Sabtu, 12 Juli 2014

Cerpen: Terjebak Dalam Sebuah Pelarian

Terjebak Dalam Sebuah Pelarian
Oleh : Eva Hardini Fauziah (1112046100009) 
“Mungkin hubungan kita sampai di sini saja Vin,” ucapku gemetar.
“Kenapa? Apa salah aku?”, jawabnya tak terima dengan keputusanku.
“Aku tidak bisa menjalani hubungan jarak jauh seperti ini, aku capek Vin. Aku harap kamu bisa mengerti dan menerima keputusanku.”
“Baiklah, aku mengerti,” jawabnya pelan sambil terisak.
“Terima kasih Vin.” Klik. Aku menutup telepon dan mengakhiri pembicaraanku dengan Vina.
Maafkan aku Vin, sebenarnya dalam hati kecil ini aku masih menyayangimu.  Tapi aku juga capek kalau harus seperti ini terus. Mungkin ini jalan terbaik buat kita. Maafkan aku…
Masih sama seperti hari-hari sebelumnya, tiga minggu setelah aku memutuskan hubunganku dengan Vina, kadang aku merindukannya. Vina masih suka menghubungiku tapi aku mencoba untuk tidak meresponnya. Aku ingin menghilangkan perasaan cinta ini, tetapi sulit. Aku tidak tahu apakah aku menyesal atas keputusan yang telah aku ambil atau tidak. Tetapi hal itu benar-benar membuat kepalaku pusing. “Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mungkin minta balikan lagi sama dia, aku tidak mau,” bisikku dalam hati”. Masalah ini membuat diriku berubah, akhir-akhir ini aku lebih sering diam dan melamun. Sampai-sampai lupa dengan janji hari ini. Jam 10 pagi, aku ada janji untuk bertemu dengan teman lamaku.
“Astaga..sudah hampir jam 10. Aku belum siap-siap. Dia pasti marah-marah kalau aku datang terlambat, dia kan orangnya cerewet,” gumamku sambil bergegas ke kamar mandi.
*****
“Aduh Raf, kamu kemana saja? Nyasar? Janji jam 10, ini udah jam berapa ?” Ucap Rizal kesal. Rizal teman sebangkuku waktu SD dulu. Walaupun dia cerewet dan suka marah-marah tapi dia best friendku yang paling perhatian. Dari SD sampai SMP kita selalu bersama tapi setelah itu kita berpisah. Hanya waktu liburan seperti sekarang ini aku bisa bertemu dengannya lagi.
Sorry,,sorry, tadi ada masalah darurat,” jawabku sambil cengengesan. “Bagaimana kabarmu, sehat? Sudah lama yah kita tidak bertemu.”
“Kalau kamu bukan best friendku, sudah aku tinggalin kamu dari tadi. Kabarku sehat, alhamdulillah. Kamu sendiri?” Tanya Rizal.
Alhamdulillah, aku juga sehat,” jawabku.
“Syukurlah kalau kamu sehat. Tapi kok sekarang kamu agak keliatan sedikit berbeda, kenapa? Ceritalah sama aku, aku kan sahabatmu. Status-status galaumu juga sering nongol di beranda. Kamu putus sama Vina?” Tanya Rizal penuh rasa ingin tahu.
“Iya Zal, aku tidak bisa hubungan jarak jauh jadi aku putusin Vina. Sekarang aku pusing Zal, aku tidak tahu harus bagaimana, aku belum bisa melupakan dia,” jawabku pelan.
“Memang semua itu butuh proses Raf, tidak bisa kamu tiba-tiba lupa sama dia. Biarkan waktu yang menghapus semuanya Raf,” ucap Rizal dengan kata-kata bijaknya. “Ya sudah Raf, lebih baik kamu cari pacar baru lagi. Gampang kan?” ucapnya sambil bercanda.
“Dasar , gak segampang itu nyari pacar. Memangnya kamu,” jawabku sambil tertawa. “Kamu tahu kan aku itu susah buat suka sama seseorang,” ucapku.
Pertemuanku dengan Rizal sedikit meringankan masalah yang sedang kuhadapi. Aku sedikit terhibur dengan candaan-candaan konyolnya. Tak terasa hari sudah semakin sore, mengobrol dengan teman lama memang membuat lupa waktu. Akhirnya kita berpisah dan pulang ke rumah masing-masing.
*****
Beep. Handphoneku berbunyi, membuyarkan lamunanku. Ada sebuah permintaan pertemanan, Chika Syathira Putri ingin menjadi teman anda. “Chika, siapa Chika?” Batinku. Karena aku penasaran akhirnya aku membuka profilenya. Setelah aku lihat, ternyata dia juga berteman dengan sahabatku Rizal. Itu karena Chika lulus dari sekolahan yang sama dengan Rizal.
“Hey, kamu kenal sama Rizal?” Tanyaku memulai percakapan.
“Hey juga. Iya aku kenal. Dulu aku pernah sekelas sama dia,” jawab Chika.
Itulah awal percakapan dan perkenalanku dengan Chika. Berawal dari situ hampir setiap hari kami selalu berkomunikasi diFacebook, dari mulai saling komentar  kemudian ngobrol diobrolan sampai berjam-jam. Aku cepat akrab dengannya, karena dia orang yang baik dan enak diajak ngobrol. Aku pun tidak sadar menceritakan semua masalahku pada Chika. Padahal sebenarnya aku bukan tipe orang yang mudah menceritakan masalah pribadi kepada orang lain, apalagi Chika orang yang baru beberapa hari aku kenal.
Kehadiran Chika bisa membuatku sedikit melupakan Vina dan sekarang aku sudah jarang melamun lagi. Aku senang dan merasa kalau masalahku mulai berkurang. “Haruskah aku jadian sama Chika?” Pikiran seperti itu tiba-tiba terlintas dibenakku.
Aku mengirimkan sebuah pesan pada Chika tentang perasaanku yang begitu senang telah mengenalnya dan merasa nyaman dengannya. Aku juga berharap hubungan kita ini bukan sekedar hubungan pertemanan. Cukup lama Chika membalas pesanku. Beep. Handphoneku berbunyi. Tiba-tiba jantungku berdegup begitu kencang, takut kecewa dengan balasan dari Chika.
“Aku juga senang bisa mengenalmu dan aku juga ingin hubungan kita lebih sekedar dari teman.” Itulah isi pesan balasan dari Chika.
Setelah membaca pesan itu, perasaanku campur aduk, antara kaget, senang dan sedih.  Aku terkejut, secepat itu aku bisa melupakan Vina dan jadian sama orang lain. Aku juga senang cintaku diterima, tetapi aku juga merasa sedih karena aku masih bingung apakah aku benar-benar mencintai Chika atau hanya sekedar perasaan sesaat.
Kukirimkan sebuah pesan pada Rizal tentang berita gembira ini, “Zal, aku sama Chika sudah resmi pacaran.”
“Secepat itu? Kamu kan baru satu minggu kenal sama dia. Kok bisa? Jangan sampai kamu jadian sama Chika buat pelarian kamu saja.” Balas Rizal.
Kata-kata  pelarian dalam pesan itu membuatku terdiam dan berpikir. “Apakah benar aku menjadikan Chika sebagai pelarianku saja?” Batinku. Aku bingung dan sungguh tidak tahu. ”Ah sudahlah, sekarang ini yang terpenting aku sudah jadian sama Chika dan aku harus membahagiakannya,” pikirku mengusir kegelisahan.
*****
Sudah hampir satu bulan statusku berpacaran. Seperti pasangan yang lain setiap hari kita selalu berkomunikasi lewat handphone. Kami belum bisa bertemu langsung karena Chika masih kuliah di Bandung. Setelah liburan mungkin kita bisa sering bertemu karena ternyata kita tinggal di daerah yang sama.
Aku tidak sabar ingin cepat-cepat bertemu dengan Chika, karena aku begitu merindukannya. Akhirnya kuputuskan untuk mengunjunginya di Bandung. Betapa senangnya hatiku  setelah aku bertemu dengan Chika, perempuan yang aku sayangi saat ini. Begitupun dia. Dua hari di Bandung, aku habiskan waktu bersama Chika dengan berjalan-jalan mengelilingi Kota Kembang ini. Kebetulan Chika sedang tidak ada jadwal kuliah.
Hari itu, hari terakhir aku di Bandung sebelum besok harus kembali lagi ke rumah. Kami sedang makan siang di sebuah kafe, tempatnya anak-anak muda Bandung berkumpul menghabiskan waktu sambil mengobrol dan minum secangkir kopi.
“Cepet banget si, besok kamu sudah balik lagi ke rumah. Padahal aku masih pengen kamu di sini,” ucap Chika sambil cemberut.
“Kamu jangan cemberut, nanti cantiknya hilang loh. Kamu tenang saja, nanti kalau kamu sudah liburan kita jalan-jalan bareng lagi,” ucapku menghibur.
“Sebenarnya ada sesuatu yang belum aku kasih tahu ke kamu, Raf,” ucap Chika pelan.
“Apa?” Tanyaku penasaran.
“Sebenarnya..,” Chika menghentikan pembicaraanya. Tapi aku membujuknya untuk segera mengatakan apa yang dia sembunyikan dariku.
“Sebenarnya aku sudah dijodohkan oleh orang tuaku dengan laki-laki pilihan mereka. Tapi aku tidak suka sama dia.” Sahut Chika dengan mata yang berkaca-kaca.
Aku kaget. Aku terdiam sejenak. “Kenapa? Kenapa kamu baru mengatakan hal itu padaku sekarang, Chik? Dan kenapa dulu kamu menerima cintaku?” Tanyaku kecewa.
“Karena aku sayang sama kamu dan aku tidak mau dijodohkan, Raf. Aku tidak suka dengan laki-laki itu.”
“Lalu bagaimana denganku? Jika orang tuamu sudah menjodohkanmu dengan orang lain, lebih baik kamu terima karena itu pasti pilihan yang terbaik untuk kamu. Walaupun saat ini kamu tidak suka dengan laki-laki pilihan orang tuamu, tapi aku yakin suatu saat nanti kamu pasti akan menyukainya. Sebelum semuanya  terlambat lebih baik hubungan kita sampai di sini saja Chik.” Ucapku sedih sambil berusaha menguatkan hati.
Chika terkejut dan langsung menangis menolak permintaanku. Aku tidak tega melihat Chika menangis lalu aku urungkan niatku untuk memutuskan Chika. “Ya Tuhan, bagaimana ini?” bisikku dalam hati.
Sore hari setelah aku makan siang dengan Chika, dia memintaku untuk mengantarnya check up ke rumah sakit untuk. Selama ini dia memang sedang sakit, badannya mudah merasa lemas jika beraktifitas terlalu banyak. Tetapi dia selalu tidak mau mengatakan apa penyakitnya itu padaku. Akhirnya kesempatan ini aku gunakan untuk mengetahui penyakit apa yang sebenarnya diderita oleh Chika.
Aku masuk ke ruang dokter bersama Chika. Setelah diperiksa, dokter meminta kepada Chika untuk banyak beristirahat dan mengurangi semua kegiatannya. Hal itu membuatku benar-benar penasaran.
“Dok, sebenarnya Chika sakit apa?” Tanyaku penasaran.
“Dalam istilah kedokteran penyakit yang Chika alami disebut dengan MG atau Miastenia Gravis,” jawab dokter singkat.
“Penyakit apa itu dok? Saya baru mendengarnya.”
“ Penyakit ini memang penyakit langka. MG atau Miastenia Gravis adalah suatu penyakit autoimun dimana persambungan otot dan saraf berfungsi secara tidak normal dan menyebabkan kelemahan otot. Otot-otot yang paling sering diserang adalah otot yang mengontrol gerak mata, kelompak mata, bicara, menelan, mengunyah dan bahkan pada taraf yang lebih gawat sampai menyerang pada otot pernafasan sehingga pasien mengalami gagal nafas,” jelas dokter panjang lebar. “Oleh karena itu, Chika tidak boleh terlalu capek dan jangan sampai dia mengalami stress karena hal itu memicu penyakitnya kambuh,” ucap dokter menambahkan.
Aku hanya terdiam mendengar penjelasan dari dokter. Begitupun dengan Chika, dia hanya tertunduk sedih. Aku tidak menyangka jika selama ini sakit yang diderita oleh Chika cukup parah dan berbahaya untuk nyawanya.
“Baiklah, kalau begitu kami permisi dok. Terima kasih.”  
“Iya sama-sama,” jawab dokter ramah.
Sepanjang jalan aku masih kepikiran dengan penjelasan dokter tadi. Sekarang aku benar-benar merasa kasihan pada Chika. Tadinya aku akan memutuskan dia jika kondisinya sudah memungkinkan dan akan memberi penjelasan agar dia mengerti dan menerima perjodohan dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Aku percaya jika keputusan orang tua itu  adalah keputusan yang terbaik untuk anaknya. Tetapi aku ingat pesan dokter tadi, Chika tidak boleh stres. Aku takut jika keputusanku membuat Chika menjadi stres sehingga penyakitnya kambuh dan semakin parah. 
“Kamu kenapa? Kok diam saja. Kamu tidak usah khawatir, aku baik-baik saja,” ucap Chika sambil tersenyum manis.
“Iya, aku tahu. Kamu harus ingat ya pesan dokter tadi, kamu harus banyak istirahat dan tidak boleh terlalu capek apalagi stres,” jawabku sambil membalas senyumnya.
“Rafli, aku sayang sama kamu. Jangan tinggalin aku ya.”
“Iya, aku juga sayang sama kamu Chik.”
“Tuhan..,bagaimana ini? Aku benar-benar bingung, apa yang harus aku lakukan? Adakah jalan keluar dari masalah ini? Apakah aku harus memutuskan Chika disaat kondisi Chika seperti ini ataukah aku harus tetap bersamanya menjalani hubungan yang entah akan berakhir seperti apa,” debatku dalam hati.