ia ingin bertemu ibunya, bakarlah seikat padi di tengah sawah, dan aku
akan turun dari kayangan untuk bertemunya, tetapi hanya dia sendiri, jangan lah
engkau mengikutinya.”. sekejap pun Nawangwulan terbang kembali ke kayangan dan
meninggalkan Jaka Tarub serta Nawangsih, anak semata wayangnya.
Tahun
demi tahun pun berganti, Jaka Tarub sudah semakin tua dan Nawangsih berubah
menjadi perempuan yang sangat cantik dan rupawan. Suatu saat Jaka Tarub kembali
berburu ke hutan Wanawasa di pagi hari, dan di siang hari ia pergi lagi ke
danau Toyawening untuk beristirahat sekaligus memulihkan badannya yang letih
sehabis berburu. Sesampai nya di danau Toyawening, Jaka Tarub memasukkan
dirinya ke danau dan mulai mengingat kembali waktu-waktu dimana ia bertemu oleh
mantan istrinya sewaktu itu, Nawangwulan. Sedih dan menyesal jika ia
mengingat-ingat nya kembali. “seharusnya tidak ku lakukan semua itu” dengan nada
menyesal diucap oleh Jaka Tarub. Tak lama kemudian sesosok siluman ular keluar
dari tengah-tengah danau dengan ukuran yang sangat besar. Panik sangat terlihat
oleh raut muka Jaka Tarub dan beranggapan bahwa dia akan dijadikan santapan
ular tersebut.
Menatap
balik Jaka Tarub, siluman ular itu pun berkata “wahai manusia, jika engkau
diberikan kesempatan kedua, apakah engkau akan menebus kesalahan yang telah
engkau perbuat di waktu itu?” Jaka tarub pun dengan gagap nya berbalas
“i-i-iya, pasti akan aku tebus semua kesalahanku di waktu itu”. Siluman ular
itu pun terdiam dan berkata “engkau adalah pemburu bukan? Bunuh lah aku dan
buktikan lah kejantanan mu, sesungguhnya tidak ada hal yang bisa engkau dapat
tanpa pengorbanan wahai manusia, dan gunakanlah sisikku sebagai bahan untuk
membuat sabuk yang akan mengantarkan mu ke kayangan, jika engkau bisa
membunuhku.”. Jaka Tarub yang awalnya gugup dan panik mulai terdiam dan
berfikir, “mungkin ini sudah jalannya, dan ini saudah takdirku. Ular itu atau
aku yang akan mati di danau ini.” Jaka Tarub pun mengeluarkan semua peralatan
berburunya dan menerima tantangan dari ular tersebut.
Sore
pun datang, Danau Toyawening di hari itu penuh dengan darah akibat dari
perkelahian antara Jaka Tarub dan siluman ular, nyaris terambil nyawanya Jaka
Tarub kembali kerumah dengan membawa sisik ular dan berjalan pincang karena
terkena gigitan sang ular. Nawangsih pun terkejut dan menyegerakan diri untuk
menolong ayahnya yang sudah tua itu. Tanpa mengucapkan sepatah kata, ia
mengobati seluruh luka sang ayah. Keesokan harinya Jaka Tarub membuat sabuk
yang dikatakan oleh siluman ular, dan berpikir di dalam hati “mungkin ini
saatnya, untuk memberitahu Nawangsih, siapa Ibu dia yang sebenarnya.”. Jaka
Tarub pun memanggil anak perempuannya tersebut dan berbicara jujur kepadanya,
tentang Ibu dari Nawangsih itu sendiri. Kaget dan agak tidak masuk akal,
Nawangsih pun percaya ucapan ayahnya bahwa Ibunya dahulu adalah seorang
bidadari yang hidup di kayangan sampai saat ini.
Jaka
Tarub pun berkata, “Nawangsih, apakah engkau mau ikut aku ke kayangan, untuk
bertemu ibumu?.” Tanpa berpikir panjang Nawangsih menganggukan kepala nya dan
bersiap-siap untuk pergi ke kayangan bersama ayahanya. Sesudah sabuk ular itu
selsai dibuat oleh Jaka Tarub, ia pun menyegerakan diri berangkat ke kayangan
bersama anaknya dan ternyata betul, sabuk itu bisa membawa mereka ke atas tanpa
adanya masalah. Sesampainya di atas awan terlihat sebuah bangunan megah dengan
pilar-pilar yang tersusun rapih dan pagar mewah di depannya. Jaka Tarub dan
Nawangsih terpesona melihat pemandangan sekitar, tetapi mereka tahu mereka
tidak mempunya waktu untuk bermain-main di tempat seperti ini. Terlihat di
depan pagar sesosok makhluk yang tak terlihat mukanya karena ditutupi oleh
jubbah hitam di sekujur tubuhnya. Jaka Tarub pun berbicara “apakah disini
tempat Nawangwulan tinggal?”. Makhluk itu pun tersenyum dan menjawab “ya,
engkau pasti Jaka Tarub, si pencuri selendang bukan” ujarnya dengan nada
meledek. Jaka Tarub pun kesal dengan ejekannya itu dan sesegera nya menghampiri
makhluk tersebut. “apakah engkau yakin jauh-jauh datang kesini hanya untuk
memukulku manusia?” kata makhluk itu, dan berkata lagi “masuklah ke gedung itu,
dan bertemulah dengan Nawangwulan, aku ingin tahu apa yang akan engkau lakukan
jika engkau sudah bertatapan dengannya sekarang.” Tanpa membalas perkataan
makhluk tersebut, Jaka Tarub dan Nawangsih langsung masuk ke gedung yang megah
itu.
Rasanya
sudah berjam-jam mereka berjalan di gedung megah itu tetapi tidak terlihat arah
tujuan mereka, atau bisa dibilang sudah tersesat di gedung tersebut. Jaka Tarub
merasa kesal dan lelah dengan keadaan yang terus-menerus seperti ini. Nawangsih
pun berkata “ayah, kita harus tulus dan ikhlas jika ini menghadapi semua ini,
semua pasti ada jalan keluarnya dan pasti kita bisa bertemu Ibu jika kita
tenang dan sungguh-sungguh ingin bertemunya.”. Sesudah mendengar ucapan anak
perempuannya itu, Jaka Tarub pun kembali tenang dan mengetahui apa maksud ia
datang kemari. Tak lama setelah itu mereka berhadapan dengan satu pintu yang
berada di sudut lorong. Jaka Tarub pun membuka dengan perlahan. Sesudahnya
dibuka, mereka melihat seorang perempuan dengan selendang merah yang sedang
duduk melihat kearah jendela ruangan. Tanpa berpikir panjang Jaka Tarub mengetahui
bahwa orang itu adalah Nawangwulan.
Berbeda
dengan manusia biasa, bidadari kayangan terlihat sama saja seperti dulu sewaktu
Jaka Tarub bersama Nawangwulan, gadis muda yang sangat cantik rupawan dan indah
itu tidak berubah sedikitpun. Nawangsih pun langsung berkata “ibuuuuu?!”. Dan
Nawangwulan dengan kaget menoleh ke arah Jaka Tarub dan Nawangsih.”Nawangsih??”
kata Nawangwulan, dan berlari memeluk anak nya itu. Jaka Tarub tersenyum
melihat mantan istri nya bertemu anaknya saat ini. Waktu pun berjalan, sang ibu
dan anak bercerita sampai Nawangsih tertidur lelap di kamar tempat Nawangwulan
saat itu. “Ada apa engkau datang kemari? Dan bagaimana caranya?” ucap
Nawangwulan. Jaka Tarub bercerita upaya dia untuk sampai ke atasa kayangan demi
bertemu dengan Nawangwulan, dan terbesit ucapan siluman ular “kesempatan kedua”
yang dikatakannya. “Nawangwulan, aku kesini untuk meminta maaf kepadamu atas
segala kesalahan yang telah pernah aku perbuat, dan aku ingin kita kembali
bersama lagi, memulai semuanya dari awal, tanpa adanya rasa saling membohongi
dan menipu di awal kita memulainya.”. Nawangwulan pun terdiam dan menatap Jaka
Tarub detik itu, membuka mulutnya dan berkata “aku salut dengan upaya mu datang
kesini, dan aku memaafkanmu atas apa yang telah engkau perbuat selama aku di
muka bumi, tapi maaf kita tidak bisa bersama lagi, disini lah tempat ku
tinggal, di kayangan, bukan di muka bumi.” Dengan nada lemah lembut. Terasa
sedih dan sedikit kesal perasaan Jaka Tarub saat itu, tapi apalah daya, nasi
sudah menjadi bubur dan maksud tujuan dia datang ke atas kayangan sudah
dilakukan, “aku akan menjaga Nawangsih di kayangan” ucap Nawangwulan. Terkesan
egois tetapi Jaka Tarub melihat Nawangwulan untuk terakhir kalinya dan
bersenyum kecil. “baiklah, jaga anak kita baik-baik dan jadikanlah Nawangsih
bidadari kayangan sepertimu kelak.” Nawangwulan pun tersenyum, dan tak lama
kemudian Jaka Tarub meninggalkan ruangan itu.
Kini
Jaka Tarub hidup sendiri di rumahnya, tanpa orang-orang terdekat di sisi nya
dan menyadari apa kesalahan yang telah dia perbuat di hari yang lampau. Jaka
Tarub melakukan kebiasaannya berburu setiap hari sesampai hidup nya berakhir,
dan Nawangwulan serta Nawangsih hidup di atas kayangan selamanya.
Nilai
moral: Jangan pernah menipu atau berbohong kepada seseorang atau sesuatu yang
harusnya tidak kita lakukan. Karena harga diri dan kepercayaan itu tidak ada
harganya, sekali dilakukan, seringkali bekasnya tidak akan pernah bisa hilang.
Kepanjangan niih faaa, keburu bosen bacanya.
BalasHapus