Sabtu, 12 Juli 2014

Cerpen: Terjebak Dalam Sebuah Pelarian

Terjebak Dalam Sebuah Pelarian
Oleh : Eva Hardini Fauziah (1112046100009) 
“Mungkin hubungan kita sampai di sini saja Vin,” ucapku gemetar.
“Kenapa? Apa salah aku?”, jawabnya tak terima dengan keputusanku.
“Aku tidak bisa menjalani hubungan jarak jauh seperti ini, aku capek Vin. Aku harap kamu bisa mengerti dan menerima keputusanku.”
“Baiklah, aku mengerti,” jawabnya pelan sambil terisak.
“Terima kasih Vin.” Klik. Aku menutup telepon dan mengakhiri pembicaraanku dengan Vina.
Maafkan aku Vin, sebenarnya dalam hati kecil ini aku masih menyayangimu.  Tapi aku juga capek kalau harus seperti ini terus. Mungkin ini jalan terbaik buat kita. Maafkan aku…
Masih sama seperti hari-hari sebelumnya, tiga minggu setelah aku memutuskan hubunganku dengan Vina, kadang aku merindukannya. Vina masih suka menghubungiku tapi aku mencoba untuk tidak meresponnya. Aku ingin menghilangkan perasaan cinta ini, tetapi sulit. Aku tidak tahu apakah aku menyesal atas keputusan yang telah aku ambil atau tidak. Tetapi hal itu benar-benar membuat kepalaku pusing. “Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mungkin minta balikan lagi sama dia, aku tidak mau,” bisikku dalam hati”. Masalah ini membuat diriku berubah, akhir-akhir ini aku lebih sering diam dan melamun. Sampai-sampai lupa dengan janji hari ini. Jam 10 pagi, aku ada janji untuk bertemu dengan teman lamaku.
“Astaga..sudah hampir jam 10. Aku belum siap-siap. Dia pasti marah-marah kalau aku datang terlambat, dia kan orangnya cerewet,” gumamku sambil bergegas ke kamar mandi.
*****
“Aduh Raf, kamu kemana saja? Nyasar? Janji jam 10, ini udah jam berapa ?” Ucap Rizal kesal. Rizal teman sebangkuku waktu SD dulu. Walaupun dia cerewet dan suka marah-marah tapi dia best friendku yang paling perhatian. Dari SD sampai SMP kita selalu bersama tapi setelah itu kita berpisah. Hanya waktu liburan seperti sekarang ini aku bisa bertemu dengannya lagi.
Sorry,,sorry, tadi ada masalah darurat,” jawabku sambil cengengesan. “Bagaimana kabarmu, sehat? Sudah lama yah kita tidak bertemu.”
“Kalau kamu bukan best friendku, sudah aku tinggalin kamu dari tadi. Kabarku sehat, alhamdulillah. Kamu sendiri?” Tanya Rizal.
Alhamdulillah, aku juga sehat,” jawabku.
“Syukurlah kalau kamu sehat. Tapi kok sekarang kamu agak keliatan sedikit berbeda, kenapa? Ceritalah sama aku, aku kan sahabatmu. Status-status galaumu juga sering nongol di beranda. Kamu putus sama Vina?” Tanya Rizal penuh rasa ingin tahu.
“Iya Zal, aku tidak bisa hubungan jarak jauh jadi aku putusin Vina. Sekarang aku pusing Zal, aku tidak tahu harus bagaimana, aku belum bisa melupakan dia,” jawabku pelan.
“Memang semua itu butuh proses Raf, tidak bisa kamu tiba-tiba lupa sama dia. Biarkan waktu yang menghapus semuanya Raf,” ucap Rizal dengan kata-kata bijaknya. “Ya sudah Raf, lebih baik kamu cari pacar baru lagi. Gampang kan?” ucapnya sambil bercanda.
“Dasar , gak segampang itu nyari pacar. Memangnya kamu,” jawabku sambil tertawa. “Kamu tahu kan aku itu susah buat suka sama seseorang,” ucapku.
Pertemuanku dengan Rizal sedikit meringankan masalah yang sedang kuhadapi. Aku sedikit terhibur dengan candaan-candaan konyolnya. Tak terasa hari sudah semakin sore, mengobrol dengan teman lama memang membuat lupa waktu. Akhirnya kita berpisah dan pulang ke rumah masing-masing.
*****
Beep. Handphoneku berbunyi, membuyarkan lamunanku. Ada sebuah permintaan pertemanan, Chika Syathira Putri ingin menjadi teman anda. “Chika, siapa Chika?” Batinku. Karena aku penasaran akhirnya aku membuka profilenya. Setelah aku lihat, ternyata dia juga berteman dengan sahabatku Rizal. Itu karena Chika lulus dari sekolahan yang sama dengan Rizal.
“Hey, kamu kenal sama Rizal?” Tanyaku memulai percakapan.
“Hey juga. Iya aku kenal. Dulu aku pernah sekelas sama dia,” jawab Chika.
Itulah awal percakapan dan perkenalanku dengan Chika. Berawal dari situ hampir setiap hari kami selalu berkomunikasi diFacebook, dari mulai saling komentar  kemudian ngobrol diobrolan sampai berjam-jam. Aku cepat akrab dengannya, karena dia orang yang baik dan enak diajak ngobrol. Aku pun tidak sadar menceritakan semua masalahku pada Chika. Padahal sebenarnya aku bukan tipe orang yang mudah menceritakan masalah pribadi kepada orang lain, apalagi Chika orang yang baru beberapa hari aku kenal.
Kehadiran Chika bisa membuatku sedikit melupakan Vina dan sekarang aku sudah jarang melamun lagi. Aku senang dan merasa kalau masalahku mulai berkurang. “Haruskah aku jadian sama Chika?” Pikiran seperti itu tiba-tiba terlintas dibenakku.
Aku mengirimkan sebuah pesan pada Chika tentang perasaanku yang begitu senang telah mengenalnya dan merasa nyaman dengannya. Aku juga berharap hubungan kita ini bukan sekedar hubungan pertemanan. Cukup lama Chika membalas pesanku. Beep. Handphoneku berbunyi. Tiba-tiba jantungku berdegup begitu kencang, takut kecewa dengan balasan dari Chika.
“Aku juga senang bisa mengenalmu dan aku juga ingin hubungan kita lebih sekedar dari teman.” Itulah isi pesan balasan dari Chika.
Setelah membaca pesan itu, perasaanku campur aduk, antara kaget, senang dan sedih.  Aku terkejut, secepat itu aku bisa melupakan Vina dan jadian sama orang lain. Aku juga senang cintaku diterima, tetapi aku juga merasa sedih karena aku masih bingung apakah aku benar-benar mencintai Chika atau hanya sekedar perasaan sesaat.
Kukirimkan sebuah pesan pada Rizal tentang berita gembira ini, “Zal, aku sama Chika sudah resmi pacaran.”
“Secepat itu? Kamu kan baru satu minggu kenal sama dia. Kok bisa? Jangan sampai kamu jadian sama Chika buat pelarian kamu saja.” Balas Rizal.
Kata-kata  pelarian dalam pesan itu membuatku terdiam dan berpikir. “Apakah benar aku menjadikan Chika sebagai pelarianku saja?” Batinku. Aku bingung dan sungguh tidak tahu. ”Ah sudahlah, sekarang ini yang terpenting aku sudah jadian sama Chika dan aku harus membahagiakannya,” pikirku mengusir kegelisahan.
*****
Sudah hampir satu bulan statusku berpacaran. Seperti pasangan yang lain setiap hari kita selalu berkomunikasi lewat handphone. Kami belum bisa bertemu langsung karena Chika masih kuliah di Bandung. Setelah liburan mungkin kita bisa sering bertemu karena ternyata kita tinggal di daerah yang sama.
Aku tidak sabar ingin cepat-cepat bertemu dengan Chika, karena aku begitu merindukannya. Akhirnya kuputuskan untuk mengunjunginya di Bandung. Betapa senangnya hatiku  setelah aku bertemu dengan Chika, perempuan yang aku sayangi saat ini. Begitupun dia. Dua hari di Bandung, aku habiskan waktu bersama Chika dengan berjalan-jalan mengelilingi Kota Kembang ini. Kebetulan Chika sedang tidak ada jadwal kuliah.
Hari itu, hari terakhir aku di Bandung sebelum besok harus kembali lagi ke rumah. Kami sedang makan siang di sebuah kafe, tempatnya anak-anak muda Bandung berkumpul menghabiskan waktu sambil mengobrol dan minum secangkir kopi.
“Cepet banget si, besok kamu sudah balik lagi ke rumah. Padahal aku masih pengen kamu di sini,” ucap Chika sambil cemberut.
“Kamu jangan cemberut, nanti cantiknya hilang loh. Kamu tenang saja, nanti kalau kamu sudah liburan kita jalan-jalan bareng lagi,” ucapku menghibur.
“Sebenarnya ada sesuatu yang belum aku kasih tahu ke kamu, Raf,” ucap Chika pelan.
“Apa?” Tanyaku penasaran.
“Sebenarnya..,” Chika menghentikan pembicaraanya. Tapi aku membujuknya untuk segera mengatakan apa yang dia sembunyikan dariku.
“Sebenarnya aku sudah dijodohkan oleh orang tuaku dengan laki-laki pilihan mereka. Tapi aku tidak suka sama dia.” Sahut Chika dengan mata yang berkaca-kaca.
Aku kaget. Aku terdiam sejenak. “Kenapa? Kenapa kamu baru mengatakan hal itu padaku sekarang, Chik? Dan kenapa dulu kamu menerima cintaku?” Tanyaku kecewa.
“Karena aku sayang sama kamu dan aku tidak mau dijodohkan, Raf. Aku tidak suka dengan laki-laki itu.”
“Lalu bagaimana denganku? Jika orang tuamu sudah menjodohkanmu dengan orang lain, lebih baik kamu terima karena itu pasti pilihan yang terbaik untuk kamu. Walaupun saat ini kamu tidak suka dengan laki-laki pilihan orang tuamu, tapi aku yakin suatu saat nanti kamu pasti akan menyukainya. Sebelum semuanya  terlambat lebih baik hubungan kita sampai di sini saja Chik.” Ucapku sedih sambil berusaha menguatkan hati.
Chika terkejut dan langsung menangis menolak permintaanku. Aku tidak tega melihat Chika menangis lalu aku urungkan niatku untuk memutuskan Chika. “Ya Tuhan, bagaimana ini?” bisikku dalam hati.
Sore hari setelah aku makan siang dengan Chika, dia memintaku untuk mengantarnya check up ke rumah sakit untuk. Selama ini dia memang sedang sakit, badannya mudah merasa lemas jika beraktifitas terlalu banyak. Tetapi dia selalu tidak mau mengatakan apa penyakitnya itu padaku. Akhirnya kesempatan ini aku gunakan untuk mengetahui penyakit apa yang sebenarnya diderita oleh Chika.
Aku masuk ke ruang dokter bersama Chika. Setelah diperiksa, dokter meminta kepada Chika untuk banyak beristirahat dan mengurangi semua kegiatannya. Hal itu membuatku benar-benar penasaran.
“Dok, sebenarnya Chika sakit apa?” Tanyaku penasaran.
“Dalam istilah kedokteran penyakit yang Chika alami disebut dengan MG atau Miastenia Gravis,” jawab dokter singkat.
“Penyakit apa itu dok? Saya baru mendengarnya.”
“ Penyakit ini memang penyakit langka. MG atau Miastenia Gravis adalah suatu penyakit autoimun dimana persambungan otot dan saraf berfungsi secara tidak normal dan menyebabkan kelemahan otot. Otot-otot yang paling sering diserang adalah otot yang mengontrol gerak mata, kelompak mata, bicara, menelan, mengunyah dan bahkan pada taraf yang lebih gawat sampai menyerang pada otot pernafasan sehingga pasien mengalami gagal nafas,” jelas dokter panjang lebar. “Oleh karena itu, Chika tidak boleh terlalu capek dan jangan sampai dia mengalami stress karena hal itu memicu penyakitnya kambuh,” ucap dokter menambahkan.
Aku hanya terdiam mendengar penjelasan dari dokter. Begitupun dengan Chika, dia hanya tertunduk sedih. Aku tidak menyangka jika selama ini sakit yang diderita oleh Chika cukup parah dan berbahaya untuk nyawanya.
“Baiklah, kalau begitu kami permisi dok. Terima kasih.”  
“Iya sama-sama,” jawab dokter ramah.
Sepanjang jalan aku masih kepikiran dengan penjelasan dokter tadi. Sekarang aku benar-benar merasa kasihan pada Chika. Tadinya aku akan memutuskan dia jika kondisinya sudah memungkinkan dan akan memberi penjelasan agar dia mengerti dan menerima perjodohan dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Aku percaya jika keputusan orang tua itu  adalah keputusan yang terbaik untuk anaknya. Tetapi aku ingat pesan dokter tadi, Chika tidak boleh stres. Aku takut jika keputusanku membuat Chika menjadi stres sehingga penyakitnya kambuh dan semakin parah. 
“Kamu kenapa? Kok diam saja. Kamu tidak usah khawatir, aku baik-baik saja,” ucap Chika sambil tersenyum manis.
“Iya, aku tahu. Kamu harus ingat ya pesan dokter tadi, kamu harus banyak istirahat dan tidak boleh terlalu capek apalagi stres,” jawabku sambil membalas senyumnya.
“Rafli, aku sayang sama kamu. Jangan tinggalin aku ya.”
“Iya, aku juga sayang sama kamu Chik.”
“Tuhan..,bagaimana ini? Aku benar-benar bingung, apa yang harus aku lakukan? Adakah jalan keluar dari masalah ini? Apakah aku harus memutuskan Chika disaat kondisi Chika seperti ini ataukah aku harus tetap bersamanya menjalani hubungan yang entah akan berakhir seperti apa,” debatku dalam hati.




















Selasa, 13 Mei 2014

Kelompok Tabloid


Kelompok 1  
(JEJAK)

Profil: Pemilik Usaha ayam monyet
Tema artikel: Uang parkir kampus dan lahan parkir,larangan berjualan di kelas
Narasumber:kasubag umum fak,kabab umum universitas,Mahasiswa,Pemilik usaha ayam monyet


Kelompok 2
(REKAM)

Profil: si "Gendeng"
Tema artikel: Program double degree FSH,MUST
Narasumber: Bapak Edi Setiadi,Ketua pelaksana event MUST,Mahasiswa double degree


Kelompok 3
(SIMAK Syariah)

Profil: Dosen yang bekarya
Tema artikel: Lembaga Kajian-kajian ekonomi islam, Suka duka skripsi
Narasumber: Bapak Nur Rianto Al-arif.Moh Tohir (pendiri C.O.I.N.S), Bang suni (pendiri LISENSI) .Syamsul Ma'arif,Sabrina


Kelompok 4
 (Dreamagz)
Tema Umum: Mahasiswa berprestasi
Profil: Penerima Beasiswa luar negeri, pemilik kautsar grup dan motivator termuda,sekertaris jurusan
Tema artikel: Berkarya dan berbisnis semasa kuliah selagi muda, beasiswa luar negeri
Narasumber: Fazlur Rahman,Bapak Mu'min Rouf,Edwan M Kautsar,Kasie penamas kandepag jaktim


Kelompok  5
 (TAPS)

Profil: Dekan Role model
Tema artikel: Mengapa S.E.I diganti dengan S.E.Sy,Kontribusi dosen terhadap konsep syariah di indonesia

Narasumber: Pak J.M Muslimin, Husnul Qari , Pak Prof Amin Suma


Kelompok 6
 (INPERS)

Profil: Ketua Bernas
Tema artikel: Perpindahan jurusan perbankan syariah dari FSH ke FEB
Narasumber:Bapak M. Nur Rianto Al-arif, Bu Euis Amalia,mahasiswa


Kelompok 7
 (CETAR)

Profil:
Tema artikel:Pengalihan skripsi menjadi jurnal ilmiah,MEA
Narasumber: Bapak Zahri, wakil rektor,bapak Nuryamin,bapak Jaka,mahasiswa

Kamis, 24 April 2014

Cerita Pendek: "Seorang Ibu dengan Sebongkah Hati Penuh Luka"

Dengan tangan tuanya, ia menutup rapat koper suaminya.

Hari ini suaminya hendak ke luar kota. Cukup lama. Maka, sebagai istri yang baik, ia menyiapkan segala sesuatu dengan baik, termasuk membelikan sebuah jaket baru yang penuh dengan kantong agar suaminya itu tidak repot menyimpan banyak dokumen yang sering ia bawa kemana-mana.

Selain jaket, perempuan tua itu juga membelikan hand phone baru buat suaminya. Bukan untuk gagah-gagahan. Tapi, lihatlah HP milik suami yang usianya sepuluh tahun di atasnya itu, jauh sekali dari kesan baik dan layak. Perempuan itu ingin suaminya bisa dihargai orang dari tampilannya meski ia tahu suaminya memang tidak pernah peduli soal tampilan. Tapi, sekali-kali boleh dong melihat suami berpenampilan lebih baik. Supaya mata enak juga memandang.

Angin semilir mengiring keberangkatan sang suami. Taksi yang telah menunggu di depan, segera menutup pintu bagasi dan pintu penumpang selepas barang dan orang yang menumpang taksinya sudah masuk ke dalam. Perempuan tua itu melambaikan tangan disambut suami tercintanya dari dalam taksi. Hari itu adalah hari dimulainya hari-hari sepi tanpa suami meski cuma sesaat, tak lama.

Belum berapa langkah kakinya masuk ke dalam, mendadak ia rasakan sesuatu dari dalam hatinya. Segera ia buka sedikit kemeja yang ia kenakan, pembalut tubuhnya.

Perempuan itu sedikit terkaget. Nampak jelas dari pelupuk matanya, jahitan lama dari luka di hatinya ada sedikit peradangan. Padahal sudah sekian lama, hati ini tidak meradang seperti sekarang. Bukankah jahitannya sudah cukup kencang?

Perempuan itu menarik nafas sejenak. Ia segera menutup kembali kemejanya sembari mengharap sangat agar tak ada kejadian yang bisa membuat hati yang pernah terluka itu kembali menganga.

Di dalam taksi menuju bandara, laki-laki tua berusia lebih dari enam dasawarsa itu tersenyum senang. Alam yang mengiring kepergiannya tadi sepertinya juga mengikuti ritme kesukaan yang begitu menyelimuti dirinya. Perjalanan kali ini pasti akan sangat menyenangkan. Apalagi jika mengingat bakal ada wajah merekah indah akan menyambutnya di kota kali ini. Wajah yang selalu memancarkan kesegaran, bak apel merah ranum yang kecemplung di air lalu sengaja diangkat, menyisakan sisa-sisa air segar di pinggirannya.

Hemmm…Segar sekali. Apalagi jika disantap di hari panas begini. Wuah…, bahkan angin nan menyejukkan pengantar kepergiannya ini, niscaya akan tidak ia pedulikan. Lebih sedap menyantap sang apel merah pujaan hatinya.

Belum lama pikirannya berkelana, mendadak suara HP barunya berbunyi. Itu suara SMS masuk. Dengan suka cita. Laki-laki itu segera membuka HP-nya. Tangan tua yang masih kekar dan kuat itu begitu semangatnya hingga membuat gerak membuka SMSnya serasa lambat. Untung tidak sampai jatuh.
Tak lama, matanya terbelalak senang. SMS itu berasal dari sang buah apel yang baru saja ia pikirkan. Panjang umur sekali. Keceriaan wajah tuanya kian terlihat nyata sesaat ia mencoba cepat membalas SMS mesra itu. Syaraf motorik yang membantu membalas SMS itu kian menurun kecepatannya berbarengan dengan usianya yang kian meninggi. Apalagi ini adalah HP baru. Rada lama dia harus belajar beradaptasi. Tapi, ia tak peduli. Bukankah hidup harus dijalani dan dinikmati.

Di rumah kecil itu, perempuan yang sudah berpuluh tahun mendampingi lelaki yang sedang semangat mambalas SMS itu, mengusir rasa sepi yang mendadak mengerubungi dirinya dengan membersihkan rumah penuh kenangan itu. Jika dinding rumah tersebut bisa bicara maka akan ada banyak cerita yang terlontar. Tentang arti kesetiaan, tentang saling pengertian, tentang rasa kemanusiaan yang selalu didengungkan serta terus diperjuangkan oleh suami tercintanya dan tentang rasa percaya. Dinding-dinding rumah itu juga pasti yang akan cerita saat-saat indah keduanya saat masih muda hingga setua ini. Perempuan itu merasa berbahagia sekaligua bangga, laki-laki tercintanya sungguh adalah pejuang kehidupan, baik bagi mereka maupun bagi kehidupan mereka berdua.

Kalau ternyata justru di usia senja sang suami lebih banyak mendapat kesempatan mengaktualisasikan dirinya, itu bukan karena kesalahan. Tetapi, karena kondisi keadaan tanah bumi yang dahulu sangat membatasi gerak-geriknya hingga sempat dianggap pembangkang. Maka, begitu zaman telah berganti, memberi lebih kebebasan berekspresi, suami tercintanya itu tidak mau kehilangan kesempatan lagi, selayaknya ketika ia masih muda. Usia senja, bagi si suami bukan alasan untuk terus berjuang bagi banyak orang. Berjuang tentang nilai-nilai kemanusiaan yang bahkan telah sempat sangat niat ia pelajari di bangku kuliah tingkat tinggi.

Mendadak perempuan itu memegang kembali hatinya. Kali ini hati merah itu seperti lebih kencang berdetak. Perempuan itu jadi sangat cemas, takut ada apa-apa. Sementara di rumah kecil itu tidak ada orang lain juga. Anak-anak mereka kan sudah punya keluarga sendiri dan tidak sekota.

Dia juga tak ingin menyusahkan orang lain. Suaminya telah mengajari dia untuk mandiri, tidak tergantung kepada orang lain. Maka ia pun berusaha sendiri untuk menyembuhkan rasa hati yang entah kenapa jadi terasa sakit itu.

Dari ikatan jahitan atas luka terdahulu, ia sempat melihat semacam rembesan merah mulai keluar. Ah, mungkinkah luka itu harus kembali terbuka sementara sudah ia jaga sekuatnya supaya tidak sakit lagi. Tapi, kali ini kenapa?

Dia ingat lima tahun lalu, luka yang semula mulai mengecil sekonyong-konyong saja membesar begitu mendapat kepastian ada seorang orok mungil keluar dari seorang perempuan muda. Orok yang kemudian nama belakangnya diberi nama seperti nama suaminya tersebut menjadikan ia berbulan-bulan meratapi hati yang membengkak itu. Beragam obat yang sempat ia sengaja berikan bagi kesembuhan, tak juga mampu meredakan. Bahkan niat mengakhiri hidup terlintas di benaknya. Untunglah, anak-anaknya menguatkan ia. Dari mereka juga, perempuan lebih dari setengah abad itu mulai menerima kenyataan dan membuka pintu maaf seluas-luasnya. Ajaib.

Hati yang membengkak itu, tak lama setelah dijahit dengan rasa cinta yang kembali ia rasakan dari sang suami yang juga mengucapkan kata maaf atas peristiwa yang terjadi, luka-luka yang muncul mulai mengering. Rasa nyeri yang menggerogoti hari-harinya tak dirasakan lagi. Dirinya pun seperti sudah bisa berdamai dengan segala situasi.

Perempuan itu pun bisa bernafas lega. Benar-benar lega. Tapi, kenapa sekarang rasa sakit itu kembali muncul pelan-pelan?

Cekit-cekit-cekit… Pelan dan sedikit, tapi sungguh terasa sakit. Jangan-jangan apakah ini berarti…
Ah! Perempuan itu segera menghalau pikiran buruknya. Bukankah suaminya kini sedang menghadiri sebuah seminar tentang kemanusiaan? Bagaimana mungkin dia masih sempat berbuat aneh-aneh?
Perempuan itu tertatih menuju kamar tidurnya. Hendak berbaring sejenak. Siapa tahu bisa membantu mengurangi sakitnya.

Pesawat yang mengantarkan lelaki tua, tapi masih punya semangat luar biasa itu membawa tubuhnya menuju kota dimana gelar kesarjaanna S3-nya sangat dibutuhkan. Rencananya ia memang diminta untuk membawakan semacam seminar dan kuliah umum tentang kemanusiaan yang telah menjadi spesialisasinya. Sudah kesekian kali ia menjadi pembicara di banyak tempat, banyak negara untuk hal tersebut. Latar belakang pendidikan, pengalaman serta pergaulannya menambah nilai plus kehadiran dirinya. Terlebih bagi anak muda yang melihat ia bukan saja sebagai sosok orang tua yang patut diteladani, tetapi juga sebagai pejuang kemanusiaan yang tak kenal lelah berjuang. Tutur katanya yang sopan, tindak tanduknya nan santun, benar bisa membius orang bahkan yang baru dikenal seklipun. Kesederhanaan pun memancar dalam tubuh rentanya. Pokoknya siapa pun yang mengenalnya akan sangat menghormati dan bisa-bisa mendadak jadi fans fanatiknya. Bak artis muda yang tiba-tiba naik daun tanpa harus susah-susah melalui seleksi atau audisi.

Perjalanan panjang lewat jalur udara itu pun selesai sudah.Di Bandara berkapasitas pesawat internasional itu membuat langkah kakinya kian bersemangat menuju pintu gerbang, dimana telah terjanji ada seseorang menunggu dengan senyum merekah di bibir merahnya. Perjalanan melelahkan diyakini akan segera sirna begitu ia boleh menemui sang pemilik senyum merah merekah itu.

Dan, begitu mata melihat perempuan muda yang tengah memberi lambaian tangannya dengan penuh semangat, laki-laki tua itu kian ingin kakinya bisa terbang agar cepat dapat berhadap-hadapan dan melepas kerinduang terdalamnya.

Tak ia pedulikan lagi mata-mata lain yang memandang aneh begitu tubuh pasang anak manusia itu bertemu. Plus kecupan mesra di dahinya yang selalu terbayang dalam diri lelaki bergelar Doktor itu. Pikir laki-laki itu, paling orang mengira semua itu adalah cara pelepasan rindu antara bapak dan anak. Jadi makin tak peduli lah dia.

Esok pagi terjelang sudah. Matahari tak perlu malu tersembul bersama keringat banyak orang menggapai cita.

Pada kegelisahan dan kesakitan tiada berujung pangkal pasti ini, pintu rumah perempuan tua yang biasa dipanggil “Ibu” oleh anak-anaknya tersebut, diketuk keras oleh seorang tetangga. Sang tetangga memohon dengan sangat agar perempuan itu mau membantunya memegangi tangga. Hanya memegangi tangga saja. Kucing kesayangan si tetangga naik ke atas atap dan tidak bisa tutun. Sedari tadi kucing itu mengeong seperti minta turun. Padahal di rumah tetangga itu sedang tak ada siapa-siapa. Usianya sama dengan perempuan itu. Berjenis kelamin sama pula.

Demi rasa kemanusiaan yang selalu ditanamkan suaminya, perempuan itu berusaha menahan sakit dan membantu perempuan tetangganya itu. Tugasnya hanya memegangi tangga. Tidak terlalu berat. Tapi, entah kenapa hati yang selalu ia pegang dengan tangannya kian nyeri terasa. Nyaris tak kuat ia menahan. Apalagi kucing yang hendak diturunkan dari atap, tidak mudah ditangkap. Terpaksalah perempuan tua yang berusaha bertahan itu meringis-ringis menahan sakit.

Ah. Cepatlah semua ini berakhir. Benaknya.

Sementara itu, mulut tua yang masih selalu dikagumi banyak orang itu pun sudah sekian lama di hadapan corong. Kalimat-kalimat yang telah tersusun rapi keluar lancar dari bibir tuanya itu. Segepok materi yang telah ia siapkan ada persis di depannya.

Sesaat lelaki itu menatap segepok materi yang tersusun rapi tersebut. Tiga hari lalu, istrinya telah membantu me-lay out sehingga materi itu terlihat menarik dan nyaman dibaca. Lalu, ia pula meng-print nya. Suaminya hanya tahu beres saja. Peristiwa beberapa hari lalu begitu saja terkias di matanya, mengingatkan otaknya pada sang istri yang entah sedang apa sekarang. Sejak mendarat di pulau Dewata ini, dia memang belum sempat (tepatnya sengaja) mengirim kabar kepada yang tengah bergelut menahan sesuatu di rumah kecilnya. Ah, kok ada rasa tidak enak ya?

Pelan tangannya merogoh saku celana yang telah disetrika rapi sang istri demi acaranya ini. Ia ingin sekadar mengirim SMS kepadanya mumpung ada jeda jawab pertanyaan kepada panelis lain. Tapi, begitu tangannya bergerak, matanya pun melihat ke arah bangku peserta paling belakang. Perempuan muda yang telah membuat malamnya begitu indah dan memberinya energi lebih hari ini tengah memberi senyum manis. Senyum itu membuat niatnya semula diundurkan. Rasanya, perempuan di seberang sana baik-baik saja kok meski belum ia kirimi kabar.

Lelaki senja yang telah dipanggil “kakek” itu kembali melanjutkan misi kemanusiannya. Misi yang selalu ia perjuangkan dan ingin ia tularkan kepada semua orang. Tanpa kecuali.
Meski perjalanan hidup atas pernikahan resmi antara laki-laki dan perempuan tua itu membuahkan jalinan batin yang sering kali tidak dapat menipu, nyatanya kadang jalinan batin itu sering pula dianggap sepele dan tak ada masalah. Padahal yang sesungguhnya terjadi, istri yang katanya ia kasihi itu tengah berjuang melawan sakit yang kian nyeri.

Jahitan dari hati perempuan penuh kesetiaan itu makin mengeluarkan darah.
Selepas membantu perempuan tetangga yang tadi hendak menurunkan kucingnya dari atas atap, perempuan tua itu tak kuat lagi menahan sakit. Tempat tidur yang telah berulangkali menjadi saksi banyak hal, kali ini menjadi saksi kesakitannya yang tak tertahan. Walau, ganti ia yang kini dibantu oleh tetangga perempuannya itu, tapi rasanya tak berdampak banyak. Ia tahu, satu-satunya obat paling ampuh adalah jika suaminya datang.

Tapi, ooohh… Perempuan tua baru ingat, sejak perhitungan waktu mestinya sang suami telah sampai ke tujuan, mengapa belum juga ia memberi kabar? Padahal biasanya dia tidak lupa untuk memberitahu keberadaannya kepada istrinya. Dimana pun. Apakah kesibukan luar biasa sehingga ia sampai tak sempat memberi kabar? Apakah sinyal HP baru yang ia berikan itu tak secanggih yang dijanjikan? Atau justru suaminya masih gaptek menggunakan? Senyum tipis berkembang di bibir perempuan tua itu membayangkan kalau suaminya kesulitan menggunakan HP barunya.

Tiba-tiba saja, di sela kesakitan atas luka yang terus meneteskan darah itu, ada kebanggaan tak tertahankan atas apa yang tengah diperjuangkan sang suami. Ini adalah cita-citanya sejak dahulu. Meski sedikit terlambat karena kondisi, tapi inilah saatnya untuk memperjuangkan sebuah kemanusiaan bagi manusia. Rasanya rela-rela saja jika demi itu, ia harus sakit begini. Toh, untuk banyak orang.


Dan, sesaat pikiran itu melintas, suara perempuan itu terdengar lirih. Lirih seperti garda sedang memotong kepingan besi. Nyeri dan sakit sekali. Lebih sakit dari biasanya. Hingga alam di luar mendadak suram.

MENULIS CERPEN



HIDUP TAK SERINDANG NAMANYA
Terik matahari siang itu, dengan ganas menyengat tubuhnya. Tak ada yang berbeda pemandangan hari ini, masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Carut-marut jalan raya, kebisingan suara yang berasal dari klakson kendaraan bermotor orang-orang yang kesetanan karena tak sabar menghadapi kemacetan. Sama halnya seperti hati seorang anak perempuan lima belas tahun, berambut ikal panjang  dan berkulit sawo matang yang sedang bergejolak. Entah perasaan apa yang sedang berkecamuk di dadanya. Tak biasanya dia pulang sekolah lebih awal. Dia berjalan menyusuri pinggir kota menuju rumahnya di gang ujung jalan.
 Ketika tiba didepan gang rumahnya, hatinya makin bergolak karena melihat bendera kuning terpampang. Lima meter dari tempatnya berdiri, ia melihat sebuah rumah terbuat dari kayu-kayu triplek yang didepannya banyak orang berdatangan.
“Ada apa ini? Kenapa di rumahku banyak sekali orang-orang?” Pikirnya.  Ia segera mendekati rumah tersebut. Saat ia mendekat salah seorang dari mereka berkata dengan haru, “Yang tabah ya, Rindang.”
Mendengar perkataan orang itu, tangan dan kakinya bergetar hebat, jantungnya berdegup kencang. Ia bergegas lari ke dalam rumahnya dengan butir-butir keringat dingin yang ke luar dari kulitnya.
Di dalam rumah, ia mendapati sekujur tubuh wanita yang terbujur kaku. Ia terkulai lemas melihatnya, seakan separuh jiwanya direnggut. Wajah Rindang mungguratkan rasa seolah tak percaya, bahwa tubuh yang terbujur kaku itu adalah ibunya. Wanita yang pagi tadi masih sanggup menyiapkan sarapan untuknya kini terbaring tak berdaya. Dari matanya mulai ke luar tetesan air mata. Pikirannya melayang pada kejadian semalam sebelum tidur.
***
Wanita dengan kulit sawo matangnya yang mulai keriput dan terlihat urat-urat dengan jelas karena beratnya pekerjaan yang dijalaninya. Setiap hari mengais rezeki dengan mengumpulkan barang-barang bekas dijalan demi mencukupi kebutuhan sehari-hari dan sekolah anak-anaknya. Ya, ibunya seorang pemulung.
Malam itu, dia dan ibunya melakukan dialog sebelum tidur diatas sebuah karpet tipis yang ukurannya cukup untuk dia, ibunya dan kedua adiknya untuk tidur.
“Nak, bagaimana sekolahmu tadi ?” Ibunya berkata, membuka pembicaraan.
“Hari ini lancar kok, Bu. Kata Bu guru, nilai ulangan Rindang paling bagus diantara teman-teman yang lain.” Jawabnya sambil tersenyum lebar.
“Wah hebat anak Ibu! Ibu bangga sama kamu. Ibu berharap dengan kamu bersekolah, kamu bisa jadi panutan buat adik-adikmu nanti.” Kata ibunya penuh harap.
“Iya, mudah-mudahan ya bu. Doakan saja.” Jawabnya sambil tersenyum.
“Kalo nanti ibu gak ada, ibu minta kamu jaga baik-baik kedua adikmu ya.” Kata ibunya.
Ah ibu ada-ada aja, ibu akan tetap ada disini. Tenang bu, Ardi dan Sekar pasti akan aku jaga baik-baik kok.” Jawabnya merasa heran dengan kata-kata ibunya.
Lalu ibunya, memeluk dengan erat. Tidak seperti biasanya. Rindang merasakan pelukan ibunya sangat erat, seakan mereka tidak akan bertemu lagi.
***
Ingatan itu membuat dadanya sesak. Pelukan itu masih membekas sampai saat ini, ia tak menyangka ternyata itu pelukan dan permintaan terakhir ibunya. Air matanya meleleh. Andaikan saja dia tahu itu adalah pelukan dan permintaan ibunya yang terakhir, dia tidak akan berpaling dari sisinya sedetik pun, meskipun ia harus tidak masuk sekolah. Ia rela demi berada di sisi ibunya disaat terakhir.
Namun apalah daya, semua itu tidak akan kembali seperti semula lagi. Ia ingat kedua adiknya, Ardi dan Sekar. Ia memandang kedua adiknya tersebut. Semakin pedih saja hatinya melihat mereka berdua menangis, tapi ia berpikir “Bila aku lemah seperti ini, bagaimana dengan mereka? Siapa lagi yang akan menguatkannya kalau bukan aku?”
Ia menyeka butir-butir air mata yang mengalir di pipinya. Kemudian menghampiri kedua adiknya dan memeluknya dengan erat. Mencoba menahan kesedihannya dan menguatkan kedua adiknya.
***
Para tetangga sekitar membantu Rindang untuk menyiapkan pemakaman ibunya. Jenazah ibunya segera dimandikan dan dishalatkan. Setelah itu, semua orang ikut menghantarkan jenazah ke tempat peristirahatan terakhirnya diiringi dengan kesedihan Rindang dan kedua adiknya.
Sesampainya di pemakaman, Rindang tak kuasa membendung air matanya melihat wanita yang berjuang untuk menghidupi dirinya dikebumikan dan semua orang memberikan doa kepada ibunya. Selepas itu, mereka semua termasuk Rindang dan kedua adiknya pergi perlahan-lahan meninggalkan pemakaman itu.
Tiba dirumah, belum hilang kesedihan Rindang. Ia menyuruh adik-adiknya untuk beristirahat. Ketika adik-adiknya sudah terlelap, ia juga mencoba sejenak memejamkan matanya karena lelah menumpahkan air matanya. Walaupun matanya terpejam, tetapi kepalanya berputar memikirkan bagaimana kehidupan dia dan kedua adiknya selanjutnya tanpa seorang ibu.
Hal itu membuat ia tak bisa lama memejamkan matanya. Ia memandang kedua adiknya yang terlelap. Teringat pesan ibunya untuk menjaga dan merawat kedua adiknya. Ia termenung.
“Bagaimana caranya aku menjaga Ardi dan Sekar kalau aku sekolah? Dari mana aku dan kedua adikku akan makan kalau aku sekolah dan gak bekerja?” tanyanya dalam hati.
Muncul perdebatan dalam hatinya. Ia masih ingin bersekolah, tapi ia harus menjalankan pesan ibunya untuk menjaga dan merawat adik-adiknya. Ia juga harus bisa bertahan demi kelangsungan hidup dirinya dan kedua adiknya.
“Mungkin kalau aku tak sekolah, aku bisa bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu, aku juga bisa menjaga dan merawat Ardi dan Sekar. Lagipula kalau aku tak sekolah, aku masih bisa belajar disela-sela bekerja dengan membaca buku” Katanya dalam hati.
Tekadnya sudah bulat. Ia memutuskan untuk tidak meneruskan sekolah dan melanjutkan pekerjaan ibunya, menjadi pemulung mengambil barang-barang bekas di jalan demi mempertahankan kehidupan dia dan kedua adiknya. Takdir tidak ada yang tahu, kehidupannya tak serindang namanya.






Perjalanan 10 Menit

Suasana kantin teknik atau mahasiswa sering menyebutnya dengan kantek begitu ramai ketika waktu makan siang pun datang. Para mahasiswa langsung memesan makanan begitu mereka sampai di dalam kantin, kelelahan tampak dari wajah mereka. Elsa menuju tempat dimana biasanya anak-anak mesin berkumpul dan benar saja, teman-temannya ada disana. Terlihat seorang pria yang duduk di meja paling pojok membelakangi Elsa. Seketika pria itu pun membalikkan badannya.
“Eh, Elsa baru datang. Kita nungguin elo daritadi” kata Andra sambil tersenyum. Andra adalah  senior semester 8 yang Elsa sukai semenjak Elsa bergabung dengan Ikatan Mahasiswa Mesin ketika Elsa semester 1. Kini, hampir dua tahun dan rasa suka Elsa kepadanya tak berkurang.
“Wah maaf bang, tadi aku shalat dulu,” kata Elsa tersipu malu dan pria itu pun hanya tersenyum kepada Elsa.
“Iya, santai aja sih! Hahaha. Sini duduk, jangan berdiri aja, emangnya ga pegel?” Candanya sambil tertawa. Ia menggeserkan tempat duduknya, sehingga Elsa bisa duduk disampingnya. Tiba-tiba jantung Elsa pun berdebar cukup cepat.
Kantin teknik ini adalah tempat dimana Elsa dan teman-teman lainnya membahas tugas kuliah. Karena kuliah di teknik sangat memusingkan dan tiap mahasiswa memiliki kesulitan masing-masing, maka mereka pun selalu berkumpul membahas masalah yang ada dan mencari jalan keluarnya bersama-sama.  Inilah yang membuat mereka sangat solid. Siang ini, anak mesin yang kumpul di kantin hanya ada enam orang.
“Oh iya El, nanti sore kita mau ke rumah Bang Andra buat ngebahas peraturan lomba mesin. Elo ikut ya?” Tanya Bagas, senior semester 6.
“Rumah Abang dimana?”
“Deketlah, paling cuma 10 menit dari kampus” jelas Andra. “Nanti elo naik motor aja sama gue.” Andra menawarkan dirinya dengan sukarela. Perasaan senang tiba-tiba muncul dari dalam diri Elsa. Ini juga merupakan pertama kalinya Elsa ke rumah Andra.
Waktu menunjukan pukul empat sore, Elsa dan yang lainnya pun berkumpul di tempat parkir. Suasana Depok begitu sejuk, angin yang berhembus membawa udara segar sehabis diguyur hujan. Andra menghidupkan mesin motornya dan Elsa duduk dibelakangnya.
Selama dalam perjalanan, mereka berdua saling diam dan perasaan canggung datang menyelimuti. Elsa tidak menyukai suasana seperti ini, begitu juga dengan Andra. Akhirnya Elsa memulai percakapan.
 “Bang Andra sudah lama tinggal di daerah sini?”
“Ya lumayan lama juga sih, dari gue kelas 1 SMP. Sebelumnya gue tinggal di Jakarta Barat” katanya samar-samar. “Bukannya lo pernah ke rumah gue ya? Waktu malem tahun baru?”
“Waktu itu aku ga ikut bang, enggak diizinin, he” kata Elsa sambil tertawa. Andra pun ikut tertawa. Kemudian, suasana kembali diam.
“Gimana Elsa kuliah mesin di semester 4? Pusing enggak? Hahhaha” Tiba-tiba Andra membuka percakapan, berusaha untuk mencairkan suasana. “Ya lumayan bang, mata kuliahnya makin susah, tanggung jawab di ikatan juga makin besar, hahaha” jawab Elsa juga tertawa.
“Yaa semangat ya Elsa, itu semua adalah proses. Dulu gue juga gitu, dibawa happy aja, oke?”
“Hahaha okee, bang” Elsa merasa sangat bahagia karena Andra menyemangati dirinya. Elsa  merasa ada sisi lain dalam diri Andra yang berbeda, yang membuat diri Andra terasa begitu ‘hangat’.
Andra sebenarnya juga menyukai Elsa, namun karena gengsi selama ini ia lebih memilih untuk menutup dirinya. Andra ingin mengatakan sesuatu kepada Elsa, ia sengaja mengajak Elsa untuk berangkat bersama ke rumahnya, namun ia bingung bagaimana memulainya.
Selama dalam perjalanan, keduanya lebih memilih untuk diam. Elsa merasa canggung karena sebagai perempuan ia juga tidak mau selalu memulai pembicaraan, ia khawatir Andra akan mengetahui perasaannya. Di sisi lain, Andra juga bingung bagaimana mencairkan suasana di atas motor. Baginya ini adalah sebuah kesempatan, namun ini tidak mudah.
“Elsa, rumah elo dimana?” Tanya Andra, berusaha untuk mencairkan suasana.
 “Rumah aku di daerah Rawamangun bang.”
“ohh, lumayan jauh juga ya. Hmm.. kapan-kapan gue boleh enggak main ke rumah elo?” Tanya Andra dengan malu-malu.
“Tentu dong bang, kapan aja abang mau main silahkan. Nanti bareng sama anak-anak yang lain aja bang. Mereka udah pada tau kok rumah aku.” Dalam hati Elsa mengharapkan bahwa Andra akan datang ke rumahnya sendirian. Namun, karena ia tidak mau perasaannya diketahui oleh Andra, ia lebih memilih untuk mengajak Andra datang ke rumahnya dengan teman-temannya yang lain.
“Oh iya, nanti deh gue ajakin yang lain.” Andra sangat kecewa mendengar jawaban Elsa dan sebisa mungkin, Andra menanggapinya dengan biasa saja. Berpikir bahwa dirinya tak bisa seperti ini terus, Andra akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya kepada Elsa.
“Elsa…” Panggilnya dengan suara pelan. Suara motor dan kebisingan kendaraan lain membuat panggilan Andra tidak terdengar oleh Elsa. “Elsa!” Panggil Andra dengan suara yang lebih keras.
“Ada apa bang?” Tanya Elsa. Elsa merasakan sesuatu yang aneh sedang terjadi dengan Andra
Gue pengen ngomong sesuatu sama elo” Kata Andra dengan suara yang lebih dipelankan dari sebelumnya.
“Iya bang, ngomong aja. Aku dengerin kok
“Hmm.. Elo mau ga..” Kata Andra pelan.
“Mau apa bang? Enggak kedengeran” Elsa lebih mendekatkan dirinya ke Andra agar ia bisa mendengar pertanyaan Andra.
Elo.. mau ga..” Andra belum menyelesaikan kata-katanya dan  mereka berdua telah sampai di gerbang rumah Andra. Andai Andra lebih cepat berbicara dengan begitu ia dapat menyeleaikan kalimatnya. Sesampainya di rumah, Andra begitu canggung. Teman-temannya yang lain juga sudah datang.
“Bang, tadi mau ngomong apa? Kayaknya tadi abang nawarin aku sesuatu, tapi kita keburu nyampe rumah abang.” Tanya Elsa penasaran. Andra bingung harus menjawab apa.
“Oh itu. Eh, elo mau makan dulu enggak? Gue laper. Kita ngomongin peraturannya nanti aja. Yuk makan dulu.” Ajak Andra dengan gugup. Raut wajah kecewa tersirat dari wajahnya. Ia menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Ia tak tahu kapan kesempatan ini akan datang lagi. Jadi, ia lebih memilih untuk menyimpan ini untuk dirinya.