Baron Sekeber
Oleh : Nur Aliyah
“Parman,
ayo kita main.”Ajak teman-temanku. “Iya, tunggu ya aku bilang Emak dulu.”
“Emak, Parman maen dulu ya.“ “Iya Nak, tapi jangan jauh-jauh ya.
Oh iya ingat pesan Emak jangan main di sekitar Patung Baron Sekeber
ya!” ”Iya mak.” Sahutku sambil berlalu dengan teman-temanku. Aku tinggal
disebuah desa bernama Pungangan Kecamatan Doro Kota Pekalongan. Bapak dan Emakku
adalah seorang petani durian, dan sebagian besar penduduk di desa ini bekerja
sebagai petani durian. Aku memiliki empat sahabat yang bernama Ejo, Joko,
Paijo, Kliwon. Kami berempat masih duduk di kelas 4 SD dan sekelas. Kami selalu
bermain bersama, seperti hari ini.
“Teman-teman,
kita main kehutan yuk nyari durian yang sudah jatuh.” Ajak Paijo.
“Boleh-boleh aku lagi pengen makan durian nih.” Sahut ku.
Akhirnya
kami berlima pergi ke hutan untuk mencari durian. Untuk sampai ke hutan kami
harus melewati sawah-sawah, mendaki
jalan yang terjal dan sangat licin. Namun, hal ini tidak menyurutkan semangat
kami untuk makan durian. Kami sering mencari durian seperti ini karena sangat
mengasyikkan. Kami berpencar mencari durian tersebut. “Aku menemukannya.”
Teriakku. Tidak perlu menunggu lama teman-temanku sudah berlarian menghampiriku
karena pasti mereka tidak ingin kehabisan durian, kami memang sangat menyukai
durian. Durian yang jatuh dari pohonnya menandakan bahwa durian tersebut sudah
matang, dan untuk membukanya pun juga mudah. Setelah puas makan durian, kami
pun ingin mandi di sungai dekat hutan. Airnya mengalir langsung dari pegunungan,
mungkin itu yang membuat airnya sangat dingin walaupun cuaca di siang ini
sangat panas. Byuuuurrrr........ Segar sekali, rasanya ingin berenang terus,
airnya sangat jernih dan tidak terlalu dalam. Ejo suka membawa koin di sakunya
untuk bermain “Cari Koin” di sungai ini , siapa yang paling cepat mendapatkan
koin dialah yang menang dan akan ditraktir oleh yang kalah besok di sekolah.
“Mulai ya, aku akan melempar koinnya.” Ujar Ejo. “Siaaaap.” Sahut kami. “Satu,dua,tiga!”
Byuuuuur... Kami berlomba mencari koinnya dan Ejo yang menjadi wasitnya.
Setelah sekian lama mencari koin, tidak ada satu pun dari kami yang menemukan
koin tersebut. “Lama banget sih, belum ada yang nemu koinnya?”
Ujar Ejo. “Belum, kamu lempar kemana sih?” Tanya Kliwon. “Sebenarnya belum aku
lempar.” “Hah? Apa?” Jawab kami berempat. “Ejooo, ngeselin.. ceburin,
ceburin.” Usulku. Kliwon langsung menarik tangan Ejo, sedangkan Paijo dan
Joko mendorong Ejo. Kami pun tertawa mengingat betapa bodohnya kami ditipu oleh
Ejo.
Setelah
puas bermain di sungai, kami pun pulang. Kami tidak melewati jalan yang tadi
kami lewati saat berangkat. Kami melewati jalan lain karena menurut kami jalan
ini akan lebih cepat sampai di rumah.
“Woy
kesitu yuk.” Ajak Paijo. “Jangan!” Jawabku. “Kenapa Man?” Tanya Kliwon. “Tadi emakku
bilang jangan main disekitar patung Baron Sekeber.” ”Iya, tapi emang
kenapa?” Tanya Joko. “Yah.. aku lupa nanya kenapa.” ”Ya sudah, kalau
begitu boleh Man.” Jawab mereka bersamaan. Aku bingung mengapa Emak
melarangku kesana karena tadi buru-buru ingin bermain jadi aku lupa bertanya.
Akhirnya kami bermain di sekitar patung Baron Sekeber, tapi aku merasa
ada yang kurang. “Ejo mana?” Tanyaku. “Oh iya, mana tuh Ejo?” Jawab Paijo,
Joko, Kliwon bersamaan. “Ejo.... Ejo... Ejo.” Kami berpencar mencari Ejo. Aku
mencari ke hutan durian tempat kami bermain tadi, Paijo mencari di sekitar
wilayah patung Baron Sekeber, Kliwon mencari ke sungai dan Joko mencari
ke sawah. Sudah lama tapi kami belum menemukan Ejo. Aku memutuskan untuk
kembali ke patung Baron Sekeber. Di sana aku melihat Paijo sedang
mengobrol dengan Ejo, tapi Ejo seperti tidak memperdulikan Paijo. Terlihat dari
tempatku berdiri Ejo sedang sibuk membersihkan lumut yang menempel pada patung Baron
Sekeber. Syukurlah Ejo sudah ketemu, ujarku dalam hati. Tiba-tiba
dari belakang ada yang menepuk pundakku. “Gimana? Ejo ketemu?” Tanya
Joko dan Kliwon dengan nafas terengah-engah. “Udah, di sana.“ Tunjukku. “Ayo ke
sana.“ Ajak Joko. Kami pun menghampiri Ejo dan Paijo. “Kok kalian di sini?” Tanyaku.
“Nih si Ejo, Aku ajak pulang tapi ngga mau.” Jawab Paijo. “Loh, kenapa
Ejo?” Ejo tidak menjawab pertanyaanku, dia hanya terdiam sambil membersihkan
lumut yang menempel pada patung Baron Sekeber. Kami saling berpandangan
dengan perasaan bingung. Akhirnya aku memutuskan untuk ke rumah Ejo
memberitahukan keadaan Ejo pada orang tuanya. Sedangkan Paijo, Kliwon dan Joko
menjaga Ejo. Setelah kuberitahu orang tua Ejo, mereka terlihat sangat khawatir
sambil memarahiku karena telah mengajak Ejo bermain ke patung Baron Sekeber.
Aku tidak mengerti kenapa mereka begitu khawatir dengan keadaan Ejo, Ejo
baik-baik saja tapi memang tingkah lakunya menjadi sangat aneh. Aku dan orang tua
Ejo pun langsung menuju ke tempat patung Baron Sekeber. Setelah sampai,
orang tua Ejo membujuk Ejo pulang, kami pun membantunya mengajak Ejo pulang,
dan akhirnya Ejo berhasil kami ajak pulang dengan dipaksa. Matahari mulai
tenggelam, langit semakin gelap. Aku dan teman-temanku sedang berada dirumah
Ejo, memastikan apakah dia baik-baik saja. Orang tua Ejo menemui kami yang
sedang menunggu diruang tamu. “Parman, Joko, Kliwon, Paijo kalian pulang saja,
takut dicari orang tua kalian. Ejo akan baik-baik saja kok. maaf tadi Lek marah-marah
sama kalian, Lek sadar kalian belum mengerti apa-apa.” Bapak Ejo
menyuruh kami pulang, kami pun pulang dengan pikiran masing-masing.
Keesokan
harinya , terdengar suara pengumuman dari Musola kampung bahwa Ejo sudah
meninggal. Aku sangat terkejut mendengarnya. Dengan menahan tangis aku langsung
berlari menuju rumah Ejo. Di sana sangat ramai. Aku memasuki rumah Ejo dan aku
melihat Paijo, Joko, dan Kliwon sudah di sana. Kami berpelukan sambil menagis.
Kami tidak menyangka bahwa kemarin adalah pertemuan kami dengan Ejo yang
terakhir, kami sangat menyayangi Ejo. Kami tidak akan pernah melupakanmu, Ejo.
Di
rumah aku bertanya kepada orang tuaku ada apa dengan patung Baron Sekeber.
Lalu Emak bercerita bahwa patung Baron Sekeber terdiri dari tiga
patung yaitu Bapak, Ibu dan Anak yang sedang dipangku oleh Ibunya. Masyarakat
sini percaya bahwa mereka adalah orang-orang Belanda yang dikutuk oleh salah
satu tokoh agama yang memiliki kesaktian.
Semenjak
kejadian itu aku dan teman-temanku tidak pernah lagi bermain di sekitar patung Baron
Sekeber, entah itu hanyalah mitos masyarakat atau fakta. Aku tidak perduli,
kejadian di hari itu cukup menjadi pelajaran bagi kami, agar mendengarkan
nasihat orang tua.
Catatan :
Baron
Sekeber : Julukan
untuk patung Belanda
Lek : Paman
Emak :
sebutan Ibu dalam bahasa jawa
Maaf, bukannya Baron Sekeber yah? :)
BalasHapus