Rabu, 09 April 2014

Subuh yang Rusuh di Pasar Klewer

Dini hari, di kota Solo yang tenang. Sang surya nampaknya belum bangun dan keluar dari ufuknya. Kumandang adzan subuh juga belum senter terdengar membangunkan para muslim untuk bersebahyang menghadap Sang Khalik. Ayam jago pun belum jua melepaskan kokoknya yang menandai usainya waktu tidur, hanya udara dingin malam yang terasa tengah berganti dengan sejuk embun pagi. Namun keadaan ini tak berlaku bagi orang-orang yang ada di Pasar Klewer.
Di Pasar Klewer saat ini hiruk pikuk sedang berlangsung, bahkan hal ini sudah dimulai saat orang-orang tengah bermimpi nyenyak. Memang aktivitas pasar pada umumnya dimulai sejak dini hari. Ku lihat, hampir semua orang tengah sibuk menyiapkan barang dagangan mereka. Hal ini membuat sunyinya subuh lenyap karenanya ditambah dengan bisingnya mobil-mobil pengangkut sayur yang tak hentinya lewat di hadapanku. Senda gurau antara pedagang serabi dan pedagang buah yang tepat berada didepan ku, membuat suasana makin terasa ramai oleh lontaran canda dalam bahasa jawa yang khas di telingaku.
Sebuah toko sayur-mayur yang berada tepat diarah jam sebelasku, yang lima belas menit sebelumnya masih tutup, kini tengah sibuk menerima sayuran yang baru saja tiba. Sayur yang diturunkan dari mobil sayur kurasa tak kurang dari 20 macam sayur dan rempah-rempah yang semuanya dalam bentuk karung. Seperti tak mau kalah dengan toko diseberang tadi, sekitar lima langkah dari tempat dudukku ini, ada sebuah toko yang lumayan besar menjual sayur yang tak kalah banyak dan lengkap. Bahkan toko ini sudah melayani beberapa pembeli yang datang lalu pulang dengan kantong plastik merah besar-besar yang penuh berisi berbagai macam sayuran.
Mentari sudah mulai menampakan sinarnya bagi tanah yang ku pijak. Seberkas warna orange sudah muncul di belakang pilar besar  plang nama pasar ini. Pasar pun kini kian ramai dengan orang-orang yang datang dengan berbagai kebutuhan. Telingaku terusik manakala suara ibu-ibu terdengar riuh dibelakangku. Ternyata itu adalah penjual pecel yang menjajakan pecelnya pada orang yang berlalu lalang. Dengan bakul dan kain khas jawanya ibu penjual pecel  membawa makanan berbumbu kacang itu di punggungnya. Tak jauh dari si penjual pecel, di sebelah kirinya berjajar sepeda ontel yang dudukan belakangnya terpasang semacam sadel untuk menaruh barang bawaan sang pemiliknya.
Cukup memperhatikan penjaja pecel, aku alihkan pandanganku pada sebuah sosok hitam yang sejak satu jam lalu mengusik pikiranku. Sosok itu seperti duduk bersandar pada tembok sebelah toko tembakau yang baru saja buka. Aku menaruh rasa ingin tahu padanya, namun tak sampai hati menengok langsung karena gelapnya pagi tadi. Cahaya matahari semakin terasa, saat ku lihat jam di dinding toko itu menunjukkan pukul enam lewat delapan. Mentari sepertinya tak kuasa melihatku berlama-lama termangu melihat sosok itu. Sinarnya terpantul mengenai spion kecil sepeda ontel dan menyinari sosok itu. Tak ku sangka sosok itu tak ayalnya hanyalah tumpukkan karung beras yang disandarkan pada tembok bata.
Tak hanya manusia yang berlalu-lalang dihadapanku, saat ini ada segerombolan kambing berwana putih-coklat yang digiring oleh seorang pemuda, berbaris sambil mengembik menuju tempat mereka akan di jual.

Sayangnya, aku tak bisa lebih lama lagi menonton rusuhnya pasar ini hingga usai nanti, saat adzan dzuhur memanggil karena ibuku kini telah duduk manis di atas sebuah becak yang sudah hampir penuh terisi barang. Untunglah masih ada sepotong bagianku duduk disana. Aku pulang tak hanya dengan ibuku dan setumpuk belanjaan ini tapi juga dengan ‘pesona’ Pasar Klewer dan semua hiruk-pikuknya yang masih akan berlanjut sampai aku tiba dirumah nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar