Rabu, 23 April 2014


Pantai Tak Berpasir
Sore itu, langit sedang mentransformasi warna biru cerahnyanya menjadi kuning-kemerahan. Dari jauh terlihat beberapa burung kembali terbang ke sarangnya. Masyarakat Jakarta, juga seolah tak sabar ingin meninggalkan penatnya hiruk-pikuk jalanan Ibu Kota dan kembali ke rumah.
Laut tengah duduk di halte bus yang tak jauh dari kantor tempatnya bekerja, bersama para calon penumpang lain yang sepertinya terlihat sama letihnya dengannya. Ia tak hentinya merilik jam coklat kesayangannya, yang jarumnya seolah tengah berlomba lari satu sama lain. Sudah hampir satu jam Laut menunggu di halte bus Daat Mogot itu. Asap kendaraan tak hentinya mengepul dari tiap knalpot menambah ketidaknyamanan para penanti bus kota itu. Belum lagi suara bising klakson mobil berkali-kali terdengar dari jalan dihadapannya, membuatnya tak sabar ingin segera pulang ke rumah dan tidur.
Ditangannya tergenggam sebuah amplop putih yang kini tak lagi mulus seperti petama kali ia menerimanya. Delapan kali sudah Laut membaca isi surat itu. Surat perintah pepindahan kerja ke kantor cabang dari tempatnya bekerja tengah mengusik pikirannya. Ia melamun sambil menatap pasir-pasir putih bergoyang-goyang dalam botol kecil yang tergantung di tas biru miliknya, yang entah mengapa membuatnya lebih tenang. Bus yang dinantinya pun datang, Laut berusaha menyelipkan diri masuk ke dalamnya di tengah ramainya calon penumpang yang saling berdesakan masuk.
Langit tak lagi terang saat Laut sampai di rumah besar berwarna jingga tempatnya kini tinggal bersama penghuni kos yang lain. “Aduuh yang baru pulang capek banget nih?” Sapa Rani, teman satu kos-nya, dengan senyum lebar sembari mengusap rambutnya yang basah dengan handuk yang tersampir di bahunya.
Iyaa nih, tadi nunggu bus lama banget” ujar Laut sembari membuka pintu kamarnya.
“Oh iya, La! Tadi ada kiriman gitu tuh buat kamu. Ciyeee dari kemaren dapet kiriman mulu nih? Dari pengagum rahasia ya? Ha ha ha” ledek Rani namun tak digubris oleh Laut yang dalam 10 menit lagi pasti akan tertidur karena lelahnya, “Ah apa sih kamu? Yaudah aku masuk ya, makasih udah dikasih tau.”
Laut melihat sebentar bingkisan yang disebutkan Rani tadi. Bingkisan berisi tas tangan kecil berwarna pink yang sepertinya lebih cocok bila digunakan anak umur 10 tahun, terbungkus rapi diatas mejanya. Sudah tiga kali ini Laut mendapat bingkisan aneh, yang pertama adalah sebuah boneka, yang kedua berisi bermacam-macam cemilan khas Jawa lengkap dengan peyek kacang kesukaannya, dan yang ketiga adalah tas yang kini berada dipangkuannya. Laut memutar-mutar bungkus bingkisan itu berharap ada pesan dari sang pengirim baginya, namun lagi-lagi hanya ada kerang putih kecil yang terselip disetiap bingkisan yang ia terima. “Ah bodo ah, terserah siapa deh yang ngirim. Aku mau mandi terus tidur!” Keluhnya sambil meninggalkan tas tadi tergeletak di meja.
Yaah aku terlambat deh nih!” Laut berlari meninggalkan ojek yang ia tumpangi dan segera menuju peron tempat kereta yang mengantarnya datang. Dengan dua tas besar di kanan-kirinya, Laut susah payah berlari ke petugas kereta api yang sedang membunyikan peluit tanda kerta akan segera berangkat.
“Paaak! Tunggu paak! Saya mau naik!” Teriak Laut yang sontak membuatnya menjadi pusat perhatian orang-orang di stasiun. Setelah usaha kerasnya, Laut berhasil naik dan duduk di salah satu kompartemen kereta eksekutif menuju Jogjakarta. Ya, Laut di mutasikan ke Jogja oleh kantornya, karena kantor cabang di sana kekurangan tenaga editor bagi majalah daerah Jogjakarta. Laut adalah seorang editor majalah dan juga seorang penulis artikel yang apik sehingga pihak kantor memutuskan untuk mengirmnya ke Jogja.
Setelah hampir seharian Laut berada dalam kereta ia akhirnya tiba di stasiun Tugu, Jogjakarta. “Alhamdulillah! Sampe juga akhirnya” ucapnya sambil merentangkan badan setelah duduk seharian. Tak lama Laut sudah berpindah duduk di atas sebuah andong. Cahaya matahari pagi masih terasa saat sinarnya menerpa wajah dan lengan kirinya. Gantungan kunci berbentuk botol kaca miliknya membiaskan cahaya dan menampilkan pasir yang berkelap-kelip indah di dalamnya.
Laut memutuskan untuk naik andong karena ingin bernostalgia kembali dengan masa kecilnya. Laut memang orang Jogja, namun ia pindah ke Jakarta saat kelas 1 SMA karena ayahnya ditugaskan dinas disana. Sudah lama ia tak merasakan atmosfer kampung halamannya, mendengar beberapa orang berbicara dalam bahasa jawa membangkitkan kembali memorinya akan kota ini. Aroma makanan khas Jogja seperti gudeg dan mangut tercium dan menggoda perut, membuat Laut langsung memutuskan untuk makan setelah menaruh barang-barangnya nanti.
Suwun ngeh pak” ujarnya pada sang penarik andong saat turun dari andong dan memberikan selembar sepuluh ribuan, tak lupa dengan senyum manisnya. Laut sampai di rumahnya dulu. Rumah yang ia tinggali dulu bersama kedua orangtuanya. Kini rumah itu di tinggali oleh budhe, pakdhe  dan adik sepupunya Laras.
Assalamualaikum! Dhe? Iki, aku Laut!” Teriak Laut ke dalam rumah.
Waalaikumsalam, ya Allah Laut! Kok ngerti-ngerti wes neng kene? Ra ngabari disik nek arep dolan?” Tanya budhenya berturut-turut.
“He he he, rapopo ben kaget kok pancenan. Pakdhe ra neng ngomah po? Kok sepi ngene to, ra biasane?” jawab Laut dan menjatuhkan dirinya ke sofa yang langsung mengempis karena beratnya beban yang menindihnya. “Pakdhe mu ki, gek nggolek keperluane Laras nggo sesuk arep neng Kota Gede.” Jawab budhenya sambil menyodorkan teh hangat di meja.
Oalah, ngono to? Eh dhe, aku ki saiki le kerjo di pindahke neng Yogjo. Niate sih aku arep tinggal neng kene wae, rapopo to?” tanya Laut sambil menyeruput teh panas yang terasa 10 kali lebih enak karena perutnya kosong sejak kemarin.
Yo rapopo kok yo? Budhe malah seneng kok, nek Laut neng kene. Ben Laras ono konco ne le ngobrol. Lagian Laut ki wis tak anggep anak e budhe, jadi ra sah ra kepenak karo budhe karo pakdhe.”  Belum sempat Laut menjawab, ia kaget karena tubuhnya tak bisa bergerak. Laras sudah sampai rupanya dan langsung memeluk Laut dari belakang.
Mbak, kapan le dugi? Aku kangen banget!” Ujar Laras sambil melepaskan pelukan yang hampir mirip cekikan itu. “Gek dugi, durung suwi dek.” Jawab Laut agak terengah.
Obrolan mereka pun semakin hangat dan seru. Obralan panjang itu berujung pada ikutnya Laut menemani Laras pergi ke Kota Gede untuk meliput bagaimana proses pembuatan kerajinan perak di sana.
Pagi itu Laut terbangun karena kokokan ayam jago pakdhe yang tak hentinya berkokok sejak adzan subuh berkumandang. Jam menujukan pukul 07.15 saat Laras dan Laut sudah siap berangkat menuju Kota Gede. Mereka pergi kesana dengan naik kereta dari stasiun Tugu. Tak butuh waktu lama, mereka sudah sampai di salah satu sentra utama pembuatan kerajinan perak. Laut yang sudah lumayan berpengalaman dalam menulis artikel, membantu Laras melengkapi laporannya.
Mbak, ntes iki dolan yuk neng Parangtritis!” Ajak Laras penuh semangat. “Mang rapopo? Ngko budhe nggoleki meneh?” jawab Laut santai.
Yo ora kok yo. Wong sedelo tok. Aku ki wis suwi arep neng pantai tapi durung kesampean ngantek saiki. Yoo mbak?” Dengan wajah penuh harap, Laras berhasil mengajak Laut pergi. Pantai Parangtritis merupakan salah satu objek wisata selain Kota Gede di Jogja. Dulu Laut sering sekali pergi ke sini bersama kedua orangtuanya untuk berekreasi dan mengunjungi kerabat keluarganya di sana.
Setibanya di pantai, Laras yang sepertinya punya niat tersendiri langsung berlari menuju laut dan asik bermain air. Pantai parangtritis berbeda dengan pantai-pantai di daerah Jakarta atau Jawa Barat, di sini bersih dari sampah, para pedangannya pun tak semerawut seperti di pantai Ancol di Jakarta. Ada satu hal yang paling di sukai Laut dari pantai ini, pasirnya yang putih dan hangat saat terkena sinar matahari membuat hatinya tentram dan turut dalam kehangatannya.
“Laut? Kamu Laut kan?” suara yang sangat tak asing itu terdengar dari belakangnya. Laut menoleh untuk melihat apakah tebakannya benar. Dan benar saja. Sosok gadis yang sangat ia kenal baik tengah berdiri di belakangnya tersenyum walau tak menhilangkan ekspresi kaget dari wajahnya.
“Sandy? Kamu masih tinggal di sini?” Tanya Laut yang tak kalah kaget juga. “Iya aku masih tinggal di sini kok. Kamu apa kabar sekarang? Makin cant...” belum sempat Sandy menyelesaikan kalimatnya Laut langsung menyambarnya dengan penuh emosi, “Kamu masih nanya, kabar aku gimana? Heh, kamu tuh harusnya mikir kali! Menurut kamu? Aku baik-baik aja gitu setelah apa yang kamu lakuin sama aku?!” Suara Laut meninggi dan sontak membuat beberapa orang di sekitarnya menoleh.
“Iya Laut aku tau aku salah. Tapi aku mau kita bicarain ini dulu baik-baik. Kasih aku kesempatan buat jelasin kenapa! Aku sama Ibuku gak pernah punya maksud apa-apa sama keluarga kamu. Apalagi berpikiran buat ngerusak keluargamu yang udah baik banget sama aku dan Ibu.” Walaupun sudah berupaya keras meyakinkan Laut, namun sepertinya Laut sudah tak ingin lagi mendengar sepatah kata pun dari mulut Sandy.
“Udah ya Sandy cukup! Kamu belum puas liat Mama dan Papaku meninggal, ninggalin aku sendirian. Gak tau harus gimana? Terus sekarang kamu minta aku buat dengerin omong kosongmu? Maaf aku gak ada waktu buat dengerin sampah dari mulutmu!” Tanpa menghiraukan Sandy yang diam kaget mendengar apa yang baru saja dia dengar, Laut berjalan lurus melewati Sandy. Dibelakangnya Laras berteriak memanggilnya, namun Laut tetap berjalan tanpa menghiraukan saudara sepupunya itu. Hingga tiba-tiba perhatian Laut tertuju pada satu benda yang berusara keras dan bergerak cepat ke arahnya, namun Laut hanya diam di tempatnya berdiri.
Braaak!!! Tabrakan itu tak terelakkan lagi. Laut merasakan panas yang sangat hebat dari pelipis kanannya. Tangannya yang gemetar mencoba meraba bagian itu, di lihatnya darah segar pada telapak tangannya. Darah itu kini terasa mengucur deras di pipinya. Badannya terasa sakit di sekujur tubuh. Ia tak dapat menggerakkan tubunhya sama sekali. Sebelum hilang kesadaran, Laut melihat banyak orang-orang disekitarnya, namun yang paling terlihat khawatir dan menggenggam erat tangannya adalah orang yang baru saja bertengkar hebat dengannya.
Hal pertama yang dapat Laut sadari adalah bahwa ia berada dalam kondisi sadar dan tidak sadar. Laut mendengar suara yang sejak tadi mengusik telingganya. Bip.. bip.. bip.. yang konstan terus-menerus dan suara seperti bunyi air menetes dari keran yang tidak ditutup rapat. Laut mencoba membuka mulutnya, menyuruh seseorang menutup keran itu, tetapi lidahnya terasa berat dan kelu. Ia mencoba membuka matanya, sulit sekali awalnya namun kini ia berhasil membuka sedikit matanya, tetapi langsung ia tutup kembali karena ada sinar terang yang tiba-tiba terasa membutakan matanya. Ia juga menyadari bahwa ia sulit bernapas karena ada sesuatu yang menempel di hidungnya.
Akan tetapi ada satu rasa hangat yang membuatnya tenang, membuatnya nyaman dan tak mau bangun dari tidurnya. Rasa hangat pada tangan kanannya itu sama seperti hangatnya pasir pantai yang tersiram cahaya mentari. Laut kini dapat membuka matanya dan menangkap apa yang ada dihadapannya. Dinding putih dengan tiang aneh di hadapannya bersuara keran tak ditutup. Ia menoleh dan melihat mesin berbunyi bip.. bip.. bip.. dilihatnya kembali tangannya yang hangat tergenggam oleh seorang wanita yang tertidur disamping ranjangnya.
“A.. aku di.. mana?” Ucapnya susah payah. Untungnya wanita di sampingnya itu langsung terbangun. Sandy terlihat sangat berantakan seperti tidak mandi tiga hari. Wajahnya lusuh, matanya merah dan kantung matanya juga sangat jelas terlihat. “Kamu udah sadar La? Sebentar ya ku panggilin dokter dulu.” Dari matanya yang lelah masih terpancar kegembiraan yang jelas. Tak lama Sandy kembali dengan beberapa orang berpakaian serba putih, dibelakangnya terlihat Laras, budhe dan pakdhe yang juga terlihat cemas bercampur senang.
“Kondisinya sudah mulai membaik. Tapi masih belum boleh banyak bergerak dan masih butuh banyak istirahat.” Ucap seorang pria, yang Laut yakini pastilah dokter yang merawatnya.
Ya Allah, ndok. Koe rapopo to? Budhe khawatir tenan, anakkuu” tak ada kata terucap lagi, budhe hanya memeluk keponakannya itu dan menangis dalam pelukannya.
Dalam waktu satu minggu kondisi Laut sudah menunjukkan perkembangan yang signifikan sehingga ia sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Dalam perjalanan pulang Laut yang duduk di kursi belakang mobil dengan Laras, menanyakan bagaimana kronologi dan kondisinya selama ia tak sadarkan diri.
Iya, aku wis takut e mbak. Mbak tau-tau ketabrak, kepalanya bocor. Mana pas neng omah sakit jarene golongan darah sing podo karo duwene mbak ki telas. Njuk pak dokter e nakoni golongan darahku, eh mboten sami. Mba sing mau ne gelut karo mbak, ki ngomong nek de’e golongan darah e podo karo mbak Laut. Opo yo? Golongan A, Rh minus” papar Laras mengebu-gebu.
“Jadi dia yang donorin darahnya buat aku?” Tanya Laut memastikan. “Iyaa mbak, mbak itu, siapa bu? Oh iya, mbak Sandy, dia juga jagain mbak Laut gak mau pulang sampe mbak Laut bangun katanya. Tapi gak lama pas mbak bangun, mbak Sandy malah nyuwun pamit karo bapak.” Tutur Laras lebih yakin dari sebelumnya. Mendengar hal itu Laut merasa bersalah karena telah berlaku kasar terhadap Sandy. Ia berencana untuk mengunjungi rumah Sandy saat ia sudah cukup pulih nanti. Dua hari setelah itu Laut pamit kepada Budhenya untuk menemui Sandy tapi kini ia di antar oleh pakdhenya karena khawatir kondisinya belum pulih benar.
Rumah itu tak berubah sama sekali dari terakhir kali Laut kesana. Rumah yang tak terlalu besar namun berhalaman luas itu terlihat sepi. Laut mengetuk pintu rumah itu, “Asslamuailaikum? Bu? Ibu, niki Laut bu!” Namun tak ada jawaban dari dalam rumah. Tak lama berselang Ibu Sandy datang. Ternyata memang saat itu rumah dalam keadaan kosong.
“Ibu? Ibu dari mana? Aku nungguin daritadi bu di sini? Ibu habis keluar ya? Sandy ada gak bu? Aku mau ngomong sama dia, aku mau minta maaf bu” tutur Laut dengan wajah tertunduk. “Iya Ibu dari luar nak. Kamu mau ketemu sama Sandy? Sandy sekarang gak di rumah, yuk Ibu antar” jawab Ibu Sandy seraya, berjalan mengajak Laut.
“Bu, kok ke sini? Ini kan kuburan bu?” Tanya Laut dengan wajah agak takut. “Jangan bilang kalo Sandy...Bu? Sandy masih ada kan?” Ibu Sandy berhenti dan bersimpuh pada satu makam yang masih terlihat baru. “Iya, Sandy kini tinggal di sini. Selepas dia menemani Laut yang koma, dia berniat untuk pulang, tapi karena lelah dan kurang tidur ia terpeleset jatuh dari tangga dan kepalanya menghantam tiang rumah sakit dan seketika meninggal.” Mendengar hal itu lutut Laut terasa tak bertulang, jantungnya berhenti berdetak. Tidak! Tidak, ini tak mungkin terjadi pikirnya.
“Laut, mungkin Laut marah karena Laut merasa Sandy telah menyebabkan kecelakaan Mama dan Papa Laut. Waktu itu Ibu benar-benar gak tau lagi mau minta tolong siapa? Ibu, ibu akhirnya nelpon Mamamu dan mereka bilang mereka mau melihat kondisi Sandy yang waktu itu demam sudah empat hari. Tapi ternyata Allah, berkehendak lain. Mama dan Papamu terlibat kecelakaan besar dan tak tertolong.” Ibu Sandy terus menuturkan sambil berderai air mata, Laut juga menangis terisak-isak tak tau harus berkata apa.
“Tapi kini mereka telah bertemu di surga nak. Kamu gak usah sedih lagi ya, ikhlaskan biar mereka tenang di sana. Oh iya Ibu hampir lupa, sebelum pergi ke pantai Sandy menitipkan surat yang minta di-poskan untukmu di Jakarta, tapi Ibu belum sempat. Untungnya kita bertemu disini.” Ibu Sandy menyerahkan surat itu pada Laut dan segera ia membacanya.
Kini Laut tau siapa orang yang telah mengiriminya bingkisan aneh dan alasan kenapa ia selalu tenang bila melihat pasir pantai. Pasir yang tergantung di tas Laut juga pemberian Sandy waktu Laut  pindah ke Jakarta, katanya itu adalah simbol pengenang dirinya. Itu semua karena Sandy dan Laut memang seharusnya bersama. Orantua mereka sepakat menamai mereka Laut dan Sandy agar mereka akan terus bersama seperti air laut dan pasir di pantai. Pantai yang selalu indah kapan pun di kunjungi. Air laut yang selalu menyambut sang pasir dengan lembut ombaknya.
Tapi kini pantai itu tak lagi berpasir, kini hanya tinggal laut sendiri berombak melawan angin.

2 komentar:

  1. Diksinya bagus. Tapi kalau yang nggak ngerti bahasa jawa, pripun?

    BalasHapus
  2. Maaf ya lupa kasih translate-nya hehe
    • “Suwun ngeh pak”= Terimakasih pak
    • “Waalaikumsalam, ya Allah Laut! Kok ngerti-ngerti wes neng kene? Ra ngabari disik nek arep dolan?” = Waalaikumsalam, ya Allah Laut! Kok tau-tau ada di sini? Gak ngabarin kalau mau main (berkunjung)
    • “He he he, rapopo ben kaget kok pancenan. Pakdhe ra neng ngomah po? Kok sepi ngene to, ra biasane?” = He he he, gakpapa biar kaget kok sengaja. Pakdhe ga di rumah? Kok sepi gini, gak biasanya?
    • “Pakdhe mu ki, gek nggolek keperluane Laras nggo sesuk arep neng Kota Gede.” = Pakdhe mu itu, sedang nyari keperluannya Laras untuk besok mau pergi ke Kota Gede.
    • “Oalah, ngono to? Eh dhe, aku ki saiki le kerjo di pindahke neng Yogjo. Niate sih aku arep tinggal neng kene wae, rapopo to?” = Oh gitu. Eh, dhe aku sekarang kerjanya di pindahin ke Jogja. Niatnya aku mau tinggal di sini aja, boleh kan?
    • “Yo rapopo kok yo? Budhe malah seneng kok, nek Laut neng kene. Ben Laras ono konco ne le ngobrol. Lagian Laut ki wis tak anggep anak e budhe, jadi ra sah ra kepenak karo budhe karo pakdhe.” = Ya boleh. Budhe malah seneng kalau Laut di sini. Biar Laras ada temen ngobrol. Lagian Laut udah di anggep anaknya budhe, jadi ga perlu ngerasa ga enak sama budhe atau pakdhe.
    • “Mbak, kapan le dugi?” = Mbak, kapan sampai?
    • “Gek dugi, durung suwi dek.” = Baru sampai, belum lama
    • “Mbak, ntes iki dolan yuk neng Parangtritis!” = Mbak, abis ini main yuk ke Parangtritis
    • “Mang rapopo? Ngko budhe nggoleki meneh?” = Emang gakpapa? Nanti budhe nyariinn lagi
    • “Yo ora kok yo. Wong sedelo tok. Aku ki wis suwi arep neng pantai tapi durung kesampean ngantek saiki. Yoo mbak?” = Ya gak lah. Kan sebentar aja. Aku udah lama mau ke pantai tapi belum kesampaian sampai sekarang. Yaa mbak?
    • “Ya Allah, ndok. Koe rapopo to? Budhe khawatir tenan, anakkuu” = Ya Allah nak. Kamu gak apa apa? Budhe khawatir banget, anakkuu.
    • “Iya, aku wis takut e mbak. Mbak tau-tau ketabrak, kepalanya bocor. Mana pas neng omah sakit jarene golongan darah sing podo karo duwene mbak ki telas. Njuk pak dokter e nakoni golongan darahku, eh mboten sami. Mba sing mau ne gelut karo mbak, ki ngomong nek de’e golongan darah e podo karo mbak Laut. Opo yo? Golongan A, Rh minus” = Iya, aku udah takut mbak. Mbak tau-tau ketabrak, kepalanya bocor. Mana waktu di rumah sakit katanya golongan darah yang sama dengan punya mbak, habis. Terus dokternya nanyain aku, eh gak sama. Mbak yang berantem sama Mbak tadi itu, bilang kalo golongan darahnya sama. Apa ya? Golongan A, Rh minus.
    • Tapi gak lama pas mbak bangun, mbak Sandy malah nyuwun pamit karo bapak.” = Tapi gak lama waktu mbak bangun, mbak Sandy malah ijin pamit sama bapak.

    BalasHapus