Rabu, 09 April 2014

Loteng

Sejak langkah pertamaku masuk kedalamnya, terasa sesak napasku. Kurasa sudah hampir sewindu tempat ini tak terjamah karena debu yang menempel disetiap sudut ruang sudah seperti salju di kutub utara. Aku berjalan mengitari ruangan ini, tak banyak yang dapat ku lihat dengan jelas. Hanya siluet-siluet hitam yang nampak didepanku. Aku berjalan lurus menuju satu-satunya benda yang memacarkan cahaya, walaupun samar cahayanya. Kusibak gorden jendela itu. Gorden yang lusuh termakan usia ini, tak luput dari debu yang hinggap dipermukaannya.
Disini gelap, walaupun tidak gulita. Matahari seolah enggan memberikan cahayanya, karena hanya sedikit cahayanya yang masuk kedalam sini.  Hanya ada seberkas cahaya yang dibiaskan dari jendela yang baru saja kusibak gordennya sebagai penerangan utama ruang. Ku arahkan pandangku ke langit-langit, mencari sumber cahaya lain yang mungkin dapat menyinari ruangan ini. Namun ternyata itu tak beguna karena lampu diatasku sudah tak lagi utuh. Sebagian kaca bohlam itu pecah. Meninggalkan bentuk aneh disana. Yang ku yakin, benda itu tak dapat berfungsi lagi. Jendela itu tak cukup besar untuk dapat membagikan cahaya yang ia dapatkan ke seluruh sudut ruang yang luasnya tak kurang dari 80 meter persegi ini. Sehingga jarak pandang ku pun terbatas.
Aku berbalik, melempar pandang pada sebuah kuda kayu tepat dimuka jendela. Hanya butuh tiga langkah kecil untuk menjangkaunya. Kuda kayu ini sering ku tunggangi dulu saat aku kecil, kini kuda itu sudah tak lagi kuat seperti dulu. Salah satu pegangannya patah dan warnanya pudar. Disekeliling kuda ini banyak sekali kotak kardus bekas alat elektronik yang kini isinya berada dilantai bawah. Siluet hitam yang tadi kulihat ternyata kardus-kardus ini. Mulai dari kardus kulkas yang berdiri tegak di pojok sebelah kiri jendela, kardus televisi yang berada tak jauh darinya bertumpuk debu dan tergeletak beberapa topi baret usang diatas permukaanya, sampai kardus-kardus yang berisi buku-buku pelajaranku yang sudah tak terpakai tertumpuk di sebelah tenggara jendela. Sebetulnya masih banyak kardus yang tertumpuk disini, tapi aku tak tahu apa isinya.
Perhatianku tertuju pada topi-topi baret tua yang ada diatas kardus televisi tadi. Kuhampiri topi-topi itu, kuambil satu dan kubersihkan kotoran yang menempel padanya. Aku tak ingat ada topi-topi seperti ini dirumah. Bentuknya lucu dan jarang aku melihatnya. Aku meninggalkan topi-topi itu dan kembali melempar pandang sejauh yang ku bisa. Sambil berjalan, langkahku diiringi derit lantai kayu yang berbunyi saat ku injak karena pakunya yang tak lagi kuat menyatukannya.
Aku baru sadar setelah dua kali berputar diruangan ini, ternyata ada keluarga lain yang tinggal disini. Melihat banyaknya bekas gigitan hewan pengerat di beberapa benda, pastilah tinggal keluarga tikus disini. Bahkan kardus berisi buku-buku ku pun sudah berlubang dibeberapa sisinya. Yang tak mau kalah dengan kelurga tikus, keluarga laba-laba juga menunjukan eksistensinya dengan membangun rumah-rumah mereka hampir disetiap sudut ruangan. Rumah-rumah mereka menambah kesan usang tempat ini. Ditambah noda-noda air hujan yang merembes ke dinding meninggalkan warna kuning-kecoklatan pada cat yang dulunya putih itu.
Bau apek dari tumpukan debu kini makin lama makin menempel di hidungku. Bau ini rasanya seperti menusuk-nusuk masuk, memaksa ku menghirupnya. Saat ku lihat, penyebabnya adalah ventilasi jendela di seberang sana tak lagi dapat menyedot udara luar dan menukarnya dengan udara  yang ada di dalam. Karena sudah tertutup timbunan debu dan kotoran, udara pun sulit menembus celah lubangnya. Maka dari itu kuputuskan keluar dan meninggalkan tempat ini serta memberitahu ayah agar segera membersihkan dan menata kembali lonteng rumahku.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar