Dua hari yang lalu aku tiba di kota Jogja. Kota yang selalu
menawarkan ketentraman dan keramahan warganya. Dan di minggu yang cerah ini,
aku ingin bertemu sahabat lamaku yang kuliah di salah satu perguruan tinggi di
Jogja. Kami berpisah karena orang tuaku memutuskan untuk pindah dan menetap di
Jakarta. Dan kami pun sepakat untuk bertemu di kafe biasa. Djendelo Koffie.
Ya, Coffee shop yang satu ini terletak di jalan H. Affandi -
Gejayan Yogyakarta di lantai dua toko buku Toga Mas. Desainnya yang sederhana
khas dengan bangku kuno yang terbuat dari anyaman rotan dan lantai kayu, tempat
minum ini selalu menjadi favorit bagi siapa saja. Aroma yang khas selalu
menemani saat berkunjung ke djendelo koffie. Kadang aroma kopi, kadang aroma
cokelat dan kadang aroma keduanya yang bercampur menjadi satu.
Tempat ini tidak banyak berubah. Sampai disana, aku disambut dengan
buku-buku yang tersusun rapi di raknya. Aku berjalan pelan sambil melihat-lihat
judul buku dan segera menapaki anak tangga yang mengantarkanku ke Djendelo
Koffie. Mataku menyusuri tempat ini mencari sosok yang kucari dan ternyata
Ninis belum datang. Jadi aku putuskan untuk duduk di spot kursi paling pinggir
di tempat ini tepat di dekat jendela yang
desainnya mirip jendela kantor pemerintahan zaman kolonial Belanda. Sembari menunggu
Ninis, aku mulai membaca daftar menu yang disajikan dari atas ke bawah. Membaca
daftar menu di kafe ini selalu membuatku tertawa sendiri karena nama menu
makanan dan minuman di Djendelo Koffie menggunakan ejaan jaman dulu. Meskipun
banyak pilihan yang ditawarkan, tetap saja pilihanku jatuh pada Bedebah Dibalik Djoebah Mewah yang merupakan
tjoklat panas djendelo poenya. Selain minuman, ada juga camilan khas Jawa
tentunya.
Setelah memesan,
mata ini kembali menyusuri berbagai sudut
di ruangan ini. Seakan mengajakku bernostagia. Lampu di Kafe Djendelo Koffie
yang remang, memberikan nuansa hangat tersendiri. Lantainya yang tersusun dari
papan, meja dan kursinya dari bambu dan rotan yang dianyam. Ornamen ruangan
yang didominasi warna cokelat kian menambah kesan ‘jadul’ yang sangat kental. Ada pula area lesehan bagi pengunjung yang
ingin duduk lebih santai. Kafe ini juga dilengkapi hotspot yang terkadang dapat
membuat orang lupa waktu karena keasyikan online.
Setelah menunggu kurang lebih 15 menit, akhirnya aku melihat Ninis yang
melambaikan tangan dari pintu masuk. Dia mengenakan celana jeans, kemeja
berwarna putih yang terlihat sedikit kebesaran dan sepatu sportnya. Kami pun
saling merangkul dan tertawa melepas rindu. Hari ini adalah hari yang menyenangkan dari sebuah perjalanan kembali ke kota dimana
aku pernah tinggal. Menghabiskan malam bersama sahabat di tempat yang klasik
ini menutup perjalanku di Kota Gudeg dengan berkesan.
Suci Rahayu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar