Dini hari, di kota Solo yang tenang.
Sang surya nampaknya belum bangun dan keluar dari ufuknya. Kumandang adzan
subuh juga belum senter terdengar membangunkan para muslim untuk bersebahyang
menghadap Sang Khalik. Ayam jago pun belum jua melepaskan kokoknya yang
menandai usainya waktu tidur, hanya udara dingin malam yang terasa tengah
berganti dengan sejuk embun pagi. Namun keadaan ini tak berlaku bagi
orang-orang yang ada di Pasar Klewer.
Di Pasar Klewer saat ini hiruk pikuk
sedang berlangsung, bahkan hal ini sudah dimulai saat orang-orang tengah
bermimpi nyenyak. Memang aktivitas pasar pada umumnya dimulai sejak dini hari.
Ku lihat, hampir semua orang tengah sibuk menyiapkan barang dagangan mereka.
Hal ini membuat sunyinya subuh lenyap karenanya ditambah dengan bisingnya
mobil-mobil pengangkut sayur yang tak hentinya lewat di hadapanku. Senda gurau
antara pedagang serabi dan pedagang buah yang tepat berada didepan ku, membuat
suasana makin terasa ramai oleh lontaran canda dalam bahasa jawa yang khas di
telingaku.
Sebuah toko sayur-mayur yang berada
tepat diarah jam sebelasku, yang lima belas menit sebelumnya masih tutup, kini
tengah sibuk menerima sayuran yang baru saja tiba. Sayur yang diturunkan dari
mobil sayur kurasa tak kurang dari 20 macam sayur dan rempah-rempah yang
semuanya dalam bentuk karung. Seperti tak mau kalah dengan toko diseberang
tadi, sekitar lima langkah dari tempat dudukku ini, ada sebuah toko yang
lumayan besar menjual sayur yang tak kalah banyak dan lengkap. Bahkan toko ini
sudah melayani beberapa pembeli yang datang lalu pulang dengan kantong plastik
merah besar-besar yang penuh berisi berbagai macam sayuran.
Mentari sudah mulai menampakan
sinarnya bagi tanah yang ku pijak. Seberkas warna orange sudah muncul di
belakang pilar besar plang nama pasar
ini. Pasar pun kini kian ramai dengan orang-orang yang datang dengan berbagai
kebutuhan. Telingaku terusik manakala suara ibu-ibu terdengar riuh
dibelakangku. Ternyata itu adalah penjual pecel yang menjajakan pecelnya pada
orang yang berlalu lalang. Dengan bakul dan kain khas jawanya ibu penjual
pecel membawa makanan berbumbu kacang
itu di punggungnya. Tak jauh dari si penjual pecel, di sebelah kirinya berjajar
sepeda ontel yang dudukan belakangnya terpasang semacam sadel untuk menaruh
barang bawaan sang pemiliknya.
Cukup memperhatikan penjaja pecel,
aku alihkan pandanganku pada sebuah sosok hitam yang sejak satu jam lalu
mengusik pikiranku. Sosok itu seperti duduk bersandar pada tembok sebelah toko
tembakau yang baru saja buka. Aku menaruh rasa ingin tahu padanya, namun tak sampai
hati menengok langsung karena gelapnya pagi tadi. Cahaya matahari semakin
terasa, saat ku lihat jam di dinding toko itu menunjukkan pukul enam lewat
delapan. Mentari sepertinya tak kuasa melihatku berlama-lama termangu melihat
sosok itu. Sinarnya terpantul mengenai spion kecil sepeda ontel dan menyinari
sosok itu. Tak ku sangka sosok itu tak ayalnya hanyalah tumpukkan karung beras
yang disandarkan pada tembok bata.
Tak hanya manusia yang berlalu-lalang
dihadapanku, saat ini ada segerombolan kambing berwana putih-coklat yang digiring
oleh seorang pemuda, berbaris sambil mengembik menuju tempat mereka akan di
jual.
Sayangnya, aku tak bisa lebih lama
lagi menonton rusuhnya pasar ini hingga usai nanti, saat adzan dzuhur memanggil
karena ibuku kini telah duduk manis di atas sebuah becak yang sudah hampir
penuh terisi barang. Untunglah masih ada sepotong bagianku duduk disana. Aku
pulang tak hanya dengan ibuku dan setumpuk belanjaan ini tapi juga dengan
‘pesona’ Pasar Klewer dan semua hiruk-pikuknya yang masih akan berlanjut sampai
aku tiba dirumah nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar