Dengan tangan tuanya,
ia menutup rapat koper suaminya.
Hari
ini suaminya hendak ke luar kota. Cukup lama. Maka, sebagai istri yang baik, ia
menyiapkan segala sesuatu dengan baik, termasuk membelikan sebuah jaket baru
yang penuh dengan kantong agar suaminya itu tidak repot menyimpan banyak
dokumen yang sering ia bawa kemana-mana.
Selain
jaket, perempuan tua itu juga membelikan hand phone baru buat suaminya. Bukan
untuk gagah-gagahan. Tapi, lihatlah HP milik suami yang usianya sepuluh tahun
di atasnya itu, jauh sekali dari kesan baik dan layak. Perempuan itu ingin
suaminya bisa dihargai orang dari tampilannya meski ia tahu suaminya memang
tidak pernah peduli soal tampilan. Tapi, sekali-kali boleh dong melihat suami
berpenampilan lebih baik. Supaya mata enak juga memandang.
Angin semilir mengiring
keberangkatan sang suami. Taksi yang telah menunggu di depan, segera menutup
pintu bagasi dan pintu penumpang selepas barang dan orang yang menumpang
taksinya sudah masuk ke dalam. Perempuan tua itu melambaikan tangan disambut
suami tercintanya dari dalam taksi. Hari itu adalah hari dimulainya hari-hari
sepi tanpa suami meski cuma sesaat, tak lama.
Belum berapa langkah
kakinya masuk ke dalam, mendadak ia rasakan sesuatu dari dalam hatinya. Segera
ia buka sedikit kemeja yang ia kenakan, pembalut tubuhnya.
Perempuan
itu sedikit terkaget. Nampak jelas dari pelupuk matanya, jahitan lama dari luka
di hatinya ada sedikit peradangan. Padahal sudah sekian lama, hati ini tidak
meradang seperti sekarang. Bukankah jahitannya sudah cukup kencang?
Perempuan itu menarik
nafas sejenak. Ia segera menutup kembali kemejanya sembari mengharap sangat
agar tak ada kejadian yang bisa membuat hati yang pernah terluka itu kembali
menganga.
Di dalam taksi menuju
bandara, laki-laki tua berusia lebih dari enam dasawarsa itu tersenyum senang.
Alam yang mengiring kepergiannya tadi sepertinya juga mengikuti ritme kesukaan
yang begitu menyelimuti dirinya. Perjalanan kali ini pasti akan sangat
menyenangkan. Apalagi jika mengingat bakal ada wajah merekah indah akan
menyambutnya di kota kali ini. Wajah yang selalu memancarkan kesegaran, bak
apel merah ranum yang kecemplung di air lalu sengaja diangkat, menyisakan
sisa-sisa air segar di pinggirannya.
Hemmm…Segar
sekali. Apalagi jika disantap di hari panas begini. Wuah…, bahkan angin nan
menyejukkan pengantar kepergiannya ini, niscaya akan tidak ia pedulikan. Lebih
sedap menyantap sang apel merah pujaan hatinya.
Belum lama pikirannya
berkelana, mendadak suara HP barunya berbunyi. Itu suara SMS masuk. Dengan suka
cita. Laki-laki itu segera membuka HP-nya. Tangan tua yang masih kekar dan kuat
itu begitu semangatnya hingga membuat gerak membuka SMSnya serasa lambat.
Untung tidak sampai jatuh.
Tak
lama, matanya terbelalak senang. SMS itu berasal dari sang buah apel yang baru
saja ia pikirkan. Panjang umur sekali. Keceriaan wajah tuanya kian terlihat
nyata sesaat ia mencoba cepat membalas SMS mesra itu. Syaraf motorik yang
membantu membalas SMS itu kian menurun kecepatannya berbarengan dengan usianya
yang kian meninggi. Apalagi ini adalah HP baru. Rada lama dia harus belajar
beradaptasi. Tapi, ia tak peduli. Bukankah hidup harus dijalani dan dinikmati.
Di rumah kecil itu,
perempuan yang sudah berpuluh tahun mendampingi lelaki yang sedang semangat
mambalas SMS itu, mengusir rasa sepi yang mendadak mengerubungi dirinya dengan
membersihkan rumah penuh kenangan itu. Jika dinding rumah tersebut bisa bicara
maka akan ada banyak cerita yang terlontar. Tentang arti kesetiaan, tentang
saling pengertian, tentang rasa kemanusiaan yang selalu didengungkan serta
terus diperjuangkan oleh suami tercintanya dan tentang rasa percaya.
Dinding-dinding rumah itu juga pasti yang akan cerita saat-saat indah keduanya
saat masih muda hingga setua ini. Perempuan itu merasa berbahagia sekaligua
bangga, laki-laki tercintanya sungguh adalah pejuang kehidupan, baik bagi
mereka maupun bagi kehidupan mereka berdua.
Kalau
ternyata justru di usia senja sang suami lebih banyak mendapat kesempatan
mengaktualisasikan dirinya, itu bukan karena kesalahan. Tetapi, karena kondisi
keadaan tanah bumi yang dahulu sangat membatasi gerak-geriknya hingga sempat
dianggap pembangkang. Maka, begitu zaman telah berganti, memberi lebih
kebebasan berekspresi, suami tercintanya itu tidak mau kehilangan kesempatan
lagi, selayaknya ketika ia masih muda. Usia senja, bagi si suami bukan alasan
untuk terus berjuang bagi banyak orang. Berjuang tentang nilai-nilai
kemanusiaan yang bahkan telah sempat sangat niat ia pelajari di bangku kuliah
tingkat tinggi.
Mendadak
perempuan itu memegang kembali hatinya. Kali ini hati merah itu seperti lebih
kencang berdetak. Perempuan itu jadi sangat cemas, takut ada apa-apa. Sementara
di rumah kecil itu tidak ada orang lain juga. Anak-anak mereka kan sudah punya
keluarga sendiri dan tidak sekota.
Dia juga tak ingin
menyusahkan orang lain. Suaminya telah mengajari dia untuk mandiri, tidak
tergantung kepada orang lain. Maka ia pun berusaha sendiri untuk menyembuhkan
rasa hati yang entah kenapa jadi terasa sakit itu.
Dari
ikatan jahitan atas luka terdahulu, ia sempat melihat semacam rembesan merah
mulai keluar. Ah, mungkinkah luka itu harus kembali terbuka sementara sudah ia
jaga sekuatnya supaya tidak sakit lagi. Tapi, kali ini kenapa?
Dia
ingat lima tahun lalu, luka yang semula mulai mengecil sekonyong-konyong saja
membesar begitu mendapat kepastian ada seorang orok mungil keluar dari seorang
perempuan muda. Orok yang kemudian nama belakangnya diberi nama seperti nama
suaminya tersebut menjadikan ia berbulan-bulan meratapi hati yang membengkak
itu. Beragam obat yang sempat ia sengaja berikan bagi kesembuhan, tak juga
mampu meredakan. Bahkan niat mengakhiri hidup terlintas di benaknya. Untunglah,
anak-anaknya menguatkan ia. Dari mereka juga, perempuan lebih dari setengah
abad itu mulai menerima kenyataan dan membuka pintu maaf seluas-luasnya. Ajaib.
Hati yang membengkak
itu, tak lama setelah dijahit dengan rasa cinta yang kembali ia rasakan dari
sang suami yang juga mengucapkan kata maaf atas peristiwa yang terjadi,
luka-luka yang muncul mulai mengering. Rasa nyeri yang menggerogoti
hari-harinya tak dirasakan lagi. Dirinya pun seperti sudah bisa berdamai dengan
segala situasi.
Perempuan
itu pun bisa bernafas lega. Benar-benar lega. Tapi, kenapa sekarang rasa sakit
itu kembali muncul pelan-pelan?
Cekit-cekit-cekit… Pelan
dan sedikit, tapi sungguh terasa sakit. Jangan-jangan apakah ini berarti…
Ah! Perempuan itu
segera menghalau pikiran buruknya. Bukankah suaminya kini sedang menghadiri
sebuah seminar tentang kemanusiaan? Bagaimana mungkin dia masih sempat berbuat
aneh-aneh?
Perempuan
itu tertatih menuju kamar tidurnya. Hendak berbaring sejenak. Siapa tahu bisa
membantu mengurangi sakitnya.
Pesawat
yang mengantarkan lelaki tua, tapi masih punya semangat luar biasa itu membawa
tubuhnya menuju kota dimana gelar kesarjaanna S3-nya sangat dibutuhkan.
Rencananya ia memang diminta untuk membawakan semacam seminar dan kuliah umum
tentang kemanusiaan yang telah menjadi spesialisasinya. Sudah kesekian kali ia
menjadi pembicara di banyak tempat, banyak negara untuk hal tersebut. Latar
belakang pendidikan, pengalaman serta pergaulannya menambah nilai plus
kehadiran dirinya. Terlebih bagi anak muda yang melihat ia bukan saja sebagai
sosok orang tua yang patut diteladani, tetapi juga sebagai pejuang kemanusiaan
yang tak kenal lelah berjuang. Tutur katanya yang sopan, tindak tanduknya nan
santun, benar bisa membius orang bahkan yang baru dikenal seklipun.
Kesederhanaan pun memancar dalam tubuh rentanya. Pokoknya siapa pun yang
mengenalnya akan sangat menghormati dan bisa-bisa mendadak jadi fans
fanatiknya. Bak artis muda yang tiba-tiba naik daun tanpa harus susah-susah
melalui seleksi atau audisi.
Perjalanan
panjang lewat jalur udara itu pun selesai sudah.Di Bandara berkapasitas pesawat
internasional itu membuat langkah kakinya kian bersemangat menuju pintu
gerbang, dimana telah terjanji ada seseorang menunggu dengan senyum merekah di
bibir merahnya. Perjalanan melelahkan diyakini akan segera sirna begitu ia
boleh menemui sang pemilik senyum merah merekah itu.
Dan, begitu mata
melihat perempuan muda yang tengah memberi lambaian tangannya dengan penuh
semangat, laki-laki tua itu kian ingin kakinya bisa terbang agar cepat dapat
berhadap-hadapan dan melepas kerinduang terdalamnya.
Tak
ia pedulikan lagi mata-mata lain yang memandang aneh begitu tubuh pasang anak
manusia itu bertemu. Plus kecupan mesra di dahinya yang selalu terbayang dalam
diri lelaki bergelar Doktor itu. Pikir laki-laki itu, paling orang mengira
semua itu adalah cara pelepasan rindu antara bapak dan anak. Jadi makin tak
peduli lah dia.
Esok
pagi terjelang sudah. Matahari tak perlu malu tersembul bersama keringat banyak
orang menggapai cita.
Pada kegelisahan dan
kesakitan tiada berujung pangkal pasti ini, pintu rumah perempuan tua yang
biasa dipanggil “Ibu” oleh anak-anaknya tersebut, diketuk keras oleh seorang
tetangga. Sang tetangga memohon dengan sangat agar perempuan itu mau membantunya
memegangi tangga. Hanya memegangi tangga saja. Kucing kesayangan si tetangga
naik ke atas atap dan tidak bisa tutun. Sedari tadi kucing itu mengeong seperti
minta turun. Padahal di rumah tetangga itu sedang tak ada siapa-siapa. Usianya
sama dengan perempuan itu. Berjenis kelamin sama pula.
Demi
rasa kemanusiaan yang selalu ditanamkan suaminya, perempuan itu berusaha
menahan sakit dan membantu perempuan tetangganya itu. Tugasnya hanya memegangi
tangga. Tidak terlalu berat. Tapi, entah kenapa hati yang selalu ia pegang
dengan tangannya kian nyeri terasa. Nyaris tak kuat ia menahan. Apalagi kucing
yang hendak diturunkan dari atap, tidak mudah ditangkap. Terpaksalah perempuan
tua yang berusaha bertahan itu meringis-ringis menahan sakit.
Ah. Cepatlah
semua ini berakhir. Benaknya.
Sementara itu, mulut
tua yang masih selalu dikagumi banyak orang itu pun sudah sekian lama di
hadapan corong. Kalimat-kalimat yang telah tersusun rapi keluar lancar dari
bibir tuanya itu. Segepok materi yang telah ia siapkan ada persis di depannya.
Sesaat
lelaki itu menatap segepok materi yang tersusun rapi tersebut. Tiga hari lalu,
istrinya telah membantu me-lay out sehingga
materi itu terlihat menarik dan nyaman dibaca. Lalu, ia pula meng-print
nya. Suaminya hanya tahu beres saja. Peristiwa beberapa hari lalu begitu saja
terkias di matanya, mengingatkan otaknya pada sang istri yang entah sedang apa
sekarang. Sejak mendarat di pulau Dewata ini, dia memang belum sempat (tepatnya
sengaja) mengirim kabar kepada yang tengah bergelut menahan sesuatu di
rumah kecilnya. Ah, kok ada rasa tidak enak ya?
Pelan tangannya merogoh
saku celana yang telah disetrika rapi sang istri demi acaranya ini. Ia ingin
sekadar mengirim SMS kepadanya mumpung ada jeda jawab pertanyaan kepada panelis
lain. Tapi, begitu tangannya bergerak, matanya pun melihat ke arah bangku
peserta paling belakang. Perempuan muda yang telah membuat malamnya begitu
indah dan memberinya energi lebih hari ini tengah memberi senyum manis. Senyum
itu membuat niatnya semula diundurkan. Rasanya, perempuan di seberang sana
baik-baik saja kok meski belum ia kirimi kabar.
Lelaki senja yang telah
dipanggil “kakek” itu kembali melanjutkan misi kemanusiannya. Misi yang selalu
ia perjuangkan dan ingin ia tularkan kepada semua orang. Tanpa kecuali.
Meski
perjalanan hidup atas pernikahan resmi antara laki-laki dan perempuan tua itu
membuahkan jalinan batin yang sering kali tidak dapat menipu, nyatanya kadang
jalinan batin itu sering pula dianggap sepele dan tak ada masalah. Padahal yang
sesungguhnya terjadi, istri yang katanya ia kasihi itu tengah berjuang melawan
sakit yang kian nyeri.
Jahitan
dari hati perempuan penuh kesetiaan itu makin mengeluarkan darah.
Selepas
membantu perempuan tetangga yang tadi hendak menurunkan kucingnya dari atas
atap, perempuan tua itu tak kuat lagi menahan sakit. Tempat tidur yang telah
berulangkali menjadi saksi banyak hal, kali ini menjadi saksi kesakitannya yang
tak tertahan. Walau, ganti ia yang kini dibantu oleh tetangga perempuannya itu,
tapi rasanya tak berdampak banyak. Ia tahu, satu-satunya obat paling ampuh
adalah jika suaminya datang.
Tapi,
ooohh… Perempuan tua baru ingat, sejak perhitungan waktu mestinya sang suami
telah sampai ke tujuan, mengapa belum juga ia memberi kabar? Padahal biasanya
dia tidak lupa untuk memberitahu keberadaannya kepada istrinya. Dimana pun.
Apakah kesibukan luar biasa sehingga ia sampai tak sempat memberi kabar? Apakah
sinyal HP baru yang ia berikan itu tak secanggih yang dijanjikan? Atau justru
suaminya masih gaptek menggunakan? Senyum tipis berkembang di bibir perempuan
tua itu membayangkan kalau suaminya kesulitan menggunakan HP barunya.
Tiba-tiba saja, di sela
kesakitan atas luka yang terus meneteskan darah itu, ada kebanggaan tak
tertahankan atas apa yang tengah diperjuangkan sang suami. Ini adalah
cita-citanya sejak dahulu. Meski sedikit terlambat karena kondisi, tapi inilah
saatnya untuk memperjuangkan sebuah kemanusiaan bagi manusia. Rasanya rela-rela
saja jika demi itu, ia harus sakit begini. Toh, untuk banyak orang.
Dan,
sesaat pikiran itu melintas, suara perempuan itu terdengar lirih. Lirih seperti
garda sedang memotong kepingan besi. Nyeri dan sakit sekali. Lebih sakit dari
biasanya. Hingga alam di luar mendadak suram.