Laman

Selasa, 22 April 2014

Cerita Pendek : JIKA BUKAN KITA, SIAPA LAGI!!


Fajar sudah tampak di Ufuk Timur, terdengar suara ayam jantan berkokok yang menyambut sang fajar. Aku terbangun dari tempat tidur dan segera menghadap Sang Maha Pengasih. Kemudian, aku bersiap untuk bergegas menuju kampus dengan mengendarai motor. Seperti biasa, aku melewati lampu lalu lintas setiap menuju ke kampus ataupun pulang ke rumahku. Ketika lampu lalu lintas berwarna merah, itu pertanda bahwa semua kendaraan harus berhenti. Kulihat pemandangan yang miris dimana terdapat banyak anak jalanan yang tidak sekolah namun bekerja di bawah kolong jembatan. Disana terdapat anak yang sedang mengamen dengan pakaian lusuh serta wajah penuh semangat berharap mendapatkan uang lebih hari ini, Ada juga anak yang menjajakan koran-koran yang dibawa dari satu pengendara ke pengendara lainnya dengan penuh semangat bahkan ada anak yang mengemis menunggu orang berbelas kasihan padanya dengan memberikan uang. "Betapa mirisnya negeri ini", pikirku sembari melanjutkan perjalananku menuju kampus.
Waktu pun berlalu, kuliahku pun sudah usai. Aku menuju parkiran untuk bergegas pulang ke rumah. Ketika perjalanan pulang, ada yang berbeda saat aku melewati lampu lalu lintas. Kulihat sekumpulan anak jalanan sedang berkelahi memperebutkan baju-baju bekas dan buku-buku bekas yang diberikan oleh seorang ibu-ibu. Tanpa berpikir panjang aku pun menghampiri mereka. "Mengapa kalian berkelahi ?", tanyaku. "Dia sudah mengambil baju yang sudah aku pilih, kak", sahut seorang anak. "Yasudah kalian jangan berkelahi, kan masing-masing sudah dapat", jelasku menenangkan mereka. "Kalian sekolah ?" Lanjutku. "Tidak kak", jawab seorang anak. "Mengapa ? Pendidikan itu kan penting, dik.". "Iya tapi mau bagaimana lagi, kami tidak mempunyai uang untuk bersekolah, kak". "Orang tua kalian dimana ?". "Mereka sedang bekerja juga kak, mencari uang". Tiba-tiba, tumbuh rasa peduliku untuk mengajar mereka.  "Bagaimana jika kakak mengajar kalian? Kalian setuju tidak?". "Maksudnya, kakak mengajar kami sendirian?", tanya salah seorang anak. "Tentu tidak, nanti kakak akan mengajak teman-teman kakak. Bagaimana ?", "Setuju, kak, setuju!", sahut mereka dengan riang gembira. "Setiap siang hari, kalian berada disini kan ?", tanyaku. "Iya kak", jawab seorang anak. "oh iya.. nama kalian siapa ?, tanyaku. "Namaku Reno, ini Sarah, yang gendut Diki, dia Rio dan itu Dina", jawab Reno. "Nama kakak siapa?", lanjut Reno. "Namaku rara", jawabku. "Yasudah kalo begitu kakak pulang terlebih dahulu ya, nanti kakak kesini lagi", jelasku dengan memberikan senyum ramah kepada mereka. Aku pun meninggalkan mereka.
Di perjalanan, aku terus memikirkan kehidupan mereka yang tak layak sehingga aku bertekad untuk mengenalkan pendidikan yang layak untuk mereka. Aku pun lebih bersyukur kepada Allah sebab aku diberikan kesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih layak sehingga aku dapat mencicipi bangku kuliah. Mereka membuatku sadar bahwa masih terdapat kehidupan yang lebih memprihatinkan daripada aku.
Setelah aku sampai di rumah, aku langsung menemui kedua Orang Tuaku dan menceritakan semua yang terjadi hari ini. Aku pun meminta izin kepada Orang Tuaku untuk mengajari anak jalanan, namun orang tuaku tidak memperbolehkanku dengan alasan berbahaya walaupun itu perbuatan baik. Karena tekadku yang kuat untuk mengajari anak jalanan, maka aku berusaha keras untuk meyakinkan kedua orang tuaku. Aku pun berdebat dengan kedua orang tuaku dengan wajah yang menunjukkan tekad yang kuat. Sampai pada akhirnya aku diperbolehkan kedua orang tuaku. "Terima kasih, pa, ma", kataku sembari memeluk mereka dengan wajah riang gembira.
Keesokan harinya, ketika istirahat menunggu dosen mata kuliah lain. Aku pun memberanikan diri berdiri di depan kelas. "Assalamu'alaikum teman-teman",sapaku. "Walaikumssalam", jawab teman-temanku. "Maaf telah mengganggu waktu istirahat kalian, mohon perhatiannya sebentar untuk mendengarkan sedikit kisah nyata saya dan nanti kita akan memusyawarahkan sama-sama kesimpulannya". Aku pun mulai bercerita, kulihat teman-temanku menyimak dengan seksama ceritaku. Tumbuh rasa peduli yang terpancar dari wajah mereka. "Bagaimana menurut kalian ? Kita sebagai generasi muda tidak dapat membiarkan generasi muda selanjutnya tidak mengenal pendidikan sama sekali. Mau jadi apa negeri ini nanti! Kalau bukan kita yang peduli siapa lagi yang akan peduli!, teriakku dengan semangat yang membara. Teman-temanku menatapku dengan senyum ramah mereka yang menandakan bahwa mereka setuju padaku. Teman-temanku pun bermusyawarah untuk memutuskan kesimpulannya. Di dalam musyawarah pun, kita sepakat untuk membantu anak jalanan di bawah kolong jembatan sana. Setelah pulang kuliah nanti, kami akan pergi bersama ke bawah kolong jembatan sana.
Waktu pun berlalu, kuliah pun sudah usai. Aku dan teman-teman yang lain segera menuju parkiran untuk melaksanakan apa yang kami sepakati tadi. Terlebih dahulu, kami mengumpulkan uang untuk membeli buku pelajaran yang menjadi bekal kami dalam mengajar anak jalanan pada hari ini. Setelah uang terkumpul, kami langsung ke toko buku kemudian menuju ke bawah kolong jembatan.
Setelah sampai, aku tak melihat anak jalanan yang biasanya berada disini. Teman-temanku pun menanyaiku tentang anak jalanan yang aku ceritakan. Aku bingung untuk menjawab pertanyaan mereka. Aku bertanya pada pedagang asongan yang biasa berada disini, namun mereka tidak mengetahui. Aku semakin bingung tidak tahu harus mencari mereka kemana sehingga tak terasa tetesan air mataku jatuh. Namun, tiba-tiba Reno datang menghampiri kami semua, aku pun langsung menanyainya."Kamu darimana saja ? Kamu tahu kakak khawatir sama kalian!" tanyaku dengan nada agak tinggi karena khawatir. "Maaf, kak, sepertinya kami tidak bisa menerima bantuan kakak semuanya", ujar Reno dengan tertunduk sedih. "Mengapa ren ? Mengapa begitu ?", tanyaku kebingungan. "Orang tua kami melarang kami belajar karena akan mengurangi uang yang kami dapat, kak", jawab Reno yang menatapku dengan wajah menahan tangis. Aku pun langsung lemas tak berdaya mendengar perkataan Reno. Betapa sedihnya aku dan teman-temanku, bukan hanya kehidupan mereka yang miris namun pemikiran orang tua mereka juga benar-benar miris.
Teman-temanku pun bermusyawarah lagi untuk memutuskan apa yang harus dilakukan, sedangkan aku menemani Reno dengan mengelus lembut rambutnya. "Ini benar-benar tidak adil bagi mereka. Ketika mereka ingin mengenal pendidikan yang layak, mengapa orang tua mereka sendiri yang menghentikan keinginan mereka untuk masa depan mereka sendiri!", kesalku dalam hati. Teman-temanku pun menghampiri kami dan sepakat untuk tetap membantu Reno serta teman-temannya untuk mengajar. Aku dan teman-teman, akan berjuang demi Reno dan teman-temannya agar mendapatkan pendidikan yang layak. "Makasih ya teman-teman. Kalian sudah mau membantu Reno dan teman-temannya", menatap mereka dengan tetesan air mata haru. "Iya ra sama-sama. Kita merasa ini tidak adil untuk anak seusia mereka, makanya, kita akan bantu sebisa mungkin dengan menyadarkan pemikiran orang tua mereka yang salah", ujar salah seorang temanku. "iya, makasih ya, kakak semuanya ingin membantu aku dan teman-teman", sahut Reno dengan tersenyum haru. "Yasudah, kalo begitu, besok kakak akan mencoba berbicara dengan orang tua kamu. Dimana kakak bisa bertemu orang tua kamu?", tanyaku. "Besok kita janjian disini aja, kak. Kebetulan besok ada acara di aula, jadi orang tua kami berkumpul", jawab Reno. "Yasudah, kita pulang dulu ya.. besok kita kesini lagi". Kami pun pulang ke rumah masing-masing.
Keesokan harinya ketika kuliah telah usai, kami pun bergegas menuju bawah kolong jembatan untuk bertemu Reno. Setelah sampai, kulihat Reno sedang menunggu kami sambil menghitung uang recehan yang ia dapat dengan wajah penuh lelah. "Hai.. ren", sapaku dibalas dengan senyuman oleh Reno sembari menyimpan uang receh ke dalam kantongnya. Reno pun menyuruh kami untuk mengikutinya.
Ternyata mereka tinggal di lingkungan padat penduduk dengan sampah berserakan dimana-mana. Banyak anak jalanan serta pengemis yang tinggal disana. "Itu orang tua kita disana, kak", sembari menunjuk sekumpulan orang tua di depan sebuah aula. Kami pun pergi menghampiri mereka. "Permisi, pak, bu", sapaku dengan ramah. "Kalian siapa ?", tanya salah seorang Ibu-ibu dengan ketus. "Begini bu, kita mahasiswa yang ingin membantu..."."Oh jangan-jangan kalian ya yang sok peduli dan sok ingin membantu anak kami untuk belajar. Kami tidak butuh belas kasih kalian!", teriak salah seorang Ibu-ibu dengan nada tinggi yang memotong pembicaraanku. "Bukan begitu bu, kita sangat ingin membantu anak kalian bukannya pura-pura, pak, bu. Kami juga tidak kasihan kepada bapak ataupun ibu, namun kita kasihan dengan generasi penerus negeri ini, seperti anak kalian yang tidak mengenal pendidikan yang layak", jelas salah seorang temanku dengan nada menahan emosi. "Negeri ini saja tidak peduli pada kami. Kenapa kami harus peduli dengan negeri ini! Lagian jika anak kami belajar memang akan menghasilkan uang?", sahut salah seorang Bapak-bapak dengan membentak. "Sebenarnya negeri ini kurang memperhatikan kalian bukan tidak peduli! Oleh karena itu,jika dibekali dengan pendidikan yang layak anak-anak kalian dapat menjadi orang sukses dan dapat membuat bangga kalian serta negeri ini. Sehingga kalian dapat membuktikan pada negeri ini, bahwa maaf, bu, anak jalanan pun bisa sukses dan anak jalanan harus lebih diperhatikan oleh negeri ini. Uang bukanlah segalanya, pak, bu dan pendidikan penting untuk masa depan cerah anak kalian. Apakah rasa bangga kalian terhadap anak kalian dapat diukur dengan uang ? Apakah kalian ingin kehidupan anak-cucu kalian sama seperti kalian!", jelasku dengan nada tinggi dan semangat yang membara.
Mereka pun terdiam sesaat sembari menatap satu sama lain dengan mengerutkan dahi, lalu mereka bermusyawarah. "Ya kalian benar, kami tidak ingin anak-cucu kami merasakan kehidupan susah seperti ini. Namun, mengapa kalian peduli dengan anak kami ?", tanya salah seorang Ibu-ibu lainnya. "Karena kami tidak bisa menelantarkan hak anak-anak yang ingin mengenal pendidikan layak sebagaimana seharusnya, seperti anak lainnya, namun terbentur biaya. Sekaligus kami peduli dengan generasi penerus selanjutnya negeri ini. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan peduli", jelas temanku dengan nada meyakinkan mereka. "Yasudah kalau begitu, kami memperbolehkan anak kami untuk belajar pada kalian. Kami sangat bersyukur bahwa masih ada generasi muda yang peduli pada kami", sahut salah seorang Bapak-bapak dengan nada lembut. Kami pun bersorak riang gembira satu sama lainnya sambil menghampiri Reno dan teman-temannya membawa kabar gembira. Lalu mereka bersorak riang gembira juga dengan tawa ceria yang terpancar dari wajah mereka. Kita sepakat untuk mulai belajar esok hari. Kemudian kami pun berpamitan pulang pada Reno dan teman-temannya serta orang tuanya.
Keesokan harinya pun, kami mulai mengajar anak jalanan. Melihat mereka yang semangat ingin belajar, memotivasi kami untuk terus mengajari mereka sampai mereka pintar nantinya. Tak terasa waktu sudah sore, belajar kami hentikan dan dilanjutkan hari selanjutnya. Sebelum pulang, kami pun mengatur strategi agar mereka pintar dengan tidak membutuhkan waktu yang lama. Setelah selesai pun, kami pulang ke rumah masing-masing.
Seiring dengan berjalannya waktu, kami berhasil mengajarkan mereka membaca, menulis, dan berhitung. Kami sangat senang dan merasa sangat berguna bisa membantu mereka belajar. Dengan membaca, Reno dan teman-temannya dapat membaca informasi dari media cetak yang mereka jual sehingga dapat memperkaya wawasan mereka.  mereka juga butuh berkomunikasi dengan yang lain, menggunakan perantara musik yang mereka mainkan. Mereka juga ingin seperti kita, mendapatkan pendidikan yang layak. Kami berharap bukan hanya kami saja yang peduli pada mereka, namun lebih banyak orang di luaran sana yang peduli. Sebab kita harus memperbaiki generasi penerus kita untuk mencapai negeri lebih baik lagi. Kami pun juga berharap semoga apa yang kami ajarkan kepada mereka akan berguna pada mereka kelak dan dapat mengantarkan mereka pada kesuksesan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar