Selasa, 08 April 2014

Bawang Merah dan Bawang Putih

Alkisah, ada satu keluarga yang hidup dengan tentram dan damai. Keluarga ini terdiri dari ayah, ibu, dan anak semata wayangnya bernama Bawang Putih. Namun, ketentraman dan kedamaian ini terganggu lantaran si ibu jatuh sakit dan akhirnya meninggal. Kejadian tersebut membuat keluarga kecil itu bersedih karena kehilangan orang yang dicintai.

Tak jauh dari rumah mereka, tinggal seorang janda dan putrinya yang bernama Bawang Merah. Ketika ibu Putih telah meninggal, kedua orang ini sering datang ke rumah Putih. Pada awalnya, antara ibu Merah dan ayah Putih hanya saling berbincang saja. Namun, lama-kelamaan ayah Putih berpikir untuk mempersunting ibu Merah. Ayah Putih tidak ingin putri semata wayangnya tumbuh tanpa kehadiran seorang ibu.

Setelah berdiskusi dengan Putih, ayah Putih dan ibu Merah pun melangsungkan pernikahan. Saat baru menikah, ibu tiri dan Merah sangat baik terhadap Putih. Akan tetapi, ternyata itu hanyalah kamuflase keduanya. Diam-diam, keduanya merencanakan sesuatu untuk menyingkirkan Putih.

Maka, ibu tiri dan Merah menyuruh Putih melakukan banyak pekerjaan rumah yang berat. Tentunya, semua beban ini tidak diceritakan Putih kepada ayahnya. Lagipula, setelah menikah dengan ibu Merah, ayahnya bukannya kunjung bahagia melainkan sakit-sakitan yang berujung pada kematian.

Putih sedih mengetahuinya dirinya hanya sebatang kara dan tidak bisa berbuat apapun dihadapan ibu tiri dan Merah. Satu-satunya hal yang bida dilakukannya adalah mematuhi perintah ibu dan saudara tirinya. Putih berharap keduanya bias berubah. Namun, mereka semakin menjadi-jadi.

Suatu hari, ketika Putih pergi ke sungai untuk mencuci, baju kesayangan ibu tirinya hanyut terbawa arus sungai. Putih melapor kepada ibu tirinya. Namun, bukannya mengasihaninya, ibu tiri Putih menyuruh Putih mencarinya sampai ketemu. Jika tidak, Putih tidak diperbolehkan pulang.

Putih menyusuri sungai untuk mencari baju kesayangan ibu tirinya. Namun, sejauh kakinya melangkah tidak ditemukannya baju kesayangan ibunya. Padahal hari sudah malam. Putih hampir saja menangis jika tidak melihat lampu minyak di gubuk tepi sungai. Putih pun menghampirinya.

Tok. Tok. Tok. Putih mengetuk pintu gubuk itu. Namun, tidak ada jawaban. Suasana hutan semakin mencekam, udara pun semakin dingin. Putih membuka pintu gubuk. Putih kaget melihat seorang pemuda sedang mengenakan pakaiannya. Dewa namanya.

“Maaf, aku pikir tidak ada orang. Tadi aku sudah mengetuk pintu namun, tak ada jawaban,” kata Putih sambil menunduk malu.

Dewa berkata, “Tak apa, aku yang salah tidak langsung membuka pintu. Ada apa gerangan gadis secantik dirimu berada di hutan malam-malam begini?”

“Aku butuh tempat bermalam, aku harus menemukan baju ibu tiriku.”

“Baju ibumu hilang dimana?”

“Hanyut di sungai ketika aku mencucinya, ibu menyuruhku mencarinya sampai ketemu. Jika tidak, aku tidak boleh pulang ke rumah.”

“Kejam sekali ibumu. Aku Dewa. Siapa namamu?”

“Aku Putih, Bawang Putih.”

“Dewa, lihat yang aku bawa!” suara teriakan itu terdengar dari luar gubuk. Seorang pemuda dengan baju lusuh dan paras yang tampan masuk ke gubuk. Dia membawa ikan hasil tangkapannya dan sehelai baju basah. Arjuna namanya.

“Maaf, apakah itu bajumu?” tanya Putih.

“Bukan, aku menemukan ini di sungai,” jawab Arjuna.

“Itu baju ibu yang hanyut.”

“Ini milikmu? Tapi aku berharap bisa menjualnya besok.”

“Akan kulakukan apapun asalkan aku bisa membawa baju itu pulang,” kata Putih.

“Aku becanda, kau serius sekali, ambil saja bajunya, tapi maukah kau memasak ikan ini untuk kami?” tanya Arjuna sambil menyerahkan baju dan ikan yang ada di tangannya.

“Baiklah, kalian tunggu di sini!” jawab Putih sambil tersenyum.

Putih sedang asik memasak ikan. Tak lama, Arjuna datang menghampiri.

“Mau masak apa?” tanya Arjuna.

“Ikan bakar,” jawab Putih.

“Sepertinya lezat, aku belum tahu namamu, siapa namamu?”

“Sepertinya kau lapar, wajahmu pucat. Aku Putih.”

“Tidak, aku hanya terlalu lelah. Aku Arjuna dan Dewa..”

“Pangeran,” sela Putih.

“Pangeran?” tanya Arjuna dengan heran.

“Iya, lihat saja bajunya, tidak sepertimu. Bajumu lusuh, pasti kau pengawalnya mengaku sajalah! Tapi, sedang apa kalian berada di gubuk seperti ini?”

“Kau ini cerewet sekali, aku pikir kau gadis manis yang lugu. Kami ingin mencari suasana baru,” jawab Arjuna dengan sinis.

Malam itu Putih menginap di gubuk bersama Arjuna dan Dewa.

Matahari masih malu memperlihatkan sinarnya. Putih, Arjuna, dan Dewa sudah bersiap-siap menuju desa. Sesampai di rumah, Putih memperkenalkan kedua pemuda itu kepada ibu dan saudara tirinya. Mereka terkejut mengetahui bahwa salah satu dari kedua pemuda adalah pangeran kerajaan. Merah langsung mendekati Dewa, berharap Dewa akan tergoda dan menyukainya. Dalam benak Merah, jika dia bisa dipersunting oleh Dewa maka dia bisa menikmati harta kerajaan.

Semenjak hari itu, Arjuna dan Dewa sering mengunjungi rumah Putih dan Merah. Hal ini juga menjadi penyebab Merah dan ibu tiri bersikap baik terhadap Putih. Mereka merasa, Putih membawa keberuntungan karena telah mengenalkan seorang pangeran kepada mereka. Merah merasa jatuh hati kepada Dewa, seakan dia tidak peduli dengan hartanya lagi. Merah jatuh cinta dengan tulus.

Hari demi hari berlalu, Arjuna dan Dewa tidak mengunjungi rumah Putih dan Merah. Warga desa dihebohkan dengan kabar bahwa pangeran sakit. Kabar ini telah sampai ke telinga Putih dan Merah. Merah merasa sangat sedih. Ibu menyuruh mereka menjenguk Dewa, entah apa yang merasuki ibu dan Merah, mereka kini mempunyai hati yang baik.

Putih dan Merah pun pergi menuju istana. Sesampainya di sana, mereka diterima dengan baik oleh seluruh anggota kerajaan. Mereka diantar menuju kamar pangeran. Putih dan Merah terkejut, saat melihat Dewa lah yang membuka pintu kamar pangeran. Dewa mengajak mereka menuju sebuah tempat tidur. Ternyata yang berbaring lemah adalah Arjuna.

“Dewa, sebenarnya ada apa?” tanya Merah.

“Sebenarnya, akulah penjaga pangeran. Arjuna adalah pangeran, hanya saja waktu di gubuk kau melihatku mengenakan pakaian Arjuna. Kau mengira akulah pangeran. Soal mengapa kami berada di gubuk malam itu, sebenarnya Arjuna ingin mencari suasana baru, dia ingin merasakan hidup sederhana di hari-hari terakhirnya. Arjuna diracuni saat kerajaan bersitegang dengan kerajaan lain, Arjuna sudah dibawa ke semua tabib di negeri ini. Namun, tak ada penawarnya,” jelas Dewa.

Putih pun tak kuasa menahan air mata. Tak lama, Arjuna pun menghembuskan nafas terakhirnya. Kerajaan diselimuti duka yang mendalam.

Putih merasa hidup ini tidak adil baginya, semua orang yang dia sayang pergi meninggalkannya. Walaupun ibu tiri dan Merah sudah bersikap baik, Putih memilih hidup dalam gubuk yang diubahnya menjadi pondok yang indah. Merah pun menikah dengan Dewa dan menerima Dewa apa adanya. Putih tinggal di gubuk sampai maut memanggilnya. Dia percaya, dia akan bisa bersatu dengan Arjuna walaupun bukan di dunia.

Tiyara Rizqiya Sade

Tidak ada komentar:

Posting Komentar