Pantai Tak Berpasir
Sore itu, langit sedang mentransformasi warna biru cerahnyanya
menjadi kuning-kemerahan. Dari jauh terlihat beberapa burung kembali terbang ke
sarangnya. Masyarakat Jakarta, juga seolah tak sabar ingin meninggalkan
penatnya hiruk-pikuk jalanan Ibu Kota dan kembali ke rumah.
Laut tengah duduk di halte bus yang tak jauh dari kantor tempatnya
bekerja, bersama para calon penumpang lain yang sepertinya terlihat sama
letihnya dengannya. Ia tak hentinya merilik jam coklat kesayangannya, yang jarumnya
seolah tengah berlomba lari satu sama lain. Sudah hampir satu jam Laut menunggu
di halte bus Daat Mogot itu. Asap kendaraan tak hentinya mengepul dari tiap
knalpot menambah ketidaknyamanan para penanti bus kota itu. Belum lagi suara
bising klakson mobil berkali-kali terdengar dari jalan dihadapannya, membuatnya
tak sabar ingin segera pulang ke rumah dan tidur.
Ditangannya tergenggam sebuah amplop putih yang kini tak lagi
mulus seperti petama kali ia menerimanya. Delapan kali sudah Laut membaca isi
surat itu. Surat perintah pepindahan kerja ke kantor cabang dari tempatnya
bekerja tengah mengusik pikirannya. Ia melamun sambil menatap pasir-pasir putih
bergoyang-goyang dalam botol kecil yang tergantung di tas biru miliknya, yang
entah mengapa membuatnya lebih tenang. Bus yang dinantinya pun datang, Laut
berusaha menyelipkan diri masuk ke dalamnya di tengah ramainya calon penumpang
yang saling berdesakan masuk.
Langit tak lagi terang saat Laut sampai di rumah besar berwarna
jingga tempatnya kini tinggal bersama penghuni kos yang lain. “Aduuh
yang baru pulang capek banget nih?” Sapa Rani, teman satu
kos-nya, dengan senyum lebar sembari mengusap rambutnya yang basah dengan
handuk yang tersampir di bahunya.
“Iyaa nih, tadi nunggu bus lama banget” ujar Laut
sembari membuka pintu kamarnya.
“Oh iya, La! Tadi ada kiriman gitu tuh buat kamu. Ciyeee
dari kemaren dapet kiriman mulu nih? Dari pengagum rahasia ya? Ha ha ha”
ledek Rani namun tak digubris oleh Laut yang dalam 10 menit lagi pasti akan
tertidur karena lelahnya, “Ah apa sih kamu? Yaudah aku masuk ya, makasih udah
dikasih tau.”
Laut melihat sebentar bingkisan yang disebutkan Rani tadi.
Bingkisan berisi tas tangan kecil berwarna pink yang sepertinya lebih
cocok bila digunakan anak umur 10 tahun, terbungkus rapi diatas mejanya. Sudah
tiga kali ini Laut mendapat bingkisan aneh, yang pertama adalah sebuah boneka,
yang kedua berisi bermacam-macam cemilan khas Jawa lengkap dengan peyek
kacang kesukaannya, dan yang ketiga adalah tas yang kini berada
dipangkuannya. Laut memutar-mutar bungkus bingkisan itu berharap ada pesan dari
sang pengirim baginya, namun lagi-lagi hanya ada kerang putih kecil yang
terselip disetiap bingkisan yang ia terima. “Ah bodo ah, terserah siapa deh
yang ngirim. Aku mau mandi terus tidur!” Keluhnya sambil
meninggalkan tas tadi tergeletak di meja.
“Yaah aku terlambat deh nih!” Laut berlari
meninggalkan ojek yang ia tumpangi dan segera menuju peron tempat kereta yang
mengantarnya datang. Dengan dua tas besar di kanan-kirinya, Laut susah payah
berlari ke petugas kereta api yang sedang membunyikan peluit tanda kerta akan
segera berangkat.
“Paaak! Tunggu paak! Saya mau naik!” Teriak Laut yang sontak
membuatnya menjadi pusat perhatian orang-orang di stasiun. Setelah usaha
kerasnya, Laut berhasil naik dan duduk di salah satu kompartemen kereta
eksekutif menuju Jogjakarta. Ya, Laut di mutasikan ke Jogja oleh kantornya,
karena kantor cabang di sana kekurangan tenaga editor bagi majalah daerah
Jogjakarta. Laut adalah seorang editor majalah dan juga seorang penulis artikel
yang apik sehingga pihak kantor memutuskan untuk mengirmnya ke Jogja.
Setelah hampir seharian Laut berada dalam kereta ia akhirnya tiba
di stasiun Tugu, Jogjakarta. “Alhamdulillah! Sampe juga akhirnya”
ucapnya sambil merentangkan badan setelah duduk seharian. Tak lama Laut sudah
berpindah duduk di atas sebuah andong. Cahaya matahari pagi masih terasa
saat sinarnya menerpa wajah dan lengan kirinya. Gantungan kunci berbentuk botol
kaca miliknya membiaskan cahaya dan menampilkan pasir yang berkelap-kelip indah
di dalamnya.
Laut memutuskan untuk naik andong karena ingin bernostalgia
kembali dengan masa kecilnya. Laut memang orang Jogja, namun ia pindah ke
Jakarta saat kelas 1 SMA karena ayahnya ditugaskan dinas disana. Sudah lama ia
tak merasakan atmosfer kampung halamannya, mendengar beberapa orang berbicara
dalam bahasa jawa membangkitkan kembali memorinya akan kota ini. Aroma makanan
khas Jogja seperti gudeg dan mangut tercium dan menggoda perut,
membuat Laut langsung memutuskan untuk makan setelah menaruh barang-barangnya
nanti.
“Suwun ngeh pak” ujarnya pada sang penarik andong saat
turun dari andong dan memberikan selembar sepuluh ribuan, tak lupa
dengan senyum manisnya. Laut sampai di rumahnya dulu. Rumah yang ia tinggali
dulu bersama kedua orangtuanya. Kini rumah itu di tinggali oleh budhe, pakdhe dan adik sepupunya Laras.
“Assalamualaikum! Dhe? Iki, aku Laut!” Teriak Laut ke dalam
rumah.
“Waalaikumsalam, ya Allah Laut! Kok ngerti-ngerti wes neng
kene? Ra ngabari disik nek arep dolan?” Tanya budhenya berturut-turut.
“He he he, rapopo ben kaget kok pancenan. Pakdhe ra neng ngomah
po? Kok sepi ngene to, ra biasane?” jawab Laut dan menjatuhkan dirinya ke
sofa yang langsung mengempis karena beratnya beban yang menindihnya. “Pakdhe
mu ki, gek nggolek keperluane Laras nggo sesuk arep neng Kota Gede.” Jawab
budhenya sambil menyodorkan teh hangat di meja.
“Oalah, ngono to? Eh dhe, aku ki saiki le kerjo di pindahke
neng Yogjo. Niate sih aku arep tinggal neng kene wae, rapopo to?” tanya
Laut sambil menyeruput teh panas yang terasa 10 kali lebih enak karena perutnya
kosong sejak kemarin.
“Yo rapopo kok yo? Budhe malah seneng kok, nek Laut neng kene.
Ben Laras ono konco ne le ngobrol. Lagian Laut ki wis tak anggep anak e budhe,
jadi ra sah ra kepenak karo budhe karo pakdhe.” Belum sempat Laut menjawab, ia kaget karena
tubuhnya tak bisa bergerak. Laras sudah sampai rupanya dan langsung memeluk
Laut dari belakang.
“Mbak, kapan le dugi? Aku kangen banget!” Ujar Laras sambil
melepaskan pelukan yang hampir mirip cekikan itu. “Gek dugi, durung suwi dek.”
Jawab Laut agak terengah.
Obrolan mereka pun semakin hangat dan seru. Obralan panjang itu
berujung pada ikutnya Laut menemani Laras pergi ke Kota Gede untuk meliput
bagaimana proses pembuatan kerajinan perak di sana.
Pagi itu Laut terbangun karena kokokan ayam jago pakdhe yang tak
hentinya berkokok sejak adzan subuh berkumandang. Jam menujukan pukul 07.15
saat Laras dan Laut sudah siap berangkat menuju Kota Gede. Mereka pergi kesana
dengan naik kereta dari stasiun Tugu. Tak butuh waktu lama, mereka sudah sampai
di salah satu sentra utama pembuatan kerajinan perak. Laut yang sudah lumayan
berpengalaman dalam menulis artikel, membantu Laras melengkapi laporannya.
“Mbak, ntes iki dolan yuk neng Parangtritis!” Ajak Laras
penuh semangat. “Mang rapopo? Ngko budhe nggoleki meneh?” jawab Laut
santai.
“Yo ora kok yo. Wong sedelo tok. Aku ki wis suwi arep neng
pantai tapi durung kesampean ngantek saiki. Yoo mbak?” Dengan wajah penuh
harap, Laras berhasil mengajak Laut pergi. Pantai Parangtritis merupakan salah
satu objek wisata selain Kota Gede di Jogja. Dulu Laut sering sekali pergi ke
sini bersama kedua orangtuanya untuk berekreasi dan mengunjungi kerabat
keluarganya di sana.
Setibanya di pantai, Laras yang sepertinya punya niat tersendiri
langsung berlari menuju laut dan asik bermain air. Pantai parangtritis berbeda
dengan pantai-pantai di daerah Jakarta atau Jawa Barat, di sini bersih dari
sampah, para pedangannya pun tak semerawut seperti di pantai Ancol di Jakarta.
Ada satu hal yang paling di sukai Laut dari pantai ini, pasirnya yang putih dan
hangat saat terkena sinar matahari membuat hatinya tentram dan turut dalam
kehangatannya.
“Laut? Kamu Laut kan?” suara yang sangat tak asing itu terdengar
dari belakangnya. Laut menoleh untuk melihat apakah tebakannya benar. Dan benar
saja. Sosok gadis yang sangat ia kenal baik tengah berdiri di belakangnya
tersenyum walau tak menhilangkan ekspresi kaget dari wajahnya.
“Sandy? Kamu masih tinggal di sini?” Tanya Laut yang tak kalah kaget
juga. “Iya aku masih tinggal di sini kok. Kamu apa kabar sekarang? Makin
cant...” belum sempat Sandy menyelesaikan kalimatnya Laut langsung menyambarnya
dengan penuh emosi, “Kamu masih nanya, kabar aku gimana? Heh, kamu tuh harusnya
mikir kali! Menurut kamu? Aku baik-baik aja gitu setelah apa yang kamu lakuin
sama aku?!” Suara Laut meninggi dan sontak membuat beberapa orang di sekitarnya
menoleh.
“Iya Laut aku tau aku salah. Tapi aku mau kita bicarain ini dulu
baik-baik. Kasih aku kesempatan buat jelasin kenapa! Aku sama Ibuku gak pernah
punya maksud apa-apa sama keluarga kamu. Apalagi berpikiran buat ngerusak
keluargamu yang udah baik banget sama aku dan Ibu.” Walaupun sudah berupaya
keras meyakinkan Laut, namun sepertinya Laut sudah tak ingin lagi mendengar
sepatah kata pun dari mulut Sandy.
“Udah ya Sandy cukup! Kamu belum puas liat Mama dan Papaku
meninggal, ninggalin aku sendirian. Gak tau harus gimana? Terus sekarang kamu
minta aku buat dengerin omong kosongmu? Maaf aku gak ada waktu buat dengerin
sampah dari mulutmu!” Tanpa menghiraukan Sandy yang diam kaget mendengar apa
yang baru saja dia dengar, Laut berjalan lurus melewati Sandy. Dibelakangnya Laras
berteriak memanggilnya, namun Laut tetap berjalan tanpa menghiraukan saudara
sepupunya itu. Hingga tiba-tiba perhatian Laut tertuju pada satu benda yang
berusara keras dan bergerak cepat ke arahnya, namun Laut hanya diam di
tempatnya berdiri.
Braaak!!! Tabrakan itu tak terelakkan lagi. Laut merasakan panas
yang sangat hebat dari pelipis kanannya. Tangannya yang gemetar mencoba meraba
bagian itu, di lihatnya darah segar pada telapak tangannya. Darah itu kini
terasa mengucur deras di pipinya. Badannya terasa sakit di sekujur tubuh. Ia tak
dapat menggerakkan tubunhya sama sekali. Sebelum hilang kesadaran, Laut melihat
banyak orang-orang disekitarnya, namun yang paling terlihat khawatir dan
menggenggam erat tangannya adalah orang yang baru saja bertengkar hebat
dengannya.
Hal pertama yang dapat Laut sadari adalah bahwa ia berada dalam
kondisi sadar dan tidak sadar. Laut mendengar suara yang sejak tadi mengusik telingganya.
Bip.. bip.. bip.. yang konstan terus-menerus dan suara seperti bunyi air
menetes dari keran yang tidak ditutup rapat. Laut mencoba membuka mulutnya,
menyuruh seseorang menutup keran itu, tetapi lidahnya terasa berat dan kelu. Ia
mencoba membuka matanya, sulit sekali awalnya namun kini ia berhasil membuka
sedikit matanya, tetapi langsung ia tutup kembali karena ada sinar terang yang
tiba-tiba terasa membutakan matanya. Ia juga menyadari bahwa ia sulit bernapas
karena ada sesuatu yang menempel di hidungnya.
Akan tetapi ada satu rasa hangat yang membuatnya tenang,
membuatnya nyaman dan tak mau bangun dari tidurnya. Rasa hangat pada tangan
kanannya itu sama seperti hangatnya pasir pantai yang tersiram cahaya mentari.
Laut kini dapat membuka matanya dan menangkap apa yang ada dihadapannya. Dinding
putih dengan tiang aneh di hadapannya bersuara keran tak ditutup. Ia menoleh
dan melihat mesin berbunyi bip.. bip.. bip.. dilihatnya kembali
tangannya yang hangat tergenggam oleh seorang wanita yang tertidur disamping
ranjangnya.
“A.. aku di.. mana?” Ucapnya susah payah. Untungnya wanita di
sampingnya itu langsung terbangun. Sandy terlihat sangat berantakan seperti tidak
mandi tiga hari. Wajahnya lusuh, matanya merah dan kantung matanya juga sangat
jelas terlihat. “Kamu udah sadar La? Sebentar ya ku panggilin dokter dulu.” Dari
matanya yang lelah masih terpancar kegembiraan yang jelas. Tak lama Sandy
kembali dengan beberapa orang berpakaian serba putih, dibelakangnya terlihat
Laras, budhe dan pakdhe yang juga terlihat cemas bercampur
senang.
“Kondisinya sudah mulai membaik. Tapi masih belum boleh banyak
bergerak dan masih butuh banyak istirahat.” Ucap seorang pria, yang Laut yakini
pastilah dokter yang merawatnya.
“Ya Allah, ndok. Koe rapopo to? Budhe khawatir tenan,
anakkuu” tak ada kata terucap lagi, budhe hanya memeluk keponakannya itu
dan menangis dalam pelukannya.
Dalam waktu satu minggu kondisi Laut sudah menunjukkan
perkembangan yang signifikan sehingga ia sudah diperbolehkan pulang dari rumah
sakit. Dalam perjalanan pulang Laut yang duduk di kursi belakang mobil dengan
Laras, menanyakan bagaimana kronologi dan kondisinya selama ia tak sadarkan
diri.
“Iya, aku wis takut e mbak. Mbak tau-tau ketabrak, kepalanya
bocor. Mana pas neng omah sakit jarene golongan darah sing podo karo duwene
mbak ki telas. Njuk pak dokter e nakoni golongan darahku, eh mboten sami. Mba sing
mau ne gelut karo mbak, ki ngomong nek de’e golongan darah e podo karo mbak
Laut. Opo yo? Golongan A, Rh minus” papar Laras mengebu-gebu.
“Jadi dia yang donorin darahnya buat aku?” Tanya Laut memastikan. “Iyaa
mbak, mbak itu, siapa bu? Oh iya, mbak Sandy, dia juga jagain mbak Laut gak mau
pulang sampe mbak Laut bangun katanya. Tapi gak lama pas mbak bangun, mbak
Sandy malah nyuwun pamit karo bapak.” Tutur Laras lebih yakin dari
sebelumnya. Mendengar hal itu Laut merasa bersalah karena telah berlaku kasar
terhadap Sandy. Ia berencana untuk mengunjungi rumah Sandy saat ia sudah cukup
pulih nanti. Dua hari setelah itu Laut pamit kepada Budhenya untuk menemui
Sandy tapi kini ia di antar oleh pakdhenya karena khawatir kondisinya belum
pulih benar.
Rumah itu tak berubah sama sekali dari terakhir kali Laut kesana. Rumah
yang tak terlalu besar namun berhalaman luas itu terlihat sepi. Laut mengetuk
pintu rumah itu, “Asslamuailaikum? Bu? Ibu, niki Laut bu!” Namun tak ada
jawaban dari dalam rumah. Tak lama berselang Ibu Sandy datang. Ternyata memang
saat itu rumah dalam keadaan kosong.
“Ibu? Ibu dari mana? Aku nungguin daritadi bu di sini? Ibu habis
keluar ya? Sandy ada gak bu? Aku mau ngomong sama dia, aku mau minta maaf bu”
tutur Laut dengan wajah tertunduk. “Iya Ibu dari luar nak. Kamu mau ketemu sama
Sandy? Sandy sekarang gak di rumah, yuk Ibu antar” jawab Ibu Sandy seraya,
berjalan mengajak Laut.
“Bu, kok ke sini? Ini kan kuburan bu?” Tanya Laut dengan wajah
agak takut. “Jangan bilang kalo Sandy...Bu? Sandy masih ada kan?” Ibu Sandy
berhenti dan bersimpuh pada satu makam yang masih terlihat baru. “Iya, Sandy
kini tinggal di sini. Selepas dia menemani Laut yang koma, dia berniat untuk
pulang, tapi karena lelah dan kurang tidur ia terpeleset jatuh dari tangga dan kepalanya
menghantam tiang rumah sakit dan seketika meninggal.” Mendengar hal itu lutut
Laut terasa tak bertulang, jantungnya berhenti berdetak. Tidak! Tidak, ini
tak mungkin terjadi pikirnya.
“Laut, mungkin Laut marah karena Laut merasa Sandy telah
menyebabkan kecelakaan Mama dan Papa Laut. Waktu itu Ibu benar-benar gak tau
lagi mau minta tolong siapa? Ibu, ibu akhirnya nelpon Mamamu dan mereka bilang
mereka mau melihat kondisi Sandy yang waktu itu demam sudah empat hari. Tapi ternyata
Allah, berkehendak lain. Mama dan Papamu terlibat kecelakaan besar dan tak
tertolong.” Ibu Sandy terus menuturkan sambil berderai air mata, Laut juga
menangis terisak-isak tak tau harus berkata apa.
“Tapi kini mereka telah bertemu di surga nak. Kamu gak usah sedih
lagi ya, ikhlaskan biar mereka tenang di sana. Oh iya Ibu hampir lupa, sebelum
pergi ke pantai Sandy menitipkan surat yang minta di-poskan untukmu di Jakarta,
tapi Ibu belum sempat. Untungnya kita bertemu disini.” Ibu Sandy menyerahkan
surat itu pada Laut dan segera ia membacanya.
Kini Laut tau siapa orang yang telah mengiriminya bingkisan aneh
dan alasan kenapa ia selalu tenang bila melihat pasir pantai. Pasir yang
tergantung di tas Laut juga pemberian Sandy waktu Laut pindah ke Jakarta, katanya itu adalah simbol
pengenang dirinya. Itu semua karena Sandy dan Laut memang seharusnya bersama. Orantua
mereka sepakat menamai mereka Laut dan Sandy agar mereka akan terus bersama
seperti air laut dan pasir di pantai. Pantai yang selalu indah kapan pun di
kunjungi. Air laut yang selalu menyambut sang pasir dengan lembut ombaknya.
Tapi kini pantai itu tak lagi berpasir, kini hanya tinggal laut
sendiri berombak melawan angin.
Diksinya bagus. Tapi kalau yang nggak ngerti bahasa jawa, pripun?
BalasHapusMaaf ya lupa kasih translate-nya hehe
BalasHapus• “Suwun ngeh pak”= Terimakasih pak
• “Waalaikumsalam, ya Allah Laut! Kok ngerti-ngerti wes neng kene? Ra ngabari disik nek arep dolan?” = Waalaikumsalam, ya Allah Laut! Kok tau-tau ada di sini? Gak ngabarin kalau mau main (berkunjung)
• “He he he, rapopo ben kaget kok pancenan. Pakdhe ra neng ngomah po? Kok sepi ngene to, ra biasane?” = He he he, gakpapa biar kaget kok sengaja. Pakdhe ga di rumah? Kok sepi gini, gak biasanya?
• “Pakdhe mu ki, gek nggolek keperluane Laras nggo sesuk arep neng Kota Gede.” = Pakdhe mu itu, sedang nyari keperluannya Laras untuk besok mau pergi ke Kota Gede.
• “Oalah, ngono to? Eh dhe, aku ki saiki le kerjo di pindahke neng Yogjo. Niate sih aku arep tinggal neng kene wae, rapopo to?” = Oh gitu. Eh, dhe aku sekarang kerjanya di pindahin ke Jogja. Niatnya aku mau tinggal di sini aja, boleh kan?
• “Yo rapopo kok yo? Budhe malah seneng kok, nek Laut neng kene. Ben Laras ono konco ne le ngobrol. Lagian Laut ki wis tak anggep anak e budhe, jadi ra sah ra kepenak karo budhe karo pakdhe.” = Ya boleh. Budhe malah seneng kalau Laut di sini. Biar Laras ada temen ngobrol. Lagian Laut udah di anggep anaknya budhe, jadi ga perlu ngerasa ga enak sama budhe atau pakdhe.
• “Mbak, kapan le dugi?” = Mbak, kapan sampai?
• “Gek dugi, durung suwi dek.” = Baru sampai, belum lama
• “Mbak, ntes iki dolan yuk neng Parangtritis!” = Mbak, abis ini main yuk ke Parangtritis
• “Mang rapopo? Ngko budhe nggoleki meneh?” = Emang gakpapa? Nanti budhe nyariinn lagi
• “Yo ora kok yo. Wong sedelo tok. Aku ki wis suwi arep neng pantai tapi durung kesampean ngantek saiki. Yoo mbak?” = Ya gak lah. Kan sebentar aja. Aku udah lama mau ke pantai tapi belum kesampaian sampai sekarang. Yaa mbak?
• “Ya Allah, ndok. Koe rapopo to? Budhe khawatir tenan, anakkuu” = Ya Allah nak. Kamu gak apa apa? Budhe khawatir banget, anakkuu.
• “Iya, aku wis takut e mbak. Mbak tau-tau ketabrak, kepalanya bocor. Mana pas neng omah sakit jarene golongan darah sing podo karo duwene mbak ki telas. Njuk pak dokter e nakoni golongan darahku, eh mboten sami. Mba sing mau ne gelut karo mbak, ki ngomong nek de’e golongan darah e podo karo mbak Laut. Opo yo? Golongan A, Rh minus” = Iya, aku udah takut mbak. Mbak tau-tau ketabrak, kepalanya bocor. Mana waktu di rumah sakit katanya golongan darah yang sama dengan punya mbak, habis. Terus dokternya nanyain aku, eh gak sama. Mbak yang berantem sama Mbak tadi itu, bilang kalo golongan darahnya sama. Apa ya? Golongan A, Rh minus.
• Tapi gak lama pas mbak bangun, mbak Sandy malah nyuwun pamit karo bapak.” = Tapi gak lama waktu mbak bangun, mbak Sandy malah ijin pamit sama bapak.