Fajar sudah tampak di Ufuk Timur, terdengar suara ayam
jantan berkokok yang menyambut sang fajar. Aku terbangun dari tempat tidur dan
segera menghadap Sang Maha Pengasih. Kemudian, aku bersiap untuk bergegas
menuju kampus dengan mengendarai motor. Seperti biasa, aku melewati lampu lalu
lintas setiap menuju ke kampus ataupun pulang ke rumahku. Ketika lampu lalu
lintas berwarna merah, itu pertanda bahwa semua kendaraan harus berhenti.
Kulihat pemandangan yang miris dimana terdapat banyak anak jalanan yang tidak
sekolah namun bekerja di bawah kolong jembatan. Disana terdapat anak yang
sedang mengamen dengan pakaian lusuh serta wajah penuh semangat berharap
mendapatkan uang lebih hari ini, Ada juga anak yang menjajakan koran-koran yang
dibawa dari satu pengendara ke pengendara lainnya dengan penuh semangat bahkan
ada anak yang mengemis menunggu orang berbelas kasihan padanya dengan
memberikan uang. "Betapa mirisnya negeri ini", pikirku sembari
melanjutkan perjalananku menuju kampus.
Waktu pun berlalu, kuliahku pun sudah usai. Aku menuju
parkiran untuk bergegas pulang ke rumah. Ketika perjalanan pulang, ada yang
berbeda saat aku melewati lampu lalu lintas. Kulihat sekumpulan anak jalanan
sedang berkelahi memperebutkan baju-baju bekas dan buku-buku bekas yang
diberikan oleh seorang ibu-ibu. Tanpa berpikir
panjang aku pun menghampiri mereka. "Mengapa kalian berkelahi ?",
tanyaku. "Dia sudah mengambil baju yang sudah aku pilih, kak", sahut
seorang anak. "Yasudah kalian jangan berkelahi, kan masing-masing sudah
dapat", jelasku menenangkan mereka. "Kalian sekolah ?" Lanjutku.
"Tidak kak", jawab seorang anak. "Mengapa ? Pendidikan itu kan
penting, dik.". "Iya tapi mau bagaimana lagi, kami tidak mempunyai
uang untuk bersekolah, kak". "Orang tua kalian dimana ?".
"Mereka sedang bekerja juga kak, mencari uang". Tiba-tiba, tumbuh
rasa peduliku untuk mengajar mereka.
"Bagaimana jika kakak mengajar kalian? Kalian setuju tidak?". "Maksudnya,
kakak mengajar kami sendirian?", tanya salah seorang anak. "Tentu
tidak, nanti kakak akan mengajak teman-teman kakak. Bagaimana ?",
"Setuju, kak, setuju!", sahut mereka dengan riang gembira.
"Setiap siang hari, kalian berada disini kan ?", tanyaku. "Iya
kak", jawab seorang anak. "oh iya.. nama kalian siapa ?, tanyaku.
"Namaku Reno, ini Sarah, yang gendut Diki, dia Rio dan itu Dina",
jawab Reno. "Nama kakak siapa?", lanjut Reno. "Namaku
rara", jawabku. "Yasudah kalo begitu kakak pulang terlebih dahulu ya,
nanti kakak kesini lagi", jelasku dengan memberikan senyum ramah kepada
mereka. Aku pun meninggalkan mereka.
Di perjalanan, aku terus memikirkan kehidupan mereka
yang tak layak sehingga aku bertekad untuk mengenalkan pendidikan yang layak
untuk mereka. Aku pun lebih bersyukur kepada Allah sebab aku diberikan kesempatan
mendapatkan pendidikan yang lebih layak sehingga aku dapat mencicipi bangku
kuliah. Mereka membuatku sadar bahwa masih terdapat kehidupan yang lebih
memprihatinkan daripada aku.
Setelah aku sampai di rumah, aku langsung menemui kedua
Orang Tuaku dan menceritakan
semua yang terjadi hari ini. Aku pun meminta izin kepada Orang Tuaku untuk mengajari anak
jalanan, namun orang tuaku tidak memperbolehkanku dengan alasan berbahaya
walaupun itu perbuatan baik. Karena tekadku yang kuat untuk mengajari anak jalanan,
maka aku berusaha keras untuk meyakinkan kedua orang tuaku. Aku pun berdebat
dengan kedua orang tuaku dengan wajah yang menunjukkan tekad yang kuat. Sampai
pada akhirnya aku diperbolehkan kedua orang tuaku. "Terima kasih, pa,
ma", kataku sembari memeluk mereka dengan wajah riang gembira.
Keesokan harinya, ketika istirahat menunggu dosen mata
kuliah lain. Aku pun memberanikan diri berdiri di depan kelas.
"Assalamu'alaikum teman-teman",sapaku. "Walaikumssalam",
jawab teman-temanku. "Maaf telah mengganggu waktu istirahat kalian, mohon
perhatiannya sebentar untuk mendengarkan sedikit kisah nyata saya dan nanti
kita akan memusyawarahkan sama-sama kesimpulannya". Aku pun mulai
bercerita, kulihat teman-temanku menyimak dengan seksama ceritaku. Tumbuh rasa
peduli yang terpancar dari wajah mereka. "Bagaimana menurut kalian ? Kita
sebagai generasi muda tidak dapat membiarkan generasi muda selanjutnya tidak
mengenal pendidikan sama sekali. Mau jadi apa negeri ini nanti! Kalau bukan
kita yang peduli siapa lagi yang akan peduli!, teriakku dengan semangat yang
membara. Teman-temanku menatapku dengan senyum ramah mereka yang menandakan
bahwa mereka setuju padaku. Teman-temanku pun bermusyawarah untuk memutuskan
kesimpulannya. Di dalam musyawarah pun, kita sepakat untuk membantu anak
jalanan di bawah kolong jembatan sana. Setelah pulang kuliah nanti, kami akan
pergi bersama ke bawah kolong jembatan sana.
Waktu pun berlalu, kuliah pun sudah usai. Aku dan
teman-teman yang lain segera menuju parkiran untuk melaksanakan apa yang kami
sepakati tadi. Terlebih dahulu, kami mengumpulkan uang untuk membeli buku
pelajaran yang menjadi bekal kami dalam mengajar anak jalanan pada hari ini.
Setelah uang terkumpul, kami langsung ke toko buku kemudian menuju ke bawah
kolong jembatan.
Setelah sampai, aku tak melihat anak jalanan yang
biasanya berada disini. Teman-temanku pun menanyaiku tentang anak jalanan yang
aku ceritakan. Aku bingung untuk menjawab pertanyaan mereka. Aku bertanya pada
pedagang asongan yang biasa berada disini, namun mereka tidak mengetahui. Aku semakin bingung tidak tahu harus
mencari mereka kemana sehingga tak terasa tetesan air mataku jatuh. Namun,
tiba-tiba Reno datang menghampiri kami semua, aku pun langsung
menanyainya."Kamu darimana saja ? Kamu tahu kakak khawatir sama
kalian!" tanyaku dengan nada agak tinggi karena khawatir. "Maaf, kak,
sepertinya kami tidak bisa menerima bantuan kakak semuanya", ujar Reno
dengan tertunduk sedih. "Mengapa ren ? Mengapa begitu ?", tanyaku
kebingungan. "Orang tua kami melarang kami belajar karena akan mengurangi
uang yang kami dapat, kak", jawab Reno yang menatapku dengan wajah menahan
tangis. Aku pun langsung lemas tak berdaya mendengar perkataan Reno. Betapa sedihnya
aku dan teman-temanku, bukan
hanya kehidupan mereka yang miris namun pemikiran orang tua mereka juga
benar-benar miris.
Teman-temanku
pun bermusyawarah lagi untuk memutuskan apa yang harus dilakukan, sedangkan aku
menemani Reno dengan mengelus lembut rambutnya. "Ini benar-benar tidak
adil bagi mereka. Ketika mereka ingin mengenal pendidikan yang layak, mengapa
orang tua mereka sendiri yang menghentikan keinginan mereka untuk masa depan
mereka sendiri!", kesalku dalam hati. Teman-temanku pun menghampiri kami
dan sepakat untuk tetap membantu Reno serta teman-temannya untuk mengajar. Aku
dan teman-teman, akan berjuang demi Reno dan teman-temannya agar mendapatkan
pendidikan yang layak. "Makasih ya teman-teman. Kalian sudah mau membantu
Reno dan teman-temannya", menatap mereka dengan tetesan air mata haru.
"Iya ra sama-sama. Kita merasa ini tidak adil untuk anak seusia mereka,
makanya, kita akan bantu sebisa
mungkin dengan menyadarkan pemikiran orang tua mereka yang salah", ujar
salah seorang temanku. "iya,
makasih ya,
kakak semuanya ingin membantu aku dan teman-teman", sahut Reno dengan
tersenyum haru. "Yasudah, kalo begitu, besok kakak akan mencoba berbicara
dengan orang tua kamu. Dimana kakak bisa bertemu orang tua kamu?",
tanyaku. "Besok kita janjian disini aja, kak. Kebetulan besok ada acara di
aula, jadi orang tua kami berkumpul", jawab Reno. "Yasudah, kita
pulang dulu ya.. besok kita kesini lagi". Kami pun pulang ke rumah
masing-masing.
Keesokan harinya ketika kuliah telah usai, kami pun
bergegas menuju bawah kolong jembatan untuk bertemu Reno. Setelah sampai,
kulihat Reno sedang menunggu kami sambil menghitung uang recehan yang ia dapat
dengan wajah penuh lelah. "Hai.. ren", sapaku dibalas dengan senyuman
oleh Reno sembari menyimpan uang receh ke dalam kantongnya. Reno pun menyuruh
kami untuk mengikutinya.
Ternyata mereka tinggal di lingkungan padat penduduk
dengan sampah berserakan dimana-mana. Banyak anak jalanan serta pengemis yang
tinggal disana. "Itu orang tua kita disana, kak", sembari menunjuk
sekumpulan orang tua di depan sebuah aula. Kami pun pergi menghampiri mereka.
"Permisi, pak, bu", sapaku dengan
ramah. "Kalian siapa ?", tanya salah seorang Ibu-ibu dengan ketus.
"Begini bu, kita mahasiswa yang ingin membantu..."."Oh
jangan-jangan kalian ya yang sok peduli dan sok ingin membantu anak kami untuk
belajar. Kami tidak butuh belas kasih kalian!", teriak salah seorang Ibu-ibu dengan nada tinggi
yang memotong pembicaraanku. "Bukan begitu bu, kita sangat ingin membantu
anak kalian bukannya pura-pura, pak, bu. Kami juga tidak kasihan kepada bapak
ataupun ibu, namun kita kasihan dengan generasi penerus negeri ini, seperti
anak kalian yang tidak mengenal pendidikan yang layak", jelas salah
seorang temanku dengan nada menahan emosi. "Negeri ini saja tidak peduli
pada kami. Kenapa kami harus peduli dengan negeri ini! Lagian jika anak kami
belajar memang akan menghasilkan uang?", sahut salah seorang Bapak-bapak dengan
membentak. "Sebenarnya negeri ini kurang memperhatikan kalian bukan tidak
peduli! Oleh karena itu,jika dibekali dengan pendidikan yang layak anak-anak
kalian dapat menjadi orang sukses dan dapat membuat bangga kalian serta negeri
ini. Sehingga kalian dapat membuktikan pada negeri ini, bahwa maaf, bu, anak
jalanan pun bisa sukses dan anak jalanan harus lebih diperhatikan oleh negeri
ini. Uang bukanlah segalanya, pak, bu dan pendidikan penting untuk masa depan
cerah anak kalian. Apakah rasa bangga kalian terhadap anak kalian dapat diukur
dengan uang ? Apakah kalian ingin kehidupan anak-cucu kalian sama seperti
kalian!", jelasku dengan nada tinggi dan semangat yang membara.
Mereka pun terdiam sesaat sembari menatap satu sama
lain dengan mengerutkan dahi,
lalu mereka bermusyawarah. "Ya kalian benar, kami tidak ingin anak-cucu
kami merasakan kehidupan susah seperti ini. Namun, mengapa kalian peduli dengan
anak kami ?", tanya salah seorang Ibu-ibu
lainnya. "Karena kami tidak bisa menelantarkan hak anak-anak yang ingin
mengenal pendidikan layak sebagaimana seharusnya, seperti anak lainnya, namun
terbentur biaya. Sekaligus kami peduli dengan generasi penerus selanjutnya negeri
ini. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan peduli", jelas temanku dengan
nada meyakinkan mereka. "Yasudah kalau begitu, kami memperbolehkan anak
kami untuk belajar pada kalian. Kami sangat bersyukur bahwa masih ada generasi
muda yang peduli pada kami", sahut salah seorang Bapak-bapak dengan nada
lembut. Kami pun bersorak riang gembira satu sama lainnya sambil menghampiri
Reno dan teman-temannya membawa kabar gembira. Lalu mereka bersorak riang
gembira juga dengan tawa ceria yang terpancar dari wajah mereka. Kita sepakat
untuk mulai belajar esok hari. Kemudian kami pun berpamitan pulang pada Reno
dan teman-temannya serta orang tuanya.
Keesokan harinya pun, kami mulai mengajar anak jalanan.
Melihat mereka yang semangat ingin belajar, memotivasi kami untuk terus
mengajari mereka sampai mereka pintar nantinya. Tak terasa waktu sudah sore,
belajar kami hentikan dan dilanjutkan hari selanjutnya. Sebelum pulang, kami
pun mengatur strategi agar mereka pintar dengan tidak membutuhkan waktu yang
lama. Setelah selesai pun, kami pulang ke rumah masing-masing.
Seiring dengan berjalannya waktu, kami berhasil
mengajarkan mereka membaca, menulis, dan berhitung. Kami sangat senang dan
merasa sangat berguna bisa membantu mereka belajar. Dengan membaca, Reno dan
teman-temannya dapat membaca informasi dari media cetak yang mereka jual
sehingga dapat memperkaya wawasan mereka.
mereka juga butuh berkomunikasi dengan yang lain, menggunakan perantara
musik yang mereka mainkan. Mereka juga ingin seperti kita, mendapatkan pendidikan
yang layak. Kami berharap bukan hanya kami saja yang peduli pada mereka, namun
lebih banyak orang di luaran sana yang peduli. Sebab kita harus memperbaiki
generasi penerus kita untuk mencapai negeri lebih baik lagi. Kami pun juga
berharap semoga apa yang kami ajarkan kepada mereka akan berguna pada mereka
kelak dan dapat mengantarkan mereka pada kesuksesan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar