Laman

Kamis, 24 April 2014

MENULIS CERPEN



HIDUP TAK SERINDANG NAMANYA
Terik matahari siang itu, dengan ganas menyengat tubuhnya. Tak ada yang berbeda pemandangan hari ini, masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Carut-marut jalan raya, kebisingan suara yang berasal dari klakson kendaraan bermotor orang-orang yang kesetanan karena tak sabar menghadapi kemacetan. Sama halnya seperti hati seorang anak perempuan lima belas tahun, berambut ikal panjang  dan berkulit sawo matang yang sedang bergejolak. Entah perasaan apa yang sedang berkecamuk di dadanya. Tak biasanya dia pulang sekolah lebih awal. Dia berjalan menyusuri pinggir kota menuju rumahnya di gang ujung jalan.
 Ketika tiba didepan gang rumahnya, hatinya makin bergolak karena melihat bendera kuning terpampang. Lima meter dari tempatnya berdiri, ia melihat sebuah rumah terbuat dari kayu-kayu triplek yang didepannya banyak orang berdatangan.
“Ada apa ini? Kenapa di rumahku banyak sekali orang-orang?” Pikirnya.  Ia segera mendekati rumah tersebut. Saat ia mendekat salah seorang dari mereka berkata dengan haru, “Yang tabah ya, Rindang.”
Mendengar perkataan orang itu, tangan dan kakinya bergetar hebat, jantungnya berdegup kencang. Ia bergegas lari ke dalam rumahnya dengan butir-butir keringat dingin yang ke luar dari kulitnya.
Di dalam rumah, ia mendapati sekujur tubuh wanita yang terbujur kaku. Ia terkulai lemas melihatnya, seakan separuh jiwanya direnggut. Wajah Rindang mungguratkan rasa seolah tak percaya, bahwa tubuh yang terbujur kaku itu adalah ibunya. Wanita yang pagi tadi masih sanggup menyiapkan sarapan untuknya kini terbaring tak berdaya. Dari matanya mulai ke luar tetesan air mata. Pikirannya melayang pada kejadian semalam sebelum tidur.
***
Wanita dengan kulit sawo matangnya yang mulai keriput dan terlihat urat-urat dengan jelas karena beratnya pekerjaan yang dijalaninya. Setiap hari mengais rezeki dengan mengumpulkan barang-barang bekas dijalan demi mencukupi kebutuhan sehari-hari dan sekolah anak-anaknya. Ya, ibunya seorang pemulung.
Malam itu, dia dan ibunya melakukan dialog sebelum tidur diatas sebuah karpet tipis yang ukurannya cukup untuk dia, ibunya dan kedua adiknya untuk tidur.
“Nak, bagaimana sekolahmu tadi ?” Ibunya berkata, membuka pembicaraan.
“Hari ini lancar kok, Bu. Kata Bu guru, nilai ulangan Rindang paling bagus diantara teman-teman yang lain.” Jawabnya sambil tersenyum lebar.
“Wah hebat anak Ibu! Ibu bangga sama kamu. Ibu berharap dengan kamu bersekolah, kamu bisa jadi panutan buat adik-adikmu nanti.” Kata ibunya penuh harap.
“Iya, mudah-mudahan ya bu. Doakan saja.” Jawabnya sambil tersenyum.
“Kalo nanti ibu gak ada, ibu minta kamu jaga baik-baik kedua adikmu ya.” Kata ibunya.
Ah ibu ada-ada aja, ibu akan tetap ada disini. Tenang bu, Ardi dan Sekar pasti akan aku jaga baik-baik kok.” Jawabnya merasa heran dengan kata-kata ibunya.
Lalu ibunya, memeluk dengan erat. Tidak seperti biasanya. Rindang merasakan pelukan ibunya sangat erat, seakan mereka tidak akan bertemu lagi.
***
Ingatan itu membuat dadanya sesak. Pelukan itu masih membekas sampai saat ini, ia tak menyangka ternyata itu pelukan dan permintaan terakhir ibunya. Air matanya meleleh. Andaikan saja dia tahu itu adalah pelukan dan permintaan ibunya yang terakhir, dia tidak akan berpaling dari sisinya sedetik pun, meskipun ia harus tidak masuk sekolah. Ia rela demi berada di sisi ibunya disaat terakhir.
Namun apalah daya, semua itu tidak akan kembali seperti semula lagi. Ia ingat kedua adiknya, Ardi dan Sekar. Ia memandang kedua adiknya tersebut. Semakin pedih saja hatinya melihat mereka berdua menangis, tapi ia berpikir “Bila aku lemah seperti ini, bagaimana dengan mereka? Siapa lagi yang akan menguatkannya kalau bukan aku?”
Ia menyeka butir-butir air mata yang mengalir di pipinya. Kemudian menghampiri kedua adiknya dan memeluknya dengan erat. Mencoba menahan kesedihannya dan menguatkan kedua adiknya.
***
Para tetangga sekitar membantu Rindang untuk menyiapkan pemakaman ibunya. Jenazah ibunya segera dimandikan dan dishalatkan. Setelah itu, semua orang ikut menghantarkan jenazah ke tempat peristirahatan terakhirnya diiringi dengan kesedihan Rindang dan kedua adiknya.
Sesampainya di pemakaman, Rindang tak kuasa membendung air matanya melihat wanita yang berjuang untuk menghidupi dirinya dikebumikan dan semua orang memberikan doa kepada ibunya. Selepas itu, mereka semua termasuk Rindang dan kedua adiknya pergi perlahan-lahan meninggalkan pemakaman itu.
Tiba dirumah, belum hilang kesedihan Rindang. Ia menyuruh adik-adiknya untuk beristirahat. Ketika adik-adiknya sudah terlelap, ia juga mencoba sejenak memejamkan matanya karena lelah menumpahkan air matanya. Walaupun matanya terpejam, tetapi kepalanya berputar memikirkan bagaimana kehidupan dia dan kedua adiknya selanjutnya tanpa seorang ibu.
Hal itu membuat ia tak bisa lama memejamkan matanya. Ia memandang kedua adiknya yang terlelap. Teringat pesan ibunya untuk menjaga dan merawat kedua adiknya. Ia termenung.
“Bagaimana caranya aku menjaga Ardi dan Sekar kalau aku sekolah? Dari mana aku dan kedua adikku akan makan kalau aku sekolah dan gak bekerja?” tanyanya dalam hati.
Muncul perdebatan dalam hatinya. Ia masih ingin bersekolah, tapi ia harus menjalankan pesan ibunya untuk menjaga dan merawat adik-adiknya. Ia juga harus bisa bertahan demi kelangsungan hidup dirinya dan kedua adiknya.
“Mungkin kalau aku tak sekolah, aku bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, aku juga bisa menjaga dan merawat Ardi dan Sekar. Lagipula kalau aku tak sekolah, aku masih bisa belajar disela-sela bekerja dengan membaca buku” Katanya dalam hati.
Tekadnya sudah bulat. Ia memutuskan untuk tidak meneruskan sekolah dan melanjutkan pekerjaan ibunya, menjadi pemulung mengambil barang-barang bekas di jalan demi mempertahankan kehidupan dia dan kedua adiknya. Takdir tidak ada yang tahu, kehidupannya tak serindang namanya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar