Sejak langkah pertamaku masuk
kedalamnya, terasa sesak napasku. Kurasa sudah hampir sewindu tempat ini tak
terjamah karena debu yang menempel disetiap sudut ruang sudah seperti salju di
kutub utara. Aku berjalan mengitari ruangan ini, tak banyak yang dapat ku lihat
dengan jelas. Hanya siluet-siluet hitam yang nampak didepanku. Aku berjalan
lurus menuju satu-satunya benda yang memacarkan cahaya, walaupun samar
cahayanya. Kusibak gorden jendela itu. Gorden yang lusuh termakan usia ini, tak
luput dari debu yang hinggap dipermukaannya.
Disini gelap, walaupun tidak gulita.
Matahari seolah enggan memberikan cahayanya, karena hanya sedikit cahayanya
yang masuk kedalam sini. Hanya ada
seberkas cahaya yang dibiaskan dari jendela yang baru saja kusibak gordennya
sebagai penerangan utama ruang. Ku arahkan pandangku ke langit-langit, mencari
sumber cahaya lain yang mungkin dapat menyinari ruangan ini. Namun ternyata itu
tak beguna karena lampu diatasku sudah tak lagi utuh. Sebagian kaca bohlam itu
pecah. Meninggalkan bentuk aneh disana. Yang ku yakin, benda itu tak dapat
berfungsi lagi. Jendela itu tak cukup besar untuk dapat membagikan cahaya yang
ia dapatkan ke seluruh sudut ruang yang luasnya tak kurang dari 80 meter
persegi ini. Sehingga jarak pandang ku pun terbatas.
Aku berbalik, melempar pandang pada
sebuah kuda kayu tepat dimuka jendela. Hanya butuh tiga langkah kecil untuk
menjangkaunya. Kuda kayu ini sering ku tunggangi dulu saat aku kecil, kini kuda
itu sudah tak lagi kuat seperti dulu. Salah satu pegangannya patah dan warnanya
pudar. Disekeliling kuda ini banyak sekali kotak kardus bekas alat elektronik
yang kini isinya berada dilantai bawah. Siluet hitam yang tadi kulihat ternyata
kardus-kardus ini. Mulai dari kardus kulkas yang berdiri tegak di pojok sebelah
kiri jendela, kardus televisi yang berada tak jauh darinya bertumpuk debu dan
tergeletak beberapa topi baret usang diatas permukaanya, sampai kardus-kardus
yang berisi buku-buku pelajaranku yang sudah tak terpakai tertumpuk di sebelah
tenggara jendela. Sebetulnya masih banyak kardus yang tertumpuk disini, tapi
aku tak tahu apa isinya.
Perhatianku tertuju pada topi-topi
baret tua yang ada diatas kardus televisi tadi. Kuhampiri topi-topi itu, kuambil
satu dan kubersihkan kotoran yang menempel padanya. Aku tak ingat ada topi-topi
seperti ini dirumah. Bentuknya lucu dan jarang aku melihatnya. Aku meninggalkan
topi-topi itu dan kembali melempar pandang sejauh yang ku bisa. Sambil
berjalan, langkahku diiringi derit lantai kayu yang berbunyi saat ku injak
karena pakunya yang tak lagi kuat menyatukannya.
Aku baru sadar setelah dua kali
berputar diruangan ini, ternyata ada keluarga lain yang tinggal disini. Melihat
banyaknya bekas gigitan hewan pengerat di beberapa benda, pastilah tinggal
keluarga tikus disini. Bahkan kardus berisi buku-buku ku pun sudah berlubang
dibeberapa sisinya. Yang tak mau kalah dengan kelurga tikus, keluarga laba-laba
juga menunjukan eksistensinya dengan membangun rumah-rumah mereka hampir disetiap
sudut ruangan. Rumah-rumah mereka menambah kesan usang tempat ini. Ditambah
noda-noda air hujan yang merembes ke dinding meninggalkan warna
kuning-kecoklatan pada cat yang dulunya putih itu.
Bau apek dari tumpukan debu kini
makin lama makin menempel di hidungku. Bau ini rasanya seperti menusuk-nusuk
masuk, memaksa ku menghirupnya. Saat ku lihat, penyebabnya adalah ventilasi
jendela di seberang sana tak lagi dapat menyedot udara luar dan menukarnya
dengan udara yang ada di dalam. Karena
sudah tertutup timbunan debu dan kotoran, udara pun sulit menembus celah
lubangnya. Maka dari itu kuputuskan keluar dan meninggalkan tempat ini serta
memberitahu ayah agar segera membersihkan dan menata kembali lonteng rumahku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar