Kamis, 24 April 2014

Cerita Pendek: "Seorang Ibu dengan Sebongkah Hati Penuh Luka"

Dengan tangan tuanya, ia menutup rapat koper suaminya.

Hari ini suaminya hendak ke luar kota. Cukup lama. Maka, sebagai istri yang baik, ia menyiapkan segala sesuatu dengan baik, termasuk membelikan sebuah jaket baru yang penuh dengan kantong agar suaminya itu tidak repot menyimpan banyak dokumen yang sering ia bawa kemana-mana.

Selain jaket, perempuan tua itu juga membelikan hand phone baru buat suaminya. Bukan untuk gagah-gagahan. Tapi, lihatlah HP milik suami yang usianya sepuluh tahun di atasnya itu, jauh sekali dari kesan baik dan layak. Perempuan itu ingin suaminya bisa dihargai orang dari tampilannya meski ia tahu suaminya memang tidak pernah peduli soal tampilan. Tapi, sekali-kali boleh dong melihat suami berpenampilan lebih baik. Supaya mata enak juga memandang.

Angin semilir mengiring keberangkatan sang suami. Taksi yang telah menunggu di depan, segera menutup pintu bagasi dan pintu penumpang selepas barang dan orang yang menumpang taksinya sudah masuk ke dalam. Perempuan tua itu melambaikan tangan disambut suami tercintanya dari dalam taksi. Hari itu adalah hari dimulainya hari-hari sepi tanpa suami meski cuma sesaat, tak lama.

Belum berapa langkah kakinya masuk ke dalam, mendadak ia rasakan sesuatu dari dalam hatinya. Segera ia buka sedikit kemeja yang ia kenakan, pembalut tubuhnya.

Perempuan itu sedikit terkaget. Nampak jelas dari pelupuk matanya, jahitan lama dari luka di hatinya ada sedikit peradangan. Padahal sudah sekian lama, hati ini tidak meradang seperti sekarang. Bukankah jahitannya sudah cukup kencang?

Perempuan itu menarik nafas sejenak. Ia segera menutup kembali kemejanya sembari mengharap sangat agar tak ada kejadian yang bisa membuat hati yang pernah terluka itu kembali menganga.

Di dalam taksi menuju bandara, laki-laki tua berusia lebih dari enam dasawarsa itu tersenyum senang. Alam yang mengiring kepergiannya tadi sepertinya juga mengikuti ritme kesukaan yang begitu menyelimuti dirinya. Perjalanan kali ini pasti akan sangat menyenangkan. Apalagi jika mengingat bakal ada wajah merekah indah akan menyambutnya di kota kali ini. Wajah yang selalu memancarkan kesegaran, bak apel merah ranum yang kecemplung di air lalu sengaja diangkat, menyisakan sisa-sisa air segar di pinggirannya.

Hemmm…Segar sekali. Apalagi jika disantap di hari panas begini. Wuah…, bahkan angin nan menyejukkan pengantar kepergiannya ini, niscaya akan tidak ia pedulikan. Lebih sedap menyantap sang apel merah pujaan hatinya.

Belum lama pikirannya berkelana, mendadak suara HP barunya berbunyi. Itu suara SMS masuk. Dengan suka cita. Laki-laki itu segera membuka HP-nya. Tangan tua yang masih kekar dan kuat itu begitu semangatnya hingga membuat gerak membuka SMSnya serasa lambat. Untung tidak sampai jatuh.
Tak lama, matanya terbelalak senang. SMS itu berasal dari sang buah apel yang baru saja ia pikirkan. Panjang umur sekali. Keceriaan wajah tuanya kian terlihat nyata sesaat ia mencoba cepat membalas SMS mesra itu. Syaraf motorik yang membantu membalas SMS itu kian menurun kecepatannya berbarengan dengan usianya yang kian meninggi. Apalagi ini adalah HP baru. Rada lama dia harus belajar beradaptasi. Tapi, ia tak peduli. Bukankah hidup harus dijalani dan dinikmati.

Di rumah kecil itu, perempuan yang sudah berpuluh tahun mendampingi lelaki yang sedang semangat mambalas SMS itu, mengusir rasa sepi yang mendadak mengerubungi dirinya dengan membersihkan rumah penuh kenangan itu. Jika dinding rumah tersebut bisa bicara maka akan ada banyak cerita yang terlontar. Tentang arti kesetiaan, tentang saling pengertian, tentang rasa kemanusiaan yang selalu didengungkan serta terus diperjuangkan oleh suami tercintanya dan tentang rasa percaya. Dinding-dinding rumah itu juga pasti yang akan cerita saat-saat indah keduanya saat masih muda hingga setua ini. Perempuan itu merasa berbahagia sekaligua bangga, laki-laki tercintanya sungguh adalah pejuang kehidupan, baik bagi mereka maupun bagi kehidupan mereka berdua.

Kalau ternyata justru di usia senja sang suami lebih banyak mendapat kesempatan mengaktualisasikan dirinya, itu bukan karena kesalahan. Tetapi, karena kondisi keadaan tanah bumi yang dahulu sangat membatasi gerak-geriknya hingga sempat dianggap pembangkang. Maka, begitu zaman telah berganti, memberi lebih kebebasan berekspresi, suami tercintanya itu tidak mau kehilangan kesempatan lagi, selayaknya ketika ia masih muda. Usia senja, bagi si suami bukan alasan untuk terus berjuang bagi banyak orang. Berjuang tentang nilai-nilai kemanusiaan yang bahkan telah sempat sangat niat ia pelajari di bangku kuliah tingkat tinggi.

Mendadak perempuan itu memegang kembali hatinya. Kali ini hati merah itu seperti lebih kencang berdetak. Perempuan itu jadi sangat cemas, takut ada apa-apa. Sementara di rumah kecil itu tidak ada orang lain juga. Anak-anak mereka kan sudah punya keluarga sendiri dan tidak sekota.

Dia juga tak ingin menyusahkan orang lain. Suaminya telah mengajari dia untuk mandiri, tidak tergantung kepada orang lain. Maka ia pun berusaha sendiri untuk menyembuhkan rasa hati yang entah kenapa jadi terasa sakit itu.

Dari ikatan jahitan atas luka terdahulu, ia sempat melihat semacam rembesan merah mulai keluar. Ah, mungkinkah luka itu harus kembali terbuka sementara sudah ia jaga sekuatnya supaya tidak sakit lagi. Tapi, kali ini kenapa?

Dia ingat lima tahun lalu, luka yang semula mulai mengecil sekonyong-konyong saja membesar begitu mendapat kepastian ada seorang orok mungil keluar dari seorang perempuan muda. Orok yang kemudian nama belakangnya diberi nama seperti nama suaminya tersebut menjadikan ia berbulan-bulan meratapi hati yang membengkak itu. Beragam obat yang sempat ia sengaja berikan bagi kesembuhan, tak juga mampu meredakan. Bahkan niat mengakhiri hidup terlintas di benaknya. Untunglah, anak-anaknya menguatkan ia. Dari mereka juga, perempuan lebih dari setengah abad itu mulai menerima kenyataan dan membuka pintu maaf seluas-luasnya. Ajaib.

Hati yang membengkak itu, tak lama setelah dijahit dengan rasa cinta yang kembali ia rasakan dari sang suami yang juga mengucapkan kata maaf atas peristiwa yang terjadi, luka-luka yang muncul mulai mengering. Rasa nyeri yang menggerogoti hari-harinya tak dirasakan lagi. Dirinya pun seperti sudah bisa berdamai dengan segala situasi.

Perempuan itu pun bisa bernafas lega. Benar-benar lega. Tapi, kenapa sekarang rasa sakit itu kembali muncul pelan-pelan?

Cekit-cekit-cekit… Pelan dan sedikit, tapi sungguh terasa sakit. Jangan-jangan apakah ini berarti…
Ah! Perempuan itu segera menghalau pikiran buruknya. Bukankah suaminya kini sedang menghadiri sebuah seminar tentang kemanusiaan? Bagaimana mungkin dia masih sempat berbuat aneh-aneh?
Perempuan itu tertatih menuju kamar tidurnya. Hendak berbaring sejenak. Siapa tahu bisa membantu mengurangi sakitnya.

Pesawat yang mengantarkan lelaki tua, tapi masih punya semangat luar biasa itu membawa tubuhnya menuju kota dimana gelar kesarjaanna S3-nya sangat dibutuhkan. Rencananya ia memang diminta untuk membawakan semacam seminar dan kuliah umum tentang kemanusiaan yang telah menjadi spesialisasinya. Sudah kesekian kali ia menjadi pembicara di banyak tempat, banyak negara untuk hal tersebut. Latar belakang pendidikan, pengalaman serta pergaulannya menambah nilai plus kehadiran dirinya. Terlebih bagi anak muda yang melihat ia bukan saja sebagai sosok orang tua yang patut diteladani, tetapi juga sebagai pejuang kemanusiaan yang tak kenal lelah berjuang. Tutur katanya yang sopan, tindak tanduknya nan santun, benar bisa membius orang bahkan yang baru dikenal seklipun. Kesederhanaan pun memancar dalam tubuh rentanya. Pokoknya siapa pun yang mengenalnya akan sangat menghormati dan bisa-bisa mendadak jadi fans fanatiknya. Bak artis muda yang tiba-tiba naik daun tanpa harus susah-susah melalui seleksi atau audisi.

Perjalanan panjang lewat jalur udara itu pun selesai sudah.Di Bandara berkapasitas pesawat internasional itu membuat langkah kakinya kian bersemangat menuju pintu gerbang, dimana telah terjanji ada seseorang menunggu dengan senyum merekah di bibir merahnya. Perjalanan melelahkan diyakini akan segera sirna begitu ia boleh menemui sang pemilik senyum merah merekah itu.

Dan, begitu mata melihat perempuan muda yang tengah memberi lambaian tangannya dengan penuh semangat, laki-laki tua itu kian ingin kakinya bisa terbang agar cepat dapat berhadap-hadapan dan melepas kerinduang terdalamnya.

Tak ia pedulikan lagi mata-mata lain yang memandang aneh begitu tubuh pasang anak manusia itu bertemu. Plus kecupan mesra di dahinya yang selalu terbayang dalam diri lelaki bergelar Doktor itu. Pikir laki-laki itu, paling orang mengira semua itu adalah cara pelepasan rindu antara bapak dan anak. Jadi makin tak peduli lah dia.

Esok pagi terjelang sudah. Matahari tak perlu malu tersembul bersama keringat banyak orang menggapai cita.

Pada kegelisahan dan kesakitan tiada berujung pangkal pasti ini, pintu rumah perempuan tua yang biasa dipanggil “Ibu” oleh anak-anaknya tersebut, diketuk keras oleh seorang tetangga. Sang tetangga memohon dengan sangat agar perempuan itu mau membantunya memegangi tangga. Hanya memegangi tangga saja. Kucing kesayangan si tetangga naik ke atas atap dan tidak bisa tutun. Sedari tadi kucing itu mengeong seperti minta turun. Padahal di rumah tetangga itu sedang tak ada siapa-siapa. Usianya sama dengan perempuan itu. Berjenis kelamin sama pula.

Demi rasa kemanusiaan yang selalu ditanamkan suaminya, perempuan itu berusaha menahan sakit dan membantu perempuan tetangganya itu. Tugasnya hanya memegangi tangga. Tidak terlalu berat. Tapi, entah kenapa hati yang selalu ia pegang dengan tangannya kian nyeri terasa. Nyaris tak kuat ia menahan. Apalagi kucing yang hendak diturunkan dari atap, tidak mudah ditangkap. Terpaksalah perempuan tua yang berusaha bertahan itu meringis-ringis menahan sakit.

Ah. Cepatlah semua ini berakhir. Benaknya.

Sementara itu, mulut tua yang masih selalu dikagumi banyak orang itu pun sudah sekian lama di hadapan corong. Kalimat-kalimat yang telah tersusun rapi keluar lancar dari bibir tuanya itu. Segepok materi yang telah ia siapkan ada persis di depannya.

Sesaat lelaki itu menatap segepok materi yang tersusun rapi tersebut. Tiga hari lalu, istrinya telah membantu me-lay out sehingga materi itu terlihat menarik dan nyaman dibaca. Lalu, ia pula meng-print nya. Suaminya hanya tahu beres saja. Peristiwa beberapa hari lalu begitu saja terkias di matanya, mengingatkan otaknya pada sang istri yang entah sedang apa sekarang. Sejak mendarat di pulau Dewata ini, dia memang belum sempat (tepatnya sengaja) mengirim kabar kepada yang tengah bergelut menahan sesuatu di rumah kecilnya. Ah, kok ada rasa tidak enak ya?

Pelan tangannya merogoh saku celana yang telah disetrika rapi sang istri demi acaranya ini. Ia ingin sekadar mengirim SMS kepadanya mumpung ada jeda jawab pertanyaan kepada panelis lain. Tapi, begitu tangannya bergerak, matanya pun melihat ke arah bangku peserta paling belakang. Perempuan muda yang telah membuat malamnya begitu indah dan memberinya energi lebih hari ini tengah memberi senyum manis. Senyum itu membuat niatnya semula diundurkan. Rasanya, perempuan di seberang sana baik-baik saja kok meski belum ia kirimi kabar.

Lelaki senja yang telah dipanggil “kakek” itu kembali melanjutkan misi kemanusiannya. Misi yang selalu ia perjuangkan dan ingin ia tularkan kepada semua orang. Tanpa kecuali.
Meski perjalanan hidup atas pernikahan resmi antara laki-laki dan perempuan tua itu membuahkan jalinan batin yang sering kali tidak dapat menipu, nyatanya kadang jalinan batin itu sering pula dianggap sepele dan tak ada masalah. Padahal yang sesungguhnya terjadi, istri yang katanya ia kasihi itu tengah berjuang melawan sakit yang kian nyeri.

Jahitan dari hati perempuan penuh kesetiaan itu makin mengeluarkan darah.
Selepas membantu perempuan tetangga yang tadi hendak menurunkan kucingnya dari atas atap, perempuan tua itu tak kuat lagi menahan sakit. Tempat tidur yang telah berulangkali menjadi saksi banyak hal, kali ini menjadi saksi kesakitannya yang tak tertahan. Walau, ganti ia yang kini dibantu oleh tetangga perempuannya itu, tapi rasanya tak berdampak banyak. Ia tahu, satu-satunya obat paling ampuh adalah jika suaminya datang.

Tapi, ooohh… Perempuan tua baru ingat, sejak perhitungan waktu mestinya sang suami telah sampai ke tujuan, mengapa belum juga ia memberi kabar? Padahal biasanya dia tidak lupa untuk memberitahu keberadaannya kepada istrinya. Dimana pun. Apakah kesibukan luar biasa sehingga ia sampai tak sempat memberi kabar? Apakah sinyal HP baru yang ia berikan itu tak secanggih yang dijanjikan? Atau justru suaminya masih gaptek menggunakan? Senyum tipis berkembang di bibir perempuan tua itu membayangkan kalau suaminya kesulitan menggunakan HP barunya.

Tiba-tiba saja, di sela kesakitan atas luka yang terus meneteskan darah itu, ada kebanggaan tak tertahankan atas apa yang tengah diperjuangkan sang suami. Ini adalah cita-citanya sejak dahulu. Meski sedikit terlambat karena kondisi, tapi inilah saatnya untuk memperjuangkan sebuah kemanusiaan bagi manusia. Rasanya rela-rela saja jika demi itu, ia harus sakit begini. Toh, untuk banyak orang.


Dan, sesaat pikiran itu melintas, suara perempuan itu terdengar lirih. Lirih seperti garda sedang memotong kepingan besi. Nyeri dan sakit sekali. Lebih sakit dari biasanya. Hingga alam di luar mendadak suram.

MENULIS CERPEN



HIDUP TAK SERINDANG NAMANYA
Terik matahari siang itu, dengan ganas menyengat tubuhnya. Tak ada yang berbeda pemandangan hari ini, masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Carut-marut jalan raya, kebisingan suara yang berasal dari klakson kendaraan bermotor orang-orang yang kesetanan karena tak sabar menghadapi kemacetan. Sama halnya seperti hati seorang anak perempuan lima belas tahun, berambut ikal panjang  dan berkulit sawo matang yang sedang bergejolak. Entah perasaan apa yang sedang berkecamuk di dadanya. Tak biasanya dia pulang sekolah lebih awal. Dia berjalan menyusuri pinggir kota menuju rumahnya di gang ujung jalan.
 Ketika tiba didepan gang rumahnya, hatinya makin bergolak karena melihat bendera kuning terpampang. Lima meter dari tempatnya berdiri, ia melihat sebuah rumah terbuat dari kayu-kayu triplek yang didepannya banyak orang berdatangan.
“Ada apa ini? Kenapa di rumahku banyak sekali orang-orang?” Pikirnya.  Ia segera mendekati rumah tersebut. Saat ia mendekat salah seorang dari mereka berkata dengan haru, “Yang tabah ya, Rindang.”
Mendengar perkataan orang itu, tangan dan kakinya bergetar hebat, jantungnya berdegup kencang. Ia bergegas lari ke dalam rumahnya dengan butir-butir keringat dingin yang ke luar dari kulitnya.
Di dalam rumah, ia mendapati sekujur tubuh wanita yang terbujur kaku. Ia terkulai lemas melihatnya, seakan separuh jiwanya direnggut. Wajah Rindang mungguratkan rasa seolah tak percaya, bahwa tubuh yang terbujur kaku itu adalah ibunya. Wanita yang pagi tadi masih sanggup menyiapkan sarapan untuknya kini terbaring tak berdaya. Dari matanya mulai ke luar tetesan air mata. Pikirannya melayang pada kejadian semalam sebelum tidur.
***
Wanita dengan kulit sawo matangnya yang mulai keriput dan terlihat urat-urat dengan jelas karena beratnya pekerjaan yang dijalaninya. Setiap hari mengais rezeki dengan mengumpulkan barang-barang bekas dijalan demi mencukupi kebutuhan sehari-hari dan sekolah anak-anaknya. Ya, ibunya seorang pemulung.
Malam itu, dia dan ibunya melakukan dialog sebelum tidur diatas sebuah karpet tipis yang ukurannya cukup untuk dia, ibunya dan kedua adiknya untuk tidur.
“Nak, bagaimana sekolahmu tadi ?” Ibunya berkata, membuka pembicaraan.
“Hari ini lancar kok, Bu. Kata Bu guru, nilai ulangan Rindang paling bagus diantara teman-teman yang lain.” Jawabnya sambil tersenyum lebar.
“Wah hebat anak Ibu! Ibu bangga sama kamu. Ibu berharap dengan kamu bersekolah, kamu bisa jadi panutan buat adik-adikmu nanti.” Kata ibunya penuh harap.
“Iya, mudah-mudahan ya bu. Doakan saja.” Jawabnya sambil tersenyum.
“Kalo nanti ibu gak ada, ibu minta kamu jaga baik-baik kedua adikmu ya.” Kata ibunya.
Ah ibu ada-ada aja, ibu akan tetap ada disini. Tenang bu, Ardi dan Sekar pasti akan aku jaga baik-baik kok.” Jawabnya merasa heran dengan kata-kata ibunya.
Lalu ibunya, memeluk dengan erat. Tidak seperti biasanya. Rindang merasakan pelukan ibunya sangat erat, seakan mereka tidak akan bertemu lagi.
***
Ingatan itu membuat dadanya sesak. Pelukan itu masih membekas sampai saat ini, ia tak menyangka ternyata itu pelukan dan permintaan terakhir ibunya. Air matanya meleleh. Andaikan saja dia tahu itu adalah pelukan dan permintaan ibunya yang terakhir, dia tidak akan berpaling dari sisinya sedetik pun, meskipun ia harus tidak masuk sekolah. Ia rela demi berada di sisi ibunya disaat terakhir.
Namun apalah daya, semua itu tidak akan kembali seperti semula lagi. Ia ingat kedua adiknya, Ardi dan Sekar. Ia memandang kedua adiknya tersebut. Semakin pedih saja hatinya melihat mereka berdua menangis, tapi ia berpikir “Bila aku lemah seperti ini, bagaimana dengan mereka? Siapa lagi yang akan menguatkannya kalau bukan aku?”
Ia menyeka butir-butir air mata yang mengalir di pipinya. Kemudian menghampiri kedua adiknya dan memeluknya dengan erat. Mencoba menahan kesedihannya dan menguatkan kedua adiknya.
***
Para tetangga sekitar membantu Rindang untuk menyiapkan pemakaman ibunya. Jenazah ibunya segera dimandikan dan dishalatkan. Setelah itu, semua orang ikut menghantarkan jenazah ke tempat peristirahatan terakhirnya diiringi dengan kesedihan Rindang dan kedua adiknya.
Sesampainya di pemakaman, Rindang tak kuasa membendung air matanya melihat wanita yang berjuang untuk menghidupi dirinya dikebumikan dan semua orang memberikan doa kepada ibunya. Selepas itu, mereka semua termasuk Rindang dan kedua adiknya pergi perlahan-lahan meninggalkan pemakaman itu.
Tiba dirumah, belum hilang kesedihan Rindang. Ia menyuruh adik-adiknya untuk beristirahat. Ketika adik-adiknya sudah terlelap, ia juga mencoba sejenak memejamkan matanya karena lelah menumpahkan air matanya. Walaupun matanya terpejam, tetapi kepalanya berputar memikirkan bagaimana kehidupan dia dan kedua adiknya selanjutnya tanpa seorang ibu.
Hal itu membuat ia tak bisa lama memejamkan matanya. Ia memandang kedua adiknya yang terlelap. Teringat pesan ibunya untuk menjaga dan merawat kedua adiknya. Ia termenung.
“Bagaimana caranya aku menjaga Ardi dan Sekar kalau aku sekolah? Dari mana aku dan kedua adikku akan makan kalau aku sekolah dan gak bekerja?” tanyanya dalam hati.
Muncul perdebatan dalam hatinya. Ia masih ingin bersekolah, tapi ia harus menjalankan pesan ibunya untuk menjaga dan merawat adik-adiknya. Ia juga harus bisa bertahan demi kelangsungan hidup dirinya dan kedua adiknya.
“Mungkin kalau aku tak sekolah, aku bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, aku juga bisa menjaga dan merawat Ardi dan Sekar. Lagipula kalau aku tak sekolah, aku masih bisa belajar disela-sela bekerja dengan membaca buku” Katanya dalam hati.
Tekadnya sudah bulat. Ia memutuskan untuk tidak meneruskan sekolah dan melanjutkan pekerjaan ibunya, menjadi pemulung mengambil barang-barang bekas di jalan demi mempertahankan kehidupan dia dan kedua adiknya. Takdir tidak ada yang tahu, kehidupannya tak serindang namanya.






Perjalanan 10 Menit

Suasana kantin teknik atau mahasiswa sering menyebutnya dengan kantek begitu ramai ketika waktu makan siang pun datang. Para mahasiswa langsung memesan makanan begitu mereka sampai di dalam kantin, kelelahan tampak dari wajah mereka. Elsa menuju tempat dimana biasanya anak-anak mesin berkumpul dan benar saja, teman-temannya ada disana. Terlihat seorang pria yang duduk di meja paling pojok membelakangi Elsa. Seketika pria itu pun membalikkan badannya.
“Eh, Elsa baru datang. Kita nungguin elo daritadi” kata Andra sambil tersenyum. Andra adalah  senior semester 8 yang Elsa sukai semenjak Elsa bergabung dengan Ikatan Mahasiswa Mesin ketika Elsa semester 1. Kini, hampir dua tahun dan rasa suka Elsa kepadanya tak berkurang.
“Wah maaf bang, tadi aku shalat dulu,” kata Elsa tersipu malu dan pria itu pun hanya tersenyum kepada Elsa.
“Iya, santai aja sih! Hahaha. Sini duduk, jangan berdiri aja, emangnya ga pegel?” Candanya sambil tertawa. Ia menggeserkan tempat duduknya, sehingga Elsa bisa duduk disampingnya. Tiba-tiba jantung Elsa pun berdebar cukup cepat.
Kantin teknik ini adalah tempat dimana Elsa dan teman-teman lainnya membahas tugas kuliah. Karena kuliah di teknik sangat memusingkan dan tiap mahasiswa memiliki kesulitan masing-masing, maka mereka pun selalu berkumpul membahas masalah yang ada dan mencari jalan keluarnya bersama-sama.  Inilah yang membuat mereka sangat solid. Siang ini, anak mesin yang kumpul di kantin hanya ada enam orang.
“Oh iya El, nanti sore kita mau ke rumah Bang Andra buat ngebahas peraturan lomba mesin. Elo ikut ya?” Tanya Bagas, senior semester 6.
“Rumah Abang dimana?”
“Deketlah, paling cuma 10 menit dari kampus” jelas Andra. “Nanti elo naik motor aja sama gue.” Andra menawarkan dirinya dengan sukarela. Perasaan senang tiba-tiba muncul dari dalam diri Elsa. Ini juga merupakan pertama kalinya Elsa ke rumah Andra.
Waktu menunjukan pukul empat sore, Elsa dan yang lainnya pun berkumpul di tempat parkir. Suasana Depok begitu sejuk, angin yang berhembus membawa udara segar sehabis diguyur hujan. Andra menghidupkan mesin motornya dan Elsa duduk dibelakangnya.
Selama dalam perjalanan, mereka berdua saling diam dan perasaan canggung datang menyelimuti. Elsa tidak menyukai suasana seperti ini, begitu juga dengan Andra. Akhirnya Elsa memulai percakapan.
 “Bang Andra sudah lama tinggal di daerah sini?”
“Ya lumayan lama juga sih, dari gue kelas 1 SMP. Sebelumnya gue tinggal di Jakarta Barat” katanya samar-samar. “Bukannya lo pernah ke rumah gue ya? Waktu malem tahun baru?”
“Waktu itu aku ga ikut bang, enggak diizinin, he” kata Elsa sambil tertawa. Andra pun ikut tertawa. Kemudian, suasana kembali diam.
“Gimana Elsa kuliah mesin di semester 4? Pusing enggak? Hahhaha” Tiba-tiba Andra membuka percakapan, berusaha untuk mencairkan suasana. “Ya lumayan bang, mata kuliahnya makin susah, tanggung jawab di ikatan juga makin besar, hahaha” jawab Elsa juga tertawa.
“Yaa semangat ya Elsa, itu semua adalah proses. Dulu gue juga gitu, dibawa happy aja, oke?”
“Hahaha okee, bang” Elsa merasa sangat bahagia karena Andra menyemangati dirinya. Elsa  merasa ada sisi lain dalam diri Andra yang berbeda, yang membuat diri Andra terasa begitu ‘hangat’.
Andra sebenarnya juga menyukai Elsa, namun karena gengsi selama ini ia lebih memilih untuk menutup dirinya. Andra ingin mengatakan sesuatu kepada Elsa, ia sengaja mengajak Elsa untuk berangkat bersama ke rumahnya, namun ia bingung bagaimana memulainya.
Selama dalam perjalanan, keduanya lebih memilih untuk diam. Elsa merasa canggung karena sebagai perempuan ia juga tidak mau selalu memulai pembicaraan, ia khawatir Andra akan mengetahui perasaannya. Di sisi lain, Andra juga bingung bagaimana mencairkan suasana di atas motor. Baginya ini adalah sebuah kesempatan, namun ini tidak mudah.
“Elsa, rumah elo dimana?” Tanya Andra, berusaha untuk mencairkan suasana.
 “Rumah aku di daerah Rawamangun bang.”
“ohh, lumayan jauh juga ya. Hmm.. kapan-kapan gue boleh enggak main ke rumah elo?” Tanya Andra dengan malu-malu.
“Tentu dong bang, kapan aja abang mau main silahkan. Nanti bareng sama anak-anak yang lain aja bang. Mereka udah pada tau kok rumah aku.” Dalam hati Elsa mengharapkan bahwa Andra akan datang ke rumahnya sendirian. Namun, karena ia tidak mau perasaannya diketahui oleh Andra, ia lebih memilih untuk mengajak Andra datang ke rumahnya dengan teman-temannya yang lain.
“Oh iya, nanti deh gue ajakin yang lain.” Andra sangat kecewa mendengar jawaban Elsa dan sebisa mungkin, Andra menanggapinya dengan biasa saja. Berpikir bahwa dirinya tak bisa seperti ini terus, Andra akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya kepada Elsa.
“Elsa…” Panggilnya dengan suara pelan. Suara motor dan kebisingan kendaraan lain membuat panggilan Andra tidak terdengar oleh Elsa. “Elsa!” Panggil Andra dengan suara yang lebih keras.
“Ada apa bang?” Tanya Elsa. Elsa merasakan sesuatu yang aneh sedang terjadi dengan Andra
Gue pengen ngomong sesuatu sama elo” Kata Andra dengan suara yang lebih dipelankan dari sebelumnya.
“Iya bang, ngomong aja. Aku dengerin kok
“Hmm.. Elo mau ga..” Kata Andra pelan.
“Mau apa bang? Enggak kedengeran” Elsa lebih mendekatkan dirinya ke Andra agar ia bisa mendengar pertanyaan Andra.
Elo.. mau ga..” Andra belum menyelesaikan kata-katanya dan  mereka berdua telah sampai di gerbang rumah Andra. Andai Andra lebih cepat berbicara dengan begitu ia dapat menyeleaikan kalimatnya. Sesampainya di rumah, Andra begitu canggung. Teman-temannya yang lain juga sudah datang.
“Bang, tadi mau ngomong apa? Kayaknya tadi abang nawarin aku sesuatu, tapi kita keburu nyampe rumah abang.” Tanya Elsa penasaran. Andra bingung harus menjawab apa.
“Oh itu. Eh, elo mau makan dulu enggak? Gue laper. Kita ngomongin peraturannya nanti aja. Yuk makan dulu.” Ajak Andra dengan gugup. Raut wajah kecewa tersirat dari wajahnya. Ia menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Ia tak tahu kapan kesempatan ini akan datang lagi. Jadi, ia lebih memilih untuk menyimpan ini untuk dirinya.



Rabu, 23 April 2014

Cerita Pendek

Hewan Kurban si Nenek Pemulung
Siang itu aku dan saudaraku fajri berangkat dari stasiun Depok Baru menuju Stasiun Gambir untuk pergi ke rumah nenek. Aku dan fajri adalah santri yang belajar di Pesantren daerah Sawangan Depok. Kebetulan beberapa hari lagi ada hari raya ‘Idul Adha maka santri dipersilahkan mengambil jatah izin pulang untuk bertemu keluarga, dan aku serta saudaraku fajri mengambilnya.

Stasiun Depok Baru siang itu cuacanya sangat panas dan terik, aku sedikit pusing dibuatnya. Setelah sekian lama menunggu akhirnya kereta pun datang, kereta sangat penuh seperti biasanya. “Panas sekali udah gitu penuh ya, kamu yakin kita naik kereta ini gak mau nunggu yang agak kosongan aja ?” tanyaku. “Sudah ayo kita naik, justru karena panas aku sudah tak betah disini” seru Fajri yang langsung bergegas masuk kedalam sesak kerumunan gerbong kereta.

Sempit kami berdesak-desakan di dalam gerbong, satu sama lain tidak saling peduli, yang penting dapat tempat dan lebih bagus dapat tempat duduk. Alhamdulillah aku dan Fajri mendapat tempat duduk sehingga aku dapat meluruskan kaki yang sudah lama berdiri menunggu kereta. Kereta singgah di stasiun berikutnya, kereta semakin penuh. Kereta ini dipenuhi oleh macam-macam penumpang, dari penjual koran, ibu-ibu, lansia, mahasiswa dan para pekerja.

Mataku tertuju pada ibu-ibu yang menggendong balita dan lansia yang berdiri di depan tempat duduk yang penuh diduduki oleh sepasang kekasih yang sempat-sempatnya pacaran di dalam kereta. Ibu-ibu  dan lansia yang baru masuk ke gerbong terlihat letih, kami iba dan mengampiri dan menawarkan tempat duduk kami. “bu silahkan duduk disini” kataku sambil menatap kedua orang tersebut, dan ibu-ibu dan lansia itu tersenyum menatap kami  dan ibu-ibu mengucapkan “terima kasih nak” dan kami membalas dengan senyuman.

Tak seberapa lama kami sudah sampai di Stasiun Gambir, pegal kaki ini langsung bergegas mencari Bajaj untuk pergi kerumah nenek. fajri tampak muram, ia sodaraku yang sangat kritis terhadap segala sesuatu, aku tau ada yang tidak beres maka aku bertanya padanya. “Jri, ada apa mukamu muram ?” lalu dia menjawab “Ini loh aku masih tidak habis pikir bahwa orang zaman sekarang sudah tidak peduli satu sama lain, kau lihat kan orang pacaran tadi acuh sama kedua orang yg lebih butuh tempat duduk ? Aku sedikit emosi melihatnya”. Fajri adalah saudaraku dari kampung yang tidak biasa melihat hal seperti itu. “Sudah biasa Jri, jaman sekarang memang begitu mereka hanya mementingkan apa yang dapat menguntungkan mereka tanpa memerhatikan orang lain” jawabku. “Iya aku tak habis pikir,  nauzubillah min zalik ya Jak” lanjut Fajri.

Sampai kami di depan rumah, kami langsung bertemu nenek dan kakek serta sodara-sodara yang lain. ‘Idul Adha di keluarga kami memang sangat ramai, kami keluarga keturunan timur tengah yang merayakan hari raya ‘Idul Adha dengan berkumpul keluarga besar dan merayakan bersama semeriah ‘Idul Fitri yang notabene biasanya lebih meriah bagi masyarakat pribumi.

Sore hari, aku dan Fajri langsung membantu para ta'mir masjid dalam menyiapkan kebutuhan dan menjadi panitia ‘Idul Adha. Kebetulan Aku dan Fajri bertugas mendata hewan kurban yang masuk dan membeli hewan kurban melalui masjid. Karena masjid  di sini memberikan kemudahan dengan memberikan jasa untuk membelikan hewan kurban dengan hanya memberikan uang tunai ke masjid. Maka lebih banyak warga yang memberikan dengan sejumlah uang bukan dengan hwan. Jumlah hewan kurban disini tidaklah terlalu banyak, 2 sapi 22 kambing.

Aku dan fajri bekerja menunggu orang datang untuk menyalurkan hewan kurbannya sampai malam hari, tiba tiba datang seorang nenek yang  membawa bungkusan plastik hitam dengan pakaian lusuh mengampiri. “Ada yang bisa saya bantu nek ? kata Fajri. “Nenek mau bayar kurban nak” kata nenek sambil menyerahkan bungkusan plastik hitam yang ternyata berisi uang receh tersebut. Aku menghitung uang tersebut dan ternyata uang itu pas untuk membeli satu kambing. Subhanallah, aku dan Fajri terdiam dan bingung, siapakah nenek ini dengan pakaian lusuh dan renta sendirian menyerahkan kurbannya. Lalu kami tanyakan rumah nenek itu, ternyata cukup jauh dari masjid ini. Maka aku berniat untuk mengantarnya pulang karena penglihatan nenek yang kurang baik.

“Nek mari ku antar pulang dengan motorku, rumah nenek sangat jauh” kataku, lalu nenek mejawab “Tak usah nak, nenek setiap hari berjalan melewati jalan ini, sudah biasa” jawab nenek. Aku sedikit memaksa karena aku kasihan sekaligus penasaran siapakah nenek ini. “Mari nek tak apa, ini sudah larut malam, tidak baik menolak kebaikan orang lain kan nek hehe”  kataku sambil tersenyum dan nenek itu akhirnya mau naik motorku.

Akhirnya sampailah aku di depan tempat pembuangan sampah sementara, dan nenek meminta aku untuk berhenti. “Sudah nak, ini rumah nenek.. tidak jauh kan ?” kata nenek, aku hanya senyum dan membantu nenek masuk kedalam gubuk samping tempat pembuangan sampah sementara. Aku tanya kepada nenek, “nenek tinggal seorang diri di gubuk ini?” lalu jawabnya “Iya nenek tinggal sendiri, suami nenek sudah meninggal puluhan tahun lalu dan nenek tak punya sanak keluarga, namun alhamdulillah nenek masih bisa bekerja”. “Apa pekerjaan nenek ?” kataku. “Nenek mendorong gerobak sampah, dan nenek selalu melewati masjid tadi seraya berdoa agar nenek dapat suatu saat berkurban” nenek mengisahkan, aku pun menangis dan memeluk nenek itu. Lalu hari sudah semakin larut maka aku harus pulang.

Keesokan harinya, Fajri menanyakan tentang nenek itu dan kuceritakan semuanya. Fajri pun menangis “subhanallah, aku merasa malu pada diriku sendiri mengetahui kebaikan nenek itu, dengan segala keterbatasannya dia dapat bersyukur dan membeli hewan kurban” kata fajri. “Subhanallah masih ada orang sebaik nenek itu, di zaman yang seperti ini. kita anak muda harusnya malu ya jri” kataku.

Di balik keegoisan masyarakat sekarang yang hidup di zaman modern, Kami pun bersyukur atas nikmat Allah, hati terenyuh karena kisah nenek tadi. Lalu aku dan Fajri bersiap untuk solat ‘Id dan makan bersama, kami tak melihat nenek itu pada hari itu dan kami merayakan hari raya ‘Idul Adha dengan senang hati dan bersama.

Kado Untuk Kartini

Kado Untuk Kartini

Kulangkahkan kaki di pagi buta yang udaranya masih terasa sejuk, karena kendaraan yang lewat masih terlihat sepi. Aku berjalan menuju terminal bus Tanjung Priuk membawa gitar kecil dan bungkus permen yang sudah terlihat lusuh. Mengenakan kaos lusuh seadanya dan sendal jepit. Aku berjalan tanpa henti melewat gang hingga langkahku terhenti di depan sebuah Sekolah Dasar. SDN RBU 23 Pagi terpampang di gerbang masuk sekolah, dari luar  suasana sekolah masih terlihat sepi hanya beberapa siswa yang terlihat masuk menuju kelas. Sementara di depan gerbang terlihat siswa yang diantarkan oleh ibunya, mereka terlihat sangat ceria. Aku sangat iri melihat pemandangan ini, tiap pagi aku sengaja melewati jalan ini hanya untuk melihat suasana Sekolah Dasar yang sangat aku rindukan.
Aku berhenti sekolah sejak kelas 3 SD karena saat itu ayahku meninggal dan ibu sakit-sakitan sejak dua tahun sebelum kepergian ayah. Saat ini seharusnya aku sudah duduk di bangku kelas 6 SD. Aku sebagai anak pertama, menjadi tanggungan keluarga memutuskan untuk berhenti sekolah untuk mengamen dan menjual koran. Kartini, adikku yang perempuan sekarang duduk di kelas 1 SD, alhamdulillah dia dibantu oleh pak RT untuk biaya keperluan sekolahnya.
“Nak, jangan melamun di pinggir jalan, nanti ketabrak!”Seorang kakek memecah lamunanku. Lalu aku melanjutkan perjalanan menuju stasiun Tanjung Priuk. Dalam perjalanan aku terngiang ucapan Tini, “Ulang tahun Tini nanti, kaka mau kan kasih aku kado?”Aku hanya menjawab dengan senyum hangat. Tidak pernah ada yang memberikan kado untuk Tini, aku ingin memberikan kado di ulang tahunnya yang ke-8. Hanya Kartini dan Ibu yang aku miliki sekarang, aku ingin membahagiakan mereka berdua.
“Pul, tumben dateng pagi banget?”Teriak Imam, teman mengamenku. “Iya nih mam, kejar target, buat beli kado ulang tahun Tini"jawabku. Aku sudah sampai di Stasiun Tanjung Priuk, aku meninggalkan Imam untuk mencari bus yang belum dinaiki oleh pengamen. Aku memilih patas 135 jurusan Tanjung Priuk-Ciputat. Aku bernyanyi sepanjang perjalanan. Alhamdulillah aku memang dianugerahi suara yang bagus secara otodidak, mungkin ini salah satu bentuk keadilan Tuhan. Aku turun di daerah fatmawati, lalu berjalan untuk menunggu patas 135 arah Ciputat-Tanjung Priuk. Tidak lama kemudian patas datang dan kebetulan tidak ada pengamen. Aku membawakan empat buah lagu, salah satunya lagu “Ibu Kita Kartini” karena hari ini tanggal 21 April 2014 dan bertepatan dengan hari ulang tahun adikku, Kartini. Setelah keluar tol Rawamangun, aku turun dan mencari bus lainnya.
            Hari sudah siang, kulihat jam dinding di warteg menunjukkan pukul 12 siang. Aku mencari masjid untuk menunaikan solat zuhur. Setelah selesai berwudhu kurasakan kesegaran mengaliri wajahku setelah terik matahari membakar tubuhku. Selesai solat aku menghitung uang di teras masjid, baru tiga puluh ribu yang aku dapatkan dari mengamen di 4 bus. Perutku terasa lapar karena dari pagi belum terisi.  Aku memutuskan untuk pergi ke warung di samping masjid. “Pak, air botol sama roti satu, berapa?”Tanyaku pada Bapak penjaga warung. “Lima ribu dek,”jawab Bapak penjaga warung. Aku memakan roti di bangku depan warung dengan lahap. Selesai makan, aku melanjutkan berjalan untuk mengamen dalam bus.
Mulai dari patas, bus, kopaja, hingga metro mini aku naiki. Aku tiba di senen ketika hari sudah malam, aku memutuskan untuk mengamen di dalam metro mini 07 arah Tanjung Priuk dan pulang ke rumah. Sesampainya di Tanjung Priuk, aku menghitung uang yang didapat dari hasil mengamen. Sembilan puluh tujuh ribu lima ratus yang aku dapatkan seharian mengamen dari 10 bus. Aku berjalan menuju apotik untuk membeli obat Ibu, kulihat jam yang menggantung di dinding Apotek menunjukkan pukul 8 malam. Aku kembali memikirkan ucapan Kartini “Ulang tahun Tini nanti, kaka mau kan kasih aku kado?”
“Ini dek, bonnya silahkan bawa ke kasir”Kata-kata Apoteker itu membuyarkan lamunanku. Sebelum ke kasir, aku melihat bon tertulis angka Rp 40.000,-. Aku memberikan uang empat puluh ribu rupiah yang bercampur dengan koin hasil mengamen tadi. Keluar dari Apotek aku menuju ke warteg membeli dua bungkus nasi untuk ibu dan Tini. Uang hasil mengamen sisa empat puluh lima ribu. Aku menuju Ramayana untuk membeli kado. Aku tidak tahu harus membeli apa karena harga barang-barang disana lebih dari Rp 45.000,-. Lalu aku melihat kotak pensil berwarna biru, warna kesukaan Tini dengan gambar Barbie seharga Rp 30.000,-. Aku membawa kotak pensil itu menuju kasir untuk dibungkus dengan kertas kado.
Aku keluar Ramayana dengan perasaan senang dengan membawa kado untuk Kartini. Tanganku penuh memegang gitar, nasi bungkus dan kado. Aku mendengar keributan di jalan, terdengar seperti orang teriak minta tolong dari arah jembatan penyebrangan. Lalu tiba-tiba ada seorang laki-laki berlari kencang ke arahku. Aku yang tidak menduga sebelumnya, tidak sempat menghindar. Tubuhku terjatuh, semua barang yang aku pegang terlempar ke jalan yang penuh genangan air kotor. Kado untuk Kartini, itu yang terlintas dibenakku pertama kali saat tubuhku terjatuh. Aku segera bangkit dan mengambil kado untuk kartini yang ternyata sudah basah, kotor dan sedikit berubah bentuk. Aku kembali teringat ucapan Kartini “Ulang tahun Tini nanti, kaka mau kan kasih aku kado?”Kado pertamanya sudah rusak. Laki-laki yang berlari menabrakku tadi telah merusak kado untuk Kartini yang ternyata diketahui dia adalah perampok wanita yang teriak minta tolong di jembatan penyebrangan. Aku mengambil gitar dan nasi bungkus yang alhamdulillah tidak terkena basah. Aku pulang dengan perasaan sedih dan bersalah karena kado untuk Kartini sudah rusak.
“Assalamualaikum, Tini abang pulang!”Teriakku karena pintu sudah ditutup. “Abang dari mana aja, ko jam 10 baru pulang?”Tanya adikku. “Baju abang juga kotor, kenapa?”Sambung Tini. Aku masuk ke dalam rumah menaruh obat Ibu di kamar, terlihat Ibu sudah tidur. “Iya nih abang tadi jatuh di jalan jadi kotor bajunya. Oh iya Tini, ini kado untuk kamu”Aku memberikan kado yang sudah basah tadi dengan sangat menyesal. “abang minta maaf kadonya juga jatuh”Aku menunjukkan penyesalan dalam nada suaraku. Tini menuju ke arahku mengambil kado di tanganku, dia menunjukkan wajah kecewa lalu tiba-tiba tersenyum ke arahku, “Makasih banyak yah bang Ipul, Tini senang abang kasih kado untuk Tini, ini kado pertama Tini. Walaupun rusak, abang sudah susah payah beli ini untuk Tini.”Tini mengeluarkan air mata dan memelukku. Sebelum Ayah meninggal, Tini sangat dekat dengan Ayah, dan setelah ayah meninggal akulah pengganti sosok Ayah bagi Tini. “Kado untuk Kartini, semoga kamu suka. Selamat ulang tahun yang ke-8 Kartini, semoga kelak kamu menjadi sosok wanita tangguh, setangguh Kartini.”

Susahnya Hidup Susah

SUSAHNYA HIDUP SUSAH

Tangan mungil itu terus bekerja, mencari pelanggan yang mau di semir sepatunya hingga mengkilat. Ini sudah siang hari bolong masih saja gadis kecil ini bekerja mencari nafkah padahal ia sudah mulai keluar rumah untuk mecari uang dari subuh.  Tapi sayang hasil jerih payahnya seringkali tak terbayar dengan usaha keras gadis kecil ini.
“Pak sepatunya mau disemir?” perkataan itulah yang selalu terlontar dari bibir mungil gadis kecil itu. Di setiap sudut kota ia kunjungi untuk mendapatakan pelanggan yang lebih banyak. Tak jarang gadis kecil ini menjadi incaran kantib untuk di tangkap. Padahal dibandingkan dengan teman sepantarannya yang bernasib sama gadis kecil ini tidak pernah membuat onar, ia hanya menjalankan tugas sebagai seorang anak yang membantu keluarga untuk mendapatkan nafkah. Sedangkan teman-teman yang lainnya hanya mengandalkan wajah memelas dengan tangan dibawah berkunjung dari satu orang keorang lainnya atau bahkan yang lebih miris tak jarang teman sebayanya ini sudah berani mencopet untuk mendapatkan uang dengan cara yang mudah. “Kamu ngpain sih susah-susah semir sepatu, kan capek! Mending kayak kita ngemis atau ga yaaa….nyopet kek” ujar salah satu temannya. Gadis kecil ini pun hanya tersenyum memperlihatkan gigi ompongnya dan menggelengkan kepala pertanda ia tidak akan pernah setuju dengan cara seperti itu.
Matahari telah berganti wujud, senja kali ini menunjukan keindahannya pergantian waktu inilah menjadi bagian favourite gadis kecil ini. Ia selalu senang ketika melihat awan cerah yang berganti menjadi gelap, baginya perpaduan warna langit orange yang berganti tercampur dengan warna biru yang mulai menggelap menghasilkan warna-warna lain. Sambil jalan pulang menuju rumah, ia selalu menyempatkan diri untuk pergi ke bukit melihat senja tersebut.  Sesampainya di bukit, gadis kecil ini meletakkan sepedanya bersadar pada pohon beringin besar. Dan ia pun duduk, dia bersandar pada pohon beringin tersebut.  Dengan memejamkan mata gadis ini siap untuk bercerita pada alam tentang apa yang terjadi hari ini. Setiap hari gadis kecil ini selalu bercerita tentang bagaimana keseruan ia mencari uang dan bermain bersama teman-teman. Tapi kali ini berbeda, ia tidak menceritakan hal bahagia gadis kecil ini memejamkan mata cukup lama perlahan bibir mungilya membuka untuk melontarkan kata “Tuhan aku lelah. Aku ingin kaya.”  Perlahan air mata pun jatuh membahasahi pipi gadis kecil ini. Hingga akhirnya ia pun tertidur di bawah pohon besar yang mendekap tubuh mungilnya.
Langit sudah semakin gelap, angin kencang membangunkan gadis kecil dari tidurnya. Ia tersadar bahwa ini sudah larut malam, ibu pasti mencarinya dan akan menyambut kedatanganya dengan sapu di tangan kanannya. Bergegaslah gadis kecil ini pulang, ia kayuh sepedanya sekencang mungkin tak perduli nafasnya sudah mulai terengah-engah.
“Assalamualaikum, ibu aku pulang” ujar gadis kecil ini. “Dari mana saja kamu?” gadis kecil ini pun hanya terdiam, ia tau alasan apapun yang ia lontarkan tidak akan menyelamatkan dirinya dari sapu di tangan kanan ibunya. “Mana uang hari ini?” ujar ibunya dengan suara lantang. Sambil merogoh kantong celananya gadis kecil ini memberikan segenggam uang logam dan sedikit uang kertas kepada ibunya. “Cuma segini? Kamu ini ya lama-lama pemalas! Makin hari semakin sedikit kamu mencari uang. Mau makan apa kita kalo gini, katanya mau sekolah! Buat makan aja kamu cuma dapet segini!” suara ibunya semakin lantang. Gadis kecil ini sebenarnya sudah biasa mendengar suara ibunya seperti ini, baginya ini hal biasa. Tapi kali ini ia tak kuasa menahan tangis, air matanya memicu kemarahan ibunya semakin jadi.

Lamunan Ani di hentikan oleh temannya yang sengaja menepuk pundaknya. “Kamu ngelamunin apa sih? eh kita ada kerjaan nih buat ngirim ‘barang’ ke mafia dari kota Bandung ayo ikut.” Ani yang masih dalam keadaan melamun mencoba sadar dari kenanganannya. Ia lah gadis kecil itu, kini ia hidup bukan lagi menjadi seorang gadis kecil yang lugu. Kini gadis kecil itu menjelma menjadi kumpulan buronan polisi, ia bukan lah gadis manis yang menawarkan jasa semir sepatu lagi, tapi kini gadis kecil itu adalah seorang pengedar narkoba. Ketidak seimbangan hidup yang memaksa Ani sang gadis kecil ini berubah. Baginya hidup ini tidak adil, apalagi persaingan hidup di ibu kota. Bahkan Ani sempat bekerja di club malam demi menghidupi dirinya sendiri, ia benci sekali dengan ketidak adilan ini ia benci ketika ia melamar pekerjaan semua perusahaan menolak akibat Ani bukan lah seorang sarjana dari Universitas ternama bahkan Ani belum pernah merasakan bangku sekolah. Baginya janji-janji para pemimpin bangsa ini hanyalah kicauan yang tak lebih mengobral janji belaka. Dimana keadilan bagi dirinya dan orang-orang lain yang bernasib sama seperti Ani, mereka tak pernah menginginkan untuk mendapatkan pekerjaan seperti ini memang mereka ingin hidup layak tapi….mereka butuh ketenangan dalam kejayaan hidup mereka. “Memang aku ingin kaya tapi bukan seperti ini” gumam Ani dalam hati. Sudah berkali-kali Ani menyalahkan ketidak adilannya ini tapi entah harus pada siapa ia mengadu. Baginya semua itu akan percuma, mungkin memang inilah garis hidupnya  menjadi gadis kecil yang terlahir miskin.