HIDUP
TAK SERINDANG NAMANYA
Terik matahari siang itu, dengan ganas menyengat tubuhnya. Tak ada yang
berbeda pemandangan hari ini, masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Carut-marut
jalan raya, kebisingan suara yang berasal dari klakson kendaraan bermotor
orang-orang yang kesetanan karena tak sabar menghadapi kemacetan. Sama halnya
seperti hati seorang anak perempuan lima belas tahun, berambut ikal
panjang dan berkulit sawo matang yang
sedang bergejolak. Entah perasaan apa yang sedang berkecamuk di dadanya. Tak
biasanya dia pulang sekolah lebih awal. Dia berjalan menyusuri pinggir kota menuju
rumahnya di gang ujung jalan.
Ketika tiba didepan gang rumahnya,
hatinya makin bergolak karena melihat bendera kuning terpampang. Lima meter
dari tempatnya berdiri, ia melihat sebuah rumah terbuat dari kayu-kayu triplek yang
didepannya banyak orang berdatangan.
“Ada apa ini? Kenapa di rumahku banyak sekali orang-orang?” Pikirnya. Ia segera mendekati rumah tersebut. Saat ia
mendekat salah seorang dari mereka berkata dengan haru, “Yang tabah ya,
Rindang.”
Mendengar perkataan orang itu, tangan dan kakinya bergetar hebat,
jantungnya berdegup kencang. Ia bergegas lari ke dalam rumahnya dengan
butir-butir keringat dingin yang ke luar dari kulitnya.
Di dalam rumah, ia mendapati sekujur tubuh wanita yang terbujur kaku. Ia
terkulai lemas melihatnya, seakan separuh jiwanya direnggut. Wajah Rindang
mungguratkan rasa seolah tak percaya, bahwa tubuh yang terbujur kaku itu adalah
ibunya. Wanita yang pagi tadi masih sanggup menyiapkan sarapan untuknya kini
terbaring tak berdaya. Dari matanya mulai ke luar tetesan air mata. Pikirannya
melayang pada kejadian semalam sebelum tidur.
***
Wanita dengan kulit sawo matangnya yang mulai keriput dan terlihat
urat-urat dengan jelas karena beratnya pekerjaan yang dijalaninya. Setiap hari
mengais rezeki dengan mengumpulkan barang-barang bekas dijalan demi mencukupi
kebutuhan sehari-hari dan sekolah anak-anaknya. Ya, ibunya seorang pemulung.
Malam itu, dia dan ibunya melakukan dialog sebelum tidur diatas sebuah
karpet tipis yang ukurannya cukup untuk dia, ibunya dan kedua adiknya untuk
tidur.
“Nak, bagaimana sekolahmu tadi ?” Ibunya berkata, membuka pembicaraan.
“Hari ini lancar kok, Bu. Kata Bu guru, nilai ulangan Rindang
paling bagus diantara teman-teman yang lain.” Jawabnya sambil tersenyum lebar.
“Wah hebat anak Ibu! Ibu bangga sama kamu. Ibu berharap dengan kamu
bersekolah, kamu bisa jadi panutan buat adik-adikmu nanti.” Kata
ibunya penuh harap.
“Iya, mudah-mudahan ya bu. Doakan saja.” Jawabnya sambil tersenyum.
“Kalo nanti ibu gak ada, ibu minta kamu jaga baik-baik kedua
adikmu ya.” Kata ibunya.
“Ah ibu ada-ada aja, ibu akan tetap ada disini. Tenang bu, Ardi
dan Sekar pasti akan aku jaga baik-baik kok.” Jawabnya merasa heran
dengan kata-kata ibunya.
Lalu ibunya, memeluk dengan erat. Tidak seperti biasanya. Rindang
merasakan pelukan ibunya sangat erat, seakan mereka tidak akan bertemu lagi.
***
Ingatan itu membuat dadanya sesak. Pelukan itu masih membekas sampai saat
ini, ia tak menyangka ternyata itu pelukan dan permintaan terakhir ibunya. Air
matanya meleleh. Andaikan saja dia tahu itu adalah pelukan dan permintaan ibunya
yang terakhir, dia tidak akan berpaling dari sisinya sedetik pun, meskipun ia
harus tidak masuk sekolah. Ia rela demi berada di sisi ibunya disaat terakhir.
Namun apalah daya, semua itu tidak akan kembali seperti semula lagi. Ia ingat
kedua adiknya, Ardi dan Sekar. Ia memandang kedua adiknya tersebut. Semakin
pedih saja hatinya melihat mereka berdua menangis, tapi ia berpikir “Bila aku
lemah seperti ini, bagaimana dengan mereka? Siapa lagi yang akan menguatkannya
kalau bukan aku?”
Ia menyeka butir-butir air mata yang mengalir di pipinya. Kemudian
menghampiri kedua adiknya dan memeluknya dengan erat. Mencoba menahan
kesedihannya dan menguatkan kedua adiknya.
***
Para tetangga sekitar membantu Rindang untuk menyiapkan pemakaman ibunya.
Jenazah ibunya segera dimandikan dan dishalatkan. Setelah itu, semua orang ikut
menghantarkan jenazah ke tempat peristirahatan terakhirnya diiringi dengan kesedihan
Rindang dan kedua adiknya.
Sesampainya di pemakaman, Rindang tak kuasa membendung air matanya
melihat wanita yang berjuang untuk menghidupi dirinya dikebumikan dan semua
orang memberikan doa kepada ibunya. Selepas itu, mereka semua termasuk Rindang
dan kedua adiknya pergi perlahan-lahan meninggalkan pemakaman itu.
Tiba dirumah, belum hilang kesedihan Rindang. Ia menyuruh adik-adiknya
untuk beristirahat. Ketika adik-adiknya sudah terlelap, ia juga mencoba sejenak
memejamkan matanya karena lelah menumpahkan air matanya. Walaupun matanya terpejam,
tetapi kepalanya berputar memikirkan bagaimana kehidupan dia dan kedua adiknya
selanjutnya tanpa seorang ibu.
Hal itu membuat ia tak bisa lama memejamkan matanya. Ia memandang kedua
adiknya yang terlelap. Teringat pesan ibunya untuk menjaga dan merawat kedua
adiknya. Ia termenung.
“Bagaimana caranya aku menjaga Ardi dan Sekar kalau aku sekolah? Dari
mana aku dan kedua adikku akan makan kalau aku sekolah dan gak bekerja?”
tanyanya dalam hati.
Muncul perdebatan dalam hatinya. Ia masih ingin bersekolah, tapi ia harus
menjalankan pesan ibunya untuk menjaga dan merawat adik-adiknya. Ia juga harus bisa
bertahan demi kelangsungan hidup dirinya dan kedua adiknya.
“Mungkin kalau aku tak sekolah, aku bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Selain itu, aku juga bisa menjaga dan merawat Ardi dan Sekar.
Lagipula kalau aku tak sekolah, aku masih bisa belajar disela-sela bekerja
dengan membaca buku” Katanya dalam hati.
Tekadnya sudah bulat. Ia memutuskan untuk tidak meneruskan sekolah dan melanjutkan
pekerjaan ibunya, menjadi pemulung mengambil barang-barang bekas di jalan demi
mempertahankan kehidupan dia dan kedua adiknya. Takdir tidak
ada yang tahu, kehidupannya tak serindang namanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar